Sabtu, 30 Mei 2009

hari ulang tahun

Bagiku, hari ulang tahunku adalah hari tahun baru. Tahun usiaku yang baru. Tahun baru bagi diriku sendiri.

Dan layaknya orang yang merayakan tahun baru dengan berkontemplasi, mengenang perjalanan yang telah dilaluinya, mensyukuri segala nikmat dan semua pencapaian hidupnya, mengingat kesalahan-kesalahan agar tak terulang serta membuat resolusi, itu pulalah yang kulakukan pada malam hari ulang tahunku.

Semoga aku selalu mampu mensyukuri hidupku ini. Semoga aku bisa memanfaatkan sebaik-baiknya usia yang diberikanNYA. Semoga senantiasa aku menjadi manusia yang berguna bagi bumiku, bagi bangsa dan negaraku, bagi agama dan semua saudaraku, bagi lingkunganku, bagi teman-teman dan sahabat-sahabatku, dan bagi keluargaku. Amiin.

Selamat tahun baru, Aku.

-pada salah satu peringatan tahunanku menjadi penghuni bumi-

Selasa, 19 Mei 2009

KBBI kami yang tercinta

Sempat selama berbulan-bulan setelah menempati rumah berdua saya dan suami, saya tidak pernah membuka Kamus Bahasa Indonesia!

Tentu saja Kamus Bahasa Indonesia yang sering saya buka dulu tidak saya bawa ke rumah ini. Itu kan milik orangtua saya, walaupun saya yakin bahwa anggota keluarga selain saya hampir tidak pernah membaca kitab itu. Bahkan adik saya yang masih pelajar sekali pun (sungguh ajaib dan mengherankan, mengingat saya begitu menggandrungi kamus ini sejak duduk di bangku sekolah...ah, apa justru sayalah yang ajaib?).

Ada rasa rindu dan kehilangan. Tapi tidak, saya tidak terlalu terganggu. Mungkin karena pada masa itu, seluruh pikiran dan tenaga saya habis untuk bergelut di dunia kerja saya yang baru : marketing research. Sebagai researcher, bahkan tidak pernah membaca kamus Bahasa Indonesia sepertinya sama sekali bukan masalah. Kamus Bahasa Inggrislah yang disarankan untuk ditelan jika ingin lancar dan sukses dalam bekerja di sana.

Lalu, saya mengambil unpaid leave. Saya kembali menulis. Dan walaupun sesekali beberapa perpustakaan saya jadikan sebagai kantor, rumah tetap menjadi markas utama.

Kehilangan itu mulai mengganggu, terus dan semakin menjadi-jadi seiring dengan semakin banyaknya halaman tulisan saya yang bertambah. Lalu ibarat tak mendapat nasi, saya pun mencari penggantinya. Saya membuat diri kenyang dengan berpuluh-puluh kumpulan cerpen, novel, buku sejarah, dan sebagainya. Tapi kemudian saya sadar pada apa yang sedang saya lakukan : saya sedang berusaha mengganti nasi dengan sayur dan daging yang sama sekali bukan makanan pokok! Kenyang sih kenyang, tapi tentu masih ada satu unsur nutrisi yang tetap tak terpenuhi. Dan suatu saat, ini bisa jadi masalah bagi saya.

Maka, saya pun mengajukan usul itu pada suami. ”Menurutmu, kita butuh KBBI, tidak?”

Jangan heran kenapa saya bertanya begitu. Salah satu kesamaan terindah saya dan dia adalah kecintaan kami pada buku. Dulu, kami memiliki perpustakaan pribadi masing-masing. Kini setelah kami menikah, kedua perpustakaan itu pun menjadi satu, milik bersama. Ada beratus-ratus buku koleksi kami, dan hebatnya, jarang sekali ada judul ganda di dalamnya.


Ya, selera kami memang berbeda. Dia pecinta buku-buku sejarah dan politik, sementara saya mencintai buku anak-anak, remaja, dan sastra. Setelah hidup bersama, kami saling menulari satu sama lain.

Nah, bagaimana dengan Kamus Bahasa Indonesia? Baik saya maupun suami tidak menyumbangkannya ke perpustakaan bersama kami.

Saya tahu saya membutuhkan kamus itu, tapi saya tidak tahu bagaimana halnya dengan dia. Jika dia keberatan dan menurutnya ’tidak ada juga tidak apa-apa’, maka saya berniat akan mengusahakannya sendiri.

Ternyata, dia setuju untuk memilikinya juga! Walau dia tahu sayalah yang akan paling banyak menguasai kamus itu, dia tak keberatan membelikan buku tebal yang harganya tentu tak murah itu. Olala, betapa senangnya hati saya.

Saat akhirnya datang kesempatan untuk kembali mengunjungi pasar buku murah favorit kami (Palasari, Bandung), kami pun membeli kamus itu.

”Ada KBBI, Pak?” tanya saya pada penjual buku langganan saya.
”Yang terbitan apa, neng? Balai Pustaka atau Gramedia?”
”Wah, ada yang dari Gramedia juga? Saya malah baru tahu!”
“Ada neng, baru terbit tahun lalu, edisi keempat,”
“Alhamdulillah,”


Kegembiraan saya meluap mendengar adanya edisi terbaru KBBI. Bukankah ini satu bukti kemajuan peradaban bangsa ini? Saya lalu menanyakan perbedaannya, termasuk soal harga. Alangkah kagetnya saya waktu tahu bahwa terdapat selisih harga sampai kira-kira dua ratus ribu rupiah.

“Kenapa bisa beda sejauh itu, Pak?”
“Yang lebih murah itu sebenarnya karna BJ, neng,” kata si bapak penjual buku ini tiba-tiba berbisik, dengan satu telapak tangan nyaris menutupi mulutnya.
“Hah? Be-Je? Apa itu, pak?”
”Bajakan, neng,”
Astaghfirullah! Saya merasakan emosi yang berkecamuk, hingga sesaat tak bisa berkata apa-apa.

Entah kepada siapa sebenarnya amarah ini saya tujukan. Kenapa saya marah, sebenarnya ada beberapa alasan yang mendorongnya sekaligus.

Satu. Saya benci pada pembajakan. Walaupun ada hal-hal yang masih sulit untuk benar-benar saya bersihkan (pengakuan dosa: saya masih punya lagu MP3, anime dan serial film barat hasil pemberian teman yang mereka dapat entah dari mana saja), tapi saya berusaha untuk sebisa mungkin menghindarinya. Yang jelas, saya tidak akan pernah membeli CD lagu, movie, apalagi BUKU bajakan. Dan sebuah KAMUS BESAR...terpikirkah bagaimana sulit proses penyusunannya? Bisakah siapa saja, sembarang orang menciptanya? Tidak, saya yakin. Saya sendiri tidak yakin mampu jika diberi kesempatan itu. Sungguh, saya tahu betapa berharganya sebuah karya cipta itu. Maka setidaknya dengan membeli, saya memberikan bentuk penghargaan yang saya mampu pada si pencipta. Sementara dari orang-orang yang terlalu memusingkan atau mengagungkan prinsip ini, dikeruklah keuntungan oleh pihak ketiga yang tak bertanggung jawab : si pembajak.

Dua. Saya sepenuhnya mencintai ibu pertiwi, INDONESIA tercinta. Jika saya tidak terlalu ngotot mengecam orang-orang yang mencari hiburan dengan membeli film-film bajakan (saya masih sibuk mengecam diri sendiri yang juga belum 100% bersih), itu juga salah satunya karena saya sudah memastikan bahwa film tersebut bukan film karya anak bangsa ini. Dengan membeli produk buatan negeri sendiri, sudah hilang tambahan ongkos impor yang perlu saya bayar. Bukankah produk asli dalam negeri sudah pasti lebih murah daripada barang impor? Jika masih terasa mahal, saya mengingat bagaimana penghargaan saya akan menjadi dukungan agar para pencipta itu terus berkarya dan membawa kemajuan dan kejayaan bagi bangsa ini. Dan jka itu masih terasa mahal juga, saya teringat jalan raya dan fasilitas umum yang dapat saya nikmati (dan kebebasan saya untuk protes dan mengecam korupsi yang terjadi jika salah satunya dalam keadaan tak beres), teringat bahwa semua itu milik saya, hasil pemungutan berbagai jenis pajak, termasuk terhadap produk dalam negeri apapun yang saya beli. Uang saya tak akan pergi kemana-mana. Semuanya berputar di negeri ini. Dengan semua pertimbangan itu, mengapa masih tak rela membeli produk dalam negeri yang asli? Terlebih untuk sebuah KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA, yang memuat simbol-simbol peradaban bangsa ini.

Tiga. Saya memaklumi orang-orang yang menyetujui kedua prinsip di atas (menghindari produk bajakan dan menghargai produk dalam negeri) namun tak memiliki cukup kemampuan untuk melaksanakannya. Dalam hal ini sesungguhnya saya teringat pada pelajar yang butuh memiliki kamus tapi tidak punya cukup uang untuk membelinya. Hingga pada akhirnya ia membeli KBBI bajakan, entah kepada siapa saya harus marah : pemerintah yang tak bisa mengatasi masalah biaya pendidikan atau si pembajak sebagai pihak ketiga yang mengambil keuntungan dari jalan pintasnya?

Empat. Saya tidak mengerti pada orang-orang yang rela menghabiskan beratus-ratus ribu demi membeli novel-novel asing dan komik-komik (dari Asia, Amerika maupun Eropa) yang asli, namun hanya menginginkan versi bajakan untuk sebuah Kamus Besar Bahasa Indonesia (”Soalnya biasanya nyarinya bajakan neng, yang lebih murah! Kalo komik atau novel, baru pasti pada nggak mau beli bajakan...”). Ya Tuhan, mungkinkah saya yang terlalu bodoh untuk bisa mengerti jalan pikiran mereka? Seseorang, tolong bantu berikan saya penjelasan tentang ini!

Dan kini di sinilah saya, pada pagi buta sebelum Subuh yang merupakan momen terbaik untuk mengurai ide-ide yang menggumpal dalam kepala ini menjadi rangkaian aksara bermakna, duduk menghadapi meja yang dibebani barang-barang tercinta dan kebanggan saya : komputer jinjing dan Kamus Besar Bahasa Indonesia ASLI.

Semoga saya pun bisa menciptakan karya-karya yang membanggakan dan bermanfaat bagi bangsa dan negeri ini.

Bangkitlah bangsaku, jayalah negeriku. Amiin.




Ditulis sebagai satu penghargaan kecil untuk buku yang memuat kekayaan ilmu, teknologi, dan seni sebagai simbol peradaban bangsa Indonesia : KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA. Terimakasih telah memberi saya berjuta inspirasi!

- H e i D Y -

Kamis, 14 Mei 2009

sebuah penemuan

Adalah pelajaran tentang kebesaran Allah SWT yang disuapkan pada saat yang bersamaan dengan mulainya aku belajar menggunakan logika. Awalnya, semuanya terserap dan dapat kuterapkan tanpa kesulitan yang berarti. Namun seiring dengan semakin banyaknya ilmu yang dipelajari, semakin lebih banyaknya penggunaan logika berpikir untuk mempelajari semua ilmu itu, sempat aku merasa makin kehilangan kemampuan untuk mengerti tentang hubunganku denganNYA.

Pada akhirnya, saat sampai ku pada titik meragukanNYA setelah argumen-argumen panjang berbasis logika meluncur dari batinku, satu rasa yang tak dapat diterjemahkan oleh otak ini memberontak. Tuhan itu ada. Keraguan apapun yang muncul, yang satu itu takkan bisa terbantahkan olehku sendiri.

Kebesaran Allah SWT yang harus kupahami bukan lagi sebatas DIA menciptakan bumi tempatku berpijak dan menyediakan oksigen untuk nafasku, sebatas pelajaran-pelajaran agama di masa kanak-kanakku yang dapat dicerna semudah bubur. Di usia dewasa, ada begitu banyak hal yang tak mudah saat ku berusaha memahami kebesaranNYA.

NikmatNYA yang harus kusyukuri bukan lagi hanya makanan yang tersedia di meja atau nilai yang baik di sekolah yang dapat dengan mudah diterjemahkan otakku sebagai anugerah. Kini selain tawa, ada juga tangis yang membuat otakku terseok-seok mencari artinya, sementara sang hati telah lebih dulu berhasil bangkit, melesat berlari lalu mengerakkan sang bibir untuk mengucap ”Alhamdulillah...”

Hatiku sudah ikhlas jauh sebelum ilmu dapat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Namun adalah ikhlas dan tawakal, yang jauh berbeda dengan pasrah. Pencarianku tak pernah berhenti. Walaupun pada setiap pencarian itu, penemuanku hanya semakin menunjukkan kebesaranNYA.

Allahuakbar.

Allah Maha Besar, tak ada yang tak mungkin oleh kuasaNYA.

Allah Maha Tahu, bahkan saat manusia tak tahu apa yang terbaik bagi dirinya sendiri



hyperlink to http://sepuluhseptember.multiply.com/journal/item/44/Pemeriksaan_Infertiliti_4_dan_Sebuah_Pencerahan