Senin, 25 Juni 2012

prestasi

Awalnya kuanggap itu prestasi , ketika satu jabatan disandangkan padaku, oleh manusia lain.

Kupikir pula itu prestasi , ketika mampu meraup sebanyak mungkin uang, melebihi banyak manusia lain.

Dan tentu yang amat meyakinkan sebagai prestasi adalah ketika kugenggam nilai-nilai tinggi dari para guru yang mengukur perolehan ilmuku.

Namun benarkah semua itu adalah prestasi seorang manusia sebagai hambaNya?

Manusia, yang jika rohnya tercabut tinggallah tulang belulang. Manusia, yang sesungguhnya tak punya apapun. Manusia, yang tujuan hadirnya di dunia adalah mencintai Penciptanya dan mensyukuri segala nikmat karuniaNya. Manusia, yg di akhir jaman akan ditanyai tentang bagaimana dirinya berguna selama hidup.

Lalu apalah arti jabatan, harta, bahkan ilmu sekalipun, jika tak memberi manfaat bagi sekitar?

Pejabat tapi tak keras usahakan kepentingan umum.

Punya setumpuk emas tapi tutup mata dari kesusahan orang lain.

Lulus cum laude tapi tak terpikir manfaatkan ilmu tuk orang banyak. Hanya untuk kepuasan pribadi, senangkan mata punya transkrip cantik?

Itukah prestasi?

Blah. Bukan! Sungguh sayang, ternyata mata ini lebih sering silau terhadap apa yang lebih tepat disebut gengsi!

Dalam kondisi apapun tetap dapat menebar sebanyak-banyaknya manfaat bagi lingkungan sebagai wujud syukur dan ibadah pada Penciptanya, itulah yang paling patut dijadikan cita-cita.

Karena saat itulah seorang manusia benar-benar berprestasi.

Tuhan, bantulah kami yang telah bertekad untuk sungguh-sungguh berprestasi di hadapanmu, bukan di mata manusia lainnya.

Jadikan kami penuh manusia-manusia penuh manfaat, yang takkan malu saat menghadapMu kelak dan bukan pikirkan soal gengsi di depan sesama manusia.. Aamiin.



h e i D Y

Sabtu, 23 Juni 2012

Nikmatnya Masa UAS Kemarin

Tepat setelah posting terakhir saya yang terlalu sombong tentang bagaimana saya masih suka mengakali kesempitan yang terjadi di masa-masa perkuliahan, saya mendapati diri saya tiba-tiba berada pada ruang yang tak bercelah sama sekali. Sungguh memang Tuhan Maha Adil!

Jadi, akhirnya saya kembali berkesempatan mengunjungi lapak ini setelah masa perkuliahan semester genap yang lalu berakhir. Sebenarnya Ujian Akhir Semester sudah selesai sejak dua minggu yang lalu, sih. Tapi lalu saya menghabiskan hari-hari berikutnya untuk terlalu kaget, terpesona hingga terbingung-bingung sendiri atas perubahan yang terjadi :D

Perubahan masa, maksud saya. Dari masa ketika otak saya dipenuhi berbagai jenis pekerjaan yang harus diselesaikan beserta tenggat waktunya ke masa saat tiba-tiba tidak ada yang memaksa saya harus menyelesaikan apa pada tanggal berapa dan berapa. Segalanya seperti tercerabut tiba-tiba, berbarengan. Rasa ini sangat mirip dengan di awal masa sebelumnya, ketika segala hal yang harus dikerjakan seperti serempak berjatuhan. Waktu itu rasanya seperti ada puluhan pohon yang dijejalkan dalam kepala ini. Lalu sekarang, semua pohon itu dicabut begitu saja. Hmmmm...

Dalam masa ujian akhir semester kemarin, saya tidak hanya ditenggelamkan oleh tumpukan makalah penelitian. Hal lain yang memenuhi pikiran dan perasaan saya adalah murid-murid yang membutuhkan bimbingan ekstra dalam rangka UAS juga, urusan registrasi S2 suami yang terpaksa diwakilkan pada saya karena yang bersangkutan sendiri masih di tengah laut, serta urusan mengontrakkan, merenovasi, dan mengosongkan rumah lama. Semua terjadi dalam waktu yang bersamaan! Subhanallah sekali, kan.

Berbagai jenis gerutuan sempat saya lontarkan. Kenapa jadwal UAS anak-anak SMA itu harus berbarengan dengan jadwal UAS saya sendiri? Kenapa sejak jaman kami kuliah S1 DUA BELAS TAHUN yang LALU sampai sekarang suami akan kuliah magister, Institut TEKNOLOGI Bandung tetap memberlakukan sistem pendaftaran manual?? Sungguh memalukan! Dan kenapa jadwalnya harus sangat sempit dan lagi-lagi, berbarengan dengan UAS saya? Dan kenapa suami tidak bisa pulang saat ada orang yang ingin mengontrak rumah kami?

Oya, lalu ada bonus lagi: laptop saya, satu-satunya komputer yang ada di rumah, sukses tidak bisa dinyalakan pada suatu malam menjelang tenggat waktu pengumpulan makalah. Dan saat itu bukan hanya gerutuan lagi yang keluar, melainkan air mata berderai-derai. Hahahaha.



Saya sungguh-sungguh berharap tidak akan mengalami masa-masa seperti itu lagi. Namun, saya sadar bahwa sesungguhnya saya sangat berdosa karena lalai bersyukur pada masa tersebut. Tidak hanya kesusahan yang saya alami. Begitu banyak nikmat, anugerah tak terduga juga diturunkan pada masa itu.

Meskipun datang pada masa yang merepotkan, ada orang yang akhirnya mau menyewa rumah kami jelas sebuah anugerah. Saya pun sadar untuk segera mengerem keluh kesah saat sibuk menyiapkan urusan penyewaan, renovasi dan pindahan itu.

Lalu soal urusan pendaftaran S2 di ITB. Tentu saya tetap mengkritik keras prosedur yang sangat tidak efisien itu. Namun hikmah di balik segala kerepotan itu adalah perkara lain. Saat itu, bukan saja saya yang menjadi kesal. Hamdan pun jadi gelisah. Jadwal pendaftaran yang tak sesuai dengan jadwal kerjanya jelas hal di luar kuasanya sendiri. Lalu nikmat itu pun diturunkan. Demi menyelesaikan semua persoalan, kami bekerjasama. Saya menyelesaikan segala urusan pendaftaran S2nya, kemudian Hamdan membantu saya dalam menyelesaikan semua makalah saya. Mulai dari membantu berpikir, mengumpulkan data dari potongan koran di kapalnya, sampai ikut begadang, menemani dan menyemangati saya dari jauh. Sungguh romantis tak terkira.

Saya jadi teringat kata-kata Mama dulu saat saya dan Hamdan baru menikah. Pencapaian apapun setelah berumah tangga bukanlah pencapaian suami atau istri sendiri, melainkan pasti pencapaian bersama. Jika salah seorang di antaranya sukses berkarya, misalnya, maka sesungguhnya itu adalah karya berdua. Pun jika salah seorang di antaranya lulus S3, maka sebenarnya gelar doktor itu milik keduanya! Dan sekarang saya pun baru benar-benar merasakan maksud kata-kata Mama itu. Subhanallah, alhamdulillah :)

Sekarang, saya ingin bersungguh-sungguh menikmati kelegaan ini. Menurut hemat saya, hal seperti ini memang harus diresapi. Karena jika tidak, gampang sekali saya tergelincir menjadi manusia yang tak tahu bersyukur. Saat penuh, mengeluh. Saat kosong, mengeluh lagi. Lalu keluh-keluh tak disadari sebagai ketidakbersyukuran karena alasan umum : ingin yang sedang-sedang saja. Blah.

Siapa bilang bersyukur itu gampang? Bukankah manusia yang penuh dengan rasa tak puas dan mudah iri adalah jenis makhluk yang harus terus berusaha seumur hidupnya untuk belajar bersyukur? Tidak selalu melihat ke atas atau hal yang lebih enak mungkin adalah satu cara yang bisa ditempuh. Sungguh saya merasakan ketersiksaan itu ketika otak dipenuhi pikiran-pikiran seperti "Coba ada ini..., coba kalau ini bisa begitu...". Ketika semua keluh kesah itu dieliminasi dan saya fokus menikmati hikmah yang berlimpah, secara otomatis saya pun lebih berbahagia :)

Ah, sungguh saya orang yang teramat sangat beruntung. Alhamdulillah...

Mari bersyukur!
- H e i D Y -

Terimakasih pada pencipta gambar! Saya unduh dari sini.