Senin, 16 Oktober 2006

tentang sebuah kePERCAYAan, tentang sebuah HARAPAN

Dalam sebuah kesempatanku berkenalan dengan seseorang,
aku bercerita tentang satu pengalamanku.
Tanpa maksud lain selain berbagi pengalaman, aku bercerita dengan energi yang meluap-luap. Semangat, sepenuh hati.

Apa yang kuharap tentang responnya?
Tidak ada. Soalnya, aku memang tidak bercerita dengan harapan mendapat respon tertentu.
Tapi betapa terkejutnya aku, saat kalimat pertama yang meluncur dari mulutnya seusai ku bercerita adalah berupa tuduhan.
“Kamu bohong, ya?” katanya sambil melihatku dengan mata menyipit.

Aku sama sekali tidak berpikir atau menduga-duga sebelumnya tentang respon apa yang akan kuperoleh atas ceritaku. Tapi, respon yang satu ini benar-benar terasa seperti petir yang menyambar di siang bolong.
Aku tidak bisa berkata-kata, hanya menatap sang kenalan baru dengan ekspresi tanda tanya besar. Kata-kata yang tak tersampaikan padanya secara langsung itu, yang hanya berhamburan dalam kepalaku saat itu, adalah :
H..how? Why? How?
How could u say that?
We’ve just even know each other, yet u said such those words?
Geez. Put aside the truth, u really don’t know anything about manner, do u?!

Aku meninggalkan sang teman baru dengan perasaan tersinggung berat.
Maklum, tidak tiap hari aku berkenalan dengan seseorang yang tanpa tedeng aling-aling langsung menyatakan ketidakpercayaannya pada diriku.

Pikiran dan perasaan penasaran tentang sang kenalan baru hanya muncul sebentar. Tak lama, aku bahkan sudah hampir melupakan keberadaannya.

Tapi tak terduga, Tuhan berkehendak lain.
Aku kembali bertemu, dan berinteraksi dengannya, dalam sebuah kegiatan.
Saat itu, aku kembali mendapat kesempatan melihat dan mendengarnya.
Mendapat kesempatan untuk kembali memperhatikannya, berusaha memahami pemikirannya, berusaha mengerti perasaannya.

Dan tanpa ada lagi rasa tersinggung, rasa marah atau rasa kecewa,
aku bisa dengan mudah melihat, mendengar, dan merasakan dirinya.

Ia, seperti diriku, hanya seorang anak manusia
yang telah berjalan ratusan atau ribuan langkah,
dan mungkin masih akan berjalan puluhan atau ratusan ribu langkah lagi.
Ia, seperti diriku, hanya seorang perempuan,
yang hatinya telah sempat berkenalan dengan rasa manis dan pahit,
dan mungkin masih lagi akan berkenalan dengan jutaan rasa lainnya.

Dan apa yang pernah terjadi dalam hidupnya,
dari ketinggian seberapa ia pernah terjatuh dari terbangnya,
hingga sedalam apa lukanya yang tertoreh dan belum tersembuhkan,
aku bisa melihat, mendengar dan merasanya.
Dan segalanya pun terjelaskan.
Tentang timbunan prasangka, tentang ketidakpercayaan yang senantiasa
menyelimuti pikiran dan perasaannya.

Ia, seperti diriku, hanya seorang anak manusia, seorang perempuan,
yang pernah memberikan penuh sebuah kepercayaan,
namun merasakan satu kekecewaan besar atas harapannya.


Tentang sebuah kepercayaan, ada satu harapan di sana.
Dan tentang sebuah pengharapan, ada peluang akan satu kekecewaan di sana.

Menghapus kemungkinan untuk kecewa, kurasa siapa pun menginginkannya.
Dan bukan tak mungkin, bukan tak mudah mewujudkannya.
Bunuh saja impian itu, buang saja harapan itu.
Maka dijamin, tak akan kau cicipi sebuah kekecewaan.
Ya, segampang itu.

Aku sendiri pernah mengambil pilihan itu.
Terjatuh dan terluka parah setelah terbang tinggi
dan dihadiahi satu kekecewaan atas sebuah harapan,
membuatku takut untuk terbang lagi,
membuatku takut untuk kembali merengkuh harapan.

Jika tidak terbang, takkan mungkin ku terjatuh.
Jika tidak berharap, takkan mungkin ku kecewa.
Jika tidak percaya, takkan mungkin ku dikhianati.

Maka aku pun tidak terbang, tidak berharap, tidak percaya.
Dan benar aku pun tak terjatuh, tak kecewa, tak dikhianati.

Namun....
Selain tak lagi ada kemungkinan untuk jatuh,
aku juga tak lagi mendapat kesempatan
untuk menyaksikan segala yang indah dari ketinggian,
untuk merasakan bebas, lepas dan nikmatnya terbang.

Dan tiadanya peluang untuk kecewa pun terjamin
dengan tiadanya pula peluang terpenuhinya harapan.
Dan pergi pula sebuah kesempatan
untuk merasakan nikmatnya bermimpi.

Kemudian saat kupastikan takkan terkhianatinya diriku
dengan mewaspadai siapapun yang mencoba mendekat,
mengapa tetap tak bisa kurengkuh rasa aman itu?
Mengapa, tetap tak kunikmati nyaman,
walau prasangka dan jarak tlah kucipta
demi melindungi diri ini?

Sungguh, aku lelah.
Dan mengapa tak pernah ada
nikmat yang betul membahagiakan
setelah setumpuk lelah itu?

Itukah yang kuingin?
Membungkus diri untuk mencegah adanya luka
dan membuang kesempatan untuk merasa nikmatnya hidup?

Bukan, bukan itu...
Bukan itu yang kuingin!

Aku ingin bebas itu...
aku ingin lepas itu....
aku ingin nikmat itu...
Yang kuingin, HIDUP itu.
Yang kuingin, IHKLAS itu.
Yang kuingin, CINTA itu.

Dan saat ku percaya, saat ku berharap,
bukan karna kutahu ku takkan terkhianati,
bukan karna kutahu ku takkan terkecewakan.

ku percaya,
karena ku ingin percaya.



- h e i D Y -
yang HIDUP, yang IKHLAS. yang PENUH CINTA.