Selasa, 22 Desember 2009

Kado Kecil untuk Ibu

Ibu.
Dalam hidupku, sosok itu selalu ada....kapan pun, di mana pun.


Ini bukan pertamakalinya saya menulis dengan menyebut-nyebut sosok ibu. Baru saja saya mengenang kembali bahwa dalam semua tulisan yang saya buat seenak hati sejak saya bisa menggenggam pena itu, betapa seringnya sosok ibu muncul ke permukaan....entah itu sekilas menyebut dirinya, mengulang perkataannya, membahas pemikirannya, dan lain sebagainya. Padahal, sedikit sekali di antaranya yang diniatkan untuk bertopik seputar I-B-U.

Lalu, apa artinya jika sosok ibu nyaris selalu ada -tersurat maupun tersirat- dalam tulisan saya? Bahwa saya anak yang pandai berbakti dan menyenangkan hati ibu saya? Ho-ho, tidak, tidak.....sayang sekali rasanya saya jelas masih jauh dari level itu!

Aku mendengar dengan menulis. Jika ibu memenuhi tulisanku, itu bukti bahwa beliaulah yang memintaku peka terhadap sekitarku dan bahwa suaranyalah yang memenuhi kalbuku : petuahnya, didikannya, ekspresi sayangnya.

Aku melihat dengan menulis. Jika ibu selalu muncul dalam tulisanku, itu menunjukkan beliaulah yang senantiasa mengajakku memandang berbagai sisi dari apapun yang kutemukan dalam hidup.

Aku berpikir dengan menulis. Jika ibu ada dalam banyak tulisanku, itu menandai sosoknyalah yang menghalangiku untuk malas dan menyerah, yang memacuku agar kritis dan kreatif setiap saat.

Aku bersuara dengan menulis. Jika ibu rajin hadir dalam tulisanku, itu berarti beliaulah yang tekun memompa semangatku, mendorongku untuk terus maju dan hidup dengan sebanyak-banyaknya manfaat.


Mama, begitu saya menyebut sosok mulia itu. Tak akan pernah cukup macam rangkaian huruf di dunia ini untuk menuliskan apa saja jasanya dalam hidup saya. Karena itu saya pun tahu, tulisan ini bukan persembahan yang luarbiasa untuk ibunda saya tercinta. Secuil coretan ini hanyalah kado kecil khusus untuk ibu yang semoga dapat menjadi salah satu pengingat bagi saya untuk terus menciptakan kado-kado kecil lainnya : berbagai manfaat atas hidup saya sebagai perpanjangan catatan amal dirinya.

Aku akan terus menulis, Mama...dan itu berarti aku akan terus mendengar, melihat, berpikir, dan bersuara. Semoga hidupku di dunia ini sesuai dengan tujuan penciptaanku oleh Sang Khalik, dan semoga takkan ada perbuatanku yang turut membuahkan dosa bagimu. Terimakasih untuk doa yang selalu menyertai diriku sejak dalam rahimmu, semoga doaku pun mampu menyertai hidup dan matimu kelak. Amiin...



Selamat Hari Ibu 22 Desember 2009 untuk semua ibu! Semoga perjuanganmu berbuah manis, semoga sifat Ar-Rahiim kekal dalam dirimu, semoga Allah SWT memuliakanmu dunia-akhirat.
- H e i D Y -

Senin, 23 November 2009

yang lebih penting (dari meminta diberi keturunan)

Akrabnya topik pemeriksaan infertiliti, niat dan usaha untuk berketurunan dalam kehidupan saya dan Hamdan biasanya sudah dipahami betul oleh orangtua, keluarga hingga lingkungan dan teman-teman kami. Mungkin selain karena kenyataan yang dapat langsung terlihat bahwa belum adanya foto bayi yang kami pamerkan atau tangis bayi yang terdengar dari dalam rumah kami, hal itu juga dikarenakan keterbukaan kami dalam berbagi kisah.

Ini adalah masalah kesehatan reproduksi, sesuatu yang sangat wajar dan manusiawi...jadi mengapa harus menganggapnya tabu? Dengan bersikap terbuka, kami berharap orang lain pun dapat terbuka dan berbagi ilmu dengan kami, syukur-syukur kalau malah kisah kami sendiri juga dapat memberi manfaat. Sejauh ini, cukup banyak orang yang telah sukarela membagi wawasan dan pengalamannya dengan kami. Ada yang memberi info medis, ada yang menceritakan berbagai pengobatan alternatif, ada pula yang memberikan saran secara spiritual. Alhamdulillah, semoga ketulusan mereka mendapat balasan yang berkali-kali lipat. Lalu di akhir sesi ’bagi-membagi’ ilmu itu, umumnya orang-orang yang baik hati itu menyumbangkan doa bagi kami. Sekali lagi, Alhamdulillah.


Nah, bermula dari ingatan tentang doa-doa itulah saya merasa ingin kembali berbagi di sini. Semua doa yang disedekahkan pada kami adalah doa yang baik (tidak ada yang terang-terangan mendoakan agar kami ditimpa musibah atau jauh dari berkah, misalnya..hehe). Hanya saja, mungkin pengalaman batin yang telah mengajari kami akan banyak hal membuat pandangan kami sedikit berbeda perihal doa pada Allah SWT tentang berketurunan sehingga umumnya doa-doa sumbangan itu kami tambahkan lagi di dalam hati.
Berikut adalah contoh-contoh doa terpopuler untuk kami:
1. ”...semoga cepat punya momongan..”
2. “....semoga cepat dikasih anak....“

Dan beginilah tambahan doa kami dalam hati : “kabulkanlah ya Allah...ya Aliim, jika itulah yang terbaik bagi kami. Sesungguhnya hanya Engkau yang Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi kami, dan Engkaulah yang Maha Mengabulkan doa..”

Apa yang membuat saya merasa wajib menambahkan doa itu tidak datang melalui pemahaman yang instan. Diperlukan bermangkok-mangkok adonan rasa sedih, kesal, bahkan frustasi, lalu tambahkan bergelas-gelas air mata dan beberapa adegan pertengkaran suami-istri selama kurang lebih setahun. Semua effort itu tidak terbuang percuma. Dengan komunikasi-komunikasi eksklusif yang rutin antara saya dan Dzat Yang Maha Agung sebagai pelengkapnya, saya pun menikmati hasil yang luarbiasa : sebuah pemahaman yang mendalam atas keberadaan saya dan suami sebagai sepasang hambaNYA di muka bumi ini. Pemahaman itulah yang kemudian melahirkan bekal untuk sabar dan ikhlas, sikap yang tak pernah kekal dalam tiap diri manusia (namanya juga manusia yang tak sempurna..wong bahkan nabi pun sesekali bisa kehilangan kesabarannya) namun wajib dipelihara.

Sedih, marah, kecewa, adalah perasaan-perasaan yang mungkin muncul secara spontan pada saat pertama kali kita menghadapi atau mengalami kejadian yang ”umumnya dianggap sebuah ketidakberuntungan”. Kenapa saya menyebutnya demikian? Karena pengalaman tersebut adalah pengalaman yang tidak sesuai dengan keinginan manusiawi seseorang. Untuk kasus yang saya alami, misalnya. Jika menuruti pemikiran dan keinginan yang manusiawi, seringkali kondisi saya yang sudah menikah namun belum berketurunan dianggap sebuah ketidakberuntungan (atau mungkin jika saya yang baru 2 tahun menikah belum pantas dijadikan contoh, ingatlah pasangan-pasangan lain yang bisa sampai belasan atau puluhan tahun belum/tidak juga berketurunan).

Namun benarkah begitu? Apakah benar kami, atau mereka, tidak beruntung? Apakah yang terbaik itu adalah jika setiap pasangan berketurunan? Tidakkah ada kebaikan tertentu yang justru lahir dari kondisi seperti kami? Dan jika saya langsung menjawab tidak, bukankah itu menandakan saya tidak beriman kepada Allah? Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Allah yang Maha Tahu apa yang terbaik bagi hamba-hambaNYA. Allah Yang Menguasai alam semesta. Allah yang Maha Besar!

Allah tidak menghadirkan satu pun makhluk ciptaanNYA di dunia ini tanpa maksud. Dan Allah tidak pula menetapkan kehendakNYA atas sesuatu tanpa maksud. Setelah benar-benar memahami (mungkin lebih tepatnya lagi adalah menghayati, karena sebenarnya kalimat itu telah familiar bagi saya sejak dulu dan saya tak pernah merasa tak paham akan artinya, padahal sesungguhnya kalimat itu hanya numpang lewat di telinga saya) hal tersebut, saya pun merasa tak ada alasan untuk merasa sedih, resah dan gelisah atas apapun kehendak Allah pada saya. Saya harus berhenti mengikuti berbagai perasaan atau pemikiran negatif tentang itu. Hanya dua hal yang tidak pernah boleh berhenti : ikhtiar saya dan pencarian atas hikmah itu sendiri.

Saya ingat kisah Siti Aisyah R.A yang hingga akhir hayatnya tidak pernah mengandung dan melahirkan. Apakah beliau berputus asa? Tidak. Apakah beliau dianggap tidak beruntung? Tidak. Apakah beliau tetap dapat bermanfaat sebagai seorang wanita? Jelas, beliau adalah istri Rasulullah yang sangat cerdas dan melalui beliaulah, banyak perilaku Rasulullah sehari-hari (hingga hal-hal terkecil) kemudian dapat diketahui dan diteladani oleh seluruh umat muslim. Apakah beliau tetap dapat berfungsi sesuai kodratnya sebagai ibu? Ya, beliau tetap melakukan pengasuhan dan pendidikan sehingga beliau adalah ibu bagi banyak orang hingga ajal menjemputnya. Kisah Siti Aisyah R.A ini adalah salah satu kisah yang sangat inspiratif bagi saya. Membaca kembali kisah ini, saya merasa seperti diingatkan kembali betapa tidak pantasnya saya merasa frustasi atas kondisi saya, baik itu ketika mengingat saya belum ada apa-apanya (baru juga 2 tahun menikah!) maupun saat membayangkan seandainya saya tidak akan pernah berketurunan hingga akhir hayat. Apapun itu, pasti itulah ketetapan yang terbaik yang dianugerahkan pada saya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Tahu.

Berbagai kisah inspiratif lainnya saya dapatkan dari sumber yang lebih dekat. Salah satunya adalah ketika satu waktu, Ibu saya berkesempatan mengikuti acara yang bernarasumberkan Emha Ainun Najib. Beliau menceritakan pengalamannya ketika istrinya melahirkan seorang anaknya yang langsung meninggal dunia. Betapa tidak beruntungnya, mungkin itulah umumnya reaksi spontan nan manusiawi orang-orang yang mendengar berita itu. Namun ternyata, reaksi yang dituai Cak Nun dari sahabat-sahabatnya (yang sepertinya didominasi kalangan sufi) sama sekali tidak demikian. Yang lucu, mereka malah menyeletuk, ”Janc*k!” (bercanda) sebagai ungkapan RASA IRI. Ternyata mereka langsung ingat bahwa Allah SWT telah menjaminkan surga bagi sang orangtua ketika bayi mereka yang baru dilahirkan langsung berpulang ke rahmatullah. Subhanallah. Nah, contoh yang ini mungkin memang tidak persis cocok dengan keadaan saya sendiri, tapi tetap saja inspiratif : tidak ada satu pun ketetapan Allah terhadap hidup seorang hambaNYA yang tidak membawa kebaikan. Kebaikan di balik sesuatu yang seolah tampak bagi sebagian orang ’tidak menguntungkan’ itu pasti ada, dunia ataupun akhirat.

Semua itulah (pengalaman sendiri dan berbagai kisah orang lain yang inspiratif) yang membangun keyakinan saya hingga detik ini : apapun ketetapan Allah Sang Penguasa Alam Semesta, adalah tugas kita untuk tak pernah lelah mencari hikmah yang terkandung di baliknya. Itulah yang terpenting. Sesungguhnya Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Itulah mengapa dalam urusan berketurunan, saya dan suami terus berikhtiar (kami tetap yakin, pada saat terbaik nanti Allah pasti akan menganugerahi kami keturunan jika itu yang terbaik bagi kami) sambil juga terus mencari tahu hikmah dari setiap langkah perjuangan kami. Itulah mengapa dari hari ke hari, saya semakin semangat (rasanya seperti membuka kado yang tak ada habisnya!). Itulah mengapa saya begitu bahagia saat bersama suami mendiskusikan setiap rencana hidup kami. Entah suatu saat nanti saya akan dipercaya untuk hamil atau tidak, kami berniat tetap akan menjadi sepasang ayah dan bunda....Insya Allah. Dan kepada anak-anak itu, siapapun orangtua kandungnya, kami akan menceritakan kembali kisah hidup dan penemuan-penemuan kami di atas sehingga Insya Allah tumbuh keyakinan atas eksistensi mereka : bahwa tak seorang pun manusia dihadirkan ke dunia ini selain atas kehendakNYA. Kepada anak-anak itu, kami akan saling menyemangati untuk terus menguak rahasia-rahasiaNya yang maha indah dalam hidup kami-masing-masing. Lalu Insya Allah takkan bosan kami berkata pada mereka, ”Anak-anakku, sesungguhnya Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang....”



penuh cinta,
- H e i D Y -

anemia hemolisis vs kemungkinan anovulasi

Tentang anemia hemolisis

Tiga tahun yang lalu, tepatnya menjelang akhir tahun 2006, saya dinyatakan mengidap penyakit autoimmune haemolysis anaemia oleh hematolog (dokter spesialis darah) yang merawat saya di Bandung.

Anemia hemolisis itu bukan penyakit yang tiba-tiba menyerang saya begitu saja, melainkan penyakit bawaan lahir. Dengan kata lain, saat itu sebetulnya saya tidak mengalami sesuatu yang baru atau berbeda. Hanya saja itulah pertama kalinya saya tahu tentang penyakit yang saya idap sejak lahir itu.

Autoimmune haemolysis anaemia secara singkat dapat dijelaskan sebagai suatu kondisi dimana jumlah sel darah merah selalu kurang dari normal karena setiap sel darah merah yang diproduksi dianggap sebagai benda asing dan selalu dihancurkan oleh sistem kekebalan tubuh sendiri (akibat dari sistem kekebalan tubuh yang abnormal).

Jika ditanya tentang gejala, khususnya pada kasus saya, ada kesulitan dalam menjawabnya. Kenapa? Karena sekali lagi, walaupun itu adalah kondisi abnormal, itu adalah kondisi saya sejak lahir. Kalaupun itu adalah abnormal, saya bahkan tidak tahu yang normal itu seperti apa. Sampai tiga tahun yang lalu. Pengetahuan tentang nama penyakit yang saya idap datang diikuti pemahaman lainnya. Misalnya, ternyata anemia itulah dalang dari gejala pusing, ”oyong” (ini bahasa Indonesianya apa ya??), jatuh sampai hampir pingsan (hampir loh yaa...alhamdulillah saya masih diberi gengsi dan kekuatan untuk tidak sampai digotong orang) yang seringkali saya alami selama ini dan ternyata normalnya manusia tidak perlu sakit kepala setiap hari.

Intinya, gejala anemia hemolisis itu sama saja seperti anemia yang sering diderita umumnya orang. Yang berbeda adalah penyebabnya (seperti yang saya sebut di atas) dan penanganannya. Kalau anemia biasa bisa diobati dari luar seperti pil zat besi atau makanan yang mengandung zat besi, tidak demikian dengan anemia hemolisis (karena yang bermasalah adalah sistem kekebalan dari dalam tubuh).


Terapi obat steroid

Ketika hematolog yang menangani kasus saya berhasil mengidentifikasi penyakit ini, tindakan berikutnya yang beliau ambil adalah melakukan terapi obat pada saya. Obat berjenis steroid (Medrol) ini awalnya saya konsumsi 3 kali 4 mg setiap hari. Seiring dengan perkembangan jumlah sel darah merah (Hb) saya, dosis tersebut pun pelan-pelan dikurangi hingga akhirnya pada tujuh bulan yang lalu menjadi hanya 1 kali dalam seminggu.

Kegelisahan saya tentang konsumsi steroid ini mulai muncul sejak pengalaman Mama pada kira-kira tahun lalu. Ini berhubungan dengan penyakit autoimmune jenis lain yang diderita Mama : LUPUS. Ya, oleh beberapa dokter ahli di Indonesia, sejak 7 tahun sebelumnya Mama memang divonis menderita penyakit berbahaya tersebut. Selama 7 tahun itu Mama pun mengonsumsi steroid, yang lama kelamaan malah menimbulkan berbagai efek samping lain pada kesehatannya. Dari situ saya mulai memahami bahwa konsumsi steroid itu tidak baik, tapi saya sendiri belum berani untuk benar-benar melepasnya (ada sebagian pikiran optimis bahwa saya akan bisa sembuh dari anemia hemolisis itu dan benar-benar berhenti mengonsumsi obat itu sesuai izin/petunjuk dokter saya).


Kemungkinan Anovulasi

Soal ini sebetulnya sudah lebih detil saya ceritakan di tulisan-tulisan sebelumnya (seri tulisan ”Pemeriksaan Infertiliti" di blog berdua saya dan suami). Tapi baiklah, bagi yang tidak membacanya...saya ceritakan kembali intinya saja : Setelah lebih dari setahun menikah dan saya belum juga mengalami kehamilan, saya dan suami memeriksakan diri ke dokter. Salah satu hasilnya adalah penemuan atas keabnormalan hormon saya yang diduga memicu kondisi anovulasi (tidak terjadi ovulasi atau ovulasi yang terjadi tidak sempurna atau dengan kata lain : ketidaksuburan).

Sewaktu berkonsultasi mengenai kemungkinan-kemungkinan solusi untuk masalah ini, dokter kandungan saya menanyakan perihal obat ”Medrol” yang saya minum. Waktu saya tanya hubungannya, beliau menjelaskan dengan singkat bahwa ia bisa memberi saya obat penyubur, tapi ada satu masalah : cara kerja obat penyubur itu kontradiktif dengan kerja obat untuk anemia hemolisis yang saya derita.

Penjelasan itu cukup membuat saya shock berkepanjangan. Alasannya:
1. Jika obat yang bekerja untuk ’menyuburkan’ saya bertentangan dengan obat anemia saya, bukankah berarti obat yang saya minum selama ini itulah yang menyebabkan kondisi ketidaksuburan pada saya??
2. Saya seperti disuruh makan buah simalakama : pilih mana, anemia atau tidak subur?
3. Kalau seenaknya memenangkan keinginan yang kuat untuk hamil dan mengabaikan si anemia :
- saya akan mengalami kehamilan beresiko tinggi karna Hb seorang ibu hamil pasti akan turun (nah, kalo gitu gimana dengan nasib saya yang sehari-harinya udah ber-Hb rendah? Hb yang udah rendah itu pasti akan semakin rendah lagi dan akan mengakibatkan gejala yang lebih parah)
- ada kemungkinan besar bahwa bayi yang saya kandung akan berberat lahir rendah dan tidak sehat
- resiko meninggal dunia saat melahirkan cukup tinggi
4. Kalau hanya memikirkan anemia saja dan mengabaikan peluang untuk hamil....itu sih sudah jelas lah yaa : nggak mungkiiiin.....jelas-jelas saya ingin hamil, begitu juga harapan suami dan orang-orang di sekeliling kami.


Jalan Alternatif

Melihat tidak adanya win-win solution dari dokter-dokter saya untuk kedua masalah di atas, (gynekolog maupun hematolog), saya pun mulai mencari ’jalur alternatif’. Sebenarnya saya belum memikirkan ’jalur’ itu secara khusus sejak awal. Waktu itu yang ada dalam pikiran saya hanyalah bahwa ilmu medis / kedokteran barat tidak dapat menyelesaikan masalah saya, yang berarti saya harus mencari cara lain. Tak lama berselang, barulah saya teringat pada sharing salah seorang teman yang menyebutkan tentang pengobatan akupunktur yang dijalaninya.

Itu bukan pertama kalinya saya mendengar tentang akupunktur, karena Mama juga sudah mencoba pengobatan tersebut sejak bertahun-tahun sebelumnya. Namun entah kenapa, saat itulah pertama kalinya saya baru merasakan adanya kepercayaan dan keyakinan (saya memang belum tahu hasil apa yang akan saya peroleh kelak, tapi saya yakin atas ikhtiar saya).

Alasan mengapa saya memilih akupunktur dari sekian metode pengobatan alternatif sebetulnya simpel saja : saya bertekad menyetop segala jenis racun yang masuk ke tubuh saya. Enough. I’m done consuming any medicine. Sementara itu, saya tahu bahwa cara kerja akupunktur bukanlah ’memberi tambahan’ ketika tubuh kita tak bisa memproduksi sesuatu sehingga dalam kondisi ’kekurangan', melainkan dengan cara merangsang / sebagai stimulus agar organ tubuh tersebut dapat bekerja seefektif mungkin. Jadi jika Hb saya naik, itu bukan karena hasil masukan dari luar melainkan karena hasil kerja tubuh saya sendiri yang telah dirangsang untuk kembali normal/bekerja efektif.

Sementara itu, obat yang biasa diberikan oleh dokter dengan segala zat kimia yang terkandung di dalamnya memang dapat menyembuhkan suatu penyakit, tapi pada waktu yang bersamaan dapat meracuni bagian tubuh lainnya dan malah memicu timbulnya penyakit lain. Obat herbal mungkin relatif lebih aman (karena tidak mengandung zat-zat kimia), tapi tetap saja tidak ada jaminan atas ketiadaan efek samping itu.


2nd Opinion

Ada hal yang cukup penting yang belum saya ceritakan tentang pengalaman Mama soal LUPUS-nya itu, yang kemudian mempengaruhi pemikiran dan keputusan saya dalam pengobatan anemia yang saya derita. Setelah bertahun-tahun kami sekeluarga menerima fakta bahwa Mama menderita LUPUS, pada suatu saat kami dikejutkan oleh kenyataan lainnya. Keresahan Mama karena konsumsi obat yang terus menerus dan semakin tinggi dosisnya namun tidak membuat kondisinya lebih baik itu berujung pada tekad untuk mencari 2nd opinion ke luar negeri. Yah..sebetulnya tidak betul-betul pendapat ke-DUA, mengingat sebelumnya Mama sudah berkonsultasi dengan beberapa dokter di INDONESIA (namun semua dokter di tanah air memberi pendapat yang serupa).

Dokter yang dijumpai adalah seorang ahli penyakit LUPUS di Singapore. Lewat cerita Mama belakangan, saya baru tahu bahwa tidak seperti di Indonesia, di sana seorang dokter ahli akan lebih jarang berpraktek. Jadi semakin ahli seorang dokter, akan semakin langka jam prakteknya. Ini dikarenakan dokter tersebut lebih memfokuskan perhatiannya pada riset-riset bidang keahliannya. Bukankah hal itu sangat berbeda dengan kebiasaan di tanah air kita tercitan yang mana semakin hebat seorang dokter, maka akan semakin banyak dan panjang pula jam prakteknya? Nah. Demi meminta pendapat dokter ahli, Mama pun dibantu banyak pihak untuk jauh-jauh mengatur janji dengan sang dokter yang hanya berpraktek 1 x seminggu itu. Lalu sepulangnya dari Singapore, Mama bercerita bahwa tak perlu waktu lama bagi si dokter untuk menyatakan bahwa ternyata Mama sama sekali tidak mengidap LUPUS.

Setelah pengalaman yang menggemparkan itulah Mama dan Papa rajin mendorong saya agar melakukan hal yang sama : meminta 2nd opinion tentang penyakit saya ke dokter di luar negeri.


Yang Direncanakan vs Yang Terwujud

Karena situasi-kondisi dan kesempatan yang ada (cth: jadwal libur Hamdan, kepentingan yang terasa masih harus lebih diutamakan, dsb dsb), kami belum pernah benar-benar merencanakan untuk mencari 2nd opinion ke luar negeri itu sampai suatu hari di bulan Mei 2009, ketika Hamdan diminta perusahaannya tempatnya bekerja untuk pergi mengikuti training di Kuala Lumpur, Malaysia. Keberangkatannya direncanakan 2 bulan kemudian (Juli 2009).

Saat itulah saya merasa itu suatu kesempatan yang harus saya ambil. Meskipun negara itu sebetulnyai bukan negara yang ingin saya kunjungi (karena sebetulnya tujuan yang saya inginkan adalah Singapore dan karena hmm, yah...negara itu adalah M-a-l-a-y-s-i-a), akhirnya saya memilih pergi juga mencari 2nd opinion itu ke sana. Adapun alasannya adalah...
1. Mumpung biaya transportasi yang perlu dipikirkan hanya untuk saya seorang (sementara suami saya dibayari perusahaan),
2. dan mumpung akomodasi gratis (karena menginap di hotel tempat Hamdan training)
3. Karena saya sudah cukup lama menunda-nunda untuk pergi mencari 2nd opinion itu,
4. sementara saya juga semakin dilanda kepenasaran serta rasa bersalah, ragu (ketidakyakinan) dan takut karena telah menghentikan konsumsi Medrol secara sepihak (tanpa seizin para hematolog yang menangani kasus saya).
5. Dan karena untuk melakukan pengobatan terhadap kesuburan saya, tetap dibutuhkan pendapat seorang ahli medis terhadap penyakit anemia saya...tapi saya tidak berani untuk mendatangi kembali dokter-dokter hematolog saya yang sudah lama tidak saya ikuti anjuran resepnya!

Lalu bulan Juli pun datang. Menurut rencana, kami akan berangkat ke Kuala Lumpur dari Jakarta, bersama-sama. Hamdan pun mengundurkan liburnya (tidak mengambil libur sebelum jadwal trainingnya) supaya ia masih bisa bersantai sepulang dari KL nanti.

Namun manusia berencana, Tuhan yang menentukan. Sepuluh hari sebelum jadwal keberangkatan, Hamdan jatuh sakit sampai harus diopname selama seminggu lebih! Tiap hari selama dirawat, perusahaaannya terus menghubunginya untuk menanyakan kondisi. Akhirnya H-4, mereka pun memutuskan untuk membatalkan keikutsertaan suami saya dalam training di KL itu. Saya yang udah terlanjur membeli tiket pesawat pun menghubungi maskapai penerbangan untuk meminta pengunduran keberangkatan ke bulan berikutnya (Agustus 2009).


Pendapat Sang Dokter dari Negri Jiran

Begitu menemui sang hematolog di sebuah rumah sakit di Kuala Lumpur, saya diminta untuk kembali menjalani tes darah dan urin. Mengingat dulu saya sampai menjalani bedah kecil untuk mengambil sample sumsum tulang sebelum divonis menderita anemia hemolisis, saya pun menanyakan apakah saya perlu kembali menjalani pemeriksaan itu (sumsum tulang) juga. Betapa herannya saya waktu sang dokter dengan tegas berkata hal itu sama sekali tidak dibutuhkan.

Dua jam setelah menjalani tes dan istirahat makan siang, saya dan Hamdan kembali untuk berkonsultasi dengan si dokter. Kata-katanya saat menunjukkan hasil tes yang sudah diterimanya adalah, ”I don’t understand why your doctor said that you have autoimmune haemolysis anaemia. Based on this test, you don’t seem to have any autoimmune disease. You have to stop that steroid,”

Dan sambutan singkat itu ternyata cukup untuk membakar akumulasi perasaan gelisah saya selama ini. Saya shock seketika, dan langsung menumpahkan unek-unek saya yang sudah menumpuk tanpa sempat ingat beristighfar (that I took the d*mn medicine for nothing, etc..).

Mungkin karena saking ’tulus’nya saya mengomel-ngomel, si dokter sampai ikut ‘terbawa’. Hanya saja yang saya sayangkan, beliau menunjukkan simpatinya dengan cara yang kurang simpatik. Salah satu kalimat berikutnya yang ia sampaikan pada saya adalah, “yaa…you know-laah, doctors…hematolog...in Indonesia…nobody good..,”

Deg. Kata-kata itu membuat saya tersadar. Tepatnya, alhamdulillah itu membangunkan saya untuk tidak semakin terlarut dalam drama. Saya emang bukan sesama dokter (apalagi dokter spesialis darah), tapi apa dia lupa, saya juga orang Indonesia?? Meskipun bukan kapasitas saya membela kemampuan seorang hematolog dari negri saya (karna saya juga tidak tahu yang sebenarnya)….tapi –please dong- … dia juga tidak berhak kaliii, terang-terangan menghina apapun yang berhubungan dengan tanah air saya di depan muka saya! Apa disangkanya saya berobat kesana sambil kepingin pindah kewarganegaraan?? Dan dalam hal ini harap bedakan kritik dan hinaan, karna saya selalu berusaha menyambut kritik dengan tangan terbuka. Walaupun kedua hal itu agak sulit dibedakan, saya percaya tetap ada satu cara ampuh mengatasinya : ETIKA. Duh Dokter….mbok ya selain sekolah tinggi-tinggi sambil belajar ber-etika juga…

Setelah ‘sadar’, saya berusaha bersikap senetral mungkin. Kembali fokus pada pernyataan dia sendiri (bahwa saya tidak menginap anemia hemolisis, melainkan hanya anemia biasa yang umumnya diderita sebagian perempuan karena periode menstruasinya yang agak lebih berat/lebih lama dan bisa gampang diobati dengan lebih banyak mengonsumsi zat besi), saya menanyakan kembali pendapatnya terhadap fakta-fakta berikut :
- bahwa Hemoglobin saya memang selalu agak jauh di bawah standar sejak saya lahir...bukan sejak saya puber dan mengalami menstruasi
- bahwa sebelum saya bertemu hematologist pertama saya (yang meresepkan medrol), makanan atau suplemen apapun tidak pernah berhasil mengobati anemia saya itu
- bahwa kesehatan saya (sehubungan dengan Hb) terus meningkat selama terapi Medrol itu
- dan bahwa setelah saya berhenti mengonsumsi Medrol, Hb saya kembali turun sampai akhirnya beberapa bulan yang lalu saya memulai pengobatan dengan akupunktur

Sayang, jawaban sang dokter ketika saya mengemukakan hal-hal di atas sangat tidak memuaskan saya. Beliau hanya berkali-kali menegaskan pokoknya-kamu-terbukti-tidak-menderita-autoimun dan bahwa ’anemia biasa’ saya hanya perlu diobati dengan lebih banyak zat besi dan terakhir : akupunktur itu tidak akan memberi pengaruh apapun.

Namun Alhamdulillah, dengan itu Allah sekali lagi menyadarkan saya. Dokter yang satu ini ternyata tidak berpikiran terbuka. Dia memercayai hasil yang ia temukan sendiri (which is good, actually), namun juga sekaligus menolak kemungkinan teori apapun di belakangnya selain dari apa yang dipelajarinya / diketahuinya selama ini (yg ini saya tidak bisa bilang baik atau buruk, tapi yang jelas tidak sejalan dengan prinsip hidup saya).

Untuk sementara, akhir kunjungan ke dokter di Malaysia itu juga mengakhiri bab pencarian saya atas ”Anemia Hemolisis vs Kemungkinan Anovulasi”. Saya pulang dari rumah sakit itu tidak hanya membawa lembaran hasil terbaru atas kondisi hematologi saya, tapi juga bersama ketenangan pikiran dan perasaan. Hasil pemeriksaan hematolog di Malaysia itu mungkin memang benar menyatakan kondisi saya saat ini. Tapi pada saat yang bersamaan, saya juga memilih untuk tidak mengatakan kondisi yang dinyatakan hematolog pertama saya dulu adalah salah. Mungkin saja dokter saya yang dulu benar, dan hasil pemeriksaan dokter yang sekarang pun benar. Mungkin saja semua benar, namun pada saatnya masing-masing, yang berarti kondisi saya dulu dan sekarang sudah berbeda. Bukankah sudah tiga tahun berlalu dan saya sudah menjalani dan melakukan banyak hal?

Saya juga memilih untuk tetap memercayai pengobatan akupunktur yang masih saya jalani sampai saat ini. Hal menguatkan keyakinan saya atas pilihan ini -bahkan meskipun setelah mendengar opini si dokter Malaysia itu- adalah apa yang saya alami beberapa bulan terakhir ini. Saya berhenti mengonsumsi obat apapun (bukan hanya obat kimia, tapi juga terhadap obat herbal) dan tetap mengonsumsi makanan sehat seperti biasanya, dan secara rutin melakukan pengobatan akupunktur. Lalu setiap bulan, saya mengecek perkembangan kondisi saya dengan melakukan tes darah dan alhamdulillah jumlah sel darah merah saya meningkat, perlahan tapi pasti. Maka wajar kan, jika saya menolak untuk setuju bahwa akupunktur sebagai alternatif yang saya pilih itu sama sekali tidak berpengaruh?



Aku bukan seorang dokter, apalagi dokter spesialis. Aku juga bukan tabib atau akupunkturist. Baik hematologi maupun sistem reproduksi sama sekali tidak pernah menjadi bidang kajianku secara khusus, apalagi bidang keahlian. Dan yang jelas, aku manusia...bukan sejenis ensiklopedia ;p

Aku hanya manusia biasa. Dan layaknya manusia, seperti manusia lainnya yang diciptakan Allah SWT dengan berbagai kelebihannya dari makhluk hidup lain, aku diciptakan untuk maksud dan tujuan tertentu...wallahu alam. Seorang Heidy lahir ke dunia ini dengan dibekali rasa ingin tahu yang tak pernah habis, energi dan semangat yang berlebih untuk menaklukkan tantangan apapun, serta gairah yang tak pernah putus untuk berbagi rasa dengan orang lain. Kemudian dalam perjalanan hidupnya, ia dipertemukan dengan keadaan-keadaan atau peristiwa-peristiwa yang mungkin bagi sebagian orang tampak ’betapa tidak menguntungkannya’, padahal yang sesungguhnya adalah sebaliknya. Mengapa? Karena semua keadaan dan peristiwa itu ’tepat berjodoh’ dengan semua bekal yang dianugerahiNYA padaku! Subhanallah. Memahami hal seindah itu, bagaimana mungkin aku masih pantas bersedih? Allah telah menganugerahiku salah satu kebutuhan hakiki seorang hambaNYA: menemukan sebuah arti hidup. Alhamdulillah.

Rabu, 11 November 2009

Tuhan Sembilan Senti (oleh Taufik Ismail)

( Nemu karya luar biasa ciptaan Taufiq Ismail ini di sebuah blog multiply !! )


Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok.

Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara-perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok.

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah…ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok.

Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok.

Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok, tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok.

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita.

Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran, di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok.

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan asap rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok.

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya. Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di kantor atau di stop-an bus, kita ketularan penyakitnya. Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS.

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia, dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu, bisa ketularan kena.

Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok.

Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis, turnamen sepakbola mengemisngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok.

Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil ‘ek-’ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok merokok.

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi orang perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita.

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.

Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.

Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil, sembilan senti panjangnya, putih warnanya, kemana-mana dibawa dengan setia, satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya.

Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang, tampak kebanyakan mereka memegang rokok dengan tangan kanan, cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?

Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.
Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i.
Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok.

Laa taqtuluu anfusakum. Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu, sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.

Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan.

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu ujung rokok mereka.

Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai terbatuk-batuk.

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini, sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok. Korban penyakit rokok lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas.

Lebih gawat ketimbang bencana banjir, gempa bumi dan longsor, cuma setingkat di bawah korban narkoba.

Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita,
jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam kantong baju dan celana, dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna, diiklankan dengan indah dan cerdasnya.

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri, tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini, karena orang akan khusyuk dan fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan api dan sesajen asap tuhan-tuhan ini.

Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.

Selasa, 10 November 2009

Sedikit tentang Flu A H1N1 di Indonesia

Melanjutkan curhat saya di Kisah dari Sebuah Ujian Kenaikan Kelas yang di antaranya melibatkan pengalaman suami menjadi salah satu penderita positif flu A H1N1 di Indonesia, ijinkan saya berbagi sedikit wawasan yang saya peroleh saat itu tentang flu A H1N1 itu sendiri. Mungkin saja saat ini info yang berkembang sudah lebih banyak, namun saya juga merasa mungkin saja tulisan ini masih lebih bermanfaat jika saya publish ketimbang jika teronggok begitu saja dalam harddisk laptop saya.

Apa yang membedakan gejala flu babi dengan gejala flu biasa? Apa yang membuat seseorang diduga terjangkit virus flu A H1N1 itu dan bukan virus flu biasa?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang membuat kami datang jauh-jauh ke rumah sakit yang telah menjadi rumah sakit rujukan untuk setiap kasus flu A H1N1 di Jakarta itu. Saya, juga Mama, berpikir bahwa di sana para petugas yang telah menangani langsung kasus-kasus itu tentu lebih mengerti dan bisa mengetahui dengan cepat dan tepat apakah flu yang diderita suami saya adalah flu biasa atau H1N1. Namun ternyata pemikiran itu salah.
Di spanduk yang dipasang di beberapa bagian rumah sakit itu, saya baru mengetahui bahwa gejala flu H1N1 sama persis dengan flu biasa : demam, nyeri tenggorokan, batuk, pilek, kadang disertai mual dan muntah atau diare. Lalu seseorang bisa dinyatakan sebagai suspect flu A H1N1 jika menderita beberapa dari gejala flu tersebut dan ditambah pernah kontak erat dengan suspect flu tersebut atau baru datang dari daerah infeksius (luar negeri, misal Amerika atau Malaysia)

Proses diagnosa menjadi suspect flu A H1N1
Jadi, dokter yang pertama kali memeriksa Hamdan tidak mendiagnosa bahwa suami saya mungkin terjangkit virus flu A H1N1 setelah meneliti gejala-gejala yang mungkin tidak terlihat oleh kami, melainkan setelah melakukan wawancara dengan kami. Syarat pertama yaitu gejala yang tampak sudah jelas : Hamdan menderita batuk dan nyeri tenggorokan, lalu sudah 4 hari demam. Syarat kedua yaitu histori atau pengalaman kontaknya dengan suspect flu babi itulah yang sempat membingungkan.
Hamdan tidak baru saja datang dari luar negeri. Terakhir kali ia meninggalkan tanah air adalah kira-kira dua tahun yang lalu. Di Balikpapan, ia bertemu dengan banyak orang, dan tak tahu apakah di antaranya ada suspect flu babi atau tidak. Dia hanya tahu bahwa ditemukan kasus di platform lain yang menyebabkan semua pekerja di sana dikarantina, namun pada hari dilangsungkannya pemilu, ada sebagian dari mereka yang datang ke tempat pemilihan. Inilah contoh bahwa dari histori yang sangat meragukan pun ternyata cukup untuk menjadikannya suspect flu A H1N1.

Cara penularan flu A H1N1
Yang menyebabkan penyebaran flu A H1N1 sangat cepat adalah cara penularannya yang sangat mudah, yaitu melalui udara. Layaknya flu biasa, seorang penderita flu A H1N1 bisa menularkan virus flunya ketika ia bernapas ataupun batuk terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya saat itu. Oleh karena itulah, penderita flu sebaiknya memakai masker. Begitu pula sebaiknya orang-orang yang berada di sekitar penderita flu. Selain itu, virus tersebut juga bisa menular melalui benda-benda yang baru disentuh penderita dalam kurun waktu yang dapat ditoleransi si virus untuk bisa hidup yaitu kurang lebih satu jam (jadi kalau si penderita menyentuh meja lalu kita baru menyentuh meja tersebut besoknya ya tidak akan terjadi penularan karna si virus sudah mati).
Namun layaknya flu biasa, secepat dan semudah apapun penularannya...belum tentu semua orang langsung tertular flu begitu ada orang di sekitarnya menderita flu. Bukankah terkadang kita juga bisa merawat anggota keluarga kita yang terkena flu tanpa tertular? Yang mempengaruhi hal tersebut adalah daya tahan tubuh. Orang yang daya tahan tubuhnya lemah akan mudah sekali tertular penyakit, sementara yang lebih kuat akan lebih sulit terserang.
Menurut salah satu dokter ahli di lab penelitian dan pengembangan Depkes, masa inkubasi virus flu A H1N1 adalah 1 hingga 7 hari. Ini berarti gejala flu A H1N1 akan timbul dalam waktu 1 hingga 7 hari setelah seseorang terkontaminasi virus flu tersebut (ada kontak dengan orang yang memiliki gejala flu juga dan ternyata belakangan diketahui positif flu A H1N1), bergantung pada kekuatan daya tahan tubuh orang tersebut. Orang yang daya tahan tubuhnya sangat lemah dapat langsung ikut jatuh sakit sehari kemudian. Namun sebaliknya, orang yang daya tahan tubuhnya sangat kuat bisa saja takkan jatuh sakit. Oleh karena itu jika seseorang yang telah terkontaminasi virus tetap dapat bertahan (tidak sakit) sampai seminggu kemudian, maka dapat dipastikan ia telah berhasil bertahan dari virus yang telah masuk ke dalam tubuhnya dan mencoba menyerangnya.

Tips untuk bertahan saat ada ancaman menyerang
Saat suami dinyatakan positif terkena flu A H1N1, mau tidak mau saya juga mengkhawatirkan diri saya sendiri. Apakah saya juga sudah tertular? Bagaimana kalau saya sakit juga, padahal Hamdan sedang sangat membutuhkan saya?
Berdasarkan penjelasan dokter, saya tahu bahwa saya adalah orang yang saat itu berkemungkinan paling tinggi untuk tertular flu A H1N1 juga, mengingat Hamdan sempat pulang dan tidur sekamar dengan saya sebelum dibawa ke rumah sakit esok harinya. Namun, seperti yang saya sebutkan di atas, masa inkubasi virus tersebut adalah 1-7 hari. Saya jelas sudah terkontaminasi virus, tapi kondisi saya yang masih sehat walafiat tanpa sedikit pun gejala flu menandakan bahwa virus dalam tubuh saya belum berhasil menyerang pertahanan saya. Jika saya tidak mau terserang, maka saya harus terus mempertahankan kondisi siaga saya hingga hari ke-7. Alhamdulillah, dengan segala usaha yang diridhoi Allah SWT, saya berhasil. Berikut inilah yang saya lakukan untuk ’bertahan dlam perang’ itu :
- Berdoa sungguh-sungguh
- Empowering my mind. Saya hanya sempat larut dalam sedih di hari-hari pertama masa karantina Hamdan. Begitu tahu hasil pemeriksaan Hamdan, saya justru segera bangkit. I had no time to feel sad and cry. My top priority was to stay healthy. I had to be strong…for me, for my beloved life partner, and for those who care for us.
- Istirahat yang cukup. Sesibuk-sibuknya saya seharian mengurus keperluan suami yang sedang diopname di rumah sakit yang letaknya ‘ujung ke ujung’ dengan rumah saya, saya harus meluangkan waktu untuk tidur malam yang cukup dan nyenyak (itu berarti harus bebas dari stress sebelum tidur!)
- Minum air putih sebanyak-banyaknya, minimal 8 gelas sehari
- Makan makanan dengan gizi seimbang (karbohidrat, protein, lemak...pokoknya lengkap!)
- disempurnakan dengan susu (boleh susu sapi maupun kedelai), kurang lebih 500ml sehari
- dibantu juga dengan air jeruk nipis (sebagai pembentuk basa, karna tubuh dalam kondisi basa akan lebih susah sakit), jus buah (400-500ml) vitamin C dosis tinggi (1000 mg) dan madu (3 sendok makan) sehari
- olahraga, minimal gerak jalan atau senam kecil di bawah sinar matahari

Sikap media yang berlebihan dan apa yang sebenarnya terjadi
Flu A H1N1 sebetulnya bukan penyakit yang berbahaya. Dari informasi yang gw peroleh belakangan, tingkat kematian yang diakibatkan oleh flu A H1N1 ini bahkan lebih rendah daripada flu biasa. Ya, bukankah flu biasa juga bisa berakibat fatal jika tidak ditangani dengan baik? Kejadian seperti itu dapat ditemukan di negara-negara yang mengalami musim dingin. Lagipula, korban-korban meninggal itu tidak semata hanya sakit flu. Kondisi tubuh mereka telah memburuk akibat penyakit atau hal lain seperti asma, gizi buruk, dan lain sebagaiya, baru kemudian diperparah dengan flu tersebut dan terlambat ditangani. Jadi, jangan sampai tertipu berita-berita oleh media. Memang betul mungkin, misalnya disebutkan di sana: 2 orang meninggal karena flu babi di negara XXX. Tapi tidak disebutkan kan, misalnya, ada 5 orang meninggal karena flu biasa di sana? Inilah yang disebut kebohongan statistik. Bahkan di negara-negara dimana telah sangat banyak terjadi kasus flu ini, para penderita sudah tidak lagi diisolasi dan bisa sembuh dengan sendiri setelah dirawat di rumah saja.
Lalu bagaimana dengan di Indonesia sendiri? Di negara ini, flu A H1N1 ini masih dianggap kasus flu baru. Karena jumlah kasusnya belum sebanyak di negara lain, pemerintah masih berupaya sekuat tenaga untuk menghentikan penyebarannya. Ditambah pula mengingat kasus flu A H5N1 di Indonesia belum benar-benar berhasil diberantas 100%, ada kekhawatiran jika kedua jenis virus bercampur sehingga dapat memunculkan virus lain yang jauh lebih berbahaya.
Jadi dengan kata lain, memang betul apa yang dirasakan Hamdan dan pasien-pasien lainnya. Mereka bukan mengidap penyakit parah, jadi tak merasa sampai perlu diopname. Memang benar! Mereka tidak dirawat disana untuk kepentingan kesehatannya sendiri, melainkan demi kesehatan orang lain atau DEMI KEPENTINGAN ORANG BANYAK. Mereka tidak sedang menyelamatkan dirinya sendiri. Mereka sedang MENYELAMATKAN NEGARAnya. Mereka memenuhi tanggung jawabnya sebagai warga negara, memberikan dukungan pada pemerintah demi kecintaan pada tanah air mereka.
Saya tahu, bahkan pemahaman yang seperti itu tak mampu sepenuhnya mengobati atau menghibur suami saya yang merasa ‘tersiksa’ di ruang isolasi itu. Tapi ya, saya yakin hal itu cukup menggelitik nuraninya. Selama ini kecintaan terhadap tanah air dan rasa nasionalisme begitu mudah kita ucapkan, diteriakkan dengan penuh perasaan yang menggelora. Tapi bagaimana dengan wujud nyatanya? Tidak banyak orang yang bertindak sesuai dengan prinsip yang digembar-gemborkannya itu dengan mudah, dan memang tidak banyak juga orang yang diberi kesempatan untuk itu. Di zaman sekarang ini, tidak diperlukan mengangkat senjata bambu runcing untuk melawan penjajah. Kebetulan sedang tidak ada kesempatan menunjukkan kecintaan kita pada ibu pertiwi dengan cara seperti itu. Sekarang ini, mungkin malah hal-hal yang seolah remeh yang menjadi jalannya. Cukup dengan membayar pajak, misalnya. Atau dengan sukarela menyerahkan diri untuk diisolasi ketika diduga mengidap suatu penyakit baru yang bisa menjadi wabah. Tindakan yang sepertinya KECIL, dan mungkin TIDAK ENAK serta TIDAK MENARIK PERHATIAN memang, tapi inilah merupakan wujud nyata jihad yang sesungguhnya. Bukan tindakan bombastis dan sok heroik seperti mengebom warga negara asing yang jelas-jelas malah merupakan pengkhianatan terhadap bangsa dan tanah air.


Ditulis dengan rasa kagum dan bangga pada para penderita flu A H1N1 yang rela berkorban dikarantina demi banyak orang lainnya (saya sendiri tak yakin bisa demikian)....terimakasih, semoga Tuhan membalasnya berkali-kali lipat. Amiiin.

- H e i D Y -

Selasa, 29 September 2009

pandangan pribadi tentang BERJILBAB

Bismillaahir rahhmaanir rahiim...
Semoga Allah SWT melindungi saya dari penyampaian kata-kata yang tidak berguna atau bahkan berakibat buruk bagi saya sendiri maupun orang lain, Amiin..


Pandangan Keluarga Saya tentang Jilbab & Menutup Aurat

Topik tentang menutup aurat dan berjilbab bukan baru-baru ini saja saya ikuti atau bicarakan dengan orang lain. Pertama kali saya memikirkannya adalah ketika saya belum lama mengecap bangku kuliah. Entah bagaimana awalnya yang kemudian membuat saya melahap berbagai buku agama yang mengulas topik tersebut, hingga akhirnya saya berkeinginan kuat untuk memakai jilbab. Lalu saya menyampaikan niat itu pada orangtua dan meminta izin mereka. Reaksi mereka membuat saya terkejut, dan setelahnya siapapun teman yang saya ceritakan perihal itu pasti merasa heran.

Orangtua saya adalah muslim yang taat, selalu berpegang pada ajaran Islam dan berupaya menerapkannya dalam berbagai urusan kehidupan sehari-hari. Mereka juga orang-orang berpendidikan yang tak pernah mengenal kata lelah untuk mempelajari apapun, termasuk untuk persoalan agama. Itulah mengapa awalnya saya justru terkejut ketika mereka tidak mengizinkan saya mengenakan jilbab.

Itu awalnya. Tak perlu waktu lama bagi saya untuk sembuh dari keterkejutan itu sekaligus menerima keberatan orangtua saya atas keinginan saya mengenakan jilbab. Justru setelah itu saya merasa sangat bersyukur karena Allah SWT telah menjadikan saya sebagai puteri dari pasangan orangtua yang luarbiasa.

Ketika saya mengutarakan niat saya untuk mengenakan jilbab itu, orangtua langsung memberondong saya dengan berbagai pertanyaan tentang apa yang mendasari niat saya itu. Saya yang waktu itu merasa telah melahap banyak buku perihal itu langsung dengan bangga memaparkannya. Namun apa yang terjadi? Ketika setiap alasan saya dipertanyakan lebih lanjut, saya bingung. Banyak pula ’soal’ dari mereka yang tidak mampu saya jawab. Saat itulah saya tahu bahwa ternyata pengetahuan dan cara berpikir yang saya miliki saat itu masih belum ada apa-apanya dibandingkan wawasan dan kebijaksanaan orangtua saya. Hanya kesombongan sayalah yang membuat saya berpikir saya telah cukup berwawasan.

Sesungguhnya orangtua saya tidak pernah melarang saya mengenakan jilbab. Hanya saja, mereka mewanti-wanti saya untuk tidak memutuskan melakukan sesuatu yang tidak didasari pemikiran yang kuat karena menurut mereka, suatu keputusan yang dibuat dengan demikian dapat mengakibatkan hal yang tidak baik di masa yang akan datang (intinya menurut mereka, saat itu saya masih jauh dari siap ;p)

Tapi itu khusus mengenai ”jilbab”, yang pengertiannya seperti tertulis dalam KBBI adalah ”kerudung lebar yang dipakai waita muslim untuk menutupi kepala dan leher sampai dada”. Sementara tentang ”menutup aurat” sendiri, tentu saja orangtua saya tak pernah melarangnya. Justru sebaliknya sejak beranjak remaja, saya sudah dididik untuk tidak mengumbar aurat wanita. Dan jika ada seseorang bertanya apakah orangtua saya termasuk muslim yang menganut pemikiran tentang tidak wajibnya menutup aurat, saya membantahnya. Seperti kata ahli tafsir M. Quraish Shihab : ”Tidak seorang pun ulama yang tidak mewajibkan untuk menutupi aurat wanita. Hanya saja, ulama berbeda pendapat tentang batas aurat.” Begitulah. Orang tua saya adalah muslim yang taat dan selalu berupaya keras mendidik kami anak-anak perempuannya (saya dan salah satu adik saya yang juga perempuan) untuk menjadi muslimah yang selalu menjaga kehormatan diri.

Lalu apakah itu berarti kami sekeluarga mengikuti pendapat ulama yang tidak menetapkan kepala wanita sebagai bagian dari aurat sehingga tidak mewajibkan para wanita untuk menutupi kepala mereka dengan jilbab? Jawabannya adalah YA. Pendapat kami ini sesungguhnya didasarkan pada pelajaran-pelajaran agama yang kami peroleh dari berbagai sumber. Salah satunya yang akan saya sebut-sebut di sini adalah ahli tafsir yang telah dikenal di negeri ini, yaitu M Quraish Shihab. Sebagian besar dari tulisan di bawah ini pun saya kutip dari bukunya ”M Quraish Shihab menjawab.... 1001 Persoalan Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Penerbit Lentera Hati, 2008)”, yang mana di dalamnya ia pun berpesan bahwa apa yang dikemukakannya kiranya jangan dipahami sebagai hasil ijtihad penulis pribadi (kalaupun ada, sangat terbatas). Peranan beliau dalam buku tersebut lebih banyak dalam bentuk menata atau bahkan menghidangkan kembali apa yang terserak dalam sekian banyak kitab karya para ulama terdahulu dan/atau kontemporer yang beliau nilai wajar untuk dikemukakan dan dipilih dan dianut oleh pembaca.


Keputusan Berdasarkan Pemahaman yang Jelas Atas Ayat Al Qur’an?

Sebelum membahas lebih lanjut tentang perbedaan pendapat para ulama tentang batas aurat wanita itu, mungkin ada baiknya jika saya menyampaikan sekaligus menceritakan kembali jawaban saya terhadap apa yang sering diutarakan teman-teman saya sesama perempuan : ”bukankah sudah jelas yang dituliskan dalam Al Qur’an mengenai perintah menutup aurat”.

Saya tidak dapat berkeputusan hanya dengan berbekal membaca dan menafsirkan ayat Al Qur’an dengan kemampuan saya sendiri. Seperti yang disebutkan Pak Quraish, setiap disiplin ilmu mensyaratkan adanyanya kemampuan tertentu untuk menanganinya, begitu pula dengan tafsir Al Qur’an. Jika saya tidak memenuhi syarat itu (pengetahuan tentang bahasa Al Qur’an, kaidah-kaidah agama, metodologi penafsiran, pengetahuan tentang materi yang dibicarakan Al Qur’an), maka saya dapat terancam sabda Nabi : ”Barang siapa menafsirkan Al-Qur’an dengan nalarnya (tanpa memenuhi syarat) maka dia boleh mengambil tempatnya di neraka”. Lebih lagi dalam mempelajari Al Qur’an yang diturunkan berabad-abad yang lalu kepada bangsa (Arab) yang berbeda ciri, adat, karakter dan kebiasaannya dengan kita, sudah seharusnya kita juga mempelajari tentang budaya yang berkembang dan berbeda dengan masa itu. Adalah penting bagi kita saat membaca ayat suci Al Qur’an, kita benar-benar membacanya dalam arti mendalami dan mengerti konteks, bukan sekedar membaca teksnya.

Oleh karena itulah, saya tidak bisa berkata bahwa hanya dengan membaca (terjemahan) ayat Al-Quran saja saya sudah memahami perintah yang jelas tentang menutup aurat itu, apalagi sampai langsung dapat menentukan sikap dengan cepat. Saya yang tidak bisa berbahasa arab, saya yang tidak pernah mengambil pendidikan tinggi jurusan agama, saya yang masih berwawasan sangat terbatas ini perlu waktu yang lama untuk mengumpulkan pelajaran dari berbagai sumber untuk kemudian mendalaminya, menghayatinya sendiri dan mengamalkan apa yang ditunjukkanNYA sesuai untuk saya. Insya Allah.


Perbedaan Pendapat Para Ulama Tentang Batas Aurat (dari M. Quraish Shihab Menjawab, 2008, Penerbit Lentera Hati )

Ayat Al Qur’an An Nur : 31 memberi petunjuk kepada muslimah agar menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka serta tidak menampakkan hiasannya kecuali pada suami dan orang-orang yang dekat hubungan darahnya sehingga tidak akan timbul berahi terhadap mereka. Hiasan wanita itu dapat berupa bagian dari tubuhnya, juga perhiasan yang digunakan pada tubuhnya. Larangan menampakkan hiasan itu dikecualikan dengan teks ”....kecuali apa yang tampak darinya”. Kalimat pengecualian inilah yang dibahas panjang lebar sekaligus merupakan kunci pemahaman ayat tersebut.

Pakar tafsir Ibnu ’Athiyah menulis tentang tafsir ayat An Nur tersebut sebagai berikut : ” ....wanita amat diperintahkan untuk berupaya keras menutup segala sesuatu yang merupakan hiasan ereka dan pengecualian itu kelihatannya hanya berkaitan dengan sesuatu yang bersifat kebutuhan mendesak dalam rangka mempermudah gerak dan perbaikan keadaan (suasana bekerja), dan sebagainya.

Kemudian Al-Qurthuubii, pakar Al Qur’an dan dan hukum berkomentar ”Pendapat Ibnu ’Athiyah baik, hanya saja karena wajah dan kedua telapak tangan sering (biasa) tampak, baik sehari-hari maupun dalam ibadah shalat dan haji, maka sebaiknya ’kecuali yang tampak darinya’ itu dipahami sebagai kecuali waah dan kedua telapak tangan yang biasa tampak itu.” Demikian terlihat beliau mengembalikan pengecualian tersebut pada kebiasaan yang berlaku.

Dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya susunan Tim DepAg, pengecualian itu diterjemahkan sebagai ’kecuali yang (biasa) tampak darinya’. Mayoritas ulama tafsir memahami ’kebiasaan’ yang dimaksud adalah kebiasaan pada masa turunnya Al-Qur’an, namun ada juga ulama kontemporer yang mengaitkan kebiasaan itu dengan keadaan tiap masyarakat dengan memperhatikan tujuan dari ditetapkannya petunjuk Al-Qur’an tentang cara berpakaian itu.

Muhammad Thaahir bin ’Aasyuur menulis dalam bukunya Maqaashid asy-Syarii’ah, ”Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh –dalam kedudukannya sebgai adat- untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu.” Lalu beliau memberi beberapa contoh dari Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Ayat Al Ahzaab : 59 yang memerintahkan mukminat untuk mengulurkan jilbabnya adalah ajaran agama yang mempertimbangkan adat orang-orang Arab sehingga ketentuan agama ini tidak memberikan bagian (tidak berlaku) bagi bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab. Dalam kitab tafsirnya, Ibnu ’Aasyuur menulis bahwa cara memakai jilbab berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan wanita dan adat mereka. Akan tetapi, tujuan perintah ini adalah seperti bunyi ayat tersebut : ”...agar mereka dapat dikenal (sebagai muslimah atau wanita yang baik) sehingga tidak diganggu.”

Demikianlah. Sejak ratusan tahun lalu hingga masa kini, para ulama berbeda pendapat tentang batas aurat wanita. Ada yang berupa riwayat, ada yang berdasarkan logika atau kesan yang diperoleh dari ayat (teks), ada pula yang berdasarkan kebiasaan masanya atau pada masa Nabi SAW. Maka, tidak keliru jika kita memiliki pendapat / anutan masing-masing terhadapnya. Memang kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangannnya berarrti menjalankan bunyi teks ayat Al Qur’an tersebut, bahkan mungkin berlebih. Namun pada saat yang sama ita juga tidak boleh berkata bahwa yang memperlihatkan kepala dan setengah lengannya secara pasti telah melanggar pertunjuk agama. Wallaahu a’lam.


Maka, Mengapa Saya Memilih Tidak Berjilbab Selama Ini

Setelah mengetahui dan mengerti lebih jauh atas penafsiran ayat Al-Qur’an tentang perintah menutup aurat tersebut, maka saya, sebagai seorang wanita muslim yang tidak berkebangsaan Arab, tidak tinggal di daerah tersebut, juga dengan memperhatikan keadaan diri sendiri dan lingkungan sekitar saya, memilih melakukan hal terbaik yang saya yakini paling sesuai bagi diri saya : mengecualikan kepala dan setengah lengan ke bawah sebagai aurat yang harus ditutupi.

Alasan dari pilihan ini tentu saja mengacu pada keyakinan bahwa kepala dan setengah lengan ke bawah bukan aurat wanita yang wajib ditutupi dalam kehidupan saya sehari-hari. Karena yakin itu tidak diwajibkan, maka saya tidak melihat keharusan untuk melakukannya. Dan selain keharusan, saya tidak menemukan alasan lain mengapa saya perlu melakukannya.

Sebaliknya, saya malah menemukan alasan mengapa sebaiknya saya menghindari berjilbab. Saya tinggal di negara yang dihuni beraneka pemeluk agama. Jilbab di negeri ini bukan sebuah keharusan seperti jika tinggal di negeri Arab yang panas, berpasir, dan kaum lelakinya memiliki pandangan yang berbeda terhadap batas aurat wanita (saya takut salah memilih kata-kata untuk memperjelasnya, jadi emoga Anda mengerti maksud saya di sini). Jika hampir semua wanita Arab berjilbab (tepatnya menutupi seluruh tubuhnya hingga menyisakan wajah atau bahkan kedua matanya saja yang terlihat), maka wanita berjilbab di negri ini langsung dikenali berbeda dari banyak wanita lainnya yang tidak berjilbab : ia adalah seorang wanita muslim.

Seorang muslim adalah seseorang yang menganut agama Islam, dan orang yang menganut agama Islam adalah orang yang meyakini ajaran agama Islam dan mengamalkan ajaran tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. Saya tidak mengatakan bahwa wanita yang tidak berjilbab bukan muslim. Yang saya katakan, sekali lagi, adalah bahwa wanita berjilbab dapat dengan jelas dikenali sebagai muslimah, baik oleh muslim yang lain maupun oleh pemeluk agama lainnya. Dan saat itulah, perilakunya sehari-hari yang terlihat dapat dengan mudah dikaitkan dengan ajaran agama Islam.

Itulah mengapa selain karena bukan kewajiban, saya enggan mengenakan jilbab selama ini. Di negeri tercinta yang mengakui banyak agama selain Islam ini, tingkah laku saya tidak hanya dilihat oleh saudara-saudara sesama muslim, melainkan juga sahabat-sahabat pemeluk agama lainnya. Dengan mengenakan jilbab yang berarti memperjelas identitas saya sebagai muslim (bahkan mungkin ada yang menganggapnya identik sebagai muslim yang sangat taat), berarti bagaimana pun perilaku saya akan dikaitkan dengan nilai-nilai ajaran agama Islam yang saya anut. Saat menyadari itulah, saya merasa malu. Masih tak terhitung perilaku saya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Contoh yang paling saya sadari (sejak dulu) adalah dalam hal adab berbicara dan mengendalikan emosi. Saya malu, kedapatan sulit mengendalikan amarah atau bersikap kasar di depan umum sementara saya dengan jelas dikenali sebagai seorang muslimah. Apa jadinya jika seorang non muslim yang melihat perilaku saya itu kemudian langsung memahami bahwa Islam memperbolehkan sikap kasar dan tidak mengajarkan adab berperilaku?

Ini adalah murni pendapat saya. Memang, seringkali ketika membahas persoalan ini dengan teman-teman saya sesama muslim terutama wanita berjilbab, saya menemukan begitu banyak perbedaan pendapat. Di antaranya banyak yang berkata bahwa anggapan di atas itu hanya berdasar pada imajinasi atau perasaan saya yang terlalu sensitif dan bahwa beban seorang pemakai jilbab sebenarnya tidak seberat itu. Baiklah, tidak apa, saya menerima pendapat itu. Bukankah berbeda pendapat itu indah dan tidak dilarang? Namun, saya tetap meyakini pendapat saya sendiri.

Jujur saja, saya tidak bisa menghilangkan rasa malu itu ketika misalnya, melihat seorang wanita berjilbab yang perilakunya bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam, mulai dari pelanggaran besar hingga yang kecil-kecil. Mulai dari muslimah yang melakukan kejahatan korupsi hingga yang tidak peduli pada makanan yang selalu banyak bersisa di piringnya. Memangnya Islam mengajarkan perilaku yang seperti itu? Dan saya semakin yakin bahwa perasaan malu yang demikian tidak salah, ketika Allah seringkali membuat telinga saya mendengar sekelebat ucapan kesal orang lain seperti “...pake jilbab tapi kelakuaaannyaa...”.

Saya tidak bisa menyalahkan orang yang berpendapat lain, yang mungkin merasa bahwa saya berlebihan dalam memandang penggunaan jilbab terutama di negri ini. Mereka (atau mungkin juga termasuk Anda) mungkin memiliki keyakinannya sendiri. Sebisa mungkin InsyaAllah saya berusaha menahan lidah ini untuk mengucapkan komentar yang tak perlu, namun semoga Allah mengampuni saya yang terkadang tidak dapat menahan rasa malu dan geram yang tebersit dalam hati ini ketika melihat saudara sesama muslim yang berjilbab namun perilakunya tak mencerminkan nilai-nilai Islam itu. Demikianlah, beratnya perasaan itulah yang menjadi alasan mengapa saya enggan berjilbab selama ini (selain karena yakin bahwa hal itu tidak diwajibkan).


Dan Alasan Saya Ketika Akhirnya Kini Memutuskan Untuk Mengenakan Jilbab...

Wawasan dan pengetahuan terbatas yang saya kemukakan di atas tentu tidak saya abaikan hingga saat ini, setelah saya memutuskan untuk mengenakan jilbab di luar rumah. Saya mengetahui adanya perbedaan pendapat para ulama dalam menentukan batas aurat, dan saya setuju dengan apa yang disampaikan Pak Quraish, ustadz keluarga, juga orang tua saya bahwa kita tidak boleh berkata bahwa yang tidak memakai kerudung secara pasti telah melanggar petunjuk agama. Saya menghormati orang-orang lain yang menutup auratnya menurut batas-batas minimal yang ia dan juga saya tetap percayai sampai sat ini (tidak menutup rambut dan setengah lengan ke bawah) dan Insya Allah sampai kapan pun, meskipun saya sendiri mengenakan jilbab, saya tidak akan menyuruh muslimah lain untuk mengenakannya juga. Itu di luar hak dan kompetensi saya dan semoga Allah senantiasa melindungi saya dari perbuatan yang menzhalimi orang lain, Amiin..

Bagaimana dengan pandangan saya pribadi? Jika ada yang bertanya apakah saya sudah berpindah ’imam’ dengan mengikuti pendapat ulama lain yang menyatakan bahwa batas aurat wanita yang boleh terlihat hanyalah wajah dan kedua telapak tangannya, maka jawabannya adalah TIDAK. Saya tetap percaya dan berpendapat bahwa saya yang dulu, adik perempuan saya pada saat ini, juga teman-teman perempuan saya yang senantiasa berpakaian sopan walaupun tidak berjilbab adalah orang-orang yang telah menutup auratnya. Selama kami masih berpijak di atas tanah air yang terdiri atas beraneka pemeluk agama (bukan hanya Muslim) dan tidak sedang berada di negeri lain yang mayoritas penduduk lelakinya memiliki karakter dan pandangan yang berbeda tentang aurat wanita, maka ketahuilah bahwa sehari-harinya kami tidak mengumbar aurat yang dapat mengundang berahi lelaki.

Lalu mengapa saya memakai jilbab? Mungkin ini tidak lazim, tetapi jawaban saya atas pertanyaan ini masih terkait dengan pandangan dan pelajaran-pelajaran yang saya peroleh di atas. Singkatnya, saya tidak merasa HARUS berjilbab, melainkan saya BUTUH untuk memakai jilbab.

Panjang lebarnya, begini.

Seperti yang sudah saya utarakan dalam sub judul ” Maka, Mengapa Saya Memilih Tidak Berjilbab Selama Ini”, saya meyakini pendapat bahwa mengenakan jilbab di negeri yang tidak 100% penduduknya memeluk agama Islam ini berarti lebih dari sekedar menutup aurat. Seorang wanita berjilbab di negeri ini akan langsung dengan jelas dikenali sebagai wanita muslim (bahkan terkadang dianggap muslim yang taat) dan perilakunya yang terlihat akan erat terkait dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dan sampai sebelum saya akhirnya memutuskan untuk berjilbab, selain –sekali lagi- karena yakin hal itu tidak wajib, saya juga merasa takut untuk mengenakannya. Saya yang masih hampir tidak ber-adab dalam berbicara dengan orang lain, saya yang sering tidak dapat mengendalikan emosi, saya yang masih jauh dari baik dalam hidup berkeluarga dan bermasyarakat, saya yang masih jauh dari perilaku sehari-hari yang diajarkan dalam Islam dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW, merasa malu dan tidak pantas memperlihatkan ciri jelas bahwa saya penganut agama Islam dengan terang-terangan ketika perilaku saya sehari-hari itu masih jauh dari ajaran Islam.

Kemudian, Ramadhan 1430 H datang. Saya menyadari pertemuan kembali saya dengan bulan penuh berkah dan ampunan ini sebagai kesempatan dari Allah SWT untuk saya menyucikan diri, me’reset’ kehidupan saya yang makin jauh dari kedamaian karena makin seringnya saya terlupa akan kebesaranNYA dan bahwa Islam adalah sebaik-baiknya pegangan hidup. Ujian juga tidak absen dalam kehidupan saya selama hari-hari Ramadhan. Namun berbeda dengan bulan-bulan sebelumnya, alhamdulillah dengan izin Allah saya dapat melaluinya dengan ’kembali’ padaNYA. Seiring dengan sisa Ramadhan, saya semakin berusaha mendekatkan diri denganNYA melalui berbagai cara yang kemudian kembali menyadarkan saya bahwa tidak satu pun urusan / masalah di dunia ini yang tak dapat dilalui jika kita ingat untuk kembali pada Allah SWT. Dengan mengingat kembali tujuan saya dihadirkan olehNYA di dunia, mengingat kembali bahwa sebaik-baiknya hal (apapun) yang saya lakukan di dunia adalah ibadah padaNYA, dan mengingat kembali bahwa tiada hal (apapun) yang boleh saya cintai melebihi cinta saya padaNYA, hidup saya pun terasa lebih mudah dan indah. Hidup yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang diajarkan Rasulullah SAW itulah yang saya rindukan selama ini.

Dan saat Ramadhan nyaris berakhir, saya menangis. Bagi saya, Ramadhan kali ini telah menjadi sarana yang dianugerahkan Allah SWT untuk saya kembali padaNYA dan senantiasa mengingatNYA dalam kehidupan saya sepanjang hari. Saya ingat bahwa nikmat ini pun pernah saya peroleh dari Ramadhan-Ramadhan sebelumnya. Namun seiring dengan berlalunya Ramadhan, seringkali saya mudah terlupa/lalai hingga akhirnya tersadar ketika sudah langkah saya sudah jauh menyimpang. Begitu pula keadaan saya sebelum Ramadhan tahun ini datang. Saya kembali tersadar saat saya sudah jatuh terpuruk dan nyaris merasa tak berdaya untuk bangun dan memperbaiki semuanya. Saat mengingat itu di hari terakhir Ramadhan kemarin, saya merasa takut. Saya takut ketika Ramadhan ini telah berakhir, saya akan kembali terlupa dan akhirnya jatuh ke titik itu lagi.

Saya takut dengan perginya Ramadhan, maka pergi pulalah alat/jalan/sarana saya untuk selalu mengingatNYA, untuk selalu mengingat ajaranNYA, untuk selalu mengingat bahwa Islam adalah pedoman hidup saya. Sempat ada pikiran ’bersabarlah dan bertahanlah hingga Ramadhan berikutnya tiba”, tapi kemudian langsung terbantahkan dengan suara hati, ”bagaimana kalau hidup saya tidak mencapai Ramadhan berikutnya????” Saya tidak mau jika ternyata sebelum bertemu Ramadhan berikutnya, ajal saya tiba dan pada saat itu saya sedang dalam keadaan terpuruk seperti keadaan saya sebelum Ramadhan kemarin.

Saya benar-benar membutuhkan sarana itu. Sekarang, besok, hingga selamanya.. Padahal jelas tak mungkin mengharapkan Ramadhan sepanjang tahun. Maka akhirnya, pada hari terakhir Ramadhan, dengan meminta petunjuk dan ridhoNYA, saya memutuskan untuk menggunakan jilbab sebagai sarana itu mulai keesokan harinya (1 Syawal).

Mengapa jilbab yang saya jadikan sarana itu?
Saya bukan tiba-tiba saja terpikir mengenakan jilbab di hari terakhir Ramadhan itu. Jauh-jauh hari sebelumnya, entah mengapa saya sering memikirkannya. Bukan khusus memikirkan untuk mengenakannya, tapi memikirkannya secara luas. Sebagian besar di antaranya justru mengacu pada pemikiran yang saya tulis dalam sub judul sebelumnya di atas (”Maka, Mengapa Saya Memilih Tidak Berjilbab Selama Ini”). Saya sadar betul bahwa selama ini saya malu untuk berjilbab, dan apa yang menyebabkan perasaan malu itu : perilaku saya yang masih belum mencerminkan ajaran Islam.

Dan kemudian saya tersadar. Jika anggapan saya pribadi begitu berat/dalam terhadap penggunaan jilbab itu, maka bukankah kini ketika saya mencari alat pengontrol diri itu, ketika saya mencari jalan memperpanjang Ramadhan yang begitu saya agungkan itu, dan ketika saya mencari sarana untuk saya terus kembali mengingat Allah SWT dan nilai-nilai Islam yang diajarkan Rasulullah SAW itu, saya telah menemukannya?
Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, selama ini saya takut mengenakan jilbab karena itu akan memperjelas identitas saya sebagai seorang muslim sementara saya sadar betul bahwa perilaku saya masih jauh dari pencerminannya. Pemikiran saya itu sampai sekarang tidak berubah. Yang berubah adalah bagaimana saya masih menyikapinya.

Saat ini saya mengenakan jilbab bukan karena saya merasa sudah menjadi pengikut Rasulullah SAW yang sudah sempurna menjalankan semua ajarannya atau karena sudah tidak takut akan kesaksian masyarakat terhadap perilaku saya yang ’mengikrarkan diri’ sebagai seorang muslim. Saya masih takut, dan semoga akan seterusnya demikian, namun justru karena perasaan itulah saya memanfaatkannya. Ya, saya memanfaatkan anggapan saya pribadi yang cukup ’berat’ dalam penggunaan jilbab itu.

Maka jika ada yang bertanya mengapa saya memakai jilbab, saya menjawabnya: Saya berjilbab untuk memperjelas identitas saya sebagai seorang wanita muslim, yang insyaAllah akan saya jadikan sebagai alat pengontrol diri (yang berarti juga memanfaatkan masyarakat dan lingkungan sekitar saya sebagai kontrol sosial), sebagai jalan memperpanjang Ramadhan yang begitu saya agungkan, dan sebagai sarana untuk saya terus kembali mengingat Allah SWT dan nilai-nilai Islam yang diajarkan Rasulullah SAW.

Dan karena alasan tersebut yang saya niatkan sepenuh hati itulah, saya merasa perlu menyatakan bahwa saya berjilbab bukan karena meyakini kewajiban menutup aurat dengan berjilbab (saya sudah menutup aurat dengan baik jauh sebelum menggunakan jilbab) dan bahwa saya memandang penggunaan jilbab itu adalah pilihan yang tidak menjadikan pilihan mana pun lebih baik atau lebih buruk. Saya memilih berjilbab karena insyaAllah dengan petunjuk dan ridhoNya yang demikian itu lebih sesuai bagi saya (dengan alasan di atas) dan saya sadar betul bahwa setiap orang memiliki kesesuaiannya masing-masing.


Demikian sharing saya, semoga tiada hal selain kebaikan yang terdapat di dalamnya. Jika ada kebaikan, maka kebaikan itu datang dari Allah SWT. Namun jika terdapat suatu keburukan, hal itu datangnya murni dari saya pribadi sehingga mohon kiranya Anda menyumbangkan saran / kritik yang membangun serta membukakan pintu maaf bagi saya selebar-lebarnya. Semoga Allah SWT menurunkan berkahnya atas kita. Amiin.



Wassalam,
Heidy Kaeni

Senin, 01 Juni 2009

tentang MEROKOK

Sebetulnya sudah lama saya mau menulis topik ini, tapi batal selalu dengan macam-macam alasan : dari mulai sibuk, lupa, mementingkan yang lain, sampai karna di negara ini, ini adalah topik sensitif.

Sekarang saya bertekad menulisnya, didukung dengan perayaan hari tanpa tembakau sedunia yang ternyata –saya baru sadar– jatuh tepat sehari setelah hari ulang tahun saya. WOW. Maka sebelum terlalu basi, saya berniat mendedikasikan sebagian waktu saya hari ini untuk berkontribusi melalui kemampuan terbaik saya : menulis.


Saya tidak dan tidak pernah merokok, juga semoga tidak akan pernah. Tapi sejujurnya, pernah terpikir untuk mencobanya karena penasaran. Seperti apa sih, rasanya? Kenapa begitu banyak orang menggandrunginya? Lalu pernah juga terlintas dalam benak saya : sepertinya saya akan tampak keren kalau jari-jari saya mengapit batang beracun itu dan menghisapnya dengan nikmat.

Alasan kenapa saya akhirnya tidak pernah benar-benar merokok mungkin erat hubungannya dengan lingkungan keluarga kecil yang membesarkan saya. Papa dan Mama saya sangat anti terhadap rokok. Dan setahu saya, Papa juga tidak pernah merokok. Beliau mengaku pernah mencobanya dulu sekali dan langsung tak habis pikir kenapa banyak orang yang menyukainya. ”Buat apa? Nggak enak kok,” katanya singkat. Begitu mendengar cerita itu, langsung pupus niat saya untuk mencoba. Saya meneladan sikap Papa yang rasional. Lalu, Ibu saya seorang dokter. Begitu mudah bagi saya untuk mengakses informasi tentang betapa bahaya dan merugikannya sebuah rokok. Entah berapa kali sudah kami mengangkat topik rokok saat makan bersama. Nafsu saya untuk terlihat keren dengan menggunakan rokok pun kalah telak.

Dari Mama, saya juga tahu bahwa salah satu bahaya yang sangat serius dari rokok adalah ancaman bahaya bagi para perokok pasif. Bukan hanya sekedar info yang saya dapat sejak remaja dulu, tapi bahkan contoh nyata : salah satu sahabat Mama meninggal karena kebiasaan suaminya yang perokok berat. Sungguh mengenaskan. Maka saya pun semakin berusaha keras untuk menghindari orang yang sedang merokok di sekitar saya. Itu pulalah yang menjadi syarat pertama ketika saya memilih calon suami dulu : dia bukan perokok (tapi ini cerita lain).

Namun sudah menjadi rahasia umum sepertinya, bahwa rokok adalah topik yang sensitif. Menegur atau melarang orang merokok di negeri ini mungkin bisa masuk dalam daftar ’hal paling sulit yang dilakukan orang pada umumnya’. Lha, wong para pejabat negara aja takut kok untuk mengesahkan undang-undang anti rokok...ups, bukan, bahkan bukan mengesahkan. Untuk membahasnya saja mereka tidak berani. Alasan yang paling sering didengar adalah betapa itu adalah salah satu generator terbesar devisa negara. Oh, saya tidak menyangka bahwa manusia-manusia negeri ini begitu bodoh, penakut dan tidak kreatif sehingga tidak bisa memikirkan alternatif solusinya. Lalu dari pengalaman nyata Mama saya yang masih merupakan bagian dari aparat negara, saya tahu bahwa mereka juga enggan membahas itu karena bahkan mereka tidak bisa melarang anggota keluarganya sendiri untuk merokok (suami, isteri, kakak, adik, orangtua atau anaknya). Saya tahu ini dari cerita teman-teman Mama yang aktif di LSM. Ketika menghadap salah satu orang penting tersebut, mereka disambut dengan kalimat : ”Mau membahas apa saja boleh, silakan, asal jangan tentang rokok”.

Saya sendiri merasakan betapa sulitnya menegur atau melarang orang lain merokok. Hmm, tidak usahlah menyuruh mereka berhenti merokok. Selama mereka bukan anggota keluarga saya, saya merasa tidak seberkepentingan itu untuk mencampuri pilihan hidupnya. Selain itu toh saya juga bukan bagian dari pemerintah yang bertugas untuk menyejahterakan masyarakatnya. Dan saya juga belum melihat ada undang-undang anti rokok yang perlu saya dukung.

Peraturan yang sudah ada adalah larangan merokok di tempat tertentu : fasilitas umum seperti jalan raya dan angkutan umum, pusat perbelanjaan, kantor-kantor pemerintah, rumah sakit, dan lain sebagainya. Kalau dipikir benar-benar, dengan peraturan ini saja berarti tempat-tempat untuk merokok sudah sangat terbatas. Jika peraturan ini benar-benar dipatuhi, tentu para perokok hanya bisa merokok di ruangan khusus atau rumah mereka sendiri. Tapi sayangnya, tidak demikian yang terjadi.

Di jalan, di angkutan umum, di kantor dan di berbagai tempat lainnya masih begitu banyak perokok yang tidak mengacuhkan larangan tersebut. Selain demi membela hak asasi saya untuk menghirup udara yang lebih bersih, saya sering menegur mereka juga karena merasa bahwa saya perlu mendukung upaya minimal pemerintah untuk mengurangi konsumsi rokok itu.

Tapi seperti yang saya sebut di awal, hal itu sama sekali tidak mudah. Saya pernah berhasil melakukannya. Anak-anak SMP yang saya tegur ketika merokok di dalam angkutan umum di Bandung dulu menuruti permintaan saya tanpa menjawab apapun mungkin karena menebak saya juga seorang guru waktu itu (dari pakaian dan barang-barang yang saya). Lalu saya pernah meminta seseorang untuk tidak merokok di samping saya dan Mama saya di sebuah acara pernikahan. Dia misuh-misuh, tapi akhirnya mematikan juga rokoknya ketika Mama mulai terbatuk-batuk dan saya meminta pengertiannya. Masih ada lagi lainnya, tapi itulah beberapa cerita sukses yang paling saya ingat.

Beberapa kali lainnya, saya gagal. Yang paling sering adalah saat meminta teman saya sendiri untuk berhenti merokok. Ada saja penyebabnya. Ada debat tak berujung yang beberapa kali memenangkan saya, tapi mereka hanya tertawa dan tetap tak berhenti merokok. Mungkin karena sudah hilang rasa sungkan pada saya yang sudah sangat akrab bergaul dengan mereka. Ada juga ketidakberanian saya sendiri atau dengan kata lain, sayalah yang sungkan. Salah satunya jika bertamu ke rumah teman yang memang perokok berat. Bagaimana cara melarangnya? Itu kan rumahnya sendiri, mungkin sayalah yang seharusnya tidak datang berkunjung ke sana. Lalu ada pula kemalasan, yang menunjukkan ketidakkonsistenan saya dalam bersikap dan mungkin dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman gagal sebelumnya.

Ada satu kejadian paling mengerikan yang saya ingat, mungkin karena ini yang paling baru terjadi. Waktu itu masih jam delapan pagi, tapi sudah cukup mepet bagi saya untuk tiba tepat waktu di kantor (saya sudah pindah dan bekerja di Jakarta). Saya naik angkutan umum yang terdekat dari rumah saya dan duduk di barisan bangku yang lebih pendek. Di bangku yang lebih panjang ada beberapa anak sekolah (yang mungkin tidak masuk pagi), sementara di bangku saya ada seseorang berpakaian hitam- hitam (berkacamata hitam, berjaket hitam, celana hitam, membawa tas hitam). Dia MEROKOK. Begitu saya duduk, saya langsung merasa nafas saya sesak. Ternyata si bapak yang duduk di ujung bangku ini merokok dengan santainya sementara seluruh jendela mobil tertutup. Selain ingin membela diri, tentu saja saya juga prihatin pada anak-anak sekolah itu. Betapa tak pekanya perokok yang satu ini.

”Pak, maaf, bisa tolong matikan rokoknya, Pak?” Itu kata yang saya ucapkan padanya dengan ramah, setelah sebelumnya menggeser kaca jendela di samping saya untuk mengeluarkan asap mematikan itu.

Apa yang terjadi kemudian tak pernah saya alami sebelumnya. Saya sudah pernah beradu mulut dengan orang yang merokok di sekitar saya sebelumnya, jadi saya sudah siap dengan jawaban yang paaaaaliiiiiing sering saya dengar seperti : ”Suka-suka gue, mau ngerokok atau nggak itu hak gue,”

Ya, itu hak Anda. Tapi adalah hak asasi saya untuk bernafas dengan udara yang lebih bersih, alasan itulah yang membuat saya berani untuk membela diri. Kalau ngajak debat untuk menimbang menang-kalah juga saya tidak takut. Memangnya ketika Tuhan menciptakan manusia pertama di bumi dulu, sudah ada rokok? Bernafas dengan udara bersih jelas merupakan hak asasi nomor satu.

Nah, yang terjadi hari itu tidak demikian. Sama sekali tidak ada jawaban yang langsung mendebat permintaan saya. Si bapak perokok itu hanya diam, menoleh ke saya dan melalui kacamata hitamnya, (mungkin) menatap saya. Sungguh sangat mengintimidasi.

Kemudian dia merokok lagi.

Dan saya pun mengucapkan permintaan saya sekali lagi.

Ketika reaksi dia tetap sama seperti sebelumnya dan saya merasa makin terintimidasi dan mungkin juga dipicu karena sebelumnya saya agak kesiangan dan mengawali hari dengan tidak terlalu baik, emosi menguasai diri saya.

Saya bicara lagi, kali ini saya akui dengan lebih kasar : “Bisa tolong matikan rokoknya Pak, atau kalau mau, merokok di luar saja,”

Dengan reaksinya yang sama, menit-menit berikutnya terasa makin menyiksa saya. Sebetulnya seandainya saya sedang dalam mood yang lebih baik mungkin saya akan mengalah dengan turun dari mobil itu dan menyetop mobil lainnya. Tapi saat itu, saya lebih ingin memenangkan harga diri.

Dalam sepersekian menit itu saya teringat cerita salah satu teman saya yang perokok tentang ’merokok dalam mobil angkutan umum’. Sungguh tidak ada enaknya sama sekali, kata dia. Percayalah, orang yang merokok dalam mobil itu bukan mencari kenikmatan, tapi lebih karena dia mati gaya atau tidak percaya diri. Berbekal pengetahuan itu, saya pun mengonfrontasi si perokok yang saya hadapi ini.

”Bapak nggak bisa dengar saya? Atau nggak bisa lihat saya? Atau takut sama saya?”

Orang itu masih bereaksi sama, tapi saya sudah puas. Saya meminta supir untuk meminggirkan mobilnya dan saya pun turun.

Tapi alangkah terkejutnya saya, ketika saya sudah berjalan, saya mendengar teriakan. Ternyata si perokok itu ikut turun, melepas kacamatanya, dan menunjuk-nunjuk saya sambil marah-marah tak keruan. Entah apa persisnya kata-katanya saya lupa, tapi dia menyebut-nyebut beberapa jenis binatang sebagai makian sambil membela haknya untuk merokok.

Antara marah juga dan takut, saya membalas perkataannya sambil tetap berjalan cepat.
”Emang hak lu, tapi hak gue juga untuk napas! Kalo mau ngisep racun, isep aja sendiri! Jangan ngeracunin orang juga dong!”

Dia mengejar, masih sambil mencaci maki. Saya nyaris berlari, sambil memaksa otak untuk berpikir apa yang harus saya lakukan. Dan syukurlah, Tuhan masih menolong saya.

Beberapa belas meter di depan, saya melihat kantor polisi (tentu saja sudah ada sejak dulu di situ dan saya juga sudah sering melihatnya, tapi tetap saja waktu itu benar-benar kebetulan saya turun tak jauh dari situ!) dan seorang aparatnya terlihat sedang mengatur lalu lintas. Saya mempercepat langkah, dan akhirnya berhenti ketika mencapai si polisi. Lalu apa?

Saya tak melakukan apa-apa. Hanya berdiri dengan konyolnya di belakang pak polisi sambil memandangi si perokok yang juga berhenti tak jauh dari saya. Dia juga terdiam, berdiri kaku. Pada saat itu saya menyadari betapa takutnya saya, tapi juga berusaha untuk terlihat seberani mungkin. Dan selama entah berapa menit kemudian, saya tak bergeming. Saya biarkan angkutan-angkutan umum jurusan tertentu yang harusnya saya naiki karena berpikir itu tidak akan aman. Bisa saja orang ‘gila’ itu mengejar dan ikut naik. Lalu entah bagaimana nasib saya nanti.

Sampai akhirnya, orang itu pergi. Entah bagaimana, saya juga tidak lihat persisnya. Saya masih ketakutan kalau-kalau dia belum benar-benar pergi, hingga saya masih berdiri ragu di samping pak polisi. Ketika saya melihat ada satu taksi kosong, saya cepat-cepat menyetopnya dan naik (karena merasa itulah cara teraman, lagipula saya sudah sangat terlambat ke kantor).

Malamnya, saya membahas kejadian itu dengan suami (lewat telepon, karena beliau bekerja di luar kota) yang kemudian agak marah karena saya telah membahayakan diri sendiri.

Ah, bahaya. Padahal saya melakukannya demi menghindari ancaman bahaya merokok pasif itu. Memang tentu lebih mudah dan aman jika saya hanya turun dan berganti mobil. Tapi saya berpikir lagi. Bukankah jika demikian saya malah akan memposisikan diri sebagai orang yang salah, orang yang harus mengalah, orang yang termasuk golongan minoritas yang tertindas dan terintimidasi? Karena itulah saya berontak marah. Saya sangat marah karena orang itu telah menzhalimi saya, menindas hak asasi saya sekaligus mengintimidasi dan menganggap seolah sayalah yang salah dan harus mundur.

Lalu pada kesempatan lain, Mama bercerita tentang program-program yang sedang dikerjakannya (beliau bekerja sebagai PNS di Departemen Kesehatan, sub direkotrat remaja). Betapa menyedihkan, masalah rokok ini. Dan soal mayoritas-minoritas itu, bukan tak mungkin jika suatu saat nanti kaum bukan perokoklah yang merupakan kaum minoritas. Lihat saja iklan-iklan rokok yang walaupun tak pernah menunjukkan gambar orang sedang merokok, selalu keren dan bergaya. Peringatan akan bahaya rokok hanya dilampirkan dalam satu boks kecil yang sangat mudah untuk diabaikan siapapun yang melihatnya, tidak seperti di negara-negara lain yang sudah gencar menyebarkan peringatan bahaya tersebut melalui gambar dan video yang sangat deskriptif dan jelas terlihat mengerikan. Juga acara-acara yang disponsori perusahaan rokok : pertandingan olahraga, pentas seni dan budaya. Semua kesan yang ditimbulkan mereka sungguh menarik dan jauh dari kesan buruk. Tidak heran jika banyak anak atau remaja yang berpikir seperti saya dulu : sepertinya saya akan keren kalau merokok. Dan sayangnya, hanya sedikit dari mereka yang ‘diselamatkan’ seperti saya. Malah sebaliknya, justru banyak yang menjerumuskan mereka. Tahukah Anda akan snack berbentuk rokok yang merupakan salah satu jenis jajanan di lingkungan SD? Sungguh sebuah usaha yang luarbiasa untuk pembudayaan kegiatan merokok di negeri ini.

Tak sulit mencari tahu tentang dampak buruk dari racun dalam rokok itu sendiri bagi kesehatan. Bahaya rokok mengancam kesehatan otak, paru-paru, jantung, hati, ginjal, sampai sistem reproduksi dan berdasarkan data yang dimiliki seorang peneliti*, sebanyak 400 ribu orang per tahun di Indonesia meninggal dunia akibat rokok, dan 60 juta lainnya tercemar karena asap rokok.

Saya yakin, para perokok itu sendiri pun tahu akan bahaya-bahaya tersebut. Hanya saja mereka tidak betul-betul menghayatinya dan kemudian mengabaikannya dengan santai (ingatlah peringatan yang hanya ada dalam boks tulisan yang tidak menarik itu)

Baiklah, jika mereka memang sudah sadar dan adalah pilihan mereka untuk meracuni diri seperti itu. Saya hanya berharap, jumlah mereka tidak terus bertambah banyak dan tidak ikut meracuni orang lain. Bisa habis bibit-bibit manusia unggul di negeri ini!

Namun bagaimana halnya dengan akibat kebiasaan merokok itu pada pribadi lain di sekitar mereka? Merokok di tempat umum yang mengakibatkan gangguan pernapasan pula pada orang di sekitar mereka. Merokok di rumah yang meninggalkan zat-zat beracun pada seisi rumah sehingga memelihara penyakit pada pasangan atau anak-anak mereka. Bahkan pernah saya mendapat oleh-oleh cerita hasil wawancara seorang aktivis dengan seorang perokok dari kelas ekonomi bawah, merokok membuatnya tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya. Anak-anaknya harus putus sekolah, karena uang yang dihasilkannya dari bekerja hanya cukup untuk membeli rokoknya. “Lebih baik anak saya tidak sekolah daripada saya harus berhenti merokok,” katanya santai. Itulah salah satu contoh dampak tak langsung dari kecanduan merokok yang mengakibatkan seorang kehilangan akal sehat : menambah jumlah anggota generasi masa depan yang tak berpendidikan dan pada akhirnya nanti menambah jumlah masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Nah, masih berapa lama lagikah Anda menutup mata terhadap masalah ‘kecil’ ini, wahai bapak dan ibu penentu kebijakan negara*?

Dan masih berapa lama lagikah Anda, para perokok, juga Anda, yang tidak merokok, meneruskan ketidakpekaan Anda?

Permohonan saya pada para penentu kebijakan negara...
Sudah terbukti bahwa Tuhan banyak menciptakan manusia-manusia berkualitas tinggi, lahir di atas tanah air yang subur ini, dan salah satunya adalah Anda dan para pengusaha rokok. Saya sungguh tidak percaya jika bersama-sama kita tidak punya cukup keberanian, kecerdasan, dan kreatifitas untuk mencari alternatif solusi penghasil devisa selain industri rokok. Setidaknya sebagai langkah pertama, terimalah ajakan duduk bersama untuk membahas itu.

Permohonan saya pada Anda yang merokok...
Setidaknya jika Anda memilih untuk merokok, biarkan itu menjadi pilihan Anda sendiri yang tidak merugikan orang lain. Merokoklah dengan menyendiri atau dalam tempat yang sudah disediakan bersama teman-teman perokok Anda. Jangan merokok di tempat terbuka atau tempat-tempat umum. Jangan merokok di rumah tempat suami, isteri, orangtua, anak, atau saudara anda yang bukan perokok tinggal di sana (jika melakukannya, berarti Anda sedang membunuh mereka pelan-pelan). Dan sadarilah betapa buruk dan merugikannya kebiasaan itu, sehingga Anda tidak bangga mengajak anak, pasangan, saudara, atau teman untuk mengikuti jejak Anda itu.

Permohonan saya pada Anda yang tidak merokok...
Anda bukan anggota kaum minoritas dan berjuanglah untuk tidak akan pernah! Bersuaralah. Beranikan diri. Bela hak asasi Anda, yang secara tak langsung berarti juga membela anak cucu Anda, bangsa, negara, dan bumi tempat Anda berpijak.


Dan mulai hari ini, saya sendiri bertekad untuk lebih berani dan konstisten dalam menunjukkan sikap anti rokok saya. Semoga Tuhan meridhoi dan melindungi saya selalu. Amiin.



- H e i D Y -



* Disebutkan oleh peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonsia, Abdillah Ahsan, dalam Kompas.com (Rabu, 12 November 2008, 14:26 WIB)
* Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau atau Frame Work Convention on Tobacco Control (FCTC) telah diratifikasi oleh 161 negara lain, sementara sampai saat tulisan ini dipos dalam blog ini, pemerintah Indonesia sendiri masih menolak meratifikasinya.

Sabtu, 30 Mei 2009

hari ulang tahun

Bagiku, hari ulang tahunku adalah hari tahun baru. Tahun usiaku yang baru. Tahun baru bagi diriku sendiri.

Dan layaknya orang yang merayakan tahun baru dengan berkontemplasi, mengenang perjalanan yang telah dilaluinya, mensyukuri segala nikmat dan semua pencapaian hidupnya, mengingat kesalahan-kesalahan agar tak terulang serta membuat resolusi, itu pulalah yang kulakukan pada malam hari ulang tahunku.

Semoga aku selalu mampu mensyukuri hidupku ini. Semoga aku bisa memanfaatkan sebaik-baiknya usia yang diberikanNYA. Semoga senantiasa aku menjadi manusia yang berguna bagi bumiku, bagi bangsa dan negaraku, bagi agama dan semua saudaraku, bagi lingkunganku, bagi teman-teman dan sahabat-sahabatku, dan bagi keluargaku. Amiin.

Selamat tahun baru, Aku.

-pada salah satu peringatan tahunanku menjadi penghuni bumi-

Selasa, 19 Mei 2009

KBBI kami yang tercinta

Sempat selama berbulan-bulan setelah menempati rumah berdua saya dan suami, saya tidak pernah membuka Kamus Bahasa Indonesia!

Tentu saja Kamus Bahasa Indonesia yang sering saya buka dulu tidak saya bawa ke rumah ini. Itu kan milik orangtua saya, walaupun saya yakin bahwa anggota keluarga selain saya hampir tidak pernah membaca kitab itu. Bahkan adik saya yang masih pelajar sekali pun (sungguh ajaib dan mengherankan, mengingat saya begitu menggandrungi kamus ini sejak duduk di bangku sekolah...ah, apa justru sayalah yang ajaib?).

Ada rasa rindu dan kehilangan. Tapi tidak, saya tidak terlalu terganggu. Mungkin karena pada masa itu, seluruh pikiran dan tenaga saya habis untuk bergelut di dunia kerja saya yang baru : marketing research. Sebagai researcher, bahkan tidak pernah membaca kamus Bahasa Indonesia sepertinya sama sekali bukan masalah. Kamus Bahasa Inggrislah yang disarankan untuk ditelan jika ingin lancar dan sukses dalam bekerja di sana.

Lalu, saya mengambil unpaid leave. Saya kembali menulis. Dan walaupun sesekali beberapa perpustakaan saya jadikan sebagai kantor, rumah tetap menjadi markas utama.

Kehilangan itu mulai mengganggu, terus dan semakin menjadi-jadi seiring dengan semakin banyaknya halaman tulisan saya yang bertambah. Lalu ibarat tak mendapat nasi, saya pun mencari penggantinya. Saya membuat diri kenyang dengan berpuluh-puluh kumpulan cerpen, novel, buku sejarah, dan sebagainya. Tapi kemudian saya sadar pada apa yang sedang saya lakukan : saya sedang berusaha mengganti nasi dengan sayur dan daging yang sama sekali bukan makanan pokok! Kenyang sih kenyang, tapi tentu masih ada satu unsur nutrisi yang tetap tak terpenuhi. Dan suatu saat, ini bisa jadi masalah bagi saya.

Maka, saya pun mengajukan usul itu pada suami. ”Menurutmu, kita butuh KBBI, tidak?”

Jangan heran kenapa saya bertanya begitu. Salah satu kesamaan terindah saya dan dia adalah kecintaan kami pada buku. Dulu, kami memiliki perpustakaan pribadi masing-masing. Kini setelah kami menikah, kedua perpustakaan itu pun menjadi satu, milik bersama. Ada beratus-ratus buku koleksi kami, dan hebatnya, jarang sekali ada judul ganda di dalamnya.


Ya, selera kami memang berbeda. Dia pecinta buku-buku sejarah dan politik, sementara saya mencintai buku anak-anak, remaja, dan sastra. Setelah hidup bersama, kami saling menulari satu sama lain.

Nah, bagaimana dengan Kamus Bahasa Indonesia? Baik saya maupun suami tidak menyumbangkannya ke perpustakaan bersama kami.

Saya tahu saya membutuhkan kamus itu, tapi saya tidak tahu bagaimana halnya dengan dia. Jika dia keberatan dan menurutnya ’tidak ada juga tidak apa-apa’, maka saya berniat akan mengusahakannya sendiri.

Ternyata, dia setuju untuk memilikinya juga! Walau dia tahu sayalah yang akan paling banyak menguasai kamus itu, dia tak keberatan membelikan buku tebal yang harganya tentu tak murah itu. Olala, betapa senangnya hati saya.

Saat akhirnya datang kesempatan untuk kembali mengunjungi pasar buku murah favorit kami (Palasari, Bandung), kami pun membeli kamus itu.

”Ada KBBI, Pak?” tanya saya pada penjual buku langganan saya.
”Yang terbitan apa, neng? Balai Pustaka atau Gramedia?”
”Wah, ada yang dari Gramedia juga? Saya malah baru tahu!”
“Ada neng, baru terbit tahun lalu, edisi keempat,”
“Alhamdulillah,”


Kegembiraan saya meluap mendengar adanya edisi terbaru KBBI. Bukankah ini satu bukti kemajuan peradaban bangsa ini? Saya lalu menanyakan perbedaannya, termasuk soal harga. Alangkah kagetnya saya waktu tahu bahwa terdapat selisih harga sampai kira-kira dua ratus ribu rupiah.

“Kenapa bisa beda sejauh itu, Pak?”
“Yang lebih murah itu sebenarnya karna BJ, neng,” kata si bapak penjual buku ini tiba-tiba berbisik, dengan satu telapak tangan nyaris menutupi mulutnya.
“Hah? Be-Je? Apa itu, pak?”
”Bajakan, neng,”
Astaghfirullah! Saya merasakan emosi yang berkecamuk, hingga sesaat tak bisa berkata apa-apa.

Entah kepada siapa sebenarnya amarah ini saya tujukan. Kenapa saya marah, sebenarnya ada beberapa alasan yang mendorongnya sekaligus.

Satu. Saya benci pada pembajakan. Walaupun ada hal-hal yang masih sulit untuk benar-benar saya bersihkan (pengakuan dosa: saya masih punya lagu MP3, anime dan serial film barat hasil pemberian teman yang mereka dapat entah dari mana saja), tapi saya berusaha untuk sebisa mungkin menghindarinya. Yang jelas, saya tidak akan pernah membeli CD lagu, movie, apalagi BUKU bajakan. Dan sebuah KAMUS BESAR...terpikirkah bagaimana sulit proses penyusunannya? Bisakah siapa saja, sembarang orang menciptanya? Tidak, saya yakin. Saya sendiri tidak yakin mampu jika diberi kesempatan itu. Sungguh, saya tahu betapa berharganya sebuah karya cipta itu. Maka setidaknya dengan membeli, saya memberikan bentuk penghargaan yang saya mampu pada si pencipta. Sementara dari orang-orang yang terlalu memusingkan atau mengagungkan prinsip ini, dikeruklah keuntungan oleh pihak ketiga yang tak bertanggung jawab : si pembajak.

Dua. Saya sepenuhnya mencintai ibu pertiwi, INDONESIA tercinta. Jika saya tidak terlalu ngotot mengecam orang-orang yang mencari hiburan dengan membeli film-film bajakan (saya masih sibuk mengecam diri sendiri yang juga belum 100% bersih), itu juga salah satunya karena saya sudah memastikan bahwa film tersebut bukan film karya anak bangsa ini. Dengan membeli produk buatan negeri sendiri, sudah hilang tambahan ongkos impor yang perlu saya bayar. Bukankah produk asli dalam negeri sudah pasti lebih murah daripada barang impor? Jika masih terasa mahal, saya mengingat bagaimana penghargaan saya akan menjadi dukungan agar para pencipta itu terus berkarya dan membawa kemajuan dan kejayaan bagi bangsa ini. Dan jka itu masih terasa mahal juga, saya teringat jalan raya dan fasilitas umum yang dapat saya nikmati (dan kebebasan saya untuk protes dan mengecam korupsi yang terjadi jika salah satunya dalam keadaan tak beres), teringat bahwa semua itu milik saya, hasil pemungutan berbagai jenis pajak, termasuk terhadap produk dalam negeri apapun yang saya beli. Uang saya tak akan pergi kemana-mana. Semuanya berputar di negeri ini. Dengan semua pertimbangan itu, mengapa masih tak rela membeli produk dalam negeri yang asli? Terlebih untuk sebuah KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA, yang memuat simbol-simbol peradaban bangsa ini.

Tiga. Saya memaklumi orang-orang yang menyetujui kedua prinsip di atas (menghindari produk bajakan dan menghargai produk dalam negeri) namun tak memiliki cukup kemampuan untuk melaksanakannya. Dalam hal ini sesungguhnya saya teringat pada pelajar yang butuh memiliki kamus tapi tidak punya cukup uang untuk membelinya. Hingga pada akhirnya ia membeli KBBI bajakan, entah kepada siapa saya harus marah : pemerintah yang tak bisa mengatasi masalah biaya pendidikan atau si pembajak sebagai pihak ketiga yang mengambil keuntungan dari jalan pintasnya?

Empat. Saya tidak mengerti pada orang-orang yang rela menghabiskan beratus-ratus ribu demi membeli novel-novel asing dan komik-komik (dari Asia, Amerika maupun Eropa) yang asli, namun hanya menginginkan versi bajakan untuk sebuah Kamus Besar Bahasa Indonesia (”Soalnya biasanya nyarinya bajakan neng, yang lebih murah! Kalo komik atau novel, baru pasti pada nggak mau beli bajakan...”). Ya Tuhan, mungkinkah saya yang terlalu bodoh untuk bisa mengerti jalan pikiran mereka? Seseorang, tolong bantu berikan saya penjelasan tentang ini!

Dan kini di sinilah saya, pada pagi buta sebelum Subuh yang merupakan momen terbaik untuk mengurai ide-ide yang menggumpal dalam kepala ini menjadi rangkaian aksara bermakna, duduk menghadapi meja yang dibebani barang-barang tercinta dan kebanggan saya : komputer jinjing dan Kamus Besar Bahasa Indonesia ASLI.

Semoga saya pun bisa menciptakan karya-karya yang membanggakan dan bermanfaat bagi bangsa dan negeri ini.

Bangkitlah bangsaku, jayalah negeriku. Amiin.




Ditulis sebagai satu penghargaan kecil untuk buku yang memuat kekayaan ilmu, teknologi, dan seni sebagai simbol peradaban bangsa Indonesia : KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA. Terimakasih telah memberi saya berjuta inspirasi!

- H e i D Y -