Minggu, 12 Agustus 2007

menulis itu banyak resikonya (ternyata)


saat si penulis emosinya lagi meledak-ledak
yang ditulisnya bisa menyakitkan hati orang lain
sarkasme

saat si penulis emosinya stabil,
diya sendiri pun kadang merasa sedikit menyesal akan tulisannya yang terlampau kasar itu

saat si penulis dihadapkan pada bukit kebohongan dan jurang kejujuran
harus pintar memilih
karna gag semua yang jujur itu baik untuk dunia dan ga semua yang bohong itu buruk untuk dunia(ternyata)

saat yang ditulisnya dibaca oleh orang yang sebenarnya tida berhak membacanya
susah, semua orang punya hak untuk baca

saat si penulis butuh privasi

saat si penulis berada sedikit keluar dari batas kewarasan

saat si penulis kehabisan kata-kata untuk dirangkai supaya enak dibaca
kehabisan inspirasi

saat si penulis mengalami perubahan karakter
melakolis, sanguin, riddiculous
tapi tetap satu tubuh, satu manusia

saat si penulis merasa sangat sangat sangat kecewa
apa yang ditulisnya, samasekali tak berwarna, hambar

saat si penulis
enggan menulis lagi...


-------------------------------------------------------------------------------------

saia samasekali tidak ada hasrat untuk menyebut diri sendiri sebagai penulis,
penulis picisan sekalipun
karna tak mau menodai arti harfiah dari kata penulis itu sendiri.
(siapa pula primata yang rela menyebutku sbagai penulis?)
july 13-2007

-------------------------------------------------------------------------------------

Tulisan di atas bukan tulisanku.
Bukan dari tanganku huruf-huruf itu terangkai, bersatu membentuk kata, kalimat dan menyebar makna.

Namun sejak pertama kali membacanya, walau hanya sekilas (mungkin waktu yang diperlukan untuk membacanya tak sampai semenit), makna yang terajut dalam tulisan itu langsung meninggalkan perasaan yang sulit untuk digambarkan.

Nyuss….
seperti tertusuk, menancap dalam, ke hati ini..
Bukan hanya tuk sekali,
namun berkali-kali lama setelahnya
perasaan seperti itu seringkali muncul.

Bagai tersuntik virus,
yang menerobos masuk dalam tubuh tanpa dapat dicegah..
tak jarang kudapat serangan itu…
Mulai dari yang menggelitik hingga yang bergejolak liar
seolah mendesakku tuk berpikir kembali dan segera memilih.

Ya, memilih.

Sesuai dengan judul tulisan di atas : “menulis itu banyak resikonya…”
Itulah yang kurasakan selama lebih dari setengah tahun terakhir ini.



Antara menulis atau tidak menulis.
Antara bebas atau memelihara sopan santun
Antara jujur atau memperhatikan perasaan orang lain.
Antara berterus terang atau menjaga kehormatan diri, harkat dan martabat.

Kadang,
walau segala cara telah diupayakan, tak mungkin bagi kita mendapatkan keduanya.
Ada saatnya,
bagaimana pun memang perlu memilih satu di antara dua.

Aku
sedang berada di persimpangan itu sekarang.

Menulis seperti nafasku.
Jika profesi penulis diambil dari ruang kehidupanku,
maka sama saja artinya dengan mengambil nyawaku.

Jantungku berdenyut, aku masih dapat menghitung detaknya.
Ada O2 yang keluar masuk melalui hidungku.
Suhu tubuhku masih seperti biasa, sedikit lebih dingin dari orang pada umumnya.
Tangan dan kakiku hanya berhenti bergerak saat tidur.
Dan yang paling penting : otakku masih bekerja. Tiada hari tanpa membuat rencana dan memikirkan solusi untuk bermacam permasalahan.

Nah. Ilmu pengetahuan bidang apa yang bisa membuktikan bahwa aku MATI?Aku yakin tidak ada.

Apa aku bisa menyebut diriku MATI?
Sungguh aku pasti manusia laknat jika berani berlaku demikian!!!!!

Tapi entah bagaimana, harus kuakui,
itulah rasa, yang ada padaku saat ini!!
itulah pikiran, yang walau kutahu salah,
tetap tak kuasa ku melenyapkannya!!!

Aku ingin HIDUP, benar-benar HIDUP.
Mengalami keHIDUPan,
merasakan keHIDUPan,
mencatat keHIDUPan
dan belajar dari keHIDUPan.

Dan aku butuh MENULIS untuk HIDUP yang kuingin itu…
salahkaH?

Salahkah, jika ada saatnya…
aku memilih bebas daripada sopan santun?
Salahkah, jika ada saatnya…
aku memilih jujur lebih dari perasaan orang lain?
Salahkah, jika ada saatnya…
aku memilih berterus terang ketimbang menjaga kehormatan diri, harkat dan martabat?

Salahkah, jika aku memilih jadi rumput liar daripada burung cantik dalam sangkar emas?

Dunia ini, tampak seperti selembar kertas yang tak hingga luasnya…
dan bagiku disodorkanNya ruang kosong yang tak bisa dibilang kecil,
sementara ada Merah, Oranye, Kuning, Hijau, Biru, Ungu, dan bahkan Hitam, warna krayon dalam genggaman tanganku…

Maafkan aku, wahai saudara dan sahabatku….
Sebutlah aku egois,
Anggaplah aku tak tahu malu,

Tapi jangan larang tanganku,
yang hanya ingin ikut menyumbang warna bagi dunia ini.

jangan hentikan aku,
yang hanya ingin memilih HIDUP ketimbang mati.



Tulisan di atas tadi,
memang bukan buah karya seorang penulis terkenal.
Bukan pula hasil pemikiran seorang penyair, filsuf, atau tokoh masyarakat lainnya.

Walau lahir dari tangan seorang penulis berusia empat belas tahun yang baru saja menyelesaikan sekolah menengah pertamanya (jika memang belum ada, izinkan aku menjadi primata pertama yang menyebutmu penulis!), itulah tulisan paling berharga yang pernah kubaca.

Terimakasih, adikku.
Walau tak mengalir darah yang sama dalam tubuh kita, biarkanlah aku terus menyayangimu…

- h e i D Y -