Sabtu, 17 Agustus 2013

Interpretasi Makna Lambang Negara




Setelah mengenal dekonstruksi-nya Derrida (telah saya sampaikan pada tulisan sebelumnya: Perkembangan Aliran Strukturalisme ke Pascastrukturalisme), saya baru mengerti bahwa interpretasi atas suatu hal dapat terbuka seluas-luasnya. Adalah hal yang sangat penting untuk memahami ini sebelum terjun ke ilmu-ilmu budaya, apalagi bagi saya yang berlatarbelakang pendidikan S1 di bidang ilmu alam. Apa hubungannya? Yah, karena sebelumnya lebih banyak bergumul dengan ilmu pasti, cara pandang saya atas segala hal sangat terbatas. Saya hanya tahu benar-salah, hitam-putih, dan meremehkan kesubjektifan. Ternyata, dalam mempelajari suatu ilmu budaya, kesubjektifan tersebut perlu diakui, ada 'warna abu-abu', dan 'benar sekaligus salah' atau' tidak benar tetapi tidak salah' sangat mungkin terjadi. Pusing? Pasti. Apalagi bagi orang seperti saya yang dulu sangat memuja ilmu pasti. Sekarang saya tahu mengapa para budayawan itu luar biasa (Al Fatihah untuk alm Gus Dur)! 

Dalam tulisan sebelum ini, saya sempat menyinggung tentang bagaimana saya memperoleh beberapa ilmu baru dan menarik dari perkuliahan yang saya ikuti. Salah satu ilmu yang saya maksud adalah semiotik, sebuah ilmu tentang tanda. Melalui semiotik, saya belajar bagaimana tanda-tanda di sekitar kita diinterpretasikan (contoh: bendera kuning, bubur merah-putih, rangkaian prosesi adat pernikahan, dan lain-sebagainya). Setelah melihat bagaimana beraneka macam tanda diinterpretasikan, saya pun mencoba memberikan sebuah interpretasi terhadap salah satunya: makna lambang Garuda Pancasila. Seperti yang telah saya paparkan di atas, tentu saja terpretasi ini bersifat subjektif dan dapat sangat berbeda dari interpretasi pembaca lainnya. Namun, saya berharap interpretasi ini turut menyumbang kekayaan makna di balik lambang negara kita. 

Tulisan ini saya poskan dalam rangka memeriahkan hari ulang tahun kemerdekaan RI yang ke-68. Dirgahayu negeriku, semoga seiring dengan berjalannya waktu, kita terus melangkah ke arah yang lebih baik! Aamiin..

- H e i D Y -

            Lambang negara Republik Indonesia sebenarnya memiliki kemiripan dengan beberapa negara lain di dunia seperti Jerman dan Amerika Serikat yang menggunakan gambar burung sebagai lambang negara. Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengetahui bahwa ciri utama dari burung adalah kemampuannya untuk terbang. Lebih dalam lagi, kita pun dapat menarik makna konotasinya: kebebasan. Karena itu, menurut saya, penggunaan sosok burung sebagai lambang suatu negara menandakan bahwa negara tersebut mencita-citakan kebebasan.
            Secara khusus, burung yang dipilih sebagai lambang negara RI adalah burung garuda. Sebenarnya jenis burung ini tidak ada dalam kehidupan nyata. Burung garuda adalah sosok fiktif yang diambil dari cerita mitologi Hindu. Dalam cerita tersebut, garuda yang merupakan kendaraan dari Batara Wisnu sebenarnya juga berstatus sebagai dewa. Dewa berarti sosok ideal yang lebih tinggi derajatnya dari manusia, padahal manusia sendiri sudah merupakan makhluk hidup dengan derajat tertinggi. Dengan demikian, pesan yang saya pahami dari penggunaan burung garuda sebagai lambang negara kita adalah harapan negara untuk mencapai kondisi yang seideal mungkin. Secara khusus, hal itu dapat berarti kekuatan dan kekuasaan. Selain itu, warna emas pada garuda juga melambangkan keagungan dan kejayaan.
            Burung garuda untuk lambang RI digambarkan menengok lurus ke kanan. Hal ini dapat dikaitkan dengan pengetahuan umum dari kehidupan sehari-hari, yaitu arah kanan yang identik dengan baik dan bercitra positif. Karena itu, burung garuda menengok lurus ke kanan saya pahami sebagai tekad untuk kebaikan dan kemuliaan.
            Sementara itu, jumlah bulu pada burung garuda sebagai lambang RI sesuai dengan tanggal proklamasi kemerdekaan RI sendiri, yaitu 17 Agustus 1945. Tanggal 17 ditunjukkan oleh bulu pada masing-masing sayap burung garuda yang berjumlah tujuh belas helai, bulan Agustus yang merupakan bulan ke-8 dalam kalender masehi ditunjukkan oleh bulu ekor yang berjumlah delapan helai, sedangkan tahun 1945 yang dapat disingkat penyebutannya menjadi ’45 ditunjukkan oleh bulu pada leher burung garuda yang berjumlah empat puluh lima helai. Disimbolkannya tanggal kemerdekaan RI dalam jumlah bulu ini masih terkait makna kebebasan itu yang dilambangkan dengan burung itu sendiri, yang telah dibahas sebelumnya di atas. Bagi negara yang mencita-citakan kebebasan, tentu saja tanggal kemerdekaan merupakan suatu momen yang penting karena merupakan tonggak kebebasannya.
            Dalam lambang garuda pancasila, burung garuda digambarkan memiliki perisai yang terpasang di dadanya. Perisai yang pada kenyataannya merupakan salah satu alat perang untuk bertahan ini dapat diartikan sebagai pertahanan bangsa. Saya mengartikan peletakan perisai pada dada ini sebagai tanda bahwa apa yang menjadi pertahanan tersebut dijadikan prinsip dasar yang dipegah tegung dalam hati (yang ada dalam dada).
            Untuk mengetahui apa yang sebenarnya menjadi alat pertahanan itu sendiri, kita dapat melihat warna dan gambar perisai. Warna merah dan putih pada perisai sesuai dengan warna bendera negara RI, yaitu merah yang melambangkan keberanian dan putih yang melambangkan kesucian. Sifat berani dan suci ini diharapkan menjadi sifat bangsa Indonesia dalam mempertahankan negara.
            Lebih lanjut lagi, hal yang dapat teramati dari perisai adalah lima simbol yang tergambar pada perisai itu sendiri. Simbol-simbol ini merupakan lambang dari isi Pancasila, yaitu konsep lima sila yang menjadi dasar negara Republik Indonesia. Dengan digambarkannya Pancasila pada perisai, berarti nilai-nilai yang dirumuskan di dalamnyalah yang menjadi pegangan bangsa Indonesia untuk bertahan dan berlindung dalam  kehidupan bernegara, baik itu di dalam maupun di luar negara. 
            Simbol satu bintang emas dapat diartikan sesuai dengan bunyi silanya: Ketuhanan yang Maha Esa. Tuhan berarti tujuan atau pusat dan Tuhan hanya ada satu. Karena itu, agama yang diakui adalah agama yang meyakini hanya ada satu Tuhan (termasuk trinitas dalam Kristen dan trimurti dalam Hindu yang meski berwujud tiga, tetap berkonsep satu Tuhan). Adanya lima  agama yang diakui ketika negara ini baru merdeka dilambangkan dengan jumlah sudut pada bintang itu sendiri.
            Simbol rantai menunjukkan sifat kait, yaitu bagaimana tiap manusia saling berhubungan dan bergantung satu sama lain. Apa yang dilakukan seseorang akan berimbas ke yang lain. Pada simbol rantai ini, terlihat bahwa pembentuknya adalah gelang-gelang kecil yang berbentuk lingkaran sebagai lambang dari perempuan dan persegi sebagai lambang dari laki-laki. Ini menunjukkan bahwa hubungan antarmanusia yang harus dijaga tidak hanya menyoroti kehidupan lelaki, melainkan juga perempuan. Rantai menunjukkan susunan yang teratur, yang dalam kehidupan masyarakat berarti diartikan sebagai terrwujudnya masyarakat yang adil dan beradab. Rantai juga memiliki sifat dapat bergerak atau dinamis, namun demikian tetap utuh bersatu. Kedinamisan yang tetap menjaga kesatuan ini pulalah yang diharapkan terjadi dalam masyarakat Indonesia.
            Jika kita menjaga persatuan dan kesatuan, maka kita menjadi bangsa yang besar dan kokoh. Hal inilah yang dapat dimaknai dari simbol pohon beringin. Pohon beringin merupakan pohon yang besar dan sangat kuat karena memiliki akar tunggal yang panjang untuk menunjang pohon besar tersebut dan tumbuh sangat dalam ke tanah sehingga tidak akan roboh. Selain itu, terdapat pula banyak akar yang menggelantung dari ranting-ranting pohon yang dapat diartikan sebagai banyaknya akar budaya yang berbeda dalam kesatuan bangsa Indonesia. Semua akar yang menggelantung pada pohon beringin tumbuh ke bawah dan menuju tanah untuk ikut menyokong pohon. Hal ini menunjukkan bahwa semua unsur bangsa termasuk kalangan penguasa atau bangsawan sekali pun diharapkan ikut turun ke bawah untuk bersama-sama menunjang persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
            Simbol lainnya yang tergambar dalam perisai adalah kepala banteng. Dalam kehidupan nyata, banteng atau lembu liar adalah hewan pekerja dan makhluk sosial seperti manusia. Dengan kata lain, kepala banteng ini dapat melambangkan kaum kecil seperti buruh atau kelompok pekerja. Hal ini kemudian mengarah pada makna lain, yaitu bagaimana cara paling bijaksana untuk menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan, masyarakat kita memiliki cara yang bijaksana yaitu gotong royong.  Suatu pekerjaan pekerjaan dimulai dengan musyawarah dulu. Pengambilan keputusan lewat musyarwarah dan penerapan cara bekerja gotong royong sebagai nilai sosial bangsa Indonesia inilah yang diharapkan tetap terpelihara sampai kapan pun.
            Gambar padi dan kapas  melambangkan kebutuhan pokok manusia, yaitu pangan dan sandang. Lebih dalam lagi, hal ini dapat diartikan sebagai kemakmuran suatu negara. Selain karena merupakan kebutuhan pokok, penggunaan padi dan kapas sebagai simbol kemakmuran juga karena Indonesia adalah negara agraris. Kemakmuran dalam hal ini juga ditujukan untuk semua kalangan. Dengan kata lain, ditegaskan bahwa tidak boleh ada kesenjangan sosial antara satu kalangan dengan kalangan lainnya. Inilah yang seharusnya menjadi prinsip yang dipegang teguh RI sebagai negara sosialis, dimana perekonomian diatur oleh negara dan diserahkan pada rakyat untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat itu sendiri.
            Selain lima gambar pada perisai, kita juga dapat melihat garis tegas melintang berwarna hitam sehingga perisai tampak terbagi menjadi dua bagian. Ini melambangkan wilayah kedaulatan negara Republik Indonesia yang dilalui garis khatulistiwa. Keberadaan secara geografis ini penting dan sesuai dengan visi politik luar negeri RI yaitu bebas aktif (tidak berpihak pada blok barat maupun timur, dua blok yang berseberangan pada masa perang dunia kedua, saat lambang negara kita ini diciptakan). Keberadaan wilayah Indonesia di khatulistiwa yang merupakan garis tengah bumi dapat dimaknai sebagai harapan negara kita untuk menjadi penyeimbang kekuatan politik di dunia, yang kemudian salah satunya terwujud dalam pendirian gerakan non blok.
            Terakhir, kita dapat melihat digambarkannya cakar burung garuda yang mencengkram pita bertuliskan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Semboyan yang berarti “berbeda-beda berbeda tetapi satu jugaini sesuai dengan gambaran bangsa Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam suku dengan kebudayaan yang berbeda-beda, namun tetap mencita-citakan persatuan dan kesatuan. Seperti halnya cakar burung garuda mencengkeram pita semboyan tersebut, diharapkan bangsa Indonesia pun memegang kuat prinsip saling menghormati berbagai perbedaan yang ada dan tetap mengutamakan persatuan serta kesatuan bangsa.
            Pada akhirnya, saya berkesimpulan bahwa garuda pancasila sebagai lambang negara sebenarnya merupakan suatu mitos atau penyampai pesan berupa cita-cita atau harapan untuk kebaikan bangsa dan negara Republik Indonesia. Untuk mencapai cita-cita mulia tersebut, disampaikan pesan yang mengingatkan kita untuk selalu berpegang teguh pada nilai-nilai yang dijadikan dasar negara.

Berikut beberapa daftar pustaka yang saya gunakan:
Barthes, Roland. 2007. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa. Diterjemahkan oleh Ikramullah Mahyuddin. Yogyakarta: Jalasutra.
Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Zaimar, Okke K. S. 2008. Semiotik dan Penerapannya dalam Karya Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Gambar diambil dari commons.wikimedia.org. Terima kasih!


Minggu, 11 Agustus 2013

Perkembangan Aliran Strukturalisme ke Pascastrukturalisme


Sebagai mahasiswa pascasarjana yang 'murtad' dari ilmu S1-nya, saya tidak punya banyak bekal pengetahuan ketika baru mulai berkuliah di program studi linguistik, termasuk pengetahuan tentang apa saja PERSISnya yang akan saya pelajari. Maka, saya pun kaget dan heran ketika ternyata di semester pertama saya mendapatkan mata kuliah Teori Kebudayaan serta Filsafat Ilmu Pengetahuan. Namun, berbeda dengan saat kuliah S1 dulu, bagi saya, ilmu ini menjadi kejutan yang menyenangkan!

Salah satu hal yang saya pelajari dari mata kuliah Teori Kebudayaan adalah aliran-aliran pengetahuan atau filsafat. Tidak seperti suami saya yang memang berwawasan luas karena tidak hanya mengandalkan sekolah formal sebagai sumber pengetahuannya, ini benar-benar hal baru bagi saya waktu itu. Baru, tetapi sangat menarik. Setelah saya mengikuti perkuliahan tersebut, saya bahkan merasa bahwa pengetahuan ini sebaiknya disampaikan di semester awal bagi mahasiswa S1, atau bahkan siswa setingkat SMA, sebelum mereka memilih menekuni suatu bidang ilmu tertentu.

Di sini saya akan menuliskan pemahaman saya (sebagai seorang pelajar pemula dalam ilmu budaya) mengenai perkembangan aliran strukturalisme ke pascastrukturalisme. Saya yakin rangkuman ini masih sangat jauh dari baik. Jika Anda menemukan kekurangan atau kesalahan, saya mohon kesediaannya untuk memberikan masukan. Terima kasih!

- H e i D Y -


Strukturalisme

Smith (2001) mengatakan bahwa dalam strukturalisme, ada sistem dan pola-pola yang mendasari fenomena bahasa, mitos, dan berbagai fakta sosial-budaya. Kode, mitos, narasi, dan simbolisme kemudian menjadi alat yang kaya dan sangat kuat untuk memahami kehidupan budaya. Objek atau fakta tersebutlah yang diamati, tetapi ada asumsi bahwa realitas ditentukan oleh struktur dan hasil pengamatan dijelaskan sesuai dengan sistem atau struktur yang diakui kebenarannya itu. 

Menurut para strukturalis, pembentukan pengertian dan teori bergantung pada lokasi sosial dan konstruksi historis pengamat serta menekankan kualitas matematis dari sistem budaya. Ferdinand de Saussure adalah salah satu tokoh strukturalis yang terkenal dengan strukturalisme linguistiknya, yaitu upaya mencari struktur dan konvensi dasar yang memungkinkan penggunaan bahasa. Sebagai strukturalis yang mengutamakan bahasa sebagai sistem atau struktur, Saussure memperkenalkan 4 konsep penting dalam teori linguistiknya yang dilihat sebagai oposisi biner: langue-parolesignifie-signifiant, sintagmatik-paradigmatik, dan sinkroni-diakroni. 

Oposisi biner adalah sebuah sistem yang terdiri dari dua kategori yang berelasi, yang membentuk keuniversalan dalam bentuknya yang paling murni. Dalam oposisi biner, segala sesuatu yang masuk dalam kategori A hanya dapat dipahami dalam relasinya dengan kategori B. Kategori A hanya eksis dalam relasinya dengan kategori B dan hanya dapat dipahami karena ia bukan atau berbeda dari kategori B (Lubis, 2011). Berdasarkan pemahaman ini, 'manusia', misalnya, hanya eksis karena ada kategori yang 'bukan manusia'. 

Saussure membedakan antara langue, seperangkat aturan atau sistem bahasa, dengan parole, yang menjadi wujud bahasa dalam tuturan/ujaran dan tulisan. Strukturalisme hanya memiliki perhatian terhadap langue dan tidak menjadikan parole yang merupakan pemakaian bahasa individual sebagai kajiannya. Ini menunjukkan bahwa aliran strukturalisme hanya memperhatikan bahasa sebagai suatu hal yang obyektif dan universal dan tidak memperhatikan keunikan bahasa itu sendiri.

Saussure juga membedakan bahasa atas signifiant (penanda) dan signifie (petanda). Ia menekankan peran petanda serta hubungan makna yang pasti antara bahasa dengan apa yang diacu. Kata pohon, misalnya, merupakan penanda yang mengacu pada petanda makhluk hidup yang berakar, berbatang, berdaun, dan seterusnya.

Istilah sintagmatik dan paradigmatik digunakan Saussure untuk menjelaskan sifat relasi antarkomponen dalam bahasa. Relasi sintagmatik adalah relasi antarkomponen dalam struktur. Contohnya adalah hubungan antara kata sayaminum, dan susu dalam kalimat saya minum susu atau antara kata ayah, membeli, dan koran dalam kalimat ayah membeli koran. Sementara itu, relasi paradigmatik adalah relasi antara suatu komponen dalam struktur tertentu dengan entitas lain di luar struktur tersebut seperti hubungan kata ayah dengan saya, membeli dengan minum, dan koran dengan susu dalam contoh kalimat di atas.

Dalam linguistik struktural, Saussure menyatakan bahwa analisis bahasa harus bersifat sinkronis atau berarti hanya pada periode tertentu agar terjadi objektivitas makna bahasa. Dengan demikian, tidak ada kekaburan karena faktor situasi historis seperti yang terjadi pada analisis diakronis (dari waktu ke waktu). Analisis sinkronis penting karena dapat menentukan aturan/struktur langue suatu bahasa. Dengan hanya memperhatikan bahasa pada periode tertentu atau sinkronik, maka bahasa dapat dilihat sebagai sebuah sistem yang stabil dan makna dapat dilepaskan dari unsur nonlinguistik.

Pascastrukturalisme

Lahirnya aliran pascastrukturalisme tidak dapat lepas dari strukturalisme itu sendiri.  Menurut Smith (2001), aliran pascastrukturalisme paling tepat dipahami sebagai perbaikan dan perkembangan dari strukturalisme daripada sebagai pemikiran yang bertentangan. Pemikiran pascastrukturalisme kontemporer tidak akan ada tanpa adanya inovasi terdahulu dari strukturalisme. Hal ini dapat dilihat dari pemikiran para pascastrukturalis yang muncul setelah mereka menolak strukturalisme, padahal pada mulanya pemikiran mereka berada dalam payung strukturalisme.

Berbeda dari strukturalis yang berpendapat bahwa pembentukan pengertian dan teori bergantung pada lokasi sosial dan konstruksi historis pengamat, pascastrukturalis menyarankan agar pembentukan teori didasarkan pada usaha eksplorasi kondisi-kondisi sosial yang melahirkan pengetahuan berlatar sosial tertentu. Kemudian, jika strukturalisme menekankan kualitas matematis dari sistem budaya, pascastrukturalisme mengedepankan hasrat, kesenangan, dan permainan sebagai dimensi-dimensi budaya yang dapat diobservasi serta kualitas penulisan teoretis. Selain itu, pascastrukturalis berargumen bahwa budaya dan teks dapat diinterpretasikan dalam beragam cara dan berpendapat bahwa tidak ada kepastian pemahaman yang benar atau salah. Karena itulah, pascastrukturalisme mempertanyakan keilmiahan, kebenaran, dan epistemologi strukturalisme.

Jacques Derrida yang mengemukakan konsep dekonstruksi merupakan salah satu pemikir pascastrukturalis. Bagi Derrida, kebudayaan tidak harus dianalisis sebagai struktur, tetapi melalui metode dekonstruksi, yaitu metode pembacaan teks secara komprehensif untuk menginterpretasinya. Dengan menggunakan metode ini, diyakini tidak ada makna yang pasti pada teks. Hoed (2011) menyebutkan bahwa dekonstruksi sebenarnya merupakan bentuk ultra-strukturalisme karena berusaha mengubah atau mengembangkan strukturalisme dengan berada di dalam sekaligus di luar strukturalisme itu. Ini berarti dekonstruksi sebenarnya adalah suatu tindakan strukturalis sekaligus anti strukturalis.

Derrida mengakui konsep difference Saussure merupakan dasar eksistensi sebuah tanda, tetapi selanjutnya harus dipahami dalam ruang dan waktu yang berbeda-beda sehingga kemudian dapat diperoleh maknanya. Pemaknaan statis melalui difference pada strukturalisme dikembangkan menjadi pemaknaan yang dinamis melalui apa yang disebutnya dengan “differance”. Hubungan antara penanda dan petanda, misalnya, menurut Derrida tidak dapat bersifat statis. Makna suatu tanda tidak hanya diperoleh berdasarkan pembedaan antartanda yang bersifat tetap, melainkan berubah-ubah sesuai kehendak pemakai tanda, ruang, dan waktu.

Kritik lain yang dilontarkan Derrida terhadap pemikiran Saussure adalah hubungan hirarkis langue-parole. Derrida tidak menyetujui konsep hubungan ini dan mengatakan bahwa pada gilirannya, parole dapat menguasai langue dengan menimbulkan perubahan pada langue. Ini sebenarnya merupakan bentuk dekonstruksi dari konsep hubungan hirarkis antara langue dan parole.

Pemikiran Derrida terkait kesejarahan versus konseptual adalah perlawanannya terhadap strukturalisme yang mengutamakan analisis sinkronis di atas analisis diakronis. Derrida mengatakan bahwa tulisan tidak terikat pada penulisnya dan akan bergerak mengikuti poros ruang dan waktu. Hal ini berkaitan dengan differance yang mendestabilisasi semua relasi biner dalam strukturalisme sehingga tidak ada yang bersifat tetap. Semua bergerak dalam ruang dan waktu dan karena ada gerak pada struktur, maka struktur bukan “ada”, melainkan “menjadi”. Jika pendekatan strukturalis adalah pada konsep (padahal suatu model atau pemikiran dapat berubah atau siap berkembang), maka pemikiran Derrida merupakan pendekatan penyejarahan. Ia mendekonstruksi pementingan pada konsep sehingga suatu konsep dikatakan tidak tinggal diam, melainkan bergerak, berkembang, dan berubah. Dengan demikian, historitas harus menjadi bagian analisis struktural. Karena aspek historis ini penting, makna pun menjadi tidak stabil (Hoed, 2011).

Menurut Derrida, seharusnya bahasa didekati sebagai suatu sistem yang independen dari penutur. Ia berpendapat bahwa makna itu terbuka, jamak, dan tanpa pengakhiran. Pemikiran tersebut  menantang ide penulis yang "memerintah", yang telah memproduksi suatu teks dengan batas-batas yang jelas. Dalam pengertian ini, karya-karya Derrida dipahami sebagai karya pascastrukturalis yang kuat. Smith (2001) mengatakan bahwa meskipun berspesialisasi pada metode interpretasi teks, karya-karya Derrida berpengaruh besar pada teori kebudayaan: secara luas mempertanyakan model-model penelitian objektivis dan dipahami sebagai penggambaran prinsip strukturalis dari semiosis infinit. Selain itu, Derrida juga menyarankan hibriditas dan ambiguitas sebagaimana juga klasifikasi sebagai fitur sentral suatu sistem kebudayaan.


Daftar Pustaka
Hoed, Benny H. (2011). Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
Lubis, Akhyar.( 2011). Teori dan Konsep-Konsep Penting Filsafat Ilmu dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Sosial-Budaya Kontemporer. Depok: Departemen Filsafat FIB UI.
Maksum, Ali. (2011). Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme. Yogyakarta:  Ar-Ruzz Media.
Powell, Jason. (2006). Jacques Derrida: A Biography. London: Continuum.
Smith, Philip. (2001). Cultural Theory: An Introduction. Massachutsetts: Blackwell Publishing Inc.