Senin, 20 Oktober 2008

di salah satu tahun barumu, Papa

hari ini, 18 Oktober 2008, adalah hari ulangtahun ke-58 Papa saya yang tercinta.
Mengingat tanggal ini, saya jadi ingin menulis sesuatu tentang, bahkan kalau mungkin untuk (kalau tulisan ini cukup pantas), Papa. Tidak ada alasan kenapa saya belum pernah membuat tulisan ini (ya memang belum saja!), juga kenapa saya memilih usia yang ke-58 ini (bukan angka 50, 40, atau angka ’menarik’ lainnya). Bukan maksud mengistimewakan satu angka dari yang lain, karna menurut saya, usia adalah suatu nikmat yang perlu disyukuri sesering mungkin.


Nah, saya akan mulai sekarang.

Selamat memulai tahun usiamu yang lain, Papaku sayang...
Di usia Papa yang ke-58 ini, aku makin melihat jelas perbedaan penampilan Papa sekarang dengan...katakanlah, 20 tahun lalu.
Ya, rambut putih Papa yang sudah jauh bertambah banyak itu salah satunya.
Tapi di mataku, ada banyak hal yang jauh lebih jelas terlihat.

Papa tahu..?
Sejak pertama kali aku mempunyai memori, yang kuingat Papa adalah sosok yang menyebalkan atau menakutkan.
Di meja makan, Papa yang kuingat adalah Papa yang menggenggam sebotol sambal sebagai ancaman kalau aku tak segera menghabiskan makanan di piringku.
Di akhir acara makan, cuma Papa yang keras kepala mengejarku kemana-mana dengan potongan pepaya, mangga, melon, atau semangka yang malas kumakan.
Di waktu tidur siang, bayangan akan dihadiahi jeweran Papa adalah satu-satunya cara ampuh untuk membuatku tidur.
Di saat mengerjakan PR dari sekolah, kebencian pada ujung bolpen yang akan didaratkan Papa ke pahaku menjadi motivasi yang kuat untuk tidak membuat kesalahan sama sekali saat mengerjakan pekerjaan rumah itu.

Papa tahu..?
Sampai masa abg, aku tidak tahu, dan mungkin juga tidak akan percaya kalau ada yang memberitahu bahwa sesungguhnya...Papa sayang padaku.

Papa tahu..?
Menjelang masa-masa terakhirku tinggal bersamamu dulu, beberapa minggu sebelum aku menempuh ujian akhir SMA-ku, tak lama sebelum aku menyandang gelar mahasiswa yang berdomisili di kota lain....aku betul-betul tercengang.
Karna saat aku nyaris frustasi dan menyerah menghadapi ujian Fisika, Papa yang selalu bersemboyan ”Fisika-itu-mudah” ternyata mengerti kesusahanku dan dengan sabar membantuku belajar (sama sekali tidak ada bentakan atau colokan bolpen ke paha setiap kali aku tak mengerti!).
Karna saat aku benar-benar merasa bodoh dan sedih, Papa berusaha mengembalikan kepercayaan diriku.
Karna entah bagaimana, tiba-tiba aku baru menyadari semua bentuk kasih sayang Papa untukku sebelumnya.

Papa tahu...?
Kalau bukan karna Papa yang menuntutku untuk mendapatkan nilai 10 di sekolah sejak dulu, mungkin aku tak tumbuh jadi seorang yang selalu mengusahakan kesempurnaan dalam pekerjaanku.
Kalau bukan karna Papa yang memaksaku untuk selalu tidur siang, mungkin saja aku akrab dengan penyakit insomnia.
Kalau bukan karna Papa yang rajin mengejar-ngejarku sampai ke kamar untuk menyuapkan potongan buah pepaya tiap malam dulu, mungkin seumur hidup aku tak akan pernah senang makan buah.
Kalau bukan karna Papa yang menakut-nakutiku dengan sambal, mungkin Mama juga tak akan berhasil mendidikku menjadi seorang yang tak pernah menyisakan makanan.

Papa tahu...?
Salah satu yang membuatku bertahan dan berjuang untuk bisa menyesaikan kuliahku adalah kata-kata dalam surat Papa waktu aku akan mulai kuliah di institut negeri yang juga merupakan almamater Papa: Papa bilang, Papa bangga padaku! Itu cukup bagiku untuk berulangkali membantu mengalahkan semua rasa ketidakberdayaanku selama lima setengah tahun aku menjadi mahasiswa di institut terbaik di negeri ini.

Papa tahu...?
Bertentangan dengan keberatan Papa dulu pada hobiku menulis yang sering tak mengenal waktu dan tempat, keengganan Papa dulu waktu aku hampir ingin kuliah di jurusan sastra, Papa adalah orang nomor satu yang membuat karir kepenulisanku akhirnya dimulai. Kalau bukan karna Papa yang bersikeras mencetak dan memperbanyak satu karya yang sudah hampir kulupakan untuk menjadi souvenir pernikahanku, mungkin sekarang belum satu pun penerbit yang mengenal namaku sebagai nama seorang penulis buku.

Papa tahu...?
Salah satu yang membuatku paling sedih saat Papa melakukan ijab kabul dengan lelaki yang menjadi suamiku sekarang adalah perasaan Papa padaku , yang entah bagaimana sampai begitu indahknya padaku. Entah bagaimana, Papa yang selalu berhemat dalam penyampaian kata-kata itu bisa begitu saja menyampaikan seluruh perasaan sayang Papa yang luar biasa untukku hanya melalui sorot sepasang mata Papa.

Papa tahu...?
Entah kenapa, aku dulu pernah tak percaya bahwa Papa menyayangiku.
Dan aku pun dulu pernah merasa, mungkin tak perlu menyayangi Papa.

Tapi, tahukah Papa....?
Aku bahkan sudah lupa sejak kapan aku begitu menyayangi Papa.
Dan sekarang, Papa yang kuingat hanyalah Papa yang tak pernah tak menyayangiku.

Selamat ulang tahun, Papa sayang…
Semoga Allah SWT mengaruniai Papa usia panjang yang berkah, kesehatan lahir dan batin, kebahagiaan dunia dan akhirat.


Jakarta, 18 Oktober 2008.
- H e i D Y -

Kamis, 16 Oktober 2008

apakah kita sedang berlomba?

ini lintasanku, jalanku
dan itu lintasanmu, jalanmu

apakah kita akan berlomba..?

sepatuku sudah siap, sudah kukencangkan talinya
dan sudah kulihat, kamu pun juga

apakah kita akan berlomba..?

sekarang, mari berlari
aku menuju satu titik di sana
dan kamu titik yang di sana
titik yang berbeda

apakah kita berlomba..?

aku dan kamu sama-sama berlari
tapi bukan menuju tempat yang sama
aku berlari di atas jalanku
kamu berlari di atas jalanmu

maka, apakah kita sedang berlomba..?

jika kamu semakin mendekati titik tujuanmu
tentu, sepenuh hati aku turut bersorak untukmu
dan semoga dengan aku makin menjauhi garis startku
kuyakin, kamu pun bersenang hati mendukungku

tapi, apakah kita sedang berlomba..?

aku sungguh tak bisa menjawab jika kamu bertanya,
apakah aku sudah melewati itu, dan itu
apakah kamu pun bisa menjawab jika aku bertanya
sudahkah kamu melewati ini, dan ini

apakah kita sedang berlomba...?

tentu tidak, kawan
sampai kapan pun
aku takkan bisa menjawab semua pertanyaanmu
dan begitu pula dirimu yang takkan mengerti pertanyaanku

memang betul kawan,
dunia kita satu dan sama
dan kita hidup berdampingan

tapi ini hidupku, itu hidupmu
ini jalanku, itu jalanmu
maka sungguh maaf, temanku tercinta
kuyakin kita tak mungkin sedang berlomba


- H e i D Y -
Untuk diriku sendiri dan siapapun di dunia ini yang sering lupa melihat lintasan larinya sendiri. Mari semangat dan berlari, karna titik yang menanti di ujung sana sungguh indah tak terkira...

Rabu, 15 Oktober 2008

Tolong bantu...

karna aku tidak tahu harus mulai dari mana:


seorang pejabat negara yang memakai uang rakyat untuk membeli mobil pribadi ke-4nya

atau

seorang jutawan yang berusaha mendapatkan asuransi kesehatan bagi rakyat miskin

atau

seorang pemilik perusahaan yang memilih tidak menghentikan bencana atas kelalaiannya demi kesempatan menyalahkan sang alam

atau

seorang bapak yang tidak menyekolahkan anaknya demi 3 bungkus rokok kebutuhannya setiap hari

atau

hanya seorang, siapa pun dia, yang tidak mengeluarkan zakatnya.


mendukung Blog Action Day 2008,
KEMISKINAN SEHARUSNYA TIDAK TERJADI.



- H e i D Y -

Selasa, 14 Oktober 2008

CITA-CITA UNTUK CINTA

Saat ini, cita-citaku untuk cinta sebetulnya tak terlalu muluk.
Tentu, aku tahu...sebesar apapun hasratku, cita-citaku untuknya,
segalanya harus dimulai dari sebuah langkah kecil..
yang perlahan tapi pasti.

Dengan kemampuanku sekarang ini,
dengan energiku saat ini,
aku tahu...
belum sanggup ku gapai langit itu.

Dengan kedua lengan yang masih melingkar kecil,
ya, aku tahu,
masih belum sanggkup ku peluk dunia ini.

Maka mari mulai dari langkah kecil.
Setidaknya, sekarang ini...
ku berharap tuk setidaknya bisa
bantu hidupkan senyum di hatimu



atas nama cinta,
- H e i D Y -


Untuk tunas-tunas yang pernah kutemukan di atas bumi.
Terus hidup dan tumbuhlah sayang,
karena dunia sungguh menantimu.

Senin, 13 Oktober 2008

sebuah rumah di Babakan Jeruk

a tribute to my mom&dad’s house in Bandung, which was my home for almost 8 years



Rumah yang saya maksud di sini adalah sebuah rumah milik orang tua saya yang dibangun di jalan Babakan Jeruk, daerah Pasteur, kota Bandung, di atas tanah yang mereka miliki sejak tahun 80-an awal.

Karena selama berbelas tahun berikutnya mereka harus berpindah-pindah di luar pulau Jawa demi mencari sesuap nasi (dan setumpuk emas, mungkin), sang rumah pun dibangun dengan amat sangat perlahan sekali. Para tetangga pun seakan mengomel, “Ini orang butuh rumah nggak sih?”.

Omelan tersebut baru terjawab oleh saya pada tahun 2000, bgitu saya diterima menjadi mahasiswa baru di sebuah perguruan tinggi di Bandung.
“Iya Om, Tante, Mama Papa saya butuh kok…tapi nanti, kalo mereka udah pensiun.
Kalo saya, butuhnya sekarang, jadi sementara saya dulu aja yang jadi tetangga yaa,”

Kemudian selama 3 tahun pertama, most of time saya menjadi penghuni tetap (yang nyata..hahaha) satu-satunya di rumah Babakan Jeruk itu, mengingat :
- jarang ada pembantu yang betah lama tinggal sendiri di rumah segede gitu (dan banyak yg mengaku diganggu oleh para penghuni tak nyata..heran, kok mereka damai-damai aja tuh sama saya)
- dari beberapa teman yang ditawari untuk tinggal bersama, semua menolak karna jaraknya yang terlalu jauh dari kampus (iyyalaah, dimana-mana orang ngekos nggak pengen jauh-jauh dari kampus/kantor kaan)
- nggak ada tanda-tanda kepentingan/kebutuhan/kesempatan satu pun anggota keluarga gw lainnya untuk pindah ke Bandung

Dan akhirnya, tahun 2003.
Adik kandung perempuan yang paling saya cintai di dunia ini (in fact, she’s my only sister..hehe) pun hijrah untuk kuliah di Bandung. Sungguh saya betul-betul bersyukur, dia pindah dan menemani saya tinggal di rumah Babakan Jeruk itu.
Salah satu peran terbesar adik tercinta saya yang perlu digarisbawahi dan akan saya ingat seumur hidup adalah : dia telah meminimalisir pengaruh kampus saya -yang didominasi cowo itu-terhadap kesadaran gender saya. Semua pengalaman saya sebagai seorang perempuan pada umumnya bermunculan sejak serumah dengannya : jatuh cinta, dandan, jalan ke mall, beli tas & sepatu, atau sekadar memanjakan diri dengan merendam kaki dalam air garam sambil ngobrol.

Tahun 2005,
Anggota tetap rumah Babakan Jeruk kami bertambah lagi. Kali ini sahabat saya di kampus, yang setelah kelulusannya memutuskan untuk sementara menetap di Bandung dulu.
Selama sahabat saya tersayang ini ada di rumah, itu tak mungkin sepi karna siapa pun dalam radius 0.5 km terdekat bisa mendengar tawa atau suara semangatnya saat bercerita.

Tahun 2006,
Saya jatuh sakit setelah libur lebaran. Rumah yang tak terurus, membuat orangtua akhirnya mendesak untuk meng-hire seorang pembantu rumah tangga, sehingga anggota rumah di Babakan Jeruk kini menjadi 4 orang gadis.
Rumah kami jadi semakin cantik, walaupun orangtua saya sering protes karna tanaman di halaman banyak yang mati…yah, sayangnya memang tidak satu pun di antara kami yang senang berkebun.

Tapi hey, saya di sini ingin menuliskan kesan berdasarkan pengalaman sendiri, bukan penilaian orang lain. Jadi maaf ya Ma, Pa, atau siapapun yang melihat kesan lain dari rumah itu...bagi saya waktu itu, rumah itu benar-benar ’home sweet home’ bagi kami yang sempat menjadi peghuni tetap di dalamnya.

Rumah di Babakan Jeruk itu pun semakin sempurna menyandang statusnya sebagai Rumah Cewek. Rumah cewek, yang mana definisinya menurut kami : rumah dimana semua penghuninya adalah cewek dan rumah tersebut senantiasa menyaksikan kegiatan-kegiatan khas cewek dan penuh akan ciri khas seperti:
- Rumah yang menyaksikan entah berapa banyak tawa, tangis, curhat, canda, rumpi, diskusi, sampai..pertengkaran
- Seberantakan apapun rumah itu, tak kan mungkin ditemukan sehelai kain pun terserak di lantai (oke, kami juga bisa berantakan...tapi tenang, semuanya terlokalisasi dengan baik!)
- Dan lebih tak mungkin lagi, ditemukan sisa-sisa makanan yang bergeletakan begitu saja di dalam rumah (selain ya, kami tidak sejorok itu, terimakasih, ini karna...sebagian besar dari kami anti pada cicak-cicak yang berkeliaran)
- Dan seberantakan atau sejorok apapun, bisa dipastikan rumah kami selalu WANGI setiap hari...bisa wangi shampoo, wangi parfum, sampe wangi wax cream yang datang dari berbagai penjuru ruangan. Selain itu sepertinya ini juga berkat peraturan ayahanda sang pemilik rumah ini : buanglah sampah organik ke dalam lubang tanah di kebun belakang yang sudah disediakan!
- Sampai saat ini Allah SWT menurunkan perlindungannya yang penuh bagi rumah dan anggotanya yang perempuan semua itu, alhamdulillah... tak sekalipun kami dalam keadaan tak terjaga olehNya

And time flies...

November 2007.
Ternyata, rumah tercinta di Babakan Jeruk itu adalah satu-satunya tempat yang diinginkan ayah saya sebagai tempat pelepasan puteri sulungnya untuk berganti status dari ‘anak gadis’ menjadi seorang ‘istri’.
Ya, rumah yang sangat saya sayangi itu...menjadi tempat berpijaknya ayah dan suami saya ketika mereka melakukan ijab kabul atas dinikahkan/diterimanya nikah saya, sekaligus menjadi sang saksi bisu.
Sebuah kebahagiaan baru telah datang dalam kehidupan keluarga saya, walaupun harus menghapuskan sebuah status sang ‘rumah cewek’ yang telah begitu lama menyimpan keindahan.

Dan dengan kekuasaan Tuhan yang Maha Besar, masuknya saya ke dalam kehidupan pernikahan bersamaan dengan berangkatnya sahabat saya untuk magang kerja di luar negeri, yang kemudian disambung kepindahannya ke Jakarta. Sebuah kehilangan yang tidak kecil tuk kami yang ‘ditinggalkan’, juga untuk sang rumah.

Juni 2008.
Demi merintis cita-cita untuk benar-benar bersama sang suami dan menciptakan kedekatan yang lebih pada kedua keluarga kami, saya melakukan hal yang sebetulnya tidak saya sukai, dan selalu hindari sejak dulu : hijrah ke Jakarta sang ibukota (ya, tolong doakan saja kami tak berlama-lama ikut memadati kota ini)
Dan di antara sedihnya saya meninggalkan Bandung yang telah 8 tahun saya akrabi itu, yang paling besar adalah kesedihan meninggalkan rumah di Babakan Jeruk itu. Semua rutinitas yang saya lakukan sebelumnya di sana, semua sejarah yang tercatat di dalamnya...semua yang kini berubah wujud menjadi sebuah kenangan indah yang menyita satu ruang khusus di hati ini.


Lalu, Oktober 2008
Pada suatu hari, saya menginjakkan kaki kembali di rumah Babakan Jeruk itu, setelah berbulan-bulan lamanya aktifitas kantor membuat saya tak berkesempatan sama sekali melakukannya.
Dan seolah tak ingat saya pernah meninggalkannya, ia begitu ramah menyambut. Hawa yang sejuk begitu damai menentramkan panas tubuh yang sebelumnya diterpa terik matahari di luar sana. Lantainya yang selalu dingin begitu tulus membelai telapak kaki yang kelelahan. Wangi melati bahkan hampir masih bisa tercium dari kamar yang menjadi kamar pengantin saya dulu. Ahh...rumah ini....


Sebutan “home” dari saya kini telah menuju pada sebuah bangunan di tempat lain. Tapi sepertinya, dan semoga, sampai kapan pun saya masih boleh menyebut rumah di Babakan Jeruk itu, home sweet home”....

Kamis, 09 Oktober 2008

tentang satu pabrik rahasia

Aww, kepala saya panas...

Terjebak dalam rutinitas sehari-hari sepertinya membuat otak saya ini belakangan ini jadi agak malas 'bekerja keras'. Dan dua hari ini, terlepas dari betapa minimnya pencapaian nyata saya dalam berbagai hal, jauh di dalam sana otak saya bernyanyi dan menari dengan riang gembira, "akhirnyaa, kami eksis kembali..lalalalilili.."

Oh ya, tentu pekerjaan saya sehari-hari bukannya tidak membutuhkan otak juga.
Hanya saja saya membicarakan 'folder-folder' yang berbeda di dalam sana.
Ya, seperti juga kamu, kamu, dan kamu, saya juga punya banyak folder di kepala saya yang kecil ini lho.

Folder-folder di lingkar paling luar, menyimpan apa-apa yang harus saya lakukan setiap hari a.k.a ru-ti-ni-tas. Kemudian di baris lingkar berikutnya, menyimpan apa-apa yang telah dan akan saya lakukan (sejarah dan rencana). Kemudian di lingkar berikutnya lagi, ada pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban yang bisa hilir-mudik dengan cepat (contoh berdasarkan pekerjaan saat ini: permen jenis apa yang paling banyak dimakan orang?) Kemudian di lingkar berikutnya lagi yang merupakan ruang terdalam, barulah ada pabrik rahasia saya.

Pabrik ini sejak dulu aktif sekali.

Waktu saya masih berumur 6 tahun, pabrik ini sudah rajin sekali mengolah bahan-bahan pertanyaan seperti "Seberapa jauh langit di atas saya itu? Apakah di atasnya ada langit lagi? Ada berapa lapis langit sebetulnya? Atau adakah dunia lain dengan langit yang berbeda? Atau dunia saya sekarang ini, bagian dari dunia yang lebih besar? Seperti apa sebetulnya seluruh ciptaan Tuhan itu? Apakah Tuhan seperti saya kalau saya sedang bermain kota-kotaan? Berarti kita seperti Tuhan? Ah, ya..sebelum saya ada di dunia ini, kita ini siapa ya? Kalau Tuhan sudah ada dari dulu, saya dimana? Lalu setelah mati nanti, saya kemana? Apakah 'aku' yang ada di tubuh ini bisa berpindah ke benda lain? Kalau bisa begitu, apakah rasanya tetap 'aku'?"

Itu sejarah aktifitas pabrik rahasia saya yang paling kuno yang saya ingat.
Sebetulnya awalnya sih saya tidak mau membuatnya menjadi pabrik rahasia. Tapi karna teman-teman sebaya bingung dan takut setiap saya membicarakan kegiatan pabrik tersebut pada mereka sementara saya sama sekali tidak benci berteman, maka sejak itu saya selalu merahasiakannya.

Berbeda dengan yang ada dalam lingkar sebelumnya, pertanyaan-pertanyaan yang muncul di pabrik rahasia ini tidak mungkin hilir mudik dengan cepat. Yang ada: melayang-layang, kemudian mengendap. Lupakan hitungan hari. Bisa berbulan-bulan, atau malah bertahun-tahun. Belum terjawab satu, seribu lainnya sudah lahir. Kasihan pabrik rahasia saya, jadi sering overload!

Seiring dengan pertambahan usia, aktifitas pabrik saya makin aktif dan yang diolah pun makin bermacam-macam. Saya suka sekali membaca buku, tapi karna semasa saya sekolah dulu Papa saya masih percaya bahwa "sebaik-baiknya anak sekolah adalah anak yang membaca buku sekolah saja" (jangankan buku cerita tanpa gambar yang saya harus curi-curi menabung untuk membelinya, saya bahkan harus curi-curi kesempatan untuk melahap habis semua buku psikologi Mama sampai saya lulus SMP), maka kebanyakan bahan mentah untuk olahan pabrik rahasia saya datang secara misterius...entah dari mana.

Jadilah ketika bertahun-tahun kemudian saya membaca buku dengan 'kandungan' serupa, saya takjub : Wah! Ternyata bukan hanya saya di dunia ini yang memikirkan semua ini..
(Ha! Oh Heidy, you're so full of yourself!)

Masa SMA, semua teman mengalami masa pergolakan pikir dan rasa yang hebat. Banyak teman saya yang tiba-tiba puitis dan menjadi penyair yang sangat produktif. Lainnya senang berdebat tentang berbagai hal, berlarut-larut..menanti orgasme yang tak kunjung datang. Sementara saya, sibuk mengejar ketertinggalan pubertas (saat semua orang sudah melewatinya), dan...berusaha menjadi siswa SMU yang -setidaknya- tidak terlalu terbelakang.

Memasuki kampus, terlepas dari shock karna merasa SALAH BESAR dalam memilih jurusan (yang ternyata amat sangat bersahabat dengan jurusan fisika murni, sementara selama 3 tahun di SMU saya nyaris tidak mengerti apa-apa tentang fisika)...saya menemukan satu surga dunia: sebuah unit kegiatan mahasiswa yang berpuluh tahun sebelumnya juga mewadahi aktifitas Papa saya selama menjadi mahasiswa. Menemukan tempat ini, para pekerja dalam pabrik rahasia saya berbahagia sungguh!

Walaupun entah kenapa saya tetap tidak bisa terlalu jujur membuka kedok pabrik saya seluas-luasnya, tapi saya menerima banyak sekali bahan baku siap olah. Bahkan, saya sering melihat banyak pabrik yang 'open house', mengundang siapapun untuk melihat proses yang mereka lakukan. Saling tukar ilmu untuk produksi, banyak sekali terjadi di sana. Oh ya...beberapa kali saya juga melakukannya. Hanya sambil canggung, karna belasan tahun terbiasa merahasiakan semuanya serapat mungkin.

Dan pernah suatu kali saya ketakutan, karna mendapati betapa giat dan makin rumitnya proses yang terjadi dalam pabrik saya. Dan saya bahkan tak peduli, betapa mungkin ada orang lain yang mengalami ini juga, SAMA PERSIS atau LEBIH PARAH (kondisi yang tidak berbeda dengan orang lain! Seharusnya saya senang kan, karna sejak lahir jarang-jarang saya mendapatkannya). Saya betul-betul takut. Saya hanya ingin melangkahkan kaki saya kemanapun, dan rasanya pabrik yang makin canggih hanya akan membuat kaki saya terasa makin berat. Jadi saya lari meninggalkannya.

Tapi itu tidak lama. Tidak lama kemudian saya kembali, tapi dengan lebih siap dan dewasa. Bukan hanya kaki, tangan saya pun bisa bergerak ringan ke mana saja...tanpa terpengaruh apapun yang terjadi dalam pabrik saya. Saya bahagia.

Lebih lagi ketika bertemu dengan pasangan hidup yang mampu membuat pabrik rahasia saya 'merger' dengan pabrik miliknya. Dan seolah menjawab cita-cita saya sejak berumur 6 tahun dulu, saya mendengar suara Tuhan untuk saya, "kamu tidak, tidak pernah, dan tidak akan pernah sendiri." Subhanallah, Alhamdulilah, Allahuakbar.
Sungguh, saya betul-betul bahagia.

Ahh, kepala saya sudah mulai mendingin sekarang.
Oya..sejak 'merger', saya sekarang bersahabat dengan pola baru pabrik (bukan rahasia lagi) saya : kerja ringan-istirahat-kerja keras-hibernasi.
Semoga pola ini cukup sehat. Amiiin.

Rabu, 08 Oktober 2008

aku INGIN...

Detak jantung ini seperti masih belum bisa mengerem larinya.
Membuat ruang rongga dada seolah begitu sempit, sesak....

Ya Tuhan, tolong....
Aku ingin lakukan ini.
Aku ingin lakukan itu.
Aku ingin lakukan semua.

Dan demi semua yang kuingin lakukan...
Benarkah mungkin, satu kepala yang kecil ini cukup?
Benarkah mungkin, dua tangan ini cukup?
Benarkah mungkin, dua kaki ini cukup?
Benarkah mungkin, dua puluh empat jam sehari ini cukup?
Dan benarkah mungkin, jatah umur yang Kau gariskan untukku secara rahasia itu cukup?

Ah, mata yang biasanya mudah sekali basah ini pun ikut bertingkah aneh.
Jangan-jangan, stock airnya sudah habis?
Sepertinya ia hanya mengalah, demi hati yang sudah lebih dulu menjerit dan menangis frustasi di dalam sana.
Bukannya ia tak setiakawan, solider, ikut merasakan kepedihan itu.
Hanya saja ia malu, tak yakin air matanya yang biasa sanggup mewakili suara sang hati..

Rasanya aku ingin menyuruh detak jantung ini berhenti berlari.
Tentu tak bisa, dan kalau pun entah bagaimana bisa...ampun...sungguh aku takut, Tuhan.

Tapi hati ini, yang terus berteriak menangis luapkan emosi...
Dan otak ini, yang seolah hampir meledak karena ruang mungilnya tak sanggup menampung semua hasil kerjanya yang terus menggandakan diri..
Mungkinkah semua berhenti sejenak...
Dan memulai semuanya dari nol lagi?

Mengutip kata salah seorang sahabat yang pernah membuatku tergelak sampai setengah menangis : ”hidup adalah setumpuk pekerjaan yang harus diselesaikan”

Aaaah.
Andai hubunganku dengan semua manusia di dunia ini sesederhana cerita dalam iklan Pertamina ”mulai dari nol lagi” (SUNGGUH AKU INGIN!!!!).
What a beautiful life...

Selasa, 07 Oktober 2008

satu dunia, sebuah mimpi

Ini berawal mula dari satu mimpi, cita-cita, ambisi, keinginan saya yang tak pernah hilang dari dulu : melakukan banyak hal sekaligus.

Oke, saya curang.
Dulu, saya selalu salah tingkah kalau disuruh nyebutin cita-cita atau keinginan.
Karena : mereka sangat banyak, dan bisa timbul dan lenyap dalam hitungan jam.
Maka untuk enaknya saya sendiri, sekali lagi saya umumkan keinginan yang selama ini tidak pernah lenyap sekalipun dan sepertinya sampai kapan pun : melakukan banyak hal sekaligus.

Dan yang saya maksud banyak, adalah....benar-benar BANYAK.
Hal yang saya maksud bukan hanya pekerjaan demi mencari beberapa piring nasi (Jujur aja deh. Kalo untuk hidup, memang saya butuh lebih dari sesuap)
Dan bukan juga hanya pekerjaan itu, ditambah pekerjaan rumah tangga.
Dan bukan juga hanya pekerjaan-pekerjaan itu ditambah kegiatan-kegiatan favorit alias hobi.
Dan bukan juga hanya semua yang di atas itu dengan quality time dengan keluarga.
Yang saya maksud, semua yang sudah saya sebutkan itu ditambah dengan quality time dengan dunia.

Dunia mana?
Ya dunia. Dunia saya, dunia kamu, dunia dia, dunia siapapun yang ada di dunia ini.
Nah bingung kan tuh...(coba hitung kata ‘dunia’nya, coba kalahkan saya, bikin satu kalimat dengan jumlah kata tsb yg lebih banyak.....ha. kurang kerjaan bgt)

Saya ingin menyentuh dunia yang luas ini.
Tapi tidak hanya menyentuhnya, saya juga ingin memeluknya, selalu berada di dalamnya.

“dunia saya sendiri”....
Ah. Itu ungkapan yang paling saya benci dalam hidup saya.
Sekaligus umpan balik paling menyedihkan dan menyakitkan bagi saya.
Karna itu berarti, saya sudah gagal.

Dunia saya, dunia kamu, dunia dia, dunia siapapun...bagi saya (seharusnya) tidak berbeda.
Dan kalau ada yang menyebut, mengomentari, saya dengan ungkapan tersebut di atas, siapapun yang mengatakannya telah merasakan betapa berbedanya dunia kami...apa kemungkinan arti lainnya selain : saya hidup di dunia saya sendiri, tidak menyentuh kamu, tidak menyentuh dia, tidak menyentuh siapapun, apapun lainnya di dunia ini. Sehingga dunia saya bukan dunia kamu, bukan dunia dia, bukan dunia siapapun.
Kita hidup, ada di dunia yang berbeda.
Maka berarti saya sudah gagal, bukan?

Tapi sungguh, saya belum berhenti bermimpi, bercita-cita, berkeinginan itu.
Tapi apa, yang perlu saya usahakan untuk mewujudkan semua itu?

Lalu apa, yang paling baik saya pinta lagi padaNya?
Waktu yang tak terbatas?
Energi yang tak terbatas?

Atau mungkin....hanya sebuah niat yang makin, makin diperkuat lagi?

Karna saya percaya, DIA ada.
Dan DIA ada di dalam saya.
Saya, juga bagian dari DIA.

Kalau Allah telah berkehendak, apa yang tidak bisa?
Kalau niat telah sempurna, apa yang tidak bisa?