tag:blogger.com,1999:blog-118389882024-03-07T16:05:36.015+07:00indahnya hidupketika sadar untuk memaknaiHeidy Kaenihttp://www.blogger.com/profile/10006052961734919916noreply@blogger.comBlogger137125tag:blogger.com,1999:blog-11838988.post-75266132694690500072024-02-07T23:11:00.002+07:002024-02-08T19:14:53.896+07:00Aku yang Dulu ...<p></p><p> Alhamdulillah, gara-gara tantangan menulis Mamah Gajah Bercerita, blog
ini kembali dilap, disapu, lalu dipel. Kemudian, gara-gara tema
"Aku" dan topik khusus "Masa Lalu" yang ditetapkan untuk
tulisan minggu ini, aku jadi bongkar-bongkar diari dan surat-surat lama. Lebih
tepatnya lagi, ini gara-gara aku terlalu yakin bahwa aku masih ingat seluruh
masa laluku sehingga menurutku topik ini sangat mudah untuk ditulis.<o:p></o:p></p>
<p>Ternyata aku salah. Berawal dari kebingunganku memilih pengalaman dari masa
mana yang enak untuk ditulis, pelan-pelan kusadari bahwa bagian hidup di masa
lalu yang kuingat kebanyakan hanyalah berupa potongan fakta dan data peristiwa (yang sekarang rasanya tak cukup menggugah diriku sendiri untuk menceritakannya).
Termasuk di antaranya kapan dan di mana aku bersekolah, apa makanan yang
kuhindari, bagaimana aku sering terjatuh, siapa manusia lawan jenis yang
kusukai, dan lainnya. Ternyata, aku tidak dengan rapi menyimpan memori
tentang apa dan bagaimana caraku berpikir dan berpendapat, misalnya.<o:p></o:p></p>
<p>Kesadaran itu makin jelas ketika menemukan tulisan-tulisan rahasiaku puluhan
tahun yang lalu. Sibuklah aku tersenyum-senyum geli dan menggeleng-gelengkan
kepala selama membaca semuanya. Rasanya tak habis pikir karena begitu berbeda
dengan diriku saat ini.<o:p></o:p></p>
<p>Bagaimana mungkin, misalnya, dulu aku bisa ikut campur dalam urusan
percintaan orang lain? Kenapa aku harus sampai ikut heboh sekali saat seorang
temanku memutuskan pacarnya? Untuk apa sih, aku menulis panjang lebar tentang gagasan
jodoh ideal bagiku berdasarkan pengalaman percintaan teman-teman dekatku? Oh,
aku bahkan juga menuliskan teori dan analisis “masalah hubungan pertemanan”
dalam berlembar-lembar draf surat ke salah satu sahabatku. <o:p></o:p></p>
<p>Wow. Apakah waktu luangku dulu sebanyak itu? Kurasa tidak, meskipun aku yakin
bahwa memang masa-masa itu tak mungkin dibandingkan dengan kondisiku kini, saat
sudah menjadi ibu dengan dua anak. <o:p></o:p></p>
<p>Di akhir “perjalanan singkat ke masa lalu”, kusimpan kembali teks-teks pribadi
yang menggelikan itu. Sebagaimanapun memalukannya perilakuku di masa lalu, itu
semua tetap bagian dari kehidupanku, pengalamanku yang berharga. Sebesar apa
pun rasa malu itu, kuputuskan untuk tidak membuang atau melenyapkannya. Bukankah
hanya berkat masa lalu yang seperti apa pun, aku menjadi aku yang sekarang ini?<o:p></o:p></p>
<p>Wahai, aku ... yang di masa lalu, di masa kini, ataupun di masa depan ...</p><p><o:p></o:p></p><p>terima kasih.</p>
<p><o:p>Aku mencintaimu. </o:p></p><p><o:p><br /></o:p></p>
<p><o:p> </o:p></p>
<p><o:p> </o:p></p>
<p> <o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p><br /><p></p>Heidy Kaenihttp://www.blogger.com/profile/10006052961734919916noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-11838988.post-8108134551023655272022-10-30T18:38:00.003+07:002022-10-30T19:09:34.438+07:00Tujuan Pendidikan<p>Pertanyaan pertama yang muncul di benakku ketika merencanakan pendidikan anak adalah sebuah pertanyaan mendasar, yaitu tentang definisi manusia. Apa itu manusia? Berkaca kembali pada definisi peran dan fungsi manusia, seharusnya ini menjadi landasan untuk menentukan <b>tujuan</b> pendidikan.</p><!--wp:paragraph-->
<!--/wp:paragraph-->
<!--wp:paragraph-->
<p>Manusia pasti bukan hanya seonggok daging dengan darah, otot, saraf, dan sebagainya. Ada begitu banyak fitur yang "dipasang" Yang Maha Kuasa di setiap makhluk-Nya. Akal dan hati nurani yang tidak diberikan kepada makhluk lain tidak hanya diberikan kepada sebagian saja, tetapi semua manusia yang Dia utus ke bumi ini.</p>
<!--/wp:paragraph-->
<!--wp:paragraph-->
<p>Menurutku, penghayatan atas eksistensi dan asal muasal manusia serta hubungannya dengan Sang Penciptanya merupakan hal yang paling penting dalam merencanakan dan melaksanakan pendidikan. Setujukah pada opini bahwa seseorang hanyalah salah satu “suku cadang” di dunia industri? Aku <i>sih </i>sangat tidak sepakat dengan pendapat tersebut. </p><p>Karena itu, aku pun berusaha menelaah kembali <b>tujuan</b> pendidikan bagi anak-anakku. Apakah aku harus menyekolahkannya hanya dengan harapan suatu hari nanti dia akan masuk perguruan tinggi bergengsi dan menemukan/menciptakan pekerjaan bergaji besar? Kemudian, apakah karena itulah aku perlu panik ketika ia tidak bisa membaca di usia dini atau marah ketika ia membawa nilai ujian sekolahnya yang buruk?</p>
<!--/wp:paragraph-->
<!--wp:paragraph-->
<p>Topik <b>tujuan</b> pendidikan juga kurasa sangat berdekatan dengan topik hidup dan mati. Meskipun berbicara tentang kehidupan mungkin masih dapat diterima, aku mengerti bahwa topik tentang kematian sebenarnya bukanlah topik yang menyenangkan. Namun, menurutku, memikirkan dan membicarakannya sebenarnya dapat sangat bermanfaat. Bukankah menyadari keterbatasan usia membuat kita lebih menghargai hidup yang tidak kekal ini? </p><p>Aku sering membayangkan, akan seperti apa dunia ini jika semua orang senantiasa sadar menghadapi "jatah waktunya" masing-masing. Apa yang akan benar-benar kita anggap penting setiap detiknya selagi menjalani kehidupan ini? Tidakkah kita lebih membutuhkan ketulusan di atas kedengkian, kerja sama di atas persaingan, dan—tentu saja, sekali lagi—kebaikan di atas kemuliaan? Kemudian, sudahkah <b>tujuan</b> pendidikan generasi penerus kita pun diarahkan ke sana?</p>
<!--/wp:paragraph-->Heidy Kaenihttp://www.blogger.com/profile/10006052961734919916noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-11838988.post-15884852191467531702022-05-29T20:59:00.004+07:002022-06-02T09:22:39.524+07:00Tahun yang Baik<p>Selama bertahun-tahun dahulu, aku pernah menyebutkan judul di atas sebagai bagian dari doa sebelum menyongsong tahun baru (baik tahun masehi, tahun hijriah, maupun tahun usiaku yang baru ... hehehe). Sepertinya yang menjadi fokusku adalah kata <i>baik. </i>Dalam hal sekolah, pekerjaan, jodoh, atau yang lain-lain, tentu pengalaman yang baik-baiklah yang kuharapkan. Wajar, <i>kan</i>? Bukankah semua orang begitu?</p><p>Waktu terus berjalan dan alhamdulillah, aku masih diberi rezeki usia hingga detik ini. Dengan kata lain, terus bertambahlah pengalamanku untuk melangkah ke depan, melewati tahun demi tahun yang baru sekaligus mengenang tahun yang telah berlalu. Apa saja kebaikan yang kualami dan harus kusyukuri?</p><p>Namun, entah sejak kapan tepatnya, aku tergelitik untuk mengkritik pemikiranku sendiri. Jika ada hal atau kejadian yang kuanggap baik, bukankah sudah tentu ada pula yang sebaliknya, yaitu yang kuanggap buruk? Apa yang kualami dan kapan aku mengalaminya?</p><p>Apakah permohonanku akan tahun yang baik menandakan bahwa aku merasa cukup banyak mengalami hal-hal buruk (atau tepatnya, kuanggap buruk) pada tahun-tahun sebelumnya? Yang seperti apa tepatnya yang dapat dinilai buruk? Apakah keburukan berarti sakit, kecelakaan, kehilangan barang atau bahkan seseorang? </p><p>Beberapa di antaranya memang benar pernah kualami. Namun, setelah kejadiannya berlalu cukup lama (atau mungkin juga lebih cepat untuk peristiwa tertentu), aku tak yakin lagi dapat menyebutnya buruk. Bagaimana perasaanku saat menyadari sepertinya aku salah memilih jurusan saat S1, misalnya? Atau bagaimana pula rasanya ketika tidak hamil-hamil setelah tujuh tahun menikah? Jelas, aku tidak baik-baik saja ... pada saat itu. Namun, beberapa waktu kemudian, hingga sekarang, yang tersisa adalah perasaan beruntung. </p><p>Seandainya aku masuk jurusan kuliah yang kupikir tepat, mungkin aku takkan bertemu dengan lelaki terbaik yang menjadi suamiku kini. Begitu pula soal berketurunan. Jika saja langsung hamil setelah menikah, mungkin aku tidak akan bertemu dengan anak angkatku saat ini. </p><p>Keinginanku untuk mendapatkan hal-hal yang--kupikir--baik memang tidak selalu terwujud sepenuhnya. Akan tetapi, Tuhan Mahatahu dan selalu memberikan apa yang paling baik untukku. Hanya waktu yang kubutuhkan untuk menyadari dan menerimanya. </p><p>Karena itulah, doaku menyambut setiap tahun yang baru sekarang sedikit "bergeser". Kusyukuri tahun-tahun penuh kebaikan yang selalu kulalui dan kupinta satu hal terpenting: semoga Dia mengizinkanku menjaga nikmat iman ini. <i>Aamiin Allahuma Aamiin.</i></p><p>Bagaimana denganmu? Adakah permohonan yang khusus menjelang tahun baru atau ulang tahunmu? </p>Heidy Kaenihttp://www.blogger.com/profile/10006052961734919916noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-11838988.post-22763746425098527892021-12-13T20:47:00.001+07:002021-12-13T20:47:18.158+07:00Dua Mata Pedang Gawai<p>"Fyuh ... kuletakkan ponsel pintarku setelah memeganginya selama hampir dua jam demi menyelesaikan sebuah tugas." </p><p>Kalimat cerita di atas mungkin tidak aneh atau membingungkan bagimu saat ini. Benar, tidak? Berbeda dengan tahun 2002, saat pertama kali aku mengenal telepon seluler, kini <em>handphone</em> tidak hanya dapat dipakai untuk menelepon, mengirim pesan melalui <em>short messaging service </em>(SMS) (yang menuntut ongkos untuk tiap pesan yang terkirim), atau memainkan <em>game </em>sederhana seperti <em>tetris</em> atau <em>snake</em>. Kita dapat melakukan <em>instant chatting</em> tanpa sibuk mengurangi jumlah karakter dalam pesan yang dikirimkan demi menghemat biaya, berbicara dengan banyak orang dari berbagai tempat secara bersamaan, menulis berlembar-lembar artikel atau bahkan draf novel, hingga mendesain poster atau merancang <em>slide </em>presentasi. </p><p><em>Smartphone</em>, tab, laptop, dan gawai-gawai lainnya telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari sebagian manusia yang hidup pada zaman ini. Tujuannya jelas: meringankan kerja kita. Tulisan, gambar, video, dan beragam karya lainnya dapat dihasilkan lebih cepat dan banyak. Interaksi dan komunikasi dengan siapa saja menjadi jauh lebih mudah, meskipun terpisah jarak hingga ribuan kilometer. Jelaslah produktivitas manusia pada masa kini tak lepas dari keberadaan aneka jenis <i>gadget</i>.</p><p>Namun, itu baru satu sisi cerita. Bagaikan pedang yang selalu bermata dua, gawai pun dapat memberikan dua dampak yang bertentangan. Ada banyak keuntungan yang dapat diraih, tetapi tak mustahil ada lebih banyak lagi kerugian yang diperoleh.</p><p>Beragam permainan daring, buku dan komik digital, artikel di website, film dan serial televisi, hingga cerita keseharian yang dibagikan teman-teman di media sosial sering kali bermanfaat bagi kita sebagai penghibur atau penghilang kejenuhan. Sayangnya, terkadang keasyikan yang terasa membuat kita terlena dan lupa akan waktu yang terbatas dan terus berjalan. Puluhan tahun lalu, istilah <em>kecanduan</em> hanya sering dikaitkan dengan narkoba yang tak mudah diakses oleh semua orang. Sekarang, apa pun yang dapat dinikmati melalui layar sangat berpotensi menjadi candu bagi siapa saja--dari segala kalangan umur dan golongan lainnya--yang mengenal televisi, komputer, dan <em>handphone</em>.</p><p><!-- wp:paragraph -->
<!-- /wp:paragraph -->
<!-- wp:paragraph -->
<!-- /wp:paragraph -->
<!-- wp:paragraph -->
<!-- /wp:paragraph -->
<!-- wp:paragraph -->
<!-- /wp:paragraph -->
<!-- wp:paragraph -->
<!-- /wp:paragraph -->
<!-- wp:paragraph -->
<!-- /wp:paragraph -->
<!-- wp:paragraph -->
</p><p></p>
<!-- /wp:paragraph -->
<!-- wp:paragraph -->
<p></p>
<!-- /wp:paragraph --><p></p><p>Pada akhirnya, aku percaya pada ajaran turun temurun dari orang tua: segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Sehebat-hebatnya gawai, tetap saja ada potensi buruk yang harus diwaspadai. Tidak hanya dapat membantu kita agar menjadi lebih produktif, gawai juga sangat mampu membuat kita menjadi tidak produktif sama sekali. Yang pernah kecanduan main <em>game </em>atau nonton <em>film</em>, mana suaranyaaa? XD</p>Heidy Kaenihttp://www.blogger.com/profile/10006052961734919916noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-11838988.post-75192992773076650962021-11-30T23:54:00.012+07:002021-12-04T15:05:05.600+07:00Hidupku di Tahun 2021Rasanya baru kemarin kita menutup tahun 2020 dan menyambut tahun 2021. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, mungkin rasa cemas, gelisah, pesimis, dan kurang bersemangat hinggap di hati banyak orang awal tahun ini. Mungkin semuanya bermuara pada satu pertanyaan besar: akankah pandemi ini berakhir?<div><div><br></div><div>Ada begitu banyak perubahan yang terjadi sejak wabah Covid-19 mulai menyebar di awal tahun 2020. Semua orang tak lagi bebas melakukan kontak fisik (bersalaman, berpelukan, dan sebagainya), bertemu dan berkumpul, atau sekadar memamerkan seluruh wajah tanpa ada yang tertutup masker. Bepergian, bahkan ke tempat umum terdekat, bahkan menjadi hal yang teramat sulit dan langka bagi sebagian besar dari masyarakat.</div><div><br></div><div><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgU14-i533hnROW-wxQF92HUFgzXRrulCE-K2113BxLB6ZW-oHW1bBJUi1pZIfd1HWxoMnP6sEfqt6_eSB6PZiPPz9O_3yK8qfKXOq3etPenOaGl9F85R55zMWvLIkpYC6lXQJa/s1600/1638451695637350-0.png" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" width="400"></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: x-small;">Destinasi Andalan Selama Pandemi: Taman dalam Kompleks Rumah</span></td></tr></tbody></table><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgU14-i533hnROW-wxQF92HUFgzXRrulCE-K2113BxLB6ZW-oHW1bBJUi1pZIfd1HWxoMnP6sEfqt6_eSB6PZiPPz9O_3yK8qfKXOq3etPenOaGl9F85R55zMWvLIkpYC6lXQJa/s1600/1638451695637350-0.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;">
</a>
</div></div><div><br></div><div>Jumlah penderita Covid-19 juga terus bertambah. Berita saudara, sahabat, dan kerabat yang tertular virus ini hingga jatuh sakit dan bahkan meninggal dunia berseliweran di sekitar kita. Maka, kurasa wajarlah jika kebanyakan dari kita sulit merasa optimis saat menyongsong tahun 2021. Mungkinkah kondisi membaik di tahun baru ini? Mungkinkah kita bangun dari mimpi buruk ini?</div><div><br></div><div>Aku selalu percaya bahwa membakar semangat di awal tahun itu sangat penting. Mungkin karena keyakinan dan kebiasaan yang terus kupelihara sejak dahulu ini, masih ada bagian dari diriku yang tak terlalu dikuasai oleh rasa pesimis itu. Masih kuupayakan dengan gigih menyapa awal tahun dengan berdiri tegak dan tersenyum. Dalam hati, terpatri sebuah tekad: apa pun yang terjadi, tahun ini pun harus lebih baik daripada tahun kemarin. Kemudian, kuikrarkan misi besarku tahun ini: aku ingin lebih banyak berkarya.</div><div><br></div><div>Dalam agamaku, niat dipandang sebagai unsur terpenting dalam tindakan apa pun. Dahsyatnya kekuatan niat akan dapat terlihat pada setiap akhir perbuatan. Tanpa niat yang kuat, mustahil sebuah usaha akan berhasil. Begitu pula sebaliknya: keberhasilan sebuah usaha pasti dilatari niat yang kuat. Kurasa tahun ini, aku kembali melihat bukti kebenaran teori tersebut dari pengalamanku sendiri: bagaimana niatku sejak awal tahun untuk banyak berkarya benar-benar menuntunku pada hasil yang nyata, yaitu aneka karya yang kutelurkan. <i>Masyaa Allah Tabarakallah.</i></div><div><br></div><div>Tak terasa, bulan terakhir tahun 2021 telah tiba dan kita akan segera menyapa tahun 2022. Seperti tahun-tahun sebelumnya, aku pun berencana membuat resolusi-resolusi tahun baru. Namun, sebelumnya, izinkanlah aku mengenang kembali kehidupanku sepanjang tahun ini. Atas izin Allah Swt., kuperoleh berbagai rezeki, ujian, dan pencapaian di tahun ini. Di antaranya adalah sebagai berikut. </div><div><br></div><h2 style="text-align: left;"><b>Berkarya Lewat Tulisan</b></h2><div><br></div><div>Mungkin bahkan teman-teman yang belum pernah bertatap muka denganku dapat dengan mudah menebak salah satu hobiku yang satu ini: menulis. Aku sudah gemar menulis sejak masih di bangku sekolah dasar. Tiga draf novel pertamaku kuselesaikan di bangku SMA dan novelet pertamaku diterbitkan di sebuah penerbit mayor sesaat setelah aku menyelesaikan S1. Menulis selalu mengambil bagian besar dalam kehidupanku hingga tak terbayang olehku bagaimana aku dapat hidup dengan baik-baik saja tanpa menulis. Meskipun demikian, pernah ada waktu-waktu aku tak mampu menulis untuk hal atau tujuan tertentu. Ada tahun-tahun aku meninggalkan dunia menulis fiksi. Di waktu lain, ada pula masa saat aku tak sanggup membuat tulisan apa pun yang dapat dibaca oleh orang lain.</div><div><br></div><div>Berbekal niat yang kutekadkan akhir tahun lalu, rupanya pada tahun ini aku berkesempatan untuk melakukan semuanya. Berkat tantangan rutin di grup Mamah Gajah Ngeblog (<a href="https://mamahgajahngeblog.com/tema-tantangan-mgn-november-pelajaran-hidup-2021/" target="_blank">Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog</a>) dan Mamah Gajah Bercerita (Tantangan MaGaTa), aku berhasil kembali menghidupkan "rumah-rumah"ku di dunia maya. Dapat terlihat jumlah tulisanku tahun ini yang telah mencapai 24 judul di blog pribadi ini dan 27 judul di blog keluarga. Sempat pula aku beberapa kali mendapat kesempatan untuk menulis di Mamah Gajah Ngeblog. </div><div><br></div><div>Tak hanya untuk tulisan nonfiksi, aku juga kembali "bangun dari mati suri" di dunia fiksi. Kuikuti sayembara menulis cerita anak untuk Gerakan Literasi Nasional (GLN) 2021 dan cerita remaja dalam Gramedia Writing Project (GWP) 2021. Alhamdulillah, salah satu naskahku lolos dalam sayembara GLN untuk diterbitkan oleh Kemdikbud. Naskah novelku untuk GWP kali ini belum menang, tetapi aku merasakan pencapaian yang luar biasa bahkan sebelum pengumumannya keluar: aku berhasil menyelesaikan sebuah naskah novel yang telah tertunda bertahun-tahun! Dari pengalaman ini, aku kembali diingatkan tentang makna sesungguhnya kemenangan, yaitu ketika kita berhasil mengalahkan sang musuh terbesar: diri sendiri.</div><div><br></div><div><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhgIvgILgVs2Hfjv9A7uYp5_cI59JbE44500diCj7URq4OrEJpImDSsLg-vbaiSymYmN4_g5L3RwQzjvlf4KayUl1NJg1My2olC_jJfCt8i2sGsD8QJqJCl-y-4kCM63lbndNsK/s1600/1638451690515488-1.png" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" width="400"></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: x-small;">Jejak Pengalaman Pertama Lolos Sebagai Penulis GLN 2021</span></td></tr></tbody></table><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhgIvgILgVs2Hfjv9A7uYp5_cI59JbE44500diCj7URq4OrEJpImDSsLg-vbaiSymYmN4_g5L3RwQzjvlf4KayUl1NJg1My2olC_jJfCt8i2sGsD8QJqJCl-y-4kCM63lbndNsK/s1600/1638451690515488-1.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;">
</a>
</div><br></div><div><br></div><h2 style="text-align: left;">Belajar dan Mengajar</h2><div>Di bangku sekolah dahulu, kurasa aku tidak termasuk ke dalam golongan siswa yang berprestasi. Meskipun selalu menembus sekolah-sekolah negeri unggulan, aku tidak pernah menyabet gelar juara kelas, apalagi juara umum sekolah atau gelar juara bergengsi lainnya. Aku mungkin tidak memiliki kendala yang begitu besar dalam belajar, tetapi aku juga bukan anak jenius yang dengan mudah menguasai berbagai pelajaran. Daripada bakat, keberhasilanku lulus dalam setiap ujian murni lebih didalangi oleh kerja keras. </div><div><br></div><div>Mungkin karena pengalaman itulah, aku langsung jatuh cinta pada profesi guru begitu pertama kali mencobanya. Aku tahu betul rasanya bagaimana harus berusaha keras belajar untuk mengatasi ketidakmampuan. Aku merasa dapat memahami perasaan siapa pun yang sedang sungguh-sungguh berjuang mempelajari sesuatu. Menjadi guru atau fasilitator yang mendampingi para pembelajar pun kupandang sebagai suatu anugerah yang tak ternilai. Mungkin atas dasar alasan ini pulalah, aku sangat bersemangat ketika bersama suamiku akhirnya memutuskan untuk memilihkan jalur pendidikan <i>homeschooling</i> bagi anak-anak kami. </div><div><br></div><div>Sekarang anak sulungku sudah hampir empat tahun menjalani <i>homeschooling </i>setelah sebelumnya sempat bersekolah sampai kelas 4 SD. Sementara itu, anak bungsuku yang kini berusia hampir enam tahun sama sekali belum pernah bersekolah formal. Demi dapat memaksimalkan upayaku dalam membersamai pendidikan mereka sepenuhnya, aku pun bertekad untuk serius menimba ilmu di bidang parenting dan pendidikan.</div><div><br></div><div>Aku sudah mengikuti berbagai kursus dan pelatihan di bidang parenting dan pendidikan sejak sebelum menarik keluar anakku dari sekolahnya dan sebelum anak keduaku lahir ke dunia. Tahun ini, ada dua program yang kuselesaikan. Yang pertama adalah program Diploma Montessori untuk anak usia dini. Pada bulan Februari tahun ini, aku berhasil menyelesaikan program pelatihan yang telah kumulai sejak beberapa tahun sebelumnya ini. Program berikutnya adalah kelas fondasi dan akademis metode pendidikan Charlotte Mason yang dimulai sejak bulan lalu dan insyaAllah akan selesai dua minggu lagi. </div><div><br></div><div><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHV5tIxowBxkQTjukhvp6TmxC6_nidZEK5gQ86l_Wkd3ePNA_3opWkEXbP99UDOkZdah05Q4sqjFfXAqibU3GdZsxLhpEFF5ClKM8f7hOxH1JV_e53EK_30y6xR0scjs3ZKMi3/s1600/1638451683358347-2.png" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" width="400"></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: x-small;">Secuil Contoh Hasil Belajar dari Sekolah Diploma Montessori</span></td></tr></tbody></table> <div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHV5tIxowBxkQTjukhvp6TmxC6_nidZEK5gQ86l_Wkd3ePNA_3opWkEXbP99UDOkZdah05Q4sqjFfXAqibU3GdZsxLhpEFF5ClKM8f7hOxH1JV_e53EK_30y6xR0scjs3ZKMi3/s1600/1638451683358347-2.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;">
</a>
</div></div><div>Menyelesaikan program pendidikan jangka pendek itu mungkin tidak sesulit menyelesaikan program pendidikan formal tingkat sarjana dan magister yang sudah pernah kulalui, tetapi juga tidak semudah yang kubayangkan pada mulanya. Ada banyak faktor baru yang menjadi ujian kali ini, termasuk di antaranya kesibukan sebagai seorang ibu bekerja. Lagi-lagi, aku belajar hal yang sama meskipun dari jalur yang berbeda: maju terus pantang mundur dan menyelesaikan apa yang sudah kumulai.</div><div><br></div><div>Selain menimba ilmu yang tiada habisnya, kuusahakan pula selalu menyisihkan waktu untuk terus membagikan yang pernah kuperoleh. Setelah mengambil peran pengajar bagi anak sendiri dan mahasiswa di kampus, tahun ini aku juga memberanikan diri untuk menekuni peran relawan fasilitator pelatihan di bawah Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Matematika dan Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Membaca. Sesuai judulnya, aku mungkin tak mendapat keuntungan material apa pun dari keterlibatanku di sini. Akan tetapi, kurasa ini justru menjadi salah satu jalan yang menuntun pada keberuntungan terbesarku: menjadi manusia dengan sebaik-baiknya manfaat, selagi masih dikaruniai umur dan kesehatan. </div><div><br></div><div><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgtzeU0DYy7fc_khMQwbsuBny55I65EbUI2e6QEB0bkCc0DuTKCIIesU7QGMWosMzez6bzNmCUH8oUxEkD91WjfZLpOemVbfqiQaVDFatSzKaVW4lZuTys9zmDRPttDocXRkCQD/s1600/1638451676753865-3.png" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" width="400"></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: x-small;">Satu Caraku dalam Memanfaatkan Jatah Umur: Menjadi Bagian dari Gerakan Nasional</span></td></tr></tbody></table><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgtzeU0DYy7fc_khMQwbsuBny55I65EbUI2e6QEB0bkCc0DuTKCIIesU7QGMWosMzez6bzNmCUH8oUxEkD91WjfZLpOemVbfqiQaVDFatSzKaVW4lZuTys9zmDRPttDocXRkCQD/s1600/1638451676753865-3.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;">
</a>
</div><br></div><h2 style="text-align: left;">Hikmah</h2><div><br></div><div>Beberapa teman terkadang memprotesku jika bicara tentang umur dan kematian. Tentu, aku pun sepakat bahwa topik ini bukan topik yang menyenangkan. Namun, kurasa memikirkan dan membicarakannya justru dapat mendatangkan manfaat. Bukankah sadar akan usia yang terbatas menjadikan kita orang-orang yang lebih menghargai kehidupan yang tak kekal ini? Jika bersungguh-sungguh dalam menyikapi "jatah waktu" ini, kupikir sudah sewajarnya jika siapa pun mengutamakan kebaikan. </div><div><br></div><div>Seperti halnya 2020, tahun 2021 ternyata begitu penuh tantangan. Bagiku pribadi, tahun ini justru menjadi momen yang menyadarkanku akan nilai sebuah kehidupan. Ketika akhirnya jatuh sakit setelah sekian lama baik-baik saja atau ketika begitu sulit untuk bangun dan bergerak seperti biasa, kusadari betul nikmat sehat yang pernah kuabaikan dan tak kusyukuri. Saat itulah, aku seolah-olah diingatkan tentang apa yang benar-benar harus dianggap penting dalam hidup ini. Kita lebih membutuhkan ketulusan daripada kedengkian, kerja sama daripada kompetisi, dan--tentunya--kebaikan di atas kejayaan. Semoga saja aku dapat terus membawa kesadaran ini saat menjalani tahun 2022 yang sebentar lagi segera datang ... <i>aamiin!</i></div><div><br></div><div><br></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhNuFCPW54hzlSSPsnP3T44M-BzX83YqfYB3qWRR2LlGOTRmpb_4VLuYH-fYbJJMS9GU_iXU6nqqrxI6Xbfd-QVxSXAd58QDQhxyzpn_xFmNjo3bO2xoZDbC_uNx3ikdIzhPuRf/s2048/Banner+Tantangan+Blogging+MGN.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1152" data-original-width="2048" height="234" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhNuFCPW54hzlSSPsnP3T44M-BzX83YqfYB3qWRR2LlGOTRmpb_4VLuYH-fYbJJMS9GU_iXU6nqqrxI6Xbfd-QVxSXAd58QDQhxyzpn_xFmNjo3bO2xoZDbC_uNx3ikdIzhPuRf/w416-h234/Banner+Tantangan+Blogging+MGN.png" width="416"></a></div><br><div><br></div><div><br></div><div><div><br></div></div><div><br></div><div><br></div><div><br></div><div><br></div><div><br></div><div><br></div><div><br></div><div><br></div><div><br></div><div><br></div><div> </div></div>Heidy Kaenihttp://www.blogger.com/profile/10006052961734919916noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-11838988.post-81626229071490522902021-11-29T20:55:00.003+07:002021-11-29T20:55:45.928+07:00Sehat vs Produktif<p>Dalam tulisanku beberapa minggu yang lalu, aku pernah bercerita tentang bagaimana aku memaknai nikmat sehat melalui pengalaman yang tak terlalu menyenangkan: jatuh sakit akibat terlalu sibuk. Jadwal harianku begitu padat oleh berbagai aktivitas. Bukan tak disengaja tentunya, semua kegiatan itu memang telah direncanakan jauh sebelumnya atas dasar satu alasan kuat: aku ingin memaksimalkan produktivitas.</p><p>Tak peduli apa pun profesinya, bukankah setiap orang lebih bahagia ketika produktif mengisi hari-harinya? Para pegawai tentu lebih puas saat berhasil menyelesaikan berbagai agenda pekerjaannya. Begitu pula halnya dengan ibu rumah tangga yang lebih bangga saat berhasil menghasilkan lebih banyak tumpukan baju yang tersetrika rapi sembari menuntaskan beragam tugas rumah lainnya. Namun, demi tujuan tersebut, tak jarang batas-batas tertentu terlanggar sehingga terabaikanlah hak utama tubuh kita: hak untuk tetap sehat. </p><p>Bukan sekali atau dua kali aku pun lalai akan hal ini: saat mengabaikan jam istirahat demi tuntas membereskan rumah, atau bahkan saat melewatkan jatah makan demi menyelesaikan tumpukan pekerjaan. Dalam waktu singkat setelahnya, kudapatkan "hadiah" yang kuinginkan: aneka tugas yang tuntas. Kelelahan yang ada terbayar kontan oleh perasaan lega, puas, senang, dan bangga. </p><p>Sayangnya, nikmat itu tak berumur panjang. Ketika pelanggaran hak tubuhku itu kulakukan berkali-kali, aku pun terpaksa menghadapi konsekuensinya: kesehatan yang terampas. Akhirnya aku "dipaksa beristirahat" oleh kondisi tubuhku yang memang tak memungkinkan untuk berkegiatan seperti biasa. Pada saat itulah mataku seolah terbuka. Sesungguhnya produktivitas yang kucapai dengan mengorbankan kesehatanku hanyalah prestasi semu. Apa artinya jika aku berhasil produktif dalam rentang waktu tertentu tetapi kemudian akibatnya malah "nyaris lumpuh" setelahnya (yang syukur-syukur jika diridai untuk sembuh kembali, tapi bagaimana kalau tidak)?</p><p>Ada siang, ada malam. Ada pasang, ada surut. Ada tarikan napas, ada embusannya. Sejatinya, alam sudah mengajarkan bahwa ada ritme yang harus ditaati dalam kehidupan ini. Jika paham dan ingat pada prinsip ini, sudah seharusnya aku lebih tertib dalam menjaga ritme hidupku: ada waktu untuk bekerja, ada waktu untuk beristirahat. Antara sehat dan produktif seharusnya senantiasa seimbang, tidak pernah dipertentangkan.</p><p><br /></p><p><br /></p>Heidy Kaenihttp://www.blogger.com/profile/10006052961734919916noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-11838988.post-16600083005862337172021-11-22T20:54:00.001+07:002021-11-22T20:54:03.590+07:00Saat Jiwa Tak Sehat<p dir="ltr" id="docs-internal-guid-ec9f1540-7fff-9867-2096-263fc5e2cc50">Entah sejak kapan, aku menjadi lebih paham tentang kasus orang-orang yang melakukan bunuh diri. Mereka tak tahan dengan berbagai tekanan hidup. Mereka tak tahan lagi dengan hidup yang jadi terasa begitu menyiksa. Kemudian, muncul pikiran untuk mengakhiri semuanya, yakin sekali bahwa hanya ada kedamaian dan kebahagiaan setelah mati.</p><p dir="ltr">Aku pernah cukup dekat dengan pemikiran itu. Perih dan hampa (aku tak pernah tahu sebelumnya, dua hal ini dapat dirasakan bersamaan) yang tak tertahankan juga terkadang menuntunku pada ide untuk mengakhiri hidup. Satu-satunya yang menghalangiku adalah kepercayaanku.</p><p dir="ltr">Hidup dan mati itu milik Tuhan. Apa yang terjadi saat aku melanggar aturan itu? Aku mungkin tak pernah benar-benar berani mengakhiri hidupku, tetapi tahu betul rasanya tak menjalani hidup dengan baik. Hidup segan, mati tak mau. Mungkin itu ungkapan yang cocok.</p><p dir="ltr">Pada masa itu, aku selalu kesulitan menjawab pertanyaan sederhana seperti "Apa kabar? Sehat?"</p><p dir="ltr">Sepertinya tubuhku cukup sehat. Tidak ada bagian yang terluka ataupun terserang penyakit. Akan tetapi, aku sadar, aku tidak baik-baik saja pada saat itu. Bukan fisikku yang terganggu, melainkan mentalku.</p><p dir="ltr">Sayangnya, dahulu ungkapan "sehat lahir batin" belum selazim saat ini. Opsi untuk pergi berkonsultasi ke psikolog dan psikater juga selalu berat dipertimbangkan, mungkin karena sadar akan kesan yang berkembang di masyarakat tentang pasien dengan gangguan kejiwaan. Berbeda dengan saat fisik kita sakit, pilihan untuk berobat justru dinomorduakan jika mental kita yang sakit. Nomor satunya: bersembunyi dan merahasiakan kondisi tersebut.</p><p dir="ltr">Kurasa aku cukup beruntung karena saat mengalaminya, aku masih sanggup mencapai tingkat "sadar". Aku sadar sepenuhnya waktu itu, mentalku tidak dalam keadaan sehat. Mungkin karena sejak kecil, aku telah terbiasa menyaksikan ibuku yang selalu terang-terangan menyatakan apa yang dirasakannya, termasuk saat mentalnya sedang terganggu: "Mama depresi nih."</p><p dir="ltr">Benar juga. Jika kita dapat mengeluhkan sakit di badan, mengapa tidak boleh mengungkapkan sakit di jiwa? Bukankah makin cepat kita mengakui ada masalah, akan makin besar peluang untuk menanggulanginya?</p>Heidy Kaenihttp://www.blogger.com/profile/10006052961734919916noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-11838988.post-82884584197761298982021-11-15T20:55:00.004+07:002021-11-18T14:36:24.079+07:00Olahraga yang Hebat<p>Sejak kecil, entah bagaimana aku sudah melihat olahraga sebagai kegiatan hebat. Mungkin itu karena desakan rutin Papa agar seluruh keluarga melaksanakannya atau mungkin juga karena Mama yang selalu menyatakan bagaimana kerennya Papa yang menguasai beragam olahraga. Seingatku, hampir setiap nama olahraga yang kutahu pasti dikuasai Papa: atletik, renang, pingpong, golf, dan lain-lain. Meskipun Papa tidak pernah benar-benar sukses mengajari sendiri anak-anaknya semua olahraga itu, setidaknya ada satu yang diwariskannya terkait olahraga: kami meyakini olahraga itu penting dan menganggap setiap orang sebaiknya menguasai minimal satu jenis olahraga.</p><!--wp:paragraph-->
<!--/wp:paragraph-->
<!--wp:paragraph-->
<p>Perkenalanku dengan jenis-jenis olahraga dimulai di bangku SD. Tidak sedikit olahraga yang pernah kucoba waktu itu, tetapi aku hanya menggandrungi salah satunya: lari. Berawal dari lari jarak pendek yang selalu menunjukkan keunggulanku di antara teman-teman sekolah, lama-lama aku juga menjajal nomor lari untuk jarak yang lebih jauh. Sebelum berumur 10 tahun, aku pernah merasakan menjadi pelari termuda dalam satu acara lari 10 km untuk umum. </p>
<!--/wp:paragraph-->
<!--wp:paragraph-->
<p>Sayangnya, kesenanganku berlari berkurang ketika aku memasuki masa pubertas. Perubahan fisikku membuatku merasa berlari itu tidak nyaman. Aku masih sempat beralih ke olahraga permainan seperti badminton, tetapi tentu tak bertahan lama karena berlari tetap menjadi salah satu latihan utamanya. Beruntung, setelah itu aku menemukan olahraga favorit baru: renang. </p>
<!--/wp:paragraph-->
<!--wp:paragraph-->
<p>Aku baru bergabung di sebuah klub renang setelah duduk di bangku sekolah menengah. Walaupun sudah tak mungkin mengejar karir sebagai atlet seperti halnya anak-anak yang memulainya sejak usia dini, aku tetap senang dan serius berlatih rutin (empat kali seminggu). Berkat setitik pengalaman menjadi atlet kali itu, aku mendapat beberapa bonus: penyakit asmaku hilang dan tubuhku lebih bugar.</p>
<!--/wp:paragraph-->
<!--wp:paragraph-->
<p>Saat mulai berkuliah, aku bertekad meneruskan hobi renangku. Namun, ada satu masalah baru yang muncul. Aku tinggal di Bandung, kota yang berhawa lebih dingin daripada dua kota tempat tinggalku sebelumnya: Medan dan Jakarta. Berolahraga di dalam air dingin di bawah cuaca dingin sungguh menyiksaku. Aku bukan tidak suka dingin. Lebih tepatnya, aku sangat tidak tahan dingin (yang ternyata berkaitan dengan penyakit <em>autoimmune haemolytic anaemia </em>yang kuidap sejak lahir). Hingga kini, tidak jarang aku mengalami serangan ringan hipotermia yang membuatku berhalusinasi tentang kematian. </p>
<!--/wp:paragraph-->
<!--wp:paragraph-->
<p>Meskipun masih kuanggap sebagai olahraga favorit, akhirnya renang makin jarang kulakukan. Ketika sudah pindah kembali ke Jakarta, masalahku bertambah sejak melahirkan: gejala alergi berkepanjangan di kulit. Yakin akan mutlaknya kebutuhan berolahraga, kucoba melupakan renang dan kutekadkan menekuni olahraga lainnya. Aku pun mendaftar ke sebuah <em>gym </em>dan mencoba beberapa jenis latihan. Di sana, aku jatuh cinta pada olahraga baru lainnya: <em>muay thai. </em></p>
<!--/wp:paragraph-->
<!--wp:paragraph-->
<p>Akan tetapi, rupanya "jodoh"ku kali ini juga belum berumur panjang. Saat <s>negara api</s> pandemi menyerang, tentu tak terpikir sama sekali olehku untuk memperpanjang keanggotaan di <em>gym. </em>Aku berencana berlari lagi saja di kompleks perumahanku. Setidaknya begitulah pikiranku sebelum internis langgananku mengetahui "petualangan"ku selama ini selagi kondisi penyakit autoimunku belum stabil. Seketika, beliau menegaskan larangan untukku berolahraga dengan intensitas yang sama dengan orang-orang pada umumnya, yang tidak mengidap penyakit yang berhubungan dengan darah dan jantung.</p>
<!--/wp:paragraph-->
<!--wp:paragraph-->
<p>Akibat penyakit kronisku, otomatis aku "dimudahkan" dalam memilih jenis olahraga yang sesuai dengan kondisiku. Aku kembali melirik jenis-jenis olahraga yang dahulu kuanggap "kurang hebat": jalan kaki, bersepeda, yoga, hingga taichi. Masih kusimpan pandangan kagum pada setiap orang yang melakukan jenis-jenis olahraga yang tampak lebih hebat, termasuk olahraga yang digeluti putri sulungku: panjat tebing.</p>
<!--/wp:paragraph-->
<!--wp:paragraph-->
<p>Sebuah momen pahit menyadarkanku pada pertengahan tahun ini: aku jatuh sakit hingga hampir tak mampu bergerak sama sekali. Jangankan berdiri atau berjalan, kala itu aku bahkan kesulitan untuk sekadar memiringkan tubuh di kasur. Olahraga penting dalam proses pemulihan, tetapi apa yang mungkin kulakukan saat berjalan pun masih tertatih-tatih?</p>
<!--/wp:paragraph-->
<!--wp:paragraph-->
<p>Ternyata tidak ada jenis olahraga yang lebih keren daripada olahraga lainnya. Semua olahraga itu hebat, hanya dengan syarat: sesuai dengan kapasitas dan konsisten dilakukan.</p>
<!--/wp:paragraph-->
<!--wp:paragraph-->
<p></p>
<!--/wp:paragraph-->Heidy Kaenihttp://www.blogger.com/profile/10006052961734919916noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-11838988.post-36228031578755456662021-11-08T18:02:00.008+07:002021-11-08T18:02:49.730+07:00Nikmat Sehat yang Tak Ternilai<p> </p><p class="MsoNormal">“Sekali lagi maaf dan makasih banget ya … semoga lain kali kita
berjodoh lagi.”<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Kusudahi percakapanku melalui telepon dengan seorang teman
lama siang itu. Kutarik napas panjang seraya memandangi kalender di hadapanku.
Kembali kurapal zikir yang kutahu sejak kecil, yang katanya—kata Mama, tepatnya—dapat
membantu menenangkan hati yang gelisah.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Tak kuingkari, sesungguhnya ada keraguan besar saat
kusampaikan keputusanku tadi: menolak tawaran sebuah pekerjaan baru. Sebagai
seorang pekerja lepas dan paruh waktu, sebenarnya aku merasa tak pernah tak
tergiur dengan setiap tawaran pekerjaan yang datang. Tambahan pekerjaan berarti
tambahan imbalan. Nah … mungkin kecuali sudah setajir sultan, siapa sih, orang
di dunia ini yang tak ingin terus menambah isi pundi-pundinya?<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Namun, waktu itu aku—meskipun bahkan masih di level yang jauh
dari budaknya sultan—harus menjauhi keinginan wajar tersebut. Tawaran itu memang
menggiurkan, aku sangat tertarik dan sangat yakin dapat mengerjakannya dengan
baik, tetapi terpaksa kutolak karena sebuah pertimbangan yang sudah pernah
kusepelekan pada kesempatan-kesempatan sebelumnya: menjaga kesehatan.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Ya, aku sudah merasakannya: mengabaikan ancaman atas
kesehatan hidup demi mengejar proyek-proyek pekerjaan bernilai tinggi. Dua
puluh empat jam sehari dan tujuh hari seminggu terasa kurang. Di sela-sela kesibukan
yang luar biasa saat itu, tak jarang aku merasa bersalah jika memakai waktu
yang terlalu banyak untuk beristirahat (padahal masih di bawah standar kebutuhan
tidur dalam sehari).<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Jika waktu itu aku ditanya bagaimana rasanya, tentu akan
kujawab “enak” tanpa pikir panjang. Bagaimana tidak? Saldo rekening di bank
bertambah, aku jalan-jalan dan makan-makan enak terus (jauh sebelum pandemi), dan
ilmu yang kumiliki termanfaatkan dengan baik. Di mana letak tidak enaknya? <span style="mso-spacerun: yes;"> </span><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Aku lupa sama sekali pada satu hal yang sesungguhnya
bernilai jauh lebih tinggi di atas semua kenikmatan itu: kesehatan. Kesadaran
itu baru kembali begitu aku mengalami berbagai gejala fisik yang awalnya
sedikit dan ringan, tetapi “lama-lama menjadi bukit”. Kurasakan berbagai ketidaknyamanan
di tubuhku, mulai dari kulit kusam dan berjerawat hingga pendarahan di luar
jadwal menstruasi.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Aku telah mengabaikan kebutuhanku yang lebih utama: tubuh
yang sehat. Sama sekali tak terpikir olehku bahwa ketika sakit, harga yang kubayar
sebenarnya berkali-kali lipat lebih mahal daripada penghasilan dari pekerjaan
yang menyita waktu dan tenagaku itu. Perhitungannya bukan hanya dari konsultasi
dokter, laboratorium, atau obat yang harus dikeluarkan (yang mungkin memang
mahal, tetapi kadang-kadang dapat diganti dengan asuransi). Masih ada yang jauh
lebih tak ternilai harganya, yang mungkin saja tak mampu terbayar dengan
pengobatan semahal apa pun: nikmat sehat. <o:p></o:p></p>Heidy Kaenihttp://www.blogger.com/profile/10006052961734919916noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-11838988.post-6777721009946112282021-10-31T23:45:00.004+07:002021-11-01T08:00:22.013+07:00Komunitas Tersayang<p style="text-align: left;"><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="background-color: white; color: #333333; font-size: 14px;">Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, komunitas adalah kelompok organisme (orang dan sebagainya) yang hidup dan saling berinteraksi di dalam daerah tertentu. Ungkapan lain yang tertera di sana masyarakat atau paguyuban. <i>Hmmm</i>. Jika merujuk pada pengertian ini, apakah berarti aku harus membahas tentang rukun tetangga dan rukun warga demi dapat menjawab <a href="https://mamahgajahngeblog.com/tantangan-mgn-oktober-komunitas-yang-aku-cintai/" target="_blank">tantangan blogging Mamah Gajah Ngeblog</a> bulan Oktober ini yang mengambil topik "Komunitas yang Aku Cintai"? </span></p><p style="text-align: left;"></p><p style="text-align: left;"></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhNuFCPW54hzlSSPsnP3T44M-BzX83YqfYB3qWRR2LlGOTRmpb_4VLuYH-fYbJJMS9GU_iXU6nqqrxI6Xbfd-QVxSXAd58QDQhxyzpn_xFmNjo3bO2xoZDbC_uNx3ikdIzhPuRf/s2048/Banner+Tantangan+Blogging+MGN.png" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1152" data-original-width="2048" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhNuFCPW54hzlSSPsnP3T44M-BzX83YqfYB3qWRR2LlGOTRmpb_4VLuYH-fYbJJMS9GU_iXU6nqqrxI6Xbfd-QVxSXAd58QDQhxyzpn_xFmNjo3bO2xoZDbC_uNx3ikdIzhPuRf/s320/Banner+Tantangan+Blogging+MGN.png" width="320"></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: x-small;">Banner Tantangan Blogging Bulanan Mamah Gajah Ngeblog</span></td></tr></tbody></table><p></p><p style="text-align: left;"><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="background-color: white; color: #333333; font-size: 14px;">Jika benar begitu, aku harus mengibarkan bendera putih. Kurasa interaksi yang terjadi antara aku dan para warga kompleks perumahanku sekarang tidak dapat diceritakan sedemikian rupa hingga dapat komunitas yang satu ini tergolong dalam kategori "komunitas yang kucintai". Kami hanya memenuhi definisi "kelompok orang" dan "di dalam daerah tertentu", dengan sedikit "saling berinteraksi" berupa saling mengirimkan makanan oleh-oleh jika ada yang baru pulang dari luar kota. Ini pun hanya terbatas pada tetangga yang terdekat di tiap arah mata angin: rumah tetangga arah timur, tenggara, selatan, barat daya, barat ... (</span><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="background-color: white; color: #333333; font-size: 14px;"><i>hayoo</i> ngaku, siapa yang membaca ini sambil menyanyi?)</span></p><p><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="color: #333333;"><span style="background-color: white; font-size: 14px;">Mungkin karena kepribadian introverku, aku selalu nyaman untuk melakukan apa pun sendiri. Ini bukan berarti aku tidak dapat berbaur dengan banyak orang di luar sana. Aku dapat dengan mudah berkenalan dengan orang baru, mengakrabkan diri dengan orang asing, bahkan sering diandalkan dalam acara-acara yang menuntut aksi berbicara di depan umum. Meskipun menyukai semua kegiatan itu, aku paham betul, s</span></span><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="background-color: white; color: #333333; font-size: 14px;">umber energiku yang sebenarnya datang dari kebebasanku untuk melakukan apa saja yang kusuka ketika benar-benar tidak ada orang lain di sekitarku. Dengan kata lain, berkumpul dengan manusia lain bukan masalah bagiku, tetapi aku tak dapat melakukannya terus menerus tanpa melakukan <i>recharge </i>dengan cara menikmati kesendirianku.</span></p><p><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="background-color: white; color: #333333; font-size: 14px;">Mungkin karena itulah, berkumpul dan berinteraksi dengan orang-orang lain hampir tak pernah kuanggap sebagai kebutuhan primer sejak aku kecil. Kenalan ada, teman ada, sahabat ada .... tetapi komunitas? Rasanya aku tak ingat satu pun hingga masa kuliah datang.</span></p><h1 style="text-align: left;"><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="background-color: white; color: #333333; font-size: medium;"><b>Komunitas dari Kampus</b></span></h1><p><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="color: #333333;"><span style="background-color: white; font-size: 14px;">Aku baru memahami arti komunitas dan menemukan yang paling sesuai denganku di bangku perkuliahan. Namun, orang-orang yang berkumpul di sana bukan para mahasiswa yang berkuliah di jurusan yang sama, melainkan yang mengaku menaruh minat pada hal yang sama: film. Kami tergabung di sebuah unit kegiatan mahasiswa yang dinamai Liga Film Mahasiswa (LFM).</span></span></p><p><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="background-color: white; color: #333333; font-size: 14px;">Sebetulnya, aku mendaftar ke sana awalnya hanya karena penasaran. Papaku juga dulu pernah menjadi kru LFM semasa kuliah dan cerita-ceritanya tentang pemutaran film sukses membuatku tertarik, meskipun aku belum banyak berpengalaman dengan film sebelumnya. Namun, siapa sangka ... aku mendapat lebih dari yang kuharapkan dari sana: bukan hanya pengetahuan dan pengalaman seputar film, melainkan juga sebuah keluarga besar. Mungkin dapat kukatakan, inilah komunitas pertamaku.</span></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEht6C19eCH7WpRVstfFaEs5S7EDZ5lPTbnycPWbSxb3dPPhEnSx7eOu0u7liKnZySPhEaZZ_am75daiimdRnTt3iTHcCz6C3eqiaDW4gfwpUyjJLueyi8UO_ITRnejdra_1m8qY/s604/WhatsApp+Image+2021-10-31+at+22.48.49.jpeg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="426" data-original-width="604" height="226" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEht6C19eCH7WpRVstfFaEs5S7EDZ5lPTbnycPWbSxb3dPPhEnSx7eOu0u7liKnZySPhEaZZ_am75daiimdRnTt3iTHcCz6C3eqiaDW4gfwpUyjJLueyi8UO_ITRnejdra_1m8qY/s320/WhatsApp+Image+2021-10-31+at+22.48.49.jpeg" width="320"></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: x-small;">Aku di Sarang Penyam ... eh, Pelawak</span></td></tr></tbody></table><p></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgH1O6-UQA760tdSGI5L9gIUEaYartH49SyXfxWnk-v4bersNPTBfmhwXSUR-18RUE52OvWx3KTYflyOb3X8BQSk-dUMdf3O5LVnKXyvOiagmm-j2GDmcB_aRsRrytgUUX8q9ZG/s1080/WhatsApp+Image+2021-10-31+at+22.48.48.jpeg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="720" data-original-width="1080" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgH1O6-UQA760tdSGI5L9gIUEaYartH49SyXfxWnk-v4bersNPTBfmhwXSUR-18RUE52OvWx3KTYflyOb3X8BQSk-dUMdf3O5LVnKXyvOiagmm-j2GDmcB_aRsRrytgUUX8q9ZG/s320/WhatsApp+Image+2021-10-31+at+22.48.48.jpeg" width="320"></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: x-small;">Papa dan Alumni LFM Lainnya di Satu Acara Reuni</span></td></tr></tbody></table><br><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj5boYMEWlHxeL_06FYl2gaTZ5OiJbleDPQjpC65LgeCJL2cv80uaFppeRlzRNnLgJWlv5fXeWondUimxLLvHni5Olf7CsMTlhZpTWrYZthPvFfyuppJQBKUqTd9XmrElBMjOaN/s1080/WhatsApp+Image+2021-10-31+at+22.48.49+%25281%2529.jpeg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="720" data-original-width="1080" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj5boYMEWlHxeL_06FYl2gaTZ5OiJbleDPQjpC65LgeCJL2cv80uaFppeRlzRNnLgJWlv5fXeWondUimxLLvHni5Olf7CsMTlhZpTWrYZthPvFfyuppJQBKUqTd9XmrElBMjOaN/s320/WhatsApp+Image+2021-10-31+at+22.48.49+%25281%2529.jpeg" width="320"></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: x-small;">Keluarga Besar LFM ITB<br></span></td></tr></tbody></table><p><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="color: #333333;"><span style="background-color: white; font-size: 14px;">LFM terdiri atas manusia-manusia yang amat sangat beraneka ragam, mulai dari latar belakang suku-agama-ras hingga sifat, kebiasaan, dan minat. Satu-satunya kesamaan yang mungkin dimiliki hampir semua anggotanya adalah semangat untuk berbaur, berteman, bercanda, dan bersantai. Di sini, berbeda pendapat dalam berbagai hal adalah hal yang biasa, tetapi jangan harap itu akan mengarah pada perselisihan serius, apalagi permusuhan. Pokoknya, menjadi bagian dari keluarga besar ini (tak hanya di kampus, karena kami pun kini tetap berkumpul sebagai alumni) membuat hidupku terasa jauh lebih menyenangkan. Seolah-olah aku menemukan zona teraman dan ternyamanku di komunitas ini, sampai-sampai memilih pasangan hidup pun dari sini ... <i>hahaha</i>.</span></span></p><h1 style="text-align: left;"><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="color: #333333;"><span style="background-color: white; font-size: medium;"><b>Komunitas Para Ibu</b></span></span></h1><p><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="color: #333333;"><span style="background-color: white; font-size: 14px;">Aku baru benar-benar menyadari kebutuhanku akan komunitas setelah hamil dan melahirkan. Rupanya dua pengalaman itulah yang merupakan momen-momen terbesar pengubah hidupku. Semandiri apa pun diriku, sesenang apa pun aku menyendiri, keberadaan teman dan <i>support group </i>ternyata mutlak kubutuhkan sebagai seorang ibu.</span></span></p><p><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="color: #333333;"><span style="background-color: white; font-size: 14px;">Aku bergabung dengan komunitas ibu-ibu yang mahapenting ini semasa hamil. Tepatnya saat kehamilanku memasuki trimester kedua dan sudah aman bagiku untuk kembali aktif berkegiatan fisik. Ketika mencari-cari informasi tentang <i>gentle birth </i>dan <i>prenatal yoga, </i>bertemulah aku dengan komunitas Gentle Birth Untuk Semua yang didirikan oleh Mbak Dyah Pratitasari (Mbak Prita). </span></span></p><p><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="color: #333333;"><span style="background-color: white; font-size: 14px;">Mbak Prita mempersilakan aku bergabung dengan kelas yoga yang diampunya secara sukarela di pinggir danau UI. Di sana sudah ada belasan orang ibu hamil yang rutin berlatih dengannya sebelum aku bergabung. Selain bertemu langsung setiap akhir pekan, kami juga bertemu di grup <i>whatsapp. </i></span></span></p><p><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="color: #333333;"></span></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEheoI3-jau_yNT5dKntN4FPlPb55e5iXVjh5Uz_K1irTqVUvA_AVm1MvPVWX5vpoBqTfTM_2Dgdm7uUcBM4F1_Do7O27AevA6617nIlaTLVSCv3yiIiBvS1kToixffKRuLj0kVN/s1600/yoga+UI+edited.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="900" data-original-width="1600" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEheoI3-jau_yNT5dKntN4FPlPb55e5iXVjh5Uz_K1irTqVUvA_AVm1MvPVWX5vpoBqTfTM_2Dgdm7uUcBM4F1_Do7O27AevA6617nIlaTLVSCv3yiIiBvS1kToixffKRuLj0kVN/s320/yoga+UI+edited.jpg" width="320"></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: x-small;">Sebagian Kecil Anggota Komunitas Prenatal Yoga UI GBUS Batch 6</span></td></tr></tbody></table><div style="text-align: left;"><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="background-color: white; color: #333333; font-size: 14px;"><br></span></div><div style="text-align: left;"><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="background-color: white; color: #333333; font-size: 14px;">Awalnya, kami hanya bertukar pesan seputar jadwal latihan yoga dan sedikit-sedikit saling berbagi tentang informasi kesehatan dan kehamilan. Lama kelamaan, apalagi setelah satu per satu bayi yang ada di kandungan terlahir ke dunia, makin banyak dan sering kami berbagi cerita. Bukan hanya dunia perbayian atau makanan dan panci yang kami bahas, lika-liku kehidupan rumah tangga dan hubungan dengan ibu mertua pun tercakup dalam obrolan kami. Entah mengapa, sepertinya banyak di antara kami yang merasa cukup aman dan nyaman untuk mengungkapkan unek-unek terdalam yang tak mungkin diceritakan di lingkungan lainnya.</span></div><div style="text-align: left;"><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="background-color: white; color: #333333; font-size: 14px;"><br></span><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="background-color: white; color: #333333; font-size: 14px;">Tahun demi tahun berlalu, tak terasa, anak-anak kami yang dahulu sama-sama masih di rahim kami masing-masing telah melewati masa menyusui, batita, balita, hingga kini bersiap memasuki bangku sekolah dasar. Grup kami masih ada dan rasanya kedekatan itu tak berkurang sama sekali. Tidak hanya saling mendoakan saat ada yang berulang tahun, kami juga berusaha saling membantu jika ada yang ditimpa musibah, seperti yang memang banyak terjadi di mana-mana selama masa pandemi ini. Sama seperti LFM, komunitasku yang satu ini pun seakan telah menjelma menjadi keluarga besar lainnya bagiku.</span></div><p></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi6CzmBPjYbJjvxC2FpR6g9jjrnwvXfj-ZDRmAbyum6rPSlzElccDUYR3uWUn4FIRHwstZfDUuRTIfTriJHBPJH-NPxibaWaLIm4LxUZ7LLwzS4-2iWU4XTBBj8OmRNOHvdiJhH/s1280/reuni+yoga+ui+edited.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="960" data-original-width="1280" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi6CzmBPjYbJjvxC2FpR6g9jjrnwvXfj-ZDRmAbyum6rPSlzElccDUYR3uWUn4FIRHwstZfDUuRTIfTriJHBPJH-NPxibaWaLIm4LxUZ7LLwzS4-2iWU4XTBBj8OmRNOHvdiJhH/s320/reuni+yoga+ui+edited.jpg" width="320"></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: x-small;">Reuni Setelah Dua Tahun Melahirkan (Sebelum Pandemi)</span></td></tr></tbody></table><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="background-color: white; color: #333333; font-size: 14px;"><br></span><p></p><h1 style="text-align: left;"><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="color: #333333;"><span style="background-color: white; font-size: medium;"><b>Komunitas Hobi</b></span></span></h1><div style="text-align: left;"><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="color: #333333;"><span style="background-color: white; font-size: 14px;">Sesuai nama (kepanjangan)nya, LFM mungkin dapat dianggap sebagai komunitas hobi. Namun, kalau kupikir-pikir lagi, kategori itu tidak cocok bagiku yang sebetulnya memiliki hobi lain yang jauh lebih "kental": menulis. Anehnya, kebutuhan akan komunitas menulis tak pernah betul-betul kupikirkan dengan serius sampai awal tahun ini. Apakah ini karena pandemi? Atau karena umur? 😁</span></span></div><div style="text-align: left;"><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="color: #333333;"><span style="background-color: white; font-size: 14px;"><br></span></span><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="color: #333333;"><span style="background-color: white; font-size: 14px;">Pucuk dicinta, ulam tiba. Aku bertemu dengan dua komunitas menulis sekaligus yang baru saja dibentuk: Mamah Gajah Ngeblog (MGN) dan Mamah Gajah Bercerita (MaGaTa). <a href="http://heidykaeni.blogspot.com/2021/08/subgrup-kesayangan-dari-itb-motherhood.html" target="_blank">Seperti yang pernah kuceritakan sebelumnya, keduanya merupakan subgrup dari komunitas ITB Motherhood</a> (aku sudah lama bergabung di grup induknya ini, tetapi tidak aktif karena jarang mengakses Facebook). </span></span></div><p><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="color: #333333;"><span style="background-color: white; font-size: 14px;"></span></span></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjsC9DzhyphenhyphenhELQv_Ry6fCSmSIkKcTSojqtp8hshWiBpZ-9HYwilu0LzpZXH0jIdeQaZDcb2MvK2BP6TyILZRKzp4Dkua7kmbctm-HqcNbTt_fCg6-bbDJlE8M8DON35pKwr-0jgt/s1080/logo+magata.jpeg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1080" data-original-width="1080" height="221" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjsC9DzhyphenhyphenhELQv_Ry6fCSmSIkKcTSojqtp8hshWiBpZ-9HYwilu0LzpZXH0jIdeQaZDcb2MvK2BP6TyILZRKzp4Dkua7kmbctm-HqcNbTt_fCg6-bbDJlE8M8DON35pKwr-0jgt/w221-h221/logo+magata.jpeg" width="221"></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: x-small;">Logo Komunitas MaGaTa</span></td></tr></tbody></table><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="color: #333333;"><span style="background-color: white; font-size: 14px;"><br><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlJqU-tWqsPy3KNsDtnVtzsy0kAChE8vJILX8uEaNWk280USBue3YNYchsPe2YLs1eHUG0nZg4ZtlfJVApBAGXKwh1GoF1g99aLJdtBsat_-QBxhhsmithBmjM_T6qcUL3hzrU/s1280/logo+tantangan+mamah+gajah+ngeblog.jpeg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="852" data-original-width="1280" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhlJqU-tWqsPy3KNsDtnVtzsy0kAChE8vJILX8uEaNWk280USBue3YNYchsPe2YLs1eHUG0nZg4ZtlfJVApBAGXKwh1GoF1g99aLJdtBsat_-QBxhhsmithBmjM_T6qcUL3hzrU/s320/logo+tantangan+mamah+gajah+ngeblog.jpeg" width="320"></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: x-small;">Poster Pertama Tantangan <i>Blogging</i> MGN</span> </td></tr></tbody></table></span></span><div style="text-align: left;"><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="color: #333333;"><span style="background-color: white; font-size: 14px;"><br></span></span></div><div style="text-align: left;"><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="color: #333333;"><span style="background-color: white; font-size: 14px;">Berkat MaGata maupun MGN yang rutin menyelenggarakan tantangan, aku "dipaksa" untuk konsisten berlatih menulis dan berusaha menghasilkan tulisan-tulisan yang lebih baik daripada sebelumnya. Di MaGaTa, aku dan teman-temanku tak bosan belajar tentang kepenulisan dan kebahasaan. Sementara itu, di MGN, kami terus belajar tentang seluk beluk dunia blog. </span></span><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="background-color: white; color: #333333; font-size: 14px;">Aku belajar, belajar, belajar lagi bersama teman-teman dan bidang yang dipelajari adalah hobi terbesarku. Wajar, dong, aku sangat betah menjadi anggota kedua grup ini? </span></div><div style="text-align: left;"><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="background-color: white; color: #333333; font-size: 14px;"><br></span><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="background-color: white; color: #333333; font-size: 14px;">Karena itulah, walau terbilang baru lahir, kedua komunitas ini pun sah tergolong ke dalam kategori komunitas yang kucintai. Tanpa komunitas-komunitas ini, entah seperti apa keseharian dan kehidupan yang kujalani. Terima kasih, MaGaTa dan MGN! Terima kasih juga, YogaUI Batch 6! Terima kasih, LFM!</span></div><div style="text-align: left;"><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="background-color: white; color: #333333; font-size: 14px;"><br></span><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="background-color: white; color: #333333; font-size: 14px;">Aku mencintai kalian! <i>Aku tresno karo kowe! Abdi bogoh ka anjeun! Aishiteru! Saranghaeyo! Te quiero! Ana Ahibuk! Ich liebe dich! </i></span><i><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="background-color: white; color: #333333; font-size: 14px;">I love you!</span><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="background-color: white; color: #333333; font-size: 14px;"> </span></i></div><div style="text-align: left;"><i><span face="Verdana, Geneva, Tahoma, sans-serif" style="background-color: white; color: #333333; font-size: 14px;"><br></span></i></div><div style="text-align: left;"><font color="#333333"><span style="font-size: 14px;">Nah ... bagaimana denganmu? Adakah komunitas-komunitas yang awet dan istimewa di hati? Ceritakan juga, ya!</span></font></div>Heidy Kaenihttp://www.blogger.com/profile/10006052961734919916noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-11838988.post-11020887368289593972021-10-25T20:50:00.001+07:002021-10-25T21:13:25.011+07:00Antara Makanan dan Kesehatan<p>Aku yakin, sebenarnya tidak ada orang (dewasa) di dunia ini yang tidak tahu atau tidak sepakat bahwa makanan memiliki hubungan erat dengan kesehatan. Yang ada (dan banyak) adalah orang-orang yang meskipun mengetahui dan memahaminya, tetap memilih untuk abai. Tentu alasannya jelas: memenangkan hawa nafsu.</p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiyK6gX5evuQMvdvmwpsj6Szi9w3tjL2j0faEbe_5iaWT8bt5sSgbycpEREPQDCMrVF3Bsbho8Nq664jgb3e_pxibYmNeI0R2k5SqgRkeWC4S4ewOX4kq6en8gWLuHU_lUTpIj5/s1600/1635170147063948-0.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;">
<img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiyK6gX5evuQMvdvmwpsj6Szi9w3tjL2j0faEbe_5iaWT8bt5sSgbycpEREPQDCMrVF3Bsbho8Nq664jgb3e_pxibYmNeI0R2k5SqgRkeWC4S4ewOX4kq6en8gWLuHU_lUTpIj5/s1600/1635170147063948-0.png" width="400">
</a>
</div><p></p><p>Keyakinanku itu berangkat dari pengalamanku sendiri, sejak kecil dulu hingga dewasa kini, sejak masih anak-anak hingga sudah menjadi ibu-ibu. Sebagai anak yang tidak terlalu suka makan semasa kecil, kurasa aku cukup beruntung. Aku tidak mengalami gagal tumbuh, misalnya, karena sebenci apa pun aku pada kegiatan makan, mamaku selalu memastikanku tertib mengonsumsi makanan padat gizi secara teratur.</p><p>Masalah mulai muncul ketika aku makin besar dan peran Mama atas keseharianku makin berkurang. Aku ingat betul, pertama kali aku terkena penyakit tukak lambung adalah saat duduk di bangku SMP. Mungkin karena merasa merdeka dari pengawasan Mama, aku langsung semena-mena mengabaikan jam makan siang. Masalah kesehatan pencernaanku timbul bukan karena nafsuku untuk jajan sembarangan, melainkan karena nafsuku untuk mendahulukan berbagai kegiatan lainnya yang kurasa lebih seru daripada makan.</p><p><i>Maag</i> pun menjadi penyakit kronisku hingga aku mulai merantau untuk kuliah di Bandung. Setelah bosan dengan serangan maag yang makin menganggu aneka kegiatanku di kampus, aku mulai merasakan kemunculan tekad untuk makan lebih baik. Tidak hanya berusaha tidak terlambat makan, aku juga mulai peduli dengan makanan yang kusantap.</p><p>Pada mulanya, praktiknya memang terasa janggal. Setelah mengawali hari dengan minum air hangat dengan perasan jeruk nipis atau lemon, aku makan aneka buah hingga menjelang siang. Dengan kata lain, menu sarapanku adalah buah. Lupakan nasi, daging, atau jenis makanan lain yang memberatkan sistem pencernaan agar energi dapat dimaksimalkan untuk berkegiatan pada pagi hari. Makanan lainnya kukonsumsi pada siang dan malam hari, tetapi patuh pada aturan kesetimbangan sifat asam dan basa makanan: lebih banyak makan sayuran dan tidak menggabungkan karbohidrat dan protein hewani (misalnya makan nasi dan sayur pada siang hari, lalu malamnya makan daging dan sayur).</p><p>Sejak mengikuti <i>food combining</i>, penyakit lambungku lenyap tak berbekas. Karena terkagum-kagum dengan hasil ini, pola makan ini kupertahankan hingga sekarang, meskipun terkadang hanya setengah prinsipnya yang konsisten kuterapkan terus. Sering kali nafsulah yang lebih kumenangkan, misalnya saat ingin sekali makan daging ayam dengan nasi.</p><p><i>Food combining</i> sebenarnya tidak hanya membantuku terbebas dari penyakit lambung. Dari <i>food combining</i>, aku disadarkan lagi tentang prinsip-prinsip umum kesehatan yang dipengaruhi oleh asupan sehari-hari. Aku menjadi lebih mudah memahami gejala-gejala tubuh seperti sariawan, jerawat, kembung, mulas, atau nyeri kepala sebagai alarm-alarm kecil yang menandakan ketidakseimbangan asupanku. Inilah alasan mengapa menolak hidangan lezat tertentu sama sekali tak sulit bagiku. Jika sudah paham dan merasakan betul dampak negatifnya terhadap kesehatanku, keinginan menikmatinya sudah benar-benar menguap, tergantikan oleh bayangan sakit di tubuhku yang jelas jauh dari nikmat. </p><p><br></p>Heidy Kaenihttp://www.blogger.com/profile/10006052961734919916noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-11838988.post-23480770067768859442021-10-11T18:58:00.000+07:002021-10-11T19:18:57.774+07:00Apa Resep Masakan Andalanmu?<p>Tantangan menulis dari komunitas Mamah Gajah bercerita minggu ini adalah resep masakan andalan. Sebagai seseorang yang tidak terlalu menggandrungi makanan dan tidak begitu menggemari kegiatan masak memasak, jelas aku merasa sangat tidak percaya diri menulis untuk tema tantangan kali ini. Resep masakan macam apa yang diharapkan dapat diandalkan dariku?</p><p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjDfC0nNB_fHgHXCeoAQETkNArtzhNPDz_vGLNxr6zhzQ9lzG9Ji5CSffljCwS9HTo9TkqeL61C2nHWx7hjQrFgnzvElXjkjxfe0QoHJxj32vO4R6lEVW3wW1W7Aazxv_oftimO/s1600/1633954731443485-0.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;">
<img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjDfC0nNB_fHgHXCeoAQETkNArtzhNPDz_vGLNxr6zhzQ9lzG9Ji5CSffljCwS9HTo9TkqeL61C2nHWx7hjQrFgnzvElXjkjxfe0QoHJxj32vO4R6lEVW3wW1W7Aazxv_oftimO/s1600/1633954731443485-0.png" width="400">
</a>
</div><br></p><p>Karena kecerobohanku dan ke"rajin"anku dalam memecahkan barang-barang semasa kecil dulu, Mama sering melarangku masuk ke dapur. Aku pun hampir tak punya ingatan tentang kegiatan memasak di dapur ... hingga akhirnya aku pindah ke Bandung untuk berkuliah. Karena harus tinggal sendiri dan anggaran belanja sangat terbatas untuk jajan, barulah aku sadar bahwa aku harus bisa dan sering memasak makananku sendiri.</p><p>Tak sedikit tantangan yang kuhadapi saat baru mulai rutin menyambangi dapur. Selain harus menelepon interlokal hanya untuk menanyakan cara membuat sup ke Mama (akses internet belum selazim sekarang), aku juga harus banyak menghemat waktuku di dapur demi memaksimalkan kesempatanku berkegiatan di luar rumah. Mahasiswa, gitu, lo!</p><p>Makanan-makanan seperti mi instan atau nugget goreng memang menggoda, tetapi sepertinya doktrin yang ditanamkan padaku sejak kecil sudah mengakar kuat. Aku tak dapat memakannya terlalu sering kecuali ingin jatuh sakit. Alhamdulillah, ide (yang menurutku, waktu itu) cemerlang datang. Kupilih menu dengan bahan-bahan yang kuyakini sehat: salad.</p><p>Seingatku, aku cukup sering membuat salad sayur atau salad buah (bergantian, tidak dicampur). Selain menyehatkan, menu ini sangat mudah dan praktis bagiku. Aku dapat menyiapkan potongan sayur mentah dalam beberapa porsi dan disimpan di kulkas, lalu menyiapkan sausnya dalam takaran yang cukup untuk beberapa kali makan. Saat akan makan, aku hanya membutuhkan waktu kurang dari sepuluh menit untuk mencuci dan merebus beberapa jenis bahan yang tidak kumakan mentah seperti wortel, brokoli, buncis, atau jagung.</p><p>Berikut resep sausnya yang super mudah, bahkan mungkin dapat dilakukan oleh anak balita, tetapi alhamdulillah seingatku selalu berterima di lidah teman-teman atau saudara-saudara yang pernah kutawari untuk ikut makan (katanya, semoga mereka jujur).</p><p>Bahan (untuk porsi 2 orang):</p><p>- 4 sendok makan mayones </p><p>- 8 sendok makan saus tomat </p><p>- 6 sendok makan gula pasir</p><p>Cara membuat: </p><p>Masukkan semua bahan saus di atas dan aduk-aduk.</p><p>Sudaah ... begitu saja! Kurang juara apa coba, simpelnya resep ini? Wajar kan, aku selalu menjadikannya andalan, bahkan saat menjamu calon mertuaku dahulu? Hahaha.</p><p>Sayangnya, resep di atas sudah tak dapat kuandalkan lagi sejak sekitar lima tahun terakhir. Aku baru tahu belakangan bahwa ternyata salad andalanku itu tak sesehat yang kubayangkan karena ... lihatlah bahan-bahan yang kupakai untuk membuat sausnya: gula pasirnya sampai enam sendok, belum lagi memikirkan bahan-bahan sintetis dalam saus tomat dan mayones pabrikan yang kugunakan. Aku tak mau repot-repot membuatnya lagi setelah mendapati anak keduaku mengidap penyakit alergi yang cukup parah hingga akhirnya kini kami sekeluarga (aku malas masak dua kali atau memisahkannya khusus untuk si bungsu) lebih sering ber-<i>clean eating.</i></p><p>Hilang satu resep, lahir satu (bukan seribu) resep lainnya. Berikut resep andalan baruku beberapa tahun terakhir ini, yang hampir sama mudahnya dan selalu laris juga (cerita lengkapnya sudah pernah kutulis di blog keluarga, termasuk mengapa menu ini kunobatkan menjadi resep andalan keluarga).</p><p><b>Nasi Panggang Jamur Brokoli</b></p><p>Bahan:</p><ul><li>4 porsi nasi (campuran beras merah dan putih) yang agak lembek, tidak pera</li><li>3 butir telur</li><li>1 bonggol brokoli</li><li>100 gram jamur champignon</li><li>1/4 buah bawang bombay</li><li>1/8 blok keju mozzarella</li><li>1/2 sendok teh garam</li><li>4 sendok makan minyak goreng</li><li>1 mangkuk air panas dengan sejumput garam</li></ul><div>Cara membuat:</div><div><ol><li>Potong-potong jamur dan brokoli, lalu rendam di dalam mangkuk air panas bergaram untuk menghilangkan ulat dan kuman-kuman.</li><li>Cincang bawang bombay dan keju mozzarella.</li><li>Panaskan oven hingga temperaturnya mencapai 180°C.</li><li>Tuang minyak ke dalam pinggan tahan panas (saya pakai pinggan kaca) dan ratakan hingga semua dindingnya terolesi dengan minyak.</li><li>Masukkan nasi ke pinggan dan ratakan permukaannya.</li><li>Tiriskan jamur dan brokoli, lalu atur di atas permukaan nasi.</li><li>Kocok telur dan siram ke atas nasi yang telah bertaburkan bahan-bahan lainnya.</li><li>Tambahkan bawang bombay, keju, dan garam.</li><li>Masukkan pinggan ke dalam oven.</li><li>Panggang selama 20 menit.</li></ol><div>Nah, itulah resep andalan versiku. Bagaimana denganmu? Ceritakan juga, dong!</div><div><br></div></div><div><br></div><p><br></p>Heidy Kaenihttp://www.blogger.com/profile/10006052961734919916noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-11838988.post-32733429304130770882021-10-04T16:01:00.005+07:002021-10-05T21:39:08.148+07:00Memilih Makanan Favorit Sepanjang Masa<div>Bicara tentang makanan sebenarnya seru sekaligus membingungkan bagiku, apalagi jika diajak membahas "Apa makanan favoritmu sepanjang masa?"</div><div><br></div><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQ91OZHUJTiTCceliIq_WE5oZP8IZHz-VFSC8TF9mYlQLO_bnWJfBfeqkBUWgU_RJjzUHuy7ayjDFQX_4_HsfWRx_DLCq64mMU2d-fgmpUpkon0anPbZ7cDcsN8aj99mu2TF_k/s1080/makanan+favorit.jpeg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1080" data-original-width="1080" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQ91OZHUJTiTCceliIq_WE5oZP8IZHz-VFSC8TF9mYlQLO_bnWJfBfeqkBUWgU_RJjzUHuy7ayjDFQX_4_HsfWRx_DLCq64mMU2d-fgmpUpkon0anPbZ7cDcsN8aj99mu2TF_k/s320/makanan+favorit.jpeg" width="320"></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Tantangan Menulis tentang Makanan Favorit dari Komunitas MaGaTa</td></tr></tbody></table><div><br></div>Kulempar pikiranku ke masa kecil, saat apa-apa yang terjadi mulai dapat terkenang seumur hidup. Apa yang kuingat tentang makanan favorit? Rupanya hampir tidak ada. Di antara segala hal yang ada di dunia ini, sepertinya makanan selalu menjadi hal terakhir yang menarik perhatianku.<div><br></div><div>Aku tidak ingat bagaimana Mama dan Papa sukses membuatku tumbuh dan berkembang dengan baik saat bayi dan batita. Namun, setelah itu, tidak ada kesan baik dari acara makan yang kuingat. Pada usia dini, aku sudah mempertanyakan mengapa manusia harus makan. Aku selalu menanti-nanti usia kapan mulai diperbolehkan berpuasa sehingga tidak perlu makan siang (yang akhirnya izinnya ditunda selama mungkin oleh papaku yang menyadari pemikiranku ini, mulai kelas 5 SD aku baru boleh berpuasa penuh).</div><div><br></div><div>Aku ingat bagaimana pada masa kecil itu aku berusaha menyiasati selera makanku yang buruk. Lidahku ternyata lebih bersahabat dengan rasa sedikit gurih yang lembut, tidak terlalu tajam. Mungkin karena itulah, aku sangat menyukai keju. Makanan apa pun yang terhidang di hadapanku sedikit lebih menarik dan membuatku bersemangat jika ditambah potongan keju.</div><div><br></div><div>Selain keju, aku juga pernah mencoba tambahan mentega atau margarin yang dioleskan ke nasi. Akan tetapi, cara ini tentu hanya dapat dilakukan jika menu utamanya bukan makanan berkuah. Lelehan mentega di atas nasi hangat lumayan membantuku meningkatkan selera makan.</div><div><br></div><div>Alhamdulillah, kebiasaan dan selera makanku membaik seiring dengan pertambahan usia. Kemajuan pesat disadari orang tuaku ketika aku sudah berkuliah dan tinggal di kota yang berbeda dengan mereka. Mereka menyatakan ketakjubannya saat datang berkunjung dan aku mengusulkan untuk makan bersama di sebuah restoran <i>steak. </i></div><div><br></div><div>"Heidy ngajak makan daging sapi? Ini Heidy yang dulunya kalo makan daging bisa diemut sepanjang penerbangan Palangkaraya ke Jakarta?" ungkap mamaku geli.</div><div><br></div><div>Aku juga tidak tahu persis penyebabnya. Mungkin setelah benar-benar mengurus diri sendir dan hidup di tengah teman-teman yang juga merantau, aku mulai merasa bahwa makan sebenarnya tidak harus menjadi kewajiban yang menyiksa. Baru sejak menjadi mahasiswalah aku mampu menikmati beragam jenis makanan nusantara, mulai dari rendang hingga tumis kangkung, tentunya tanpa perlu ditambahi mentega atau keju lagi di atas nasinya.</div><div><br></div><div>Keju masih menjadi makanan favoritku sekarang (mentega juga, tetapi margarin sudah tak pernah kusentuh). Namun, begitu pula halnya dengan berbagai jenis makanan lainnya, yang sering membuatku lama memilih dari menu makanan saat makan di luar rumah. Begitu pula sekarang, jika aku harus memilih dan menentukan makanan terfavorit.</div><div><br></div><div>Nasi panggang, nasi goreng, mi rebus, capcai, su ayam, semur, opor, aneka pasta, piza, <i>sushi</i>, <i>kimchi</i> ... sebutlah nama semua makanan yang ada di muka bumi ini. Aku yakin, lebih banyak yang dapat kupilih sebagai makanan favorit daripada yang kuhindari (kategori ini hanya mencakup makanan-makanan yang terlalu tajam, pedas, atau merepotkan). Sangat sulit bagiku untuk memilih juaranya karena menurutku semua enak dan harus dikonsumsi bergiliran. :D</div><div><br></div><div>Kamu sendiri, bagaimana? Sanggupkah memilih makanan terfavoritmu sepanjang masa? Ceritakan juga, ya!</div><div><br></div><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjFZ4mCSPTgxE212L62QzVOMtU_Bw0nseSsvqXYLpZ9H2h-Jtn9ryXbbb1dnH8-pxh2026HC5zUjXZEcUnZUOnD2O5zSYStq-HHpv0fu980jh5_MkWDs2uMhNRSse5gAhV502z0/s1080/1m1c+pilih.jpeg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1080" data-original-width="1080" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjFZ4mCSPTgxE212L62QzVOMtU_Bw0nseSsvqXYLpZ9H2h-Jtn9ryXbbb1dnH8-pxh2026HC5zUjXZEcUnZUOnD2O5zSYStq-HHpv0fu980jh5_MkWDs2uMhNRSse5gAhV502z0/s320/1m1c+pilih.jpeg" width="320"></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Pilih, Pilih ... <br>(Tulisan ini juga diikutsertakan dalam tantangan 1minggu1cerita.id)</td></tr></tbody></table><br><div><br></div><div><br></div><div><br></div><div><br></div><div><br></div><div><br></div>Heidy Kaenihttp://www.blogger.com/profile/10006052961734919916noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-11838988.post-69476584384165224902021-09-30T23:55:00.005+07:002021-10-01T09:20:25.702+07:00Pengalamanku Berbahasa<p><span style="font-family: trebuchet;">Tema <a href="https://mamahgajahngeblog.com/tema-tantangan-mgn-september-pengalaman-berbahasa/" target="_blank">tantangan <i>blogging</i> Mamah Gajah Ngeblog bulan ini adalah pengalaman berbahasa seumur hidup</a>. Ketika tema ini diluncurkan, sebenarnya aku merasa senang. Alasan tidak segera menulisnya bukan karena aku tidak memiliki cerita untuk disampaikan, melainkan malah mungkin terlalu banyak kisah yang membuatku bingung untuk memilihnya. Rasanya mulai dari awal kehidupanku hingga detik ini, berbahasa mengambil banyak porsi dalam hidupku.</span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family: trebuchet;"> </span></o:p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh9CjrsIUqV0BLXpfso81ZO-NePx5NyBNH2UjD6CJ2JuqqFQCZHqZRiGnuT699PJpeAakAJ52d9Ld_1mg6zdYHgJ2qmvBWXC_2D1JARLWLY6HsLsv8IqI6Bq1sfM66ZWCy5S-go/s2048/Banner+Tantangan+Blogging+MGN.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><span style="font-family: trebuchet;"><img border="0" data-original-height="1152" data-original-width="2048" height="180" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh9CjrsIUqV0BLXpfso81ZO-NePx5NyBNH2UjD6CJ2JuqqFQCZHqZRiGnuT699PJpeAakAJ52d9Ld_1mg6zdYHgJ2qmvBWXC_2D1JARLWLY6HsLsv8IqI6Bq1sfM66ZWCy5S-go/s320/Banner+Tantangan+Blogging+MGN.png" width="320"></span></a></div><span style="font-family: trebuchet;"><br></span><p></p><h1><span style="font-family: trebuchet; font-size: small;">Pada Zaman yang Belum Kuingat</span></h1><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;">Tentu saja aku tak benar-benar tahu apa tepatnya yang terjadi saat aku masih seorang bayi hingga anak batita. Bagaimana pengalaman berbahasaku pada usia dini? Saat aku bertanya pada Mama dan Papa, tidak banyak juga yang dapat mereka ceritakan secara spesifik tentang ini. Namun, Mama banyak berkisah tentang kegiatannya sejak aku masih nyaman di dalam rahimnya.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;">Mama masih belum menyelesaikan pendidikan dokternya ketika mengandungku. Aku tak begitu yakin Mama sudah tahu dan dengan sengaja menerapkan teori parenting tentang mengasah keterampilan komunikasi verbal pada janin saat itu, tetapi kurasa aku beruntung dalam hal ini. Rupanya dalam bentuk janin, aku sudah mengenal hidup dalam “keramaian verbal”. Meskipun tidak ada memori yang tersimpan tentang teori berbagai penyakit dalam bahasa latin, misalnya, aku tetap merasa senang mengetahui fakta sejarah ini. Tidak mungkin itu tidak berpengaruh terhadap keterampilanku dalam berbahasa di kemudian hari.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family: trebuchet;"> </span></o:p></p><h1><span style="font-family: trebuchet; font-size: small;">Pemerolehan Keterampilan Berbahasa pada Usia Dini</span></h1><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;">Sepertinya aku tidak mengalami keterlambatan berbahasa waktu bayi. Tidak pernah kudengar ada kisah tentang kesulitan mengajariku berbicara. Sebaliknya, yang banyak kudapat adalah cerita tentang bagaimana ceriwisnya aku saat kecil hingga sering membuat Mama, Papa, atau orang dewasa lainnya kewalahan. Kemudian, kata Mama, ia berusaha mengurangi kerepotannya dengan menyuruhku mencari jawaban atas setiap pertanyaanku di ensiklopedia. Kebetulan aku sudah dapat membaca sebelum usiaku menginjak lima tahun. Eh, tunggu … jangan-jangan ini bukan kebetulan, melainkan memang strategi Mama yang terencana sedemikan rapinya?<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;">Oh, ya. Kalau melihat silsilahnya ke atas, Mama dan Papaku sama-sama berasal dari Jawa Timur. Papa menghabiskan masa kecil hingga remajanya di Kediri. Sudah jelas, bahasa Jawa menjadi bahasa ibu Papa. Sementara itu, orang tua Mama (eyang putri dan eyang kakungku) sudah hijrah ke Cimahi, Jawa Barat, sejak awal pernikahan mereka. Meskipun bahasa Jawa tetap diutamakan di lingkungan keluarga, Mama dan kelima saudara kandungnya tentu menguasai bahasa Sunda dari lingkungan pergaulan mereka sehari-hari.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;">Sayangnya, indahnya bahasa daerah itu tak kurasakan sebagai bagian dari tumbuh kembangku. Mama dan Papa memutuskan menggunakan bahasa Indonesia untuk keluarga kecil yang baru mereka bangun dengan alasan menanamkan nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa (merdeka!). Hmm. Apa tidak ada semacam penghargaan nasionalisme untuk hal seperti ini?<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal">Jadi, bahasa ibuku adalah bahasa Indonesia, sepenuhnya, atau setidaknya sebagian besar di antaranya. Ada beberapa kosakata dalam bahasa Jawa yang menjadi perbendaharaan kataku tanpa sadar bahwa itu bukan bahasa Indonesia. Misalnya saja kata <i>cikrak</i> yang kelak di bangku SMP memicu perdebatan panjang dengan teman sekelas sesama petugas piket. Kejadian itulah yang baru membuatku tahu bahwa <i>cikrak</i> adalah istilah bahasa Jawa. Kemudian, ada pula keharusan menjawab “<i>Daleem” </i>ketika dipanggil orang tua. Belakangan semasa bersekolah di Palangkaraya, Cimahi, dan Medan baru kutahu, bukan begitu cara teman-temanku—yang bukan orang Jawa, tentunya—menjawab jika dipanggil orang tuanya. <span style="mso-spacerun: yes;"> </span><o:p></o:p></p><p class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family: trebuchet;"> </span></o:p></p><h1><span style="font-family: trebuchet; font-size: small;">Berkenalan dan Bersahabat dengan Bahasa Inggris</span></h1><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;"><o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;">Sepertinya secara “resmi” aku baru berkenalan dengan bahasa asing pertamaku, bahasa Inggris, di bangku SD (setelah sebelumnya hanya sempat melafalkan bilangan satu hingga sepuluh dalam bahasa internasional ini). Entah bagaimana, Mama dan Papa berhasil menanamkan sebuah keyakinan dalam diriku: bahasa Inggris itu mudah dan aku pasti tidak sulit menguasainya karena Eyang Tati (sebutanku untuk ibu dari Mama) adalah guru bahasa Inggris dan Eyang Mama adalah seorang jenius yang fasih dalam beberapa bahasa asing dan hampir semua buku bacaannya memakai bahasa Inggris. Bagaimana ini dan itu berhubungan atau bagaimana aku sampai pernah mempercayainya (bahwa ada hubungan sebab akibat dalam hal tersebut) masih menjadi misteri sampai sekarang.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;">Mungkin itu karena porsi terbesar dalam pelajaran Bahasa Inggris di sekolah adalah <i>grammar </i>alias tata bahasa<i>. </i>Aku memang hampir tak mengalami kendala dalam mempelajarinya. Rasanya soal-soal <i>grammar </i>setali tiga uang dengan Matematika, pelajaran favoritku. Kurasa dahulu kupikir masuk akal saja jika kemudahan yang kualami itu memiliki tali kasih … eh, maksudku: hubungan, dengan leluhur. Antara bakat dan turunan, aku percaya begitu saja bahwa itulah yang menjadi bekalku.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;">Di tingkat sekolah menengah, barulah aku menemukan dan menyadari kekeliruan pemahamanku: tidak mungkin terampil dalam suatu bahasa yang tidak benar-benar dipakai. Apa gunanya mempelajari dan mengulik tata bahasa jika bahasanya sendiri tidak digunakan untuk berkomunikasi: menyimak, berbicara, membaca, dan menulis? Di antara empat bidang kemahiran berbahasa ini, mungkin yang waktu itu lebih kukuasai dari yang lainnya hanya menyimak. Ini tak lepas dari peran dua hal. Yang pertama ialah lagu-lagu pop berbahasa Inggris yang digandrungi remaja. Hal kedua adalah kebiasaan Mama dan Papa untuk saling berbicara dalam bahasa Inggris saat sedang membahas masalahku dan adik-adikku di depan kami. Kebiasaan mereka itu terhenti sejak aku mulai memahami semua yang mereka katakan, digantikan dengan dialog-dialog yang akhirnya melibatkanku sehingga keterampilanku dalam berbicara mulai terbangun.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;">Namun, sebenarnya semua jenis kemahiranku dalam berbahasa Inggris ini baru benar-benar meningkat di masa kuliah berkat aneka <i>textbook </i>dan … film! Tak kusangka sebelumnya, bergabung di Liga Film Mahasiswa ternyata membantu meningkatkan kemampuan bahasa Inggrisku dalam hal menyimak dan membaca karena aku memiliki hobi baru: menonton banyak film. Keterampilan menyimakku terasah dari film-film berbahasa Inggris yang kutonton tanpa terjemahan<i>, </i>sementara keterampilan membacaku diperoleh dari film berbahasa apa saja yang kutonton dengan mencermati <i>English subtitle-</i>nya.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;">Penguasaan atas kemahiran menyimak dan membaca, dua keterampilan pasif dalam berbahasa, menjadi gerbang memasuki jenis kemahiran berikutnya yang bersifat aktif. Sebagaimana bayi tak mungkin dapat berbicara jika tak pernah mendengar suara apa pun, menguasai kemahiran berbicara dan menulis sebagai keterampilan aktif merupakan hal yang mustahil jika tidak menguasai terlebih dahulu keterampilan pasifnya, berbicara dan menulis.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;">Baik dalam hal berbicara mapun menulis, awal mulanya kebiasaanku memanfaatkan bahasa Inggris untuk mengungkapkan rasa marah. Mungkin aku merasa tidak terlalu kasar jika tidak memakai bahasa ibu saat sedang emosional seperti biasanya. Keterampilan ini kemudian terus kuasah saat sempat menjadi peneliti di sebuah perusahaan multinasional serta sewaktu menjadi pengajar bahasa Inggris di sebuah sekolah dasar swasta. Ketika harus berapat dengan klien dari negara lain atau menyusun surat, laporan, <i>unit plan</i>, dan <i>lesson plan</i> menjadi rutinitas sehari-hari, kepercayaan diriku untuk berbicara dan menulis dalam bahasa Inggris pun meningkat.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family: trebuchet;"> </span></o:p></p><h1><span style="font-family: trebuchet; font-size: small;">Mempelajari Bahasa Asing Lainnya</span></h1><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgWC9nFyqIy61W-g6AcVfKTNTfUnSg5LB-RvtGiBxY66Tjd2aryWHz5z5rS6baqMMkTfLDrSTdzoKZpfCd6Jh2HhCZO0xZLn5RzJIREEWed_OnbcAJFEvvJemPMrTtA7ohPbRHG/s1600/1633054265668833-0.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;">
<img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgWC9nFyqIy61W-g6AcVfKTNTfUnSg5LB-RvtGiBxY66Tjd2aryWHz5z5rS6baqMMkTfLDrSTdzoKZpfCd6Jh2HhCZO0xZLn5RzJIREEWed_OnbcAJFEvvJemPMrTtA7ohPbRHG/s1600/1633054265668833-0.png" width="400">
</a>
</div><br><p></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;">Sebelum memasuki kehidupan perkuliahan, sebetulnya aku pernah tergerak untuk mencoba mempelajari sendiri bahasa asing selain bahasa Inggris: bahasa Spanyol. Aku lupa bagaimana awalnya, tetapi ingat bagaimana aku menikmatinya. Kurasa pelafalan dalam bahasa Spanyol cenderung mudah bagi penutur jati bahasa Indonesia. Sayangnya, semangatku untuk menekuni bahasa ini tak bertahan lama karena sulit bagiku menemukan aneka sumber material belajar (lagu, film, atau buku) ataupun rekan untuk belajar berbicara pada waktu itu (sebelum tahun 2000).<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;">Peran produk-produk budaya ternyata begitu penting dalam pembelajaran sebuah bahasa asing. Ini baru kusadari juga di bangku kuliah. Selain mengonsumsi banyak film berbahasa Inggris, aku juga baru mulai menggandrungi <i>manga, anime, </i>dan <i>dorama </i>(komik, film animasi, dan serial drama Jepang). Seiring dengan itu, aku tertarik mempelajari bahasa Jepang. </span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;">Namun, kali ini aku tidak belajar autodidak sepenuhnya karena merasa butuh bimbingan dalam mempelajari aksaranya yang berbeda. Setelah sempat mengikuti kursus singkat pada suatu semester pendek di kampus dahulu, barulah aku meneruskan belajar secara mandiri. Karena tidak merasa membutuhkannya untuk kepentingan yang serius seperti melanjutkan sekolah atau bekerja di Jepang, aku hanya mengasah jenis kemahiran lisan. Itu pun hanya untuk kesenangan dan hiburan: mendengarkan <i>anime </i>beserta <i>soundtrack</i>-nya selagi mengerjakan berbagai kegiatan lain. Karena <i>anime </i>yang kusimak itu telah berkali-kali diputar, aku sudah hafal tiap adegannya tanpa perlu melihat teks terjemahannya. Dengan kata lain, aku paham arti dari kata-kata yang kudengar. Kurasa inilah cara paling menyenangkan yang kutemukan dalam mempelajari bahasa asing: belajar tanpa benar-benar sengaja belajar.<o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;">Bekal pengalaman belajar bahasa Jepang dengan cara asyik itu sempat kucoba terapkan untuk mempelajari bahasa Korea. Melihat produk-produk budaya Korea yang mulai membanjiri tanah air, aku yakin, ada banyak kemudahan untuk mempelajari bahasanya. Motivasiku bertambah setelah menjadi pengajar BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing) dan sebagian besar mahasiswaku adalah orang Korea. </span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;"><o:p></o:p><span face="Calibri, sans-serif">Akan tetapi, setelah berbulan-bulan, aku baru menyadari bahwa mengandalkan telinga saja tidak cukup untuk mempelajari bahasa Korea. Susunan bunyi dalam bahasa ini tidak sesederhana bahasa Jepang. Bahasa Korea memiliki keunikan bunyinya sendiri, tidak seperti bahasa Jepang yang sifat bunyinya cukup mirip dengan bahasa Indonesia: banyak mengandung suku kata terbuka. Antara bunyi dan bacaan teksnya pun tidak benar-benar tepat sama. Karena itulah, kuputuskan mengambil kursus singkat lagi untuk mempelajari “rahasia”nya. Setelah “rahasia” itu terbongkar, barulah kuteruskan belajar secara mandiri lagi dengan santai dan tentunya dengan cara yang menyenangkan juga: sambil menonton drama-drama Korea. </span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;"><span face="Calibri, sans-serif">Namun, sepertinya perjalananku kali ini lebih lambat karena satu alasan yang asyik sekaligus membingungkan: arus masuknya drama-drama baru yang menarik terlalu deras! Karena terlalu sibuk menonton drama baru, aku </span><span face="Calibri, sans-serif"> </span><span face="Calibri, sans-serif">tak terlalu sempat menonton ulang drama-drama lama. Belum banyak cerita yang sudah kuhafal dan efektif menjadi “latihan menyimak” seperti halnya yang kuterapkan untuk belajar bahasa Jepang dari <i>anime</i> favorit. </span></span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;">Sebetulnya masih ada satu bahasa asing lainnya yang sempat kucoba pelajari, tetapi kemudian masih tertunda hingga saat ini. Teorinya seharusnya ini adalah salah satu bahasa asing yang lebih kudahulukan sebelum mempelajari bahasa lainnya karena terkait erat dengan agamaku: bahasa Arab. Ini bahasa yang digunakan dalam Quran, kitab suciku. Tentu sudah sepantasnyalah aku mengutamakannya. </span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;">Masalahnya, aku merasa bahwa bahasa Arab mungkin dapat dinobatkan sebagai salah satu bahasa tersulit di dunia. Inilah alasanku menundanya. Kuniatkan untuk menunggu anakku cukup umur untuk mempelajarinya dan dapat "kutebengi" belajar (alias sesemamak ini ingin ikut belajar di kelas anak yang sepertinya jauh lebih asyik daripada kelas orang dewasa yang serius). Dalam bahasa Arab, aksara yang digunakan tidak sekadar berbeda dari alfabet, seperti halnya aksara dalam bahasa Jepang, Korea, atau Cina, tetapi juga memiliki aturan cara membaca dan menuliskan yang berbeda-beda untuk tiap peletakannya (bentuknya di depan, tengah, dan akhir berbeda-beda). Belum lagi aturan kosa kata dan tata bahasanya yang juga tidak dapat disebut sederhana. Satu-satunya keberuntunganku adalah sudah menguasai cara membaca (membunyikan, tepatnya, karena aku tak benar-benar paham apa yang kubaca nyaring) rangkaian hurufnya berkat pelajaran mengaji yang kudapat sejak kecil, sama seperti kebanyakan orang muslim lainnya. </span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;">Jadi, begitulah. Kurasa aku memerlukan lebih banyak waktu dan kesempatan untuk dapat sepenuhnya menaklukkan bahasa asing yang satu ini. Mohon doanya, ya, teman-teman, semoga suamiku yang juga sangat ingin mempelajari bahasa Arab ini juga kelak mau ikut belajar di kelas bocah.</span></p><h1 style="text-align: left;">Bahasa Terkeren</h1><p class="MsoNormal">Kalau membahas pengalaman berbahasa, ada satu hal yang kusesali, yaitu belum mendapatkan pengalaman berbahasa daerah. Aku lahir dari pasangan berdarah Jawa, tetapi tidak terampil menggunakan bahasanya. Namun, penyesalan ini baru timbul setelah aku berkesempatan mempelajari Linguistik (di tingkat magister, yang jaraknya dengan bidang ilmuku di tingkat sarjana bagaikan dari Merkurius ke Neptunus) dan melihat <span style="font-family: trebuchet;">betapa beruntungnya aku yang dibesarkan dengan bahasa ibu. </span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;">Ada banyak hal yang kumaksud dengan beruntung. Aku tidak mengalami "bingung bahasa" dan <i>speech delay </i>yang kemudian menghambatku dalam belajar hal-hal lainnya pada usia dini. Tidak ada pula perbedaan penguasaan bahasa yang menghalangiku untuk tetap berkomunikasi dengan baik dan tetap menjalin <i>bonding </i>dengan orang tuaku sepanjang masa tumbuh kembangku hingga dewasa. Kemudian, hal terakhir yang paling besar nilainya bagiku adalah sebagai orang Indonesia asli, aku sepenuhnya menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa ibu. </span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;">Ke negeri mana pun aku berkelana, aku dapat menjadi salah satu duta bahasa terbaik bagi tanah airku. Siapa lagi yang lebih baik dalam memperkenalkan bahasa dan budaya negeri ini kalau bukan orang-orangnya sendiri? Di mata bangsa lain, posisi kita–penutur jati bahasa Indonesia–sama berharganya dengan orang bule sebagai <i>native speaker</i> yang mengajar bahasa Inggris di sini. Secanggih-canggihnya aku menguasai bahasa Spanyol, Jepang, Korea, atau Arab kelak, sampai kapan pun sepertinya tak mungkin aku mengalahkan orang-orang asli dari semua negeri tersebut. Demikian pula sebaliknya. D</span><span style="font-family: trebuchet;">i mata dunia, keunikan khas setiap bangsa begitu tinggi nilainya.</span></p><p class="MsoNormal"></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhtVeVZzi5uR_85HD21gD5QeldLXvxO6TKuOAHSTQ4kpDowfQhLF47pRkYIXeSdIMZRGt0kyALzh-mok7GdrN96Z1cMGlE__urBmrEpAoQiiWr_Xg4cxapw8IHGqm_YY0V8KNmU/s1600/1633054260828685-1.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;">
<img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhtVeVZzi5uR_85HD21gD5QeldLXvxO6TKuOAHSTQ4kpDowfQhLF47pRkYIXeSdIMZRGt0kyALzh-mok7GdrN96Z1cMGlE__urBmrEpAoQiiWr_Xg4cxapw8IHGqm_YY0V8KNmU/s1600/1633054260828685-1.png" width="400">
</a>
</div><br><p></p><p class="MsoNormal" style="text-align: center;"><o:p><span style="font-family: trebuchet;">Maka, bukankah benar semboyan dari badan Bahasa Kemendikbud ini? </span></o:p></p><p class="MsoNormal" style="text-align: center;"><o:p><span style="font-family: trebuchet;">utamakan bahasa Indonesia,</span></o:p></p><p class="MsoNormal" style="text-align: center;"><o:p><span style="font-family: trebuchet;">lestarikan bahasa daerah,</span></o:p></p><p class="MsoNormal" style="text-align: center;"><o:p><span style="font-family: trebuchet;">kuasai bahasa asing.</span></o:p></p>Heidy Kaenihttp://www.blogger.com/profile/10006052961734919916noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-11838988.post-78847001786787465032021-09-20T20:37:00.001+07:002021-10-25T22:24:05.055+07:00Literasi Sains: Sebuah Pemahaman dan Pendekatan<p align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;">Dalam buku yang berjudul <i>A History of Ideas
in Science Education, </i>De Boer menulis bahwa istilah <i>Scientific Literacy </i>(atau
yang berarti kita terjemahkan sebagai “Literasi Sains”) pertama kali
diperkenalkan oleh Paul de Hart Hurt, seorang ilmuwan dari Stanford University.
Menurut De Hart Hurt, istilah tersebut merujuk pada pemahaman ilmu pengetahuan
dan penerapannya di masyarakat. Sementara itu, dalam situs <a href="https://gln.kemdikbud.go.id/glnsite/buku-literasi-sains/" target="_blank">Gerakan LiterasiNasional dari Kemdikbud RI,</a> literasi sains diartikan sebagai pengetahuan dan
kecakapan <span style="background: white; color: #222222;">ilmiah untuk mampu
mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan fenomena
ilmiah, serta mengambil simpulan berdasar fakta, memahami karakteristik sains,
kesadaran bagaimana sains dan teknologi membentuk lingkungan alam, intelektual,
dan budaya, serta kemauan untuk terlibat dan peduli terhadap isu-isu yang
terkait sains. Bagiku, berbagai kutipan ini menunjukkan luasnya pengertian
literasi sains, sebagai bagian dari literasi. Namun, hanya dua hal yang ingin aku
garis bawahi: ilmu pengetahuan dan pemanfaatannya. <o:p></o:p></span></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="background: white; color: #222222; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;">Kata <i>sains </i>yang
diartikan sebagai ilmu pengetahuan pada umumnya sebenarnya sesuai dengan salah
satu pengertian yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V. Ya,
betul … salah satu, bukan satu-satunya. Ada tiga pengertian yang diberikan di
sana:<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -18.0pt; text-justify: inter-ideograph;"></p><ol><li><span style="background: white; color: #222222; font-size: 12pt; line-height: 107%; text-indent: -18pt;">ilmu pengetahuan
pada umumnya;</span></li><li>pengetahuan
sistematis tentang alam dan dunia fisik, termasuk di dalamnya, botani, fisika,
kimia, geologi, zoologi, dan sebagainya; ilmu pengetahuan alam;</li><li>pengetahuan
sistematis yang diperoleh dari suatu observasi, penelitian, dan uji coba yang
mengarah pada penentuan sifat dasar atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki,
dipelajari, dan sebagainya.</li></ol><p></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="background: white; color: #222222; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;">Mana pengertian
yang paling sering kita pakai sehari-hari atau temukan dari lingkungan sekitar
kita? Berdasarkan pengalamanku sendiri, sejak masih duduk di bangku sekolah
hingga dipercaya mendidik anak-anakku sendiri, sebenarnya pemakaian kata <i>sains</i>
di lingkungan sekitarku lebih jarang merujuk pada “ilmu pengetahuan” pada
umumnya. Kebanyakan dari kita lebih banyak merujuk pada pengertian kedua, yaitu
ilmu pengetahuan alam, saat menggunakan istilah <i>sains. <o:p></o:p></i></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="background: white; color: #222222; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;">Awalnya, aku
sendiri cenderung memilih membiasakan diri dengan pengertian pertama. Baik ilmu
pengetahuan alam maupun berbagai jenis ilmu pengetahuan lainnya seperti ilmu
pengetahuan sosial dan budaya kuanggap sama-sama masuk dalam ranah sains. Ini
berarti ketika sedang membahas literasi sains, sebenarnya kita sedang
membicarakan dunia ilmu pengetahuan yang beraneka rupa dan nyaris tak terhingga
luasnya. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="background: white; color: #222222; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;">Banyak orang yang
mengaitkan literasi dengan buku. Mungkin karena itulah, tak sedikit juga yang
mengira bahwa literasi sains terbatas pada pemerolehan ilmu pengetahuan dari bahan-bahan
bacaan. Apakah ini berati literasi sains baru dimulai di bangku sekolah atau
saat seseorang telah dapat membaca?<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="background: white; color: #222222; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;">Aku tidak berpendapat
demikian. Selain meyakini bahwa sains berarti beragam jenis ilmu pengetahuan,
aku juga percaya bahwa setiap anak manusia dapat memulai petualangan literasi
sainsnya sejak awal kehadirannya di dunia ini. Bayi baru lahir dapat memulai pelajaran
pertamanya tentang mencari makanan sebagai kebutuhan pokok hidupnya melalui
Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Anak batita belajar tentang perbedaan makhluk
hidup dan benda mati dari rutinitasnya sehari-hari. Begitu pula dengan konsep
gravitasi, perubahan wujud benda, keberagaman, dan toleransi yang tidak hanya boleh,
tetapi memang harus dipelajari anak sejak usia dini.<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span style="background: white; color: #222222; font-size: 12.0pt; line-height: 107%; mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;">Meskipun
demikian, tidak berati para ibu atau ayah harus ambisius dalam menyelenggarakan
kegiatan pembelajaran secara khusus untuk anak-anak balitanya di rumah. Aku pribadi
memilih cara yang—menurutku—paling mudah dan “hemat energi”. Untuk si bungsu
yang belum berumur tujuh tahun, kumanfaatkan pendekatan <i style="font-weight: bold;">free play </i>sesuai
teori pendidikan Waldorf yang digagas oleh Rudolf Steiner. Kegiatan yang lebih
banyak membebaskan anak dalam bermain ini mungkin sekilas tampak tidak penting
atau tidak berguna, padahal merupakan fondasi penting bagi anak sebelum memasuki
usia sekolah. Menyediakan alam bebas untuk anak bermain, misalnya, tidak hanya berarti
memfasilitasi anak belajar tentang hewan dan tumbuhan yang dilihatnya, tetapi
juga menanamkan kebiasaan berempati pada makhluk hidup lain, mengasah
keterampilan mengamati dan meneliti, serta menumbuhkan rasa ingin tahu yang tak
terhingga. <o:p></o:p></span></p>Heidy Kaenihttp://www.blogger.com/profile/10006052961734919916noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-11838988.post-64558530037219597132021-09-06T20:31:00.001+07:002021-09-07T09:28:39.135+07:00Perjalanan Literasiku<p>Entah bagaimana awalnya, sejak dapat mengingat, rasanya aku memang selalu suka membaca. Apa saja yang ada teksnya pasti mengundang rasa ingin tahuku, seolah menarik-narikku untuk membacanya: mulai dari teks di botol sampo hingga teks di papan reklame. Tentu saja, benda yang paling menarik perhatianku adalah buku, yang memuat lebih banyak teks daripada benda-benda lainnya.</p><p>Buku yang paling sering kulihat dan kuingat memenuhi memori masa kecilku adalah buku-buku bacaan orang tuaku (misalnya yang berjudul "Bagaimana Mendisiplinkan Anak?"), ensiklopedia, majalah Bobo, dan buku pelajaran sekolah. Bagaimana dengan buku cerita? Sayangnya, buku jenis ini justru tidak banyak kukenal saat masih berseragam putih-merah. Alasannya sederhana saja: papaku yang sangat mementingkan pendidikan menganggap buku cerita bukan barang yang bermanfaat. Jika pergi ke toko buku, Papa keberatan jika aku minta dibelikan buku cerita. Buku pelajaranlah yang harus diutamakan. </p><p>Saat aku mulai dipercaya untuk mengatur uang saku bulanan di bangku SMA, barulah aku berkenalan lebih banyak dengan buku-buku fiksi. Kurelakan berhemat dalam banyak hal (pilih bekal daripada jajan atau jalan kaki daripada naik ojek) demi dapat menabung untuk membeli novel-novel anak. Yap, betul, kau tak salah baca. Sementara teman-temanku mungkin sudah mulai membaca novel dewasa aku baru mulai mengoleksi novel anak seperti <i>Lima Sekawan. </i></p><p>Meskipun lambat memulai, aku sangat bersemangat melanjutkan petualangan literasiku. Saat kuliah dan tidak tinggal bersama orang tua, kesempatanku menyisihkan uang bulanan untuk membeli buku makin besar. Jenis bacaanku makin bervariasi dan jumlahnya terus bertambah. Saat pendidikan sarjanaku selesai, lemari bukuku yang tingginya mencapai langit-langit kamar telah penuh dengan koleksi buku bacaan yang kubeli sepanjang lima tahun masa kuliahku. </p><p>Selain membaca, aku juga senang menulis. Terinspirasi dari beberapa cerita pendek yang pernah kubaca di majalah Bobo, aku sering menuangkan khayalanku dalam bentuk cerita pendek yang kutulis di sebuah buku tulis yang tipis. Setiap selesai menulis satu cerita, buku ini pasti berkelana ke mana-mana. Hampir semua teman sekelasku membacanya. Kadang-kadang beberapa anak kelas lain juga turut membaca.</p><p>Pada tahun terakhirku di SMP, aku mulai menulis novel. Berlembar-lembar kertas bergaris habis kutulisi dengan tangan sebelum akhirnya aku menulis dengan cara mengetik. Ini menjadi kegiatan sambilanku setiap mengulang pelajaran sekolah. Sebelum SMA, aku sudah menyelesaikan tiga jilid novel remaja. Sayangnya, aku tidak tahu ke mana harus menyalurkan karya-karya itu. </p><p>Aku baru berkesempatan menerbitkan bukuku untuk pertama kalinya setelah Papa menjadikan buku itu sebagai souvenir pernikahanku pada tahun 2007. Karena sisanya sangat banyak, tanpa pikir panjang kukirimkan buku itu ke beberapa penerbit sekaligus. Belakangan, aku baru tahu bahwa ini bukan langkah bijak. Siapa sangka, ada lebih dari satu penerbit yang tertarik menerbitkannya.</p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgMKoWwAdqV0IH8GhrzdrMCHSbhaIxc69flQbulKPEbBKyjAT3QsZ64L6uHOhWYv64hTx7FXYW3wwAlW1bCsCI8iS1EirZ9m_r8j5paSL38UQeIeb-53QDKwdI7FgSqD8b9S1nO/s1600/sampul+depan+giginosaurus.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1600" data-original-width="1200" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgMKoWwAdqV0IH8GhrzdrMCHSbhaIxc69flQbulKPEbBKyjAT3QsZ64L6uHOhWYv64hTx7FXYW3wwAlW1bCsCI8iS1EirZ9m_r8j5paSL38UQeIeb-53QDKwdI7FgSqD8b9S1nO/s320/sampul+depan+giginosaurus.jpeg" width="240"></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Buku Fiksi Solo Pertamaku: Giginosaurus (Dar! Mizan, 2008)</td></tr></tbody></table><p>Perjalananku membaca dan menulis terus berlanjut. Hingga kini, aku masih membaca beragam genre buku dan komik untuk kesenangan. Aku juga tak pernah berhenti menulis, meskipun tidak konsisten di satu jalur (pernah sibuk menulis buku ajar, serius menulis buku anak, asyik menulis novel remaja dan dewasa, juga tentunya semangat menulis blog seperti ini). </p><p>Tak pernah terbayang olehku berhenti menulis. Bahkan, kupikir, inilah salah satu hal yang harus diperjuangkan selagi hidup. Bukankah meski kita sudah tak ada kelak, tulisan-tulisan kita akan tetap ada dan masih mungkin masih ada gunanya bagi yang hidup?</p><p>Begitu pula dengan membaca. Mungkinkah kita berhenti membaca selagi hidup? Sepertinya mungkin saja, tetapi aku tidak mau. Ada begitu banyak ilmu kehidupan yang tak mungkin diperoleh jika kita tidak terus membaca.</p><p>Perjalanan literasiku tak selalu indah dan mulus. Saat mengenangnya seperti ini, sesekali muncul perasaan sesal dan sedih. Misalnya saja terkait larangan membaca buku cerita banyak-banyak saat kecil atau usahaku mencuri-curi waktu untuk menulis novel saat duduk di bangku SMP-SMA. Namun, memori-memori seperti inilah yang membuatku merenung lebih dalam, lalu dengan serius merencanakan dan menjalankan pendidikan literasi dalam keluarga kecilku. </p><p>Bagaimana dengan perjalanan literasimu? Ceritakan juga, dong!</p><p><br></p>Heidy Kaenihttp://www.blogger.com/profile/10006052961734919916noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-11838988.post-4326958507269010142021-08-31T23:31:00.003+07:002021-09-06T20:45:57.459+07:00Merdeka dari Buku Bajakan<p>Dalam rangka turut memeriahkan bulan kemerdekaan negeri ini, komunitas <a href="https://mamahgajahngeblog.com/" target="_blank">Mamah Gajah Ngeblog</a> menetapkan tantangan dengan tema yang masih berkaitan dengan "merdeka" bulan ini, yaitu "Budayakan Hidup tanpa Bajakan". Kalau dahulu kita berjuang agar merdeka dari status negara jajahan, sekarang marilah kita berjuang untuk merdeka hidup tanpa bajakan. Mirip-miriplah, ya. Bedanya hanya beberapa huruf. Yuk, ikuti ceritaku dalam rangka memenuhi <a href="https://mamahgajahngeblog.com/tema-tantangan-mgn-agustus-budaya-tanpa-bajakan/" target="_blank">Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog</a> ini.</p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhNuFCPW54hzlSSPsnP3T44M-BzX83YqfYB3qWRR2LlGOTRmpb_4VLuYH-fYbJJMS9GU_iXU6nqqrxI6Xbfd-QVxSXAd58QDQhxyzpn_xFmNjo3bO2xoZDbC_uNx3ikdIzhPuRf/s2048/Banner+Tantangan+Blogging+MGN.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1152" data-original-width="2048" height="228" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhNuFCPW54hzlSSPsnP3T44M-BzX83YqfYB3qWRR2LlGOTRmpb_4VLuYH-fYbJJMS9GU_iXU6nqqrxI6Xbfd-QVxSXAd58QDQhxyzpn_xFmNjo3bO2xoZDbC_uNx3ikdIzhPuRf/w406-h228/Banner+Tantangan+Blogging+MGN.png" width="406" /></a></div><br /><h1 style="text-align: left;">Apa Itu Bajakan dan Membajak</h1><p>Kalau mengintip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) andalan kita semua, kata <i>bajakan </i>berarti hasil membajak. Namun, kata <i>membajak </i>sendiri mengandung beberapa makna, yaitu sebagai berikut:</p><p>1. melakukan perompakan (di laut); merompak</p><p>2. mengambil alih kapal terbang (kapal laut, bus, dan sebagainya) dengan paksa dengan maksud tertentu</p><p>3. mengambil hasil ciptaan orang lain tanpa sepengetahuan dan seizinnya.</p><p>Membajak dalam arti nomor satu dan dua sepertinya kurang sesuai dengan konteks yang diminta dalam tantangan ini. Dengan kata lain, kali ini kita akan fokus pada arti nomor terakhir untuk membajak: mengambil hasil ciptaan orang lain tanpa sepengetahuan dan seizinnya. Kalau begitu, menggunakan pengertian nomor tiga, kita dapat mengartikan <i>bajakan </i>sebagai hasil dari mengambil ciptaan orang lain tanpa sepengetahuan dan seizinnya. Hmm ... familier, tidak, dengan kata-kata ini? Bukankah ini berarti mencuri?</p><p> </p><h1 style="text-align: left;">Terbiasa dan Tak Sadar Akan Apa yang Salah</h1><p>Kalau diingat-ingat, dahulu aku sama sekali tak tahu soal bajak-membajak ini. Bukannya tidak pernah melakukannya, tetapi tidak sadar melakukannya dan tidak tahu bahwa itu salah. Ini paling banyak terjadi saat aku mulai berkuliah.</p><p>Mahasiswa mana sih di negeri berpenduduk dua ratus jiwa ini yang tidak pernah memanfaatkan jasa tukang fotokopi? Nah di antara kesibukan seputar fotokopian itu, bisa dipastikan ada kegiatan memfotokopi buku. Makin bagus bukunya (biasanya impor), makin laris buku itu di sini .... bukan dibeli, melainkan untuk difotokopi. Siapa yang sanggup membeli buku teks tebal <i>full color </i>sebagai referensi kuliah? Yang jelas bukan saya ... juga teman-teman saya.</p><p>Karena semua orang melakukannya, aksi ini jadi terasa benar. Seingatku, pada zamanku dulu, tidak pernah ada diskusi yang membahas betapa salahnya memfotokopi sebuah buku. Yang sering terdengar justru pertanyaan semacam "Kenapa nggak fotokopi aja?" ketika ada yang belum menggunakan sebuah buku karena belum memilikinya. Jadi, tidak aneh membajak sebuah buku karena yang dianggap aneh adalah yang tidak melakukannya. Inilah paham yang tumbuh subur setidaknya di lingkungan sekitarku saat berkuliah dulu</p><h1>Menolak buku bajakan</h1><div>Keyakinan tentang tidak ada yang salah dengan membajak baru tergoyahkan setelah aku menemukan penjualan buku-buku selain buku teks, tetapi versi bajakan. Sebagai pecinta novel, komik, atau fiksi lainnya, aku cukup syok melihat pedagang yang menawarkan jenis-jenis buku favoritku itu, tetapi dalam bentuk yang kualitasnya jauh lebih rendah. Ternyata itu buku-buku bajakan. Entah bagaimana cara menggandakannya, tetapi kurasa semua orang yang teliti akan dapat membedakan kualitas kedua jenis buku itu. Mana yang lebih dipilih? Apakah akan ada yang menyukai barang dengan kualitas yang lebih rendah? Aku sih tak termasuk di antaranya.</div><p>Selanjutnya, yang makin membukakan mata adalah pengalamanku sendiri menerbitkan sebuah buku solo. Tidak ada penulis yang tidak ingin hasil karyanya dilihat atau dibaca sebanyak-banyaknya orang. Namun, tetap saja, setiap penulis ingin agar karyanya dihargai. Tak ada yang senang jika barang atau kekayaannya dirampok. Begitu pula penulis. Tak ada yang suka buah pikirnya dilipatgandakan diam-diam. </p><p>Mengingat hal itu, sejak menjadi orang tua, aku selalu berusaha keras menghidari buku bajakan. Bagaimana caranya?</p><h1 style="text-align: left;">Melepaskan Diri dari Buku Bajakan</h1><p>Memerdekakan diri dari buku bajakan bukan aksi sekali jadi. Sikap kita hari ini belum tentu sama dengan sikap kita besok, lusa, minggu depan, bulan depan, dan seterusnya. Apalagi dengan gempuran godaan di sana sini ... ini perjuangan seumur hidup, Bung! Karena itulah, kami mencoba menerapkan langkah-langkah berikut.</p><p>1. Langkah pertama adalah memeriksa, menganalisis, atau mengkaji apakah suatu buku itu benar-benar kami butuhkan atau tidak.</p><p>2. Langkah kedua adalah memutuskan, apakah berdasarkan hasil pertimbangan di atas, buku tersebut perlu dibeli atau tidak.</p><p>3. Langkah ketiga adalah mencari toko atau pedagang terpercaya yang selalu menjual buku-buku asli (original), yang menjual judul buku yang kita cari.</p><p>4. Langkah keempat adalah memilih layanan yang paling lengkap dan ekonomis, kemudian membayar tagihannya. Ini penting dilakukan agar kita tidak kapok untuk terus membeli buku asli.</p><p>5. Langkah kelima adalah membayar, menunggu pesanan, dan membuka bungkusnya. </p><p>6. Langkah keenam adalah membaca buku yang telah dibeli ini sepuasnya agar tidak menyesal karena telah membeli buku asli.</p><p>Kami mencoba menerapkan keenam langkah ini setiap kali dihadapkan pada pilihan keinginan atas sebuah buku baru. Semoga saja dengan usaha ini, tekad dan aksi menghindari buku bajakan dapat dipertahankan selamanya. Nah. Bagaimana denganmu? Apakah kita punya pandangan yang sama untuk urusan buku bajakan ini?</p><p><br /></p>Heidy Kaenihttp://www.blogger.com/profile/10006052961734919916noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-11838988.post-22302504531798512442021-08-09T18:10:00.009+07:002021-08-09T22:54:09.370+07:00Subgrup Kesayangan dari ITB MotherhoodBaik blog ini maupun <a href="https://tigasebelas.wordpress.com/" target="_blank">blog keluargaku</a> sempat mati suri bertahun-tahun. Aku pernah menceritakannya <a href="http://heidykaeni.blogspot.com/2021/02/kembali-ngeblog.html" target="_blank">di sini</a>. Namun, sejak awal tahun ini, insyaallah kondisi seperti itu tak terlihat lagi. Sekarang, sudah lebih dari setengah tahun aku kembali rajin mengisi kedua blog yang kukelola. Bukankah ini sebuah prestasi? Aku berhasil mengalahkan musuh terbesar: diriku sendiri!<div><br></div><div>Layaknya sebuah prestasi, ada peran pihak lain yang tak boleh terlupakan. Apa yang memungkinkanku kembali produktif menulis? Seluruh keluargaku jelas merupakan <i>supporter </i>utama. Namun, pengaruh yang tak kalah penting dan besar juga kurasakan dari dua komunitas yang berkumpul di <i>whatsapp group: </i><a href="https://www.instagram.com/mamahgajahbercerita/" target="_blank">Mamah Gajah Bercerita (MaGaTa)</a> dan <a href="https://mamahgajahngeblog.com/" target="_blank">Mamah Gajah Ngeblog (MGN)</a>. </div><div><i><br></i></div><div>Nah, lewat tulisan ini, izinkan aku memperkenalkan kedua komunitas favoritku ini, ya. Sebetulnya, baik MaGaTa maupun MGN adalah bagian dari komunitas yang lebih besar lagi, yaitu ITB Motherhood. Komunitas yang sudah berdiri lebih dari sepuluh tahun yang lalu ini merupakan wadah silaturahmi dan saling berbagi ilmu bagi para perempuan alumni ITB. </div><div><br></div><div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi7N4ZNs6P3TT9ruuVI-tGLIRg8ediB9Vy3m7vPPDOPBtsERbsWaHN5Aiz-KpPVu7mbisudQ2QLjU5Zmc1S5cskRFQ1s2eH3OVn3jw2tWnEmE0x_es5DqzOEzEP_9-ONr6kyKvD/s1600/1628523621007066-0.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;">
<img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi7N4ZNs6P3TT9ruuVI-tGLIRg8ediB9Vy3m7vPPDOPBtsERbsWaHN5Aiz-KpPVu7mbisudQ2QLjU5Zmc1S5cskRFQ1s2eH3OVn3jw2tWnEmE0x_es5DqzOEzEP_9-ONr6kyKvD/s1600/1628523621007066-0.png" width="400">
</a>
</div></div><div><br></div><div>Meskipun ada istilah "motherhood", bukan berati hanya yang sudah memiliki anak yang dapat bergabung dengan komunitas besar ini. Teman-teman yang masih menanti momongan atau yang belum berumah tangga pun dapat bergabung. Memang, memasuki grup ini lebih susah daripada masuk (diterima menjadi mahasiswa, maksudnya, bukan masuk untuk berjalan-jalan atau berjualan) ITB sendiri. Pasalnya, selain harus sudah pernah berkuliah di ITB, calon anggota ITB Motherhood harus memenuhi syarat tambahan: berjenis kelamin perempuan. Syukurlah, syaratnya berhenti sampai di situ saja. Tidak ada syarat IPK di atas 3 atau semacamnya.</div><div><br></div><div>Omong-omong, mungkin banyak yang sudah tahu bahwa ITB identik dengan logo Ganesha-nya, dewa kepercayaan umat Hindu yang kepalanya berbentuk gajah. Inilah asal muasal salah satu sebutan favorit kami untuk kampus tercinta: kampus gajah. Maka, jangan heran pada kata <i>gajah</i> yang dipakai oleh banyak subgrup dari ITB Motherhood.</div><div><br></div><div>MaGaTa dan MGN hanya "salah dua" contoh dari subgrup ITB Motherhood. Masih banyak lagi sebetulnya komunitas mamah-mamah gajah lainnya, yang berfokus pada macam-macam bidang: mulai dari memasak, berkebun, berbelanja, berlari, hingga belajar bahasa asing. <i>Palugada banget, deh!</i></div><div><i><br></i></div><div><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi34emrlwZVKccLtdlNGqvtIz3_Yd_61d4TwT9uJQRuWU62U-0IPZeftWijUzFtDNAGLH-1pMIDib5437lFx-8Ve7sBaLU05ZIMWZAejnccMq3sOJoHBLE2oCw7PLfl92LgG-iB/s2048/pexels-lucas-pezeta-2280845.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="2048" data-original-width="1365" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi34emrlwZVKccLtdlNGqvtIz3_Yd_61d4TwT9uJQRuWU62U-0IPZeftWijUzFtDNAGLH-1pMIDib5437lFx-8Ve7sBaLU05ZIMWZAejnccMq3sOJoHBLE2oCw7PLfl92LgG-iB/s320/pexels-lucas-pezeta-2280845.jpg" width="213"></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Ganesha, Si "Gajah" Kesayangan</td></tr></tbody></table><br></div><div>Pelbagai subgrup yang mewadahi beragam minat ini seakan menjawab kebutuhan para mamah yang ketertarikannya berbeda-beda. Aku sendiri sangat bersyukur dan berterima kasih kepada teman-teman yang telah berinisiatif membentuk MaGaTa dan MGN. Di MaGaTa, berkumpul para perempuan yang senang bercerita, menulis melalui aneka media (tidak harus melalui blog, dapat juga melalui FB, IG, atau bahkan <i>google docs</i>), dan berdiskusi tentang kepenulisan atau kebahasaan. Sementara itu, MGN menjadi wadah bagi para pengeblog yang tidak hanya senang menulis, tetapi juga aktif berbagi dan menimba ilmu seputar dunia blog. </div><div><br></div><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZwIM24wUIav9lUUkJemKNpw77V_ZBG5bijaE74w6drWiCUVQjTq6A3ehdCAMe47W0HZPxI-MB3_JFCCsbwA7S9897qej3zbFiKkynRIsYNi7OH_DkOXA-Ud5PU1zxZKzIR0VV/s1080/selasabahasa+imbuhan+me.jpeg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1080" data-original-width="1080" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZwIM24wUIav9lUUkJemKNpw77V_ZBG5bijaE74w6drWiCUVQjTq6A3ehdCAMe47W0HZPxI-MB3_JFCCsbwA7S9897qej3zbFiKkynRIsYNi7OH_DkOXA-Ud5PU1zxZKzIR0VV/s320/selasabahasa+imbuhan+me.jpeg" width="320"></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Kembali Belajar Tata Bahasa Berkat MaGaTa</td></tr></tbody></table><br><div>Baik MaGata maupun MGN selalu menggulirkan tantangan menulis secara berkala. Demi menjawab tantangan-tantangan tersebut, aku memaksa diri untuk menghasilkan beberapa ratus (atau ribu) kata sebelum tenggat yang ditentukan. Setelah itu, aku dan penulis lainnya juga saling "jalan-jalan". Kami membaca, mengulas, bahkan menilai tulisan teman sehingga semua anggota grup dapat terus belajar banyak hal. Terbayang <i>dong</i>, serunya?</div><div><br></div><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhPp4BxtWGpLqg0JqJWvoDeKFd8Zcqhz0G-3k_qn_Cj1TfmhxrM72IqQ17_JAdX5oQptPOePr9DwkV8L9pSNt6_ZmMUEcwNoZfPjRflMyQxEvxZA9pLSy8EecFzKwGpyQs3IlWL/s1280/MGN+Juara+4+April.jpeg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="904" data-original-width="1280" height="226" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhPp4BxtWGpLqg0JqJWvoDeKFd8Zcqhz0G-3k_qn_Cj1TfmhxrM72IqQ17_JAdX5oQptPOePr9DwkV8L9pSNt6_ZmMUEcwNoZfPjRflMyQxEvxZA9pLSy8EecFzKwGpyQs3IlWL/s320/MGN+Juara+4+April.jpeg" width="320"></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Berkesempatan Dinilai dan Diapresiasi Sesama <i>Blogger </i>di MGN</td></tr></tbody></table><div><br></div><div>Apakah kau perempuan alumnus kampus gajah yang suka menulis atau <i>blogging </i>dan masih mencari komunitas khusus untuk kegiatan ini? Yuk, bergabung dengan MaGaTa atau MGN (atau keduanya)! Banyak mamah gajah lainnya—yang bukan betul-betul gajah—menunggumu! </div><div><div><br></div></div><div><br></div><div> <div><div><br></div><div><br></div></div></div>Heidy Kaenihttp://www.blogger.com/profile/10006052961734919916noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-11838988.post-77894653628076740942021-08-02T19:24:00.001+07:002021-08-04T11:43:19.499+07:00Merawat Keberagaman<p>Siapa yang tidak tahu bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya? Tidak hanya kaya akan aneka sumber daya alam, negeri ini juga kaya akan beragam suku atau latar belakang penduduknya. Ini mungkin bukan hanya pengetahuan umum bagi bangsa kita, melainkan juga fakta unik yang sudah banyak diketahui warga dunia.</p><p>Namun, kupikir kenyataan itu masih sangat mungkin tidak disadari oleh kalangan tertentu. Anak-anak, misalnya. Kemungkinan untuk tidak mengetahui fakta itu sangat besar terjadi pada anak yang tidak--atau belum, kuharap--berinteraksi dengan lingkungan yang berbeda-beda. </p><p>Itu menjadi salah satu alasan kami memilih jalur pendidikan <i>homeschooling </i>bagi anak-anak. Seperti yang telah <a href="https://tigasebelas.wordpress.com/2021/07/26/homeschooling-untuk-mencari-teman/" target="_blank">kutulis sebelumnya</a> di <a href="https://tigasebelas.wordpress.com/" target="_blank">blog keluarga</a>, aku sangat khawatir ketika melihat anak sulungku sempat tidak menganggap anak selain teman sekolahnya sebagai teman. Demi memperkaya pengalamannya berkawan dengan anak dari berbagai latar belakang, kami mengajaknya "bersekolah" di aneka jenis lingkungan. Aneka jenis lingkungan yang kumaksud di sini berkaitan bermacam-macam komunitas yang anggotanya heterogen dari sisi minat, usia, hingga latar belakang ras, agama, maupun kemampuan finansial.</p><p>Baik aku maupun suamiku memiliki pemikiran yang sama. Kalau dipikir-pikir, sepertinya ini pemikiran ini juga sangat dipengaruhi oleh pengalaman kami semasa kecil. Kebetulan karena mengikuti Papa yang beberapa kali pindah bekerja, aku pernah mencicipi tinggal di beberapa kota yang berbeda di Indonesia: Bandung, Palangkaraya, Cimahi, Medan, dan Bekasi. Teman-temanku berasal dari beragam suku dan agama. Keluarga suamiku mungkin tidak se"rajin" itu berpindah-pindah, tetapi mereka juga hidup di tengah masyarakat yang heterogen di ibukota negeri ini. </p><p>Memiliki teman dari aneka latar belakang bukan hal yang sepele. Pelajaran tentang toleransi, tenggang rasa, dan saling menghormati diperoleh secara alami dari situasi seperti ini. Tanpa ada yang menyuruh, anak akan paham bahwa tidak pantas dan tidak nyaman berkata buruk tentang suatu perbedaan yang dimiliki seorang teman. Berbekal keyakinan yang dipupuk sejak usia dini ini, terawatlah keberagaman yang harmonis di negeri kita ini.</p><p>Apa pentingnya merawat keberagaman? Sepertinya cocok kalau kita ambil contoh dari kata-kata salah satu atlet bulu tangkis yang berhasil memenangkan medali emas di Olimpiade Tokyo hari ini. Begini katanya.</p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8kmSVbclUhZ_wP07i7duJFu1IhuxmwmIPkBGSWYvg0YJ211e_7nc8sqGkzmup9KQj65bWtpMc04frOurZeLWHEvoMm5H_W-7GktCBcn1q-Or_IR18mq962UWRtHk1wyEdlpvw/s1600/1628006102920466-0.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;">
<img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8kmSVbclUhZ_wP07i7duJFu1IhuxmwmIPkBGSWYvg0YJ211e_7nc8sqGkzmup9KQj65bWtpMc04frOurZeLWHEvoMm5H_W-7GktCBcn1q-Or_IR18mq962UWRtHk1wyEdlpvw/s1600/1628006102920466-0.png" width="400">
</a>
</div><p></p><p>Tanpa keharmonisan yang terpelihara dalam keberagaman di sekitarnya, mungkin kini masih belum tercatat sejarah baru dimenangkannya emas oleh tim ganda putri Indonesia di Olimpiade. Terima kasih, Greysia Polii. Terima kasih, Aprilia Rahayu. Kami sungguh bangga!<br></p><p>Merawat keberagaman tentu bukan tugas satu-dua keluarga atau pemerintah. Ini tugas kita semua sebagai bangsa Indonesia. Yuk, bulatkan tekad dan kobarkan semangat kita sebagai orang tua yang diamanahi generasi penerus bangsa. </p><p><br></p><p> </p><p><br></p>Heidy Kaenihttp://www.blogger.com/profile/10006052961734919916noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-11838988.post-38198333039870208712021-07-31T22:47:00.017+07:002021-08-09T15:37:17.654+07:00Tertawa dan Belajar<p><span style="font-family: trebuchet; font-size: 11pt;">Apa kabar, teman-teman? Semoga semua sehat, ya. Jika ada yang sakit, semoga segera sehat kembali. Siapa sangka ya, setelah satu setengah tahun sejak era pandemi Covid-19 dimulai, pertanyaan seputar kabar kesehatan ini masih terasa berat, bahkan makin berat dalam dua bulan terakhir ini. Di lingkungan sekitarku, suara sirene ambulans bolak-balik terdengar. Kabar duka silih ganti berdatangan di berbagai grup </span><i style="font-family: trebuchet; font-size: 11pt;">whatsapp</i><span style="font-family: trebuchet; font-size: 11pt;">.</span></p><div><div><span style="line-height: 107%;"><span style="font-family: trebuchet;">
<h2 style="font-size: 11pt; text-align: left;"><b>Tantangan Ngeblog Bulan Juli</b></h2><h2 style="font-size: 11pt; text-align: left;"><p style="font-size: 14.6667px; font-weight: 400; text-align: left;"><br /></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhNuFCPW54hzlSSPsnP3T44M-BzX83YqfYB3qWRR2LlGOTRmpb_4VLuYH-fYbJJMS9GU_iXU6nqqrxI6Xbfd-QVxSXAd58QDQhxyzpn_xFmNjo3bO2xoZDbC_uNx3ikdIzhPuRf/s2048/Banner+Tantangan+Blogging+MGN.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1152" data-original-width="2048" height="267" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhNuFCPW54hzlSSPsnP3T44M-BzX83YqfYB3qWRR2LlGOTRmpb_4VLuYH-fYbJJMS9GU_iXU6nqqrxI6Xbfd-QVxSXAd58QDQhxyzpn_xFmNjo3bO2xoZDbC_uNx3ikdIzhPuRf/w476-h267/Banner+Tantangan+Blogging+MGN.png" width="476" /></a></div><p class="MsoNormal" style="font-size: 14.6667px; font-weight: 400;"><br /></p></h2>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Menimbang latar situasi di atas, salah satu grup <i>whatsapp </i><span style="font-size: 11pt;">favoritku, Mamah Gajah Ngeblog, berinisiatif meluncurkan tantangan menulis dengan tema yang sangat </span><s style="font-size: 11pt;">mulia</s><span style="font-size: 11pt;"> unik karena diniatkan untuk menghibur para pembacanya: cerita lucu. Selain unik, sepertinya tantangan ini berat juga ya, bagi kebanyakan penulis atau </span><i style="font-size: 11pt;">blogger. </i><span style="font-size: 11pt;">Tidak semua orang terlahir berbakat untuk melucu, bukan?</span></p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><span style="font-size: 11pt;">S</span>ebagai anggota kelompok yang baik, setia, dan agak <s>gemar menabung pahala</s> ambisius, tentu aku takkan melewatkan tantangan ini. Ada bakat melucu atau tidak, tak usahlah kukhawatirkan sekarang. Biarkan Tuhan dan pembaca yang menentukan. Tugas kami hanya berusaha. Bukan begitu, Kawan?</p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><span style="font-size: 11pt;">Baik, </span>mari kita mulai. Tolong jangan lempari tulisan ini jika ternyata nanti tulisanku tidak ada lucu-lucunya, ya. Namanya juga usaha. Cukup senyumi saja ya, Kak. Ingat, senyum adalah sedekah, Kak.<span style="font-size: 11pt;"> </span></p><h2 style="font-size: 11pt;"><b><br /></b></h2><h2 style="font-size: 11pt;"><b>Cara Melahirkan Tawa</b></h2><div><span style="font-size: 11pt;">Tentu saja aku tidak tahu jawaban dari pertanyaan “Bagaimana cara membuat orang tertawa?”</span></div><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Tak satu pun anggota keluargaku berprofesi
sebagai komedian. Sosok terdekat yang terpikir saat ini olehku dalam hal melucu
mungkin beberapa teman yang dulu pernah berkegiatan di unit kegiatan yang sama.
Kini mereka menjadi <i>influencer </i>yang kalau tidak salah (karena
aku tidak begitu mengikutinya) sering membuat konten-konten lucu. Aku pun iseng mencari tahu apa dan bagaimana tepatnya hal-hal yang disebut lucu.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Rupanya temuanku dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori
besar (ini menurutku pribadi, tentu saja, jadi tak usahlah kalian repot-repot mencari artikel
jurnal hanya untuk mengecek pernyataan ini). Kategori pertama adalah suatu
kesalahan atau keganjilan. Kategori kedua sebenarnya mungkin bukan kesalahan, tapi
dicari-cari kesalahan/kejanggalannya. Para <i>stand up comedian </i>pasti
paling jago menciptakan lawakan dari kategori terakhir ini.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Berbekal temuan itu, aku mendapat sedikit pencerahan tentang
rencanaku menjawab <a href="https://mamahgajahngeblog.com/tema-tantangan-mgn-juli-cerita-lucu/" target="_blank">Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog</a> kali ini. Aku bukan
komedian, jelas. Jadi, sebaiknya kulupakan kategori kedua untuk menghindarkan
pembaca dari rasa mual dan mulas. Aku harus ingat niat mulia grup kesayanganku
yang kunyatakan di atas tadi: tulisan ini diharapkan dapat menghibur pembaca,
bukan malah menambah penderitaan.<o:p></o:p></p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><br /></p>
<h2 style="font-size: 11pt; text-align: left;"><b>Salah Pangkal Tertawa</b></h2>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Kesalahan seperti apa yang dianggap lucu? Sebenarnya aku
juga penasaran pada hal ini. Apakah ada yang penelitian yang sudah diterbitkan
dalam artikel jurnal, mungkin, khusus untuk membahas ini? Aku hanya bertanya,
sih, sekadar bergaya, tidak berarti ingin langsung ikut mengupas tuntas
sekarang juga. Namun, pertanyaannya serius. Kalau ada yang tahu, mohon
tinggalkan komentar, ya.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Aku teringat pada adegan-adegan yang sering terjadi di
antara anak-anak. Kenapa anak-anak? Karena merekalah makhluk terlucu dan
termurah hati dalam menganggap apa pun yang di sekitarnya lucu. Benda jatuh
saja bisa dianggap lucu, kan, oleh mereka? Waktu masih bayi, anakku pernah
terkikik terbungkuk-bungkuk selama belasan menit hanya karena melihat
lakban gulungan yang berbelok saat digelindingkan. Kurasa ia berpikir bahwa lakban itu seharusnya lurus saat menggelinding. Dengan kata lain, lakban yang menggelinding berbelok <span style="font-size: 11pt;">merupakan kesalahan di matanya.</span></p></span><span style="font-family: trebuchet;"><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><o:p></o:p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><iframe allowfullscreen='allowfullscreen' webkitallowfullscreen='webkitallowfullscreen' mozallowfullscreen='mozallowfullscreen' width='323' height='268' src='https://www.blogger.com/video.g?token=AD6v5dyDFc7OGAirYz9FLxwagKVfJms6x5wnqCxPJIr6aYtGPpvstvj37bW3UDkMaGh02Qz2XHVPyhV9lo0' class='b-hbp-video b-uploaded' frameborder='0'></iframe></div><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><span style="font-size: 11pt;">Kita semua pernah menjadi anak kecil. Apa yang terjadi seiring
dengan bertambahnya umur kita? Kita makin jarang tertawa. Kita tidak lagi
menganggap benda berbelok menggelinding sebagai hal yang lucu. Kita bahkan mengajarkan
pada anak kita untuk tidak tertawa saat orang lain jatuh. Tidak sopan, kan?</span></p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Namun, aku ingat ajaran untuk tertawa saat diri sendiri
jatuh. Entah kapan dan siapa yang mengajarkannya padaku, tetapi rasanya aku
sudah mengetahui ajaran ini sejak kecil. Di usia dewasa, ajaran ini makin dalam. Aku
lupa kata-kata tepatnya, tapi kurang lebih intinya: orang yang positif adalah orang
yang dapat menertawakan dirinya sendiri. Nah, karena tidak ingin menjadi
negatif (siapa juga ya, yang mau begitu), aku pun memutuskan untuk sering-sering
menertawakan diri sendiri. Dengan begini, kuharap aku menjadi sehat tanpa
melanggar norma kesopanan.<o:p></o:p></p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><br /></p>
<h2 style="font-size: 11pt; text-align: left;"><b>Mulai Belajar (Menertawakan Diri)</b></h2>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Teorinya <i>sih</i> gampang. Siapa bilang pelaksanaannya tidak sulit? Dari puluhan tahun usiaku, pengalaman terdini yang paling
kuingat terkait hal ini adalah saat aku masih duduk di kelas lima SD. <o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Waktu itu, aku dan adikku masih selalu diantar-jemput oleh
sopir Papa untuk bersekolah. Kami memakai mobil sejenis kijang (aku lupa tepatnya)
dan duduk di bangku tengah. Berkebalikan dengan adikku yang rapi dan
disiplin, aku sering terburu-buru naik ke mobil di pagi hari. Biasanya penampilanku
masih berantakan: resleting tas belum dikunci, kemeja seragam belum dimasukkan
ke rok, dan kaus kaki belum dipakai. Tentu saja kaki belum terbungkus rapi, hanya
masuk sedikit ke dalam sepatu dan aku berjalan berjinjit. <o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Aku masuk ke mobil dalam situasi yang agak heboh seperti itu.
Setelah masuk mobil, barulah aku sibuk merapikan pakaianku, memakai kaus kaki,
sepatu, dan sebagainya. Tak kuperhatikan hal lainnya, termasuk menutup pintu
mobil. Biasanya sopir kami yang melakukannya begitu aku duduk di dalam mobil.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Ibuku kesal sekali pada tabiatku saat itu. Ia menganggapku
manja dan sering memarahiku karenanya. Berkali-kali beliau menegur agar aku menutup
pintu mobil sendiri. Tentu saja aku lebih banyak lupa ketimbang ingatnya. Pada
saat-saat seperti itu, sopir kami yang baik pun tetap sering membantu menutup
pintu.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Itu pulalah yang terjadi pada hari istimewa itu. Mobil sudah
mulai meluncur saat aku teringat belum melakukan ritual menutup pintu mobil. Otomatis
aku menoleh ke samping kiri dan segera merasa lega melihat pintu telah tertutup.
Oh, terima kasih, om sopirku yang selalu tak tega aku dimarahi Mama. Itulah
kata-kata yang kuucapkan tulus dalam hati selagi mobil berjalan melewati beberapa
rumah tetangga, sebelum menikung di belokan pertama. Sepersekian detik
kemudian, aku yang masih sibuk menalikan sepatu tiba-tiba lenyap dari pandangan
adik yang duduk di sebelah kananku, diikuti jeritan histerisnya.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Ke mana aku pergi menghilang? Syukur berkali-kali kupanjatkan
hingga kini, aku belum pergi ke akhirat waktu itu. Aku hanya terbang. Tepatnya terbang melayang ke jalanan, melewati pintu mobil yang rupanya
tadi belum tertutup sempurna. <o:p></o:p></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgiOx3BANzC_xMMYCEHDHs09jtD3fJIofjNuuOFqXt-L1eNlhUbjCNifV9PL_giik1ucD7RYNV1qOMWgfn6jnM5ESQEk7o3B3y3hF7ih8PE5FtLxtCBHTgOdy_pa7uS8W_PJgtd/s2048/pexels-fr%25C3%25B6ken-fokus-127968.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1338" data-original-width="2048" height="299" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgiOx3BANzC_xMMYCEHDHs09jtD3fJIofjNuuOFqXt-L1eNlhUbjCNifV9PL_giik1ucD7RYNV1qOMWgfn6jnM5ESQEk7o3B3y3hF7ih8PE5FtLxtCBHTgOdy_pa7uS8W_PJgtd/w459-h299/pexels-fr%25C3%25B6ken-fokus-127968.jpg" width="459" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: x-small;">Aku Terbang (TIDAK) Seperti Ini, Tentu Saja (sumber: Froken Fokus - pexels.com)</span></td></tr></tbody></table><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><span style="font-size: 11pt;">Seperti aku yang mengira ia sudah menutupnya, sopir kami pun
mengira aku sudah menutup pintu mobil itu. Sama sekali bukan salahnya, tentu. Akulah
yang seharusnya bertanggung jawab pada urusanku sendiri dan tidak bersikap
manja atau mengandalkan orang lain, seperti yang sudah berkali-kali dikatakan Mama.</span></p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Dahulu, tidak ada yang menertawakan kejadian ini. Semua
orang menganggapnya musibah dan berempati pada sakit yang kurasakan di—maaf—bokong
selama berminggu-minggu. Setelah sembuh, aku terlalu malu untuk mengingat-ingatnya.
Bertahun-tahun kemudian, setelah betul-betul menghayati “pelajaran kapok” (bertekad
menjadi anak yang lebih mandiri) itu, <span style="font-size: 11pt;">barulah aku belajar hal baru: menertawakannya.</span></p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><o:p></o:p></p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><br /></p>
<h2 style="font-size: 11pt; text-align: left;"><b>Pelajaran Terus Berlanjut di Tingkat Sekolah Menengah</b></h2>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Seiring bertambahnya usia, pelajaranku dalam hal menertawakan
diri terus bertambah. Tak seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang
hanya kupelajari sekali seminggu di sekolah, pelajaran yang satu ini kupelajari
hampir tiap hari. Kalau betul ada penelitian yang membuktikan bahwa
menertawakan diri ini berpengaruh pada perkembangan moral sesorang, kurasa
ada baiknya kalau ini kuusulkan kepada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
untuk dijadikan mata pelajaran. Siapa tahu aku dapat turut menyusun kurikulumnya.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Sebetulnya <i>sih </i>bukan niat awalku juga untuk belajar menertawakan
diri sesering mungkin. Ini lebih karena terpaksa. Walau aku sudah bertekad
menjadi anak yang lebih mandiri sejak insiden terbang keluar mobil saat kelas
lima SD itu, entah mengapa masih banyak insiden-insiden kecil berikutnya.
Dengan kata lain, kecerobohanku seakan tidak berkurang.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Saking banyaknya insiden-insiden itu, aku bingung menceritakannya
dan mungkin sudah terasa biasa saja. Namun, umumnya semua melibatkan anggota
tubuh yang lupa kufungsikan secara tepat. Kaki, contohnya. Entah bagaimana, kakiku
sangat sering “terpelekok” (saat berjalan bagian telapak kaki terputar hingga
terbalik sehingga punggung kaki di bawah, telapak kaki menghadap atas). Aku
tidak tahu apakah ini bentuk kecacatan atau bukan, tetapi kurasa lebih baik menertawakannya
saat sedang “kambuh”. Beberapa kali ini terjadi saat aku di lingkungan sekolah.
Tak jarang aku lenyap dari pandangan teman-teman yang awalnya sedang saling menatap
dan berbicara serius denganku. Tidak benar-benar lenyap, tentu. Mereka dapat
segera menemukanku terkapar di ubin, tanah, aspal, atau yang tersial: selokan. Agar
mereka tidak salah tingkah, kesigapanku untuk segera menertawakan diri
sendiri menjadi penting.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Contoh lain berhubungan dengan … hm, aku tidak yakin sesungguhnya,
apakah ini masalah mata atau memori otak. Kemudian, masalah bertambah akibat sifatku
yang kurang sabar dan kurang santun saat sedang terburu-buru. Aku pasti berdosa
karena menzalimi beberapa teman di sekitarku waktu SMA. Bukan sekali atau dua
kali aku berkata dengan nada gusar pada mereka yang kukira belum mengembalikan pinjaman
barang-barang penting seperti kalkulator dan pensil mekanik. Kira-kira begini
kejadiannya.<o:p></o:p></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="font-size: 11pt; margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjpG6tcPKswSTScWZPoDm_C43YXMkyYxabuJfapzzwPyRE2hOkRorGO1xy-JVpIsW7tqRBKNJY7RDzLZYJUE1lfcxE2-f2QMkVpkVR47qkmqFnE1zVUPXmjyBHPAPqQ57MTAVFW/s1920/kalkulator.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1920" data-original-width="1280" height="642" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjpG6tcPKswSTScWZPoDm_C43YXMkyYxabuJfapzzwPyRE2hOkRorGO1xy-JVpIsW7tqRBKNJY7RDzLZYJUE1lfcxE2-f2QMkVpkVR47qkmqFnE1zVUPXmjyBHPAPqQ57MTAVFW/w428-h642/kalkulator.jpg" width="428" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: x-small;"><i>Scientific Calculator, </i>Benda Wajib Anak SMA IPA (sumber: Karolina Grabowska - pexels.com)</span></td></tr></tbody></table><p class="MsoNormal"><u style="font-size: 11pt;">Kejadian A</u></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Aku yang gusar: "Eh, mana tadi kalkulator gue?"<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Temanku yang sabar: "Lah, itu yang lo pegang di tangan apa namanya?"<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><u>Kejadian B<o:p></o:p></u></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Aku yang kurang berbudi baik: "Eh lo belom balikin pensil mekanik gue, ya?"<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Temanku yang disayang malaikat: "Emang itu sekarang lo lagi
nulis pake apa, Dy?"<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Teman sekelas—apalagi yang sebangku atau duduk di bangku-bangku
terdekat—adalah aset penting untuk bertahan hidup di dunia persekolahan. Oleh
karena itu, dalam kasus-kasus di atas, aku tak membuang-buang waktu untuk mengajak
teman-teman korban kezalimanku itu segera menertawakan kekonyolanku. Bukankah dicap
konyol jauh lebih baik daripada dianggap lalim? <o:p></o:p></p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><br /></p>
<h2 style="font-size: 11pt; text-align: left;"><b>Belajar di Angkutan Umum</b></h2>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Tidak hanya dari sekolah, aku juga mendapat banyak pelajaran menertawakan
diri dari atas jalan raya. Yang kumaksud tepatnya adalah mobil angkutan umum.
Sejak lulus SD, inilah jenis kendaraan yang paling sering kugunakan.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Hingga akhir kelas satu SMA, aku tinggal di kota Medan. Angkutan
umum di sana dikenal dengan “sudako”. Selain nama yang berbeda, cara meminta
sopir menghentikan mobil saat kita sedang menumpanginya pun tidak sama. Kalau tidak
ada bel atau kaca penghalang antara ruang sopir dan penumpang, kita dapat berseru
pada sang sopir, “Pinggir, Bang!”<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Aku tak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa bukan kata-kata
itu yang digunakan di jalanan Jakarta. Sehari sebelum masuk sekolah, orang
tuaku yang yakin akan kemandirianku hanya mengajakku mengamati rute angkot rumah-sekolah
dengan cara menunjukkannya dari dalam mobil pribadi. Jarak antara rumah dan
sekolahku tidak terlalu dekat. Aku harus menaiki tiga jenis mobil angkutan umum
untuk satu kali perjalanan, baik saat berangkat maupun pulang sekolah. Keesokan
harinya, aku langsung memimpin adikku—yang sekolahnya dekat sekali dengan
sekolahku—untuk praktik nyata dengan (pura-pura) gagah berani. <o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Aku baru menyadari kepura-puraan itu ketika harus pulang sendiri
dari sekolah (aku lupa bagaimana adikku—yang belum lebih mandiri dariku waktu
itu—pulang). Ternyata sebetulnya aku gugup, takut salah. Syukurlah aku termasuk
anak yang taat pada orang tua. Dalam hal ini, bentuk ketaatan itu dapat
terlihat dari tindakanku mengucap “Bismillah” persis saat menaiki si angkot dan
“Alhamdulillah” saat angkot yang kunaiki sampai di tujuannya.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Saat benar-benar menghayati kedua arti ucapan itu, aku
merasakan dampak yang cukup signifikan. Kegugupanku hilang. Aku turun dari
angkot pertama dan kedua dengan lancar dan selamat. Terima kasih, Mama!<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Kunaiki angkot ketiga dengan penuh rasa percaya diri. Entah kepercayaan
diri itu terlalu membuncah atau bagaimana, ucapan yang seharusnya kubisikkan saat
kakiku melangkah naik ke angkot rupanya keluar terlalu keras dari mulutku. Selain
itu, bukan hanya volumenya yang bermasalah, melainkan juga kata-katanya. Alih-alih
berbisik “Bismillah”, aku malah berseru dengan gelora semangat bertanding di Olimpiade
atau sebangsanya, “ASSALAMUALAIKUM!”<o:p></o:p></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvFxdztgb3KN7SMqiQUZlXlq-9X8cSfQoGemTOyo243b5PUsx1OcnS3MqjrkRoyU_hip-vIT3iDF1X4zhVCMox36-rs3xN4HJBi3GzParGh7-sR-yXup4qxC7eN61rKCE-n8yi/s2048/semangat+olimpiade.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1367" data-original-width="2048" height="323" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvFxdztgb3KN7SMqiQUZlXlq-9X8cSfQoGemTOyo243b5PUsx1OcnS3MqjrkRoyU_hip-vIT3iDF1X4zhVCMox36-rs3xN4HJBi3GzParGh7-sR-yXup4qxC7eN61rKCE-n8yi/w482-h323/semangat+olimpiade.jpg" width="482" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: x-small;">Ibarat Semangat Atlet yang Berlaga di Olimpiade (Pixabay - pexels.com)</span></td></tr></tbody></table><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><span style="font-size: 11pt;">Ya Allah. Andai ada lubang di dasar angkot, ingin rasanya
aku menerjunkan diri ke dalamnya. Karena tidak ada fitur semacam itu, terpaksa
kutelanlah rasa maluku sembari memamerkan cengiran selebar-lebarnya pada semua penumpang.
Tidak hanya tersenyum lebar, aku juga mengangguk pada setiap orang, dalam upaya
membuat mereka menduga bahwa aku memang sejenis siswa teladan yang luar biasa
ramah pada setiap orang.</span></p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Melihat para penumpang tersenyum-senyum memandangiku bahkan
setelah aku duduk, aku menjadi gelisah. Apakah “tipuanku” tadi tidak berhasil?
Apakah sebenarnya mereka tahu betul bahwa aku tadi salah berucap? Karena sibuk
memikirkan semua itu, kegugupanku muncul kembali. Aku segera mengingat-ingat
pesan Mama lagi. Setelah mengutuki diri karena salah mengucap “Bismillah” dan “Alhamdulillah”,
terus kurapalkan kedua kata itu berulang-ulang dalam pikiran, seperti saat
sedang menghafal tabel periodik unsur dalam pelajaran Kimia.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Kekhusyukanku “menghafal” baru terpecah saat aku melihat
gerbang belakang kompleks rumahku terlewati. Astaga, bisa-bisanya aku malah
lupa memperhatikan jalan dan bersiap-siap turun. Dengan panik, kuketukkan uang
logam di tanganku ke kaca jendela belakang angkot (aku duduk di pojok belakang
dengan harapan dapat menghindar dari perhatian khalayak). Kepanikanku bertambah
saat ketukan uang logamku itu terabaikan dan mobil masih terus meluncur. Dengan
mengumpulkan segenap keberanian, aku pun memutuskan untuk berteriak sekuat tenaga,
“ALHAMDULILLAH, PAK!”<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Belajar dari kesalahan tentang “Assalamualaikum” tadi, kali
ini aku tidak lagi berakting menjadi pelajar panutan. Syukurlah, kali ini aku
insaf dan ingat apa yang biasanya kulakukan untuk kebaikan semua pihak: menertawakan
diri sendiri. Setelah meralat ucapanku dengan “EH … MAKSUD SAYA, KIRI, YA, PAK!”, kuabaikan
rasa malu yang seakan membakar wajahku dan<b> </b>langsung kukeluarkan suara
tawaku, mempersilakan para penumpang lain untuk turut menertawaiku juga.<b><o:p></o:p></b></p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><br /></p><h2 style="font-size: 11pt; text-align: left;">Pelajaran Bahasa dari Angkutan Umum</h2><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Setelah sempat bersekolah selama dua tahun di Jakarta, aku merantau ke Bandung untuk berkuliah. Kendaraan favoritku masih sama, yaitu mobil angkutan umum. Syukurlah, sesuai umur yang sudah pantas memegang KTP, aku merasa bahwa kepercayaan diriku sudah makin besar dalam menjalani hidup (<i>tsaaah</i>). </p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Jangankan menaiki dan menghentikan angkot, menjelajahi daerah-daerah asing dan mencoba-coba rute angkutan baru pun tak lagi membuatku gugup. Saking percaya dirinya, aku pernah jauh tersesat akibat menganggap bahwa rute pergi dan pulang suatu mobil angkutan umum sama saja, seperti yang kutahu baik di Jakarta maupun Medan. Pelajaran tentang banyaknya jalan yang diberlakukan satu arah di Bandung akhirnya kupahami setelah aku tersasar beberapa belas kilo meter dari rumahku karena mengira mobil yang kunaiki itu pasti akan melewati titik yang sama.</p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Aku juga kembali memperhatikan perbedaan cara meminta sopir berhenti saat kita ada di dalamnya. Rupanya ucapannya hampir mirip dengan di Jakarta. Kata yang diserukan adalah "kiri" bukan "pinggir". </p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Namun, ucapan "Kiri, ya!" jarang kutemukan. Yang sering kudengar adalah "Kiri, kiri!" alias bentuk repetisi kata. <span style="font-size: 11pt;">Ucapan lain yang juga sering kudengar adalah "Kiri, payun!" Saat mendengar ini, aku langsung merasa mendapat pencerahan mengenai alasan kenapa jarang terdengar "Kiri, Pak!" Rupanya penduduk kota kembang ini sudah punya panggilan sendiri.</span></p><p class="MsoNormal" style="-webkit-text-stroke-width: 0px; font-size: 11pt;"><span style="font-size: 11pt;">Bukan hanya "Kiri, kiri!" atau "Kiri, payun!", atau "Payun, kiri!" yang kupelajari dari pengalaman naik angkutan umum di Bandung. Kuperhatikan pula bahwa orang-orang Sunda ini begitu santun dalam berkomunikasi. Selain nada bicara yang lembut, mereka juga hampir selalu menyertakan kata-kata untuk meminta maaf dan berterima kasih. Saat berusaha melewati penumpang lain atau duduk di antara beberapa penumpang, misalnya, sering kudengar kata "punten". Tak jarang pula kudengar "nuhun" atau "hatur nuhun" yang diucapkan pada sopir setelah si penumpang selesai membayar.</span></p></span><span style="font-family: trebuchet;"><p class="MsoNormal"></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="font-size: 11pt; margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQDKiA9ci4nVcnrnQ9SLK1RAv3Xnn1F0Ej4VTlLOI4g1uIf23ou38SMlMLlP0LW9Iu5ccRe5bvrkKMQ_W-xWH_tw35dBN8u4KDsx2A5GEJUVcc2_OOfwSm4_5ujMIWi4YpeJPu/s2048/angkot.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="2048" data-original-width="1365" height="581" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQDKiA9ci4nVcnrnQ9SLK1RAv3Xnn1F0Ej4VTlLOI4g1uIf23ou38SMlMLlP0LW9Iu5ccRe5bvrkKMQ_W-xWH_tw35dBN8u4KDsx2A5GEJUVcc2_OOfwSm4_5ujMIWi4YpeJPu/w387-h581/angkot.jpg" width="387" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: x-small;"> Angkutan Umum di Kota Bandung (sumber: Ilman Muhammad - pexels.com)</span></td></tr></tbody></table><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><span style="font-size: 11pt;">Masuk kandang kambing mengembik, masuk kandang kerbau menguak. Ingatkah teman-teman pada peribahasa ini? Sebagai perwujudan niatku untuk menjadi bagian dari bangsa yang berbudaya, aku pun bertekad mengikuti kebiasaan penduduk setempat. Kuusahakan untuk melepas pengaruh bahasa Medan maupun Jakarta dan mulai meniru cara bicara orang-orang Bandung.</span></p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><span style="font-size: 11pt;">Merasa sudah fasih meniru ucapan-ucapan yang kudengar di atas, suatu kali terpikir olehku untuk berimprovisasi. Saat memberikan ongkos kepada sopir, dengan riang dan semangat kukatakan padanya, "Nuhun, Payun!" </span></p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><span style="font-size: 11pt;">Alangkah herannya aku ketika tak melihat ekspresi senang di wajah sang sopir. Ia malah merengutkan dahinya. "Bade kamana, Neng?" tanyanya.</span></p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Aku sudah cukup pintar untuk memahami bahwa maksud kalimat itu adalah menanyakan aku mau pergi ke mana, tetapi masih cukup bodoh untuk menjawabnya dalam bahasa Sunda juga. "Eeh, ke ... ya ke sini, Pak," jawabku sambil menunjuk gerbang kampusku.</p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">"Oh, udah bener?" tanyanya lagi.</p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Aku mengangguk-angguk bingung dan meskipun raut wajah si bapak sopir juga menampakkan kebingungan, akhirnya ia kembali menjalankan mobilnya.</p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><span style="font-size: 11pt;">Setibanya di kelas tempatku berkuliah, kuceritakan pengalamanku tadi kepada seorang teman yang memang asli Sunda. Namun, baru saja ceritaku sampai di bagian "Nuhun, Payun!", ia sudah menginterupsi.</span></p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><span style="font-size: 11pt;">"Kenapa kamu bilang gitu?"</span></p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><span style="font-size: 11pt;">"Ya mau bilang makasih. Bener kan, bilang 'nuhun'?"</span></p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><span style="font-size: 11pt;">"Kok ada 'payun'nya?"</span></p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><span style="font-size: 11pt;">"Ya mau nyebut panggilannya ... kayak 'Makasih, Pak', 'Makasih, Bu', gitu ... kan lebih sopan daripada 'makasih' doang?"</span></p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Apakah engkau orang Sunda atau mengerti bahasa Sunda? Kalau ya, pastilah kau paham mengapa saat itu temanku tak sanggup langsung memberiku penjelasan. Ia sibuk tertawa terpingkal-pingkal hingga hampir seperempat jam kemudian sebelum memberi tahuku bahwa "payun" itu bukan kata sapaan yang berarti "Pak", melainkan kata yang artinya "depan".</p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Terima kasih, Bandung. Di sini aku tak hanya meneruskan pelajaran tentang menertawakan diri sendiri, tetapi juga mendapatkan pelajaran bahasa dan pengembangan karakter: jangan sok tahu! </p><p class="MsoNormal"><span style="font-family: trebuchet;"></span><span style="font-family: trebuchet;"></span></p><h2 style="text-align: left;"><o:p><span style="font-size: medium;">Penutup</span></o:p></h2><p></p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;">Katanya tertawa itu menyehatkan. Aku sepakat dengan hal ini dan ingin menambahkan pesan: sepertinya lebih menyehatkan lagi kalau yang kita tertawakan adalah kebodohan diri sendiri. Kurasa ini jelas jauh lebih baik daripada mengutuki atau menyesalinya berkepanjangan. Sebodoh-bodohnya pengalaman, ia tetap guru terbaik dalam hidup.</p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"></p>Dari kebiasaan mengenang dan membagi-bagikan cerita berbagai kebodohan ini, aku bahkan pernah sampai menerbitkan sebuah novelet, lo. Sungguh, kala itu aku hanya ingin melepas stres setelah operasi gigi bungsu. Ternyata setelah teman-teman dan keluargaku menyukainya, beberapa penerbit juga tertarik menerbitkannya. Yang lebih tak kusangka lagi, buku itu diberi label "humor", padahal awalnya aku hanya ingin curhat, bukan melucu. MasyaAllah Tabarakallah. Hidup memang penuh kejutan.<p></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEirQHW9DIorUw8xAjCQE4hvP5hfDrSg5BR1S_YESuzx97FNmurzBwawm5K-d6wzRZ_hHKO4cLIBq5DTZ2BO6S9Kd5J9eCu_oeovttFMa-UrKXvxg2rQE3CNpjrCXgxGP5hCs58v/s1600/sampul+belakang+giginosaurus.jpeg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1600" data-original-width="1200" height="444" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEirQHW9DIorUw8xAjCQE4hvP5hfDrSg5BR1S_YESuzx97FNmurzBwawm5K-d6wzRZ_hHKO4cLIBq5DTZ2BO6S9Kd5J9eCu_oeovttFMa-UrKXvxg2rQE3CNpjrCXgxGP5hCs58v/w333-h444/sampul+belakang+giginosaurus.jpeg" width="333" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: x-small;">Label Humor yang Tak Kuharapkan di Buku Karyaku<br /><br /></span></td></tr></tbody></table><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvgSSHWeBZaQMbFGhAHtH95gEx39aHfUBbyClKg4JIKc2Prk78zo7ytlz9_XusOhOgnWoY4Nj5VNRHdCjfVRsafV_I30C2rsBB99uOEERM9E7V54OXnAKXdFJwqbnkY2Kqsdjl/s1600/sampul+depan+giginosaurus.jpeg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1600" data-original-width="1200" height="421" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhvgSSHWeBZaQMbFGhAHtH95gEx39aHfUBbyClKg4JIKc2Prk78zo7ytlz9_XusOhOgnWoY4Nj5VNRHdCjfVRsafV_I30C2rsBB99uOEERM9E7V54OXnAKXdFJwqbnkY2Kqsdjl/w316-h421/sampul+depan+giginosaurus.jpeg" width="316" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: x-small;">Sampul Depan Bukuku, "Giginosaurus" terbitan DAR! Mizan tahun 2008</span></td></tr></tbody></table><p></p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><span style="font-size: 11pt;">Akhir kata, izinkan aku mohon maaf, ya, teman-teman. Maaf jika berbeda dengan
niat awal, ternyata tulisan ini tidak terlalu menghibur para pembaca yang budiman.
Misalnya karena terlalu berempati dan bukannya ikut tertawa, malah sedih
membaca ceritaku. Mohon maaf lahir batin dan tetap sehat ya, Kakak-kakak!</span></p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><span style="font-size: 11pt;"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="font-size: 11pt;"><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4mW7E3fWqh6SgITN1HJzINctkoczMi7BMQQMsyeTxeOODcEEaSqOC7L6oq6jOZcnLv8UNlzkkgqbD4i8ElawpjdyxldlKsgQB5vhX_pFTDaCMU7-Vu4dAL_oxuK-eyF18HzWr/s1600/MGN+10+besar+Juli.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1131" data-original-width="1600" height="226" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4mW7E3fWqh6SgITN1HJzINctkoczMi7BMQQMsyeTxeOODcEEaSqOC7L6oq6jOZcnLv8UNlzkkgqbD4i8ElawpjdyxldlKsgQB5vhX_pFTDaCMU7-Vu4dAL_oxuK-eyF18HzWr/s320/MGN+10+besar+Juli.jpeg" width="320" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Eh Alhamdulillah, Maak ... Masup Sepuluh Besar Ternyata!</td></tr></tbody></table><br /><span style="font-size: 11pt;"><br /></span></p></span></span></div><div><span style="font-size: 11pt; line-height: 107%;"><br /></span></div></div>Heidy Kaenihttp://www.blogger.com/profile/10006052961734919916noreply@blogger.com11tag:blogger.com,1999:blog-11838988.post-86691433816640577442021-06-30T23:48:00.009+07:002021-07-06T13:03:54.654+07:00My Neighbor Totoro: Film Animasi Terbaik untuk Keluarga<p><a href="https://www.google.com/url?q=https://mamahgajahngeblog.com/tema-tantangan-mgn-juni-film-keluarga/&sa=D&source=editors&ust=1625075549027000&usg=AFQjCNGskbym3Tt8dpQ4Ktf2luAB_2bMug" target="_blank">Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog</a> bulan ini adalah
menulis <i>review </i>atau ulasan film keluarga. Sejak tema tantangan ini digulirkan
pada awal bulan, sebetulnya aku sudah terpikir ingin menulis tentang film apa. Namun,
aku tidak langsung benar-benar melakukannya. Entah bagaimana, perhatianku
teralihkan oleh berbagai “tantangan” lainnya … hingga hari ini, hari terakhir
kesempatan mengikuti tantangan itu. Waduh … keburu atau tidak, ya? Mari kita
coba sajalah.</p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgows15QtnehGozgHvhaKWW9CURzh9WEKSLt9PHjntMMUSIOgB5MZJEDxSiVRx64qiuIipKIJ-xBDtuF8jeSN2emKhawT-WcCpr2sve2TMy26DH9FB4VCUSMatGfAyZU9YAGLX-/s2048/Banner+Tantangan+Blogging+MGN.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1152" data-original-width="2048" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgows15QtnehGozgHvhaKWW9CURzh9WEKSLt9PHjntMMUSIOgB5MZJEDxSiVRx64qiuIipKIJ-xBDtuF8jeSN2emKhawT-WcCpr2sve2TMy26DH9FB4VCUSMatGfAyZU9YAGLX-/s320/Banner+Tantangan+Blogging+MGN.png" width="320" /></a></div><p>Jadi ... judul film yang sudah terpikir lama olehku adalah <i>My
Neighbor Totoro. </i>Ada yang tidak mengenal atau belum menonton film ini? Kuharap
ada atau bahkan banyak, ya … di antara teman-teman pembaca sekalian yang budiman.
Aku khawatir, kalau semua orang sudah menontonnya, jangan-jangan
nanti tulisanku tidak menarik atau tidak berguna. 😄</p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><i>My Neighbor Totoro</i> memang sama sekali bukan film
baru. Film animasi Jepang produksi Studio Ghibli ini pertama kali dirilis tahun
1988. Wow, sudah lebih dari empat windu yang lalu! Meskipun demikian, kepopuleran
film ini tak lekang dimakan zaman. Konon, di Jepang, Totoro—karakter utama
dalam film ini—sama terkenalnya dengan Winnie the Pooh di negara-negara berbahasa
Inggris. <o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Apa atau siapa itu Totoro? Yang sudah menonton filmnya
mungkin mengerti, tidak mudah menjawab langsung pertanyaan ini secara singkat. Winnie
the Pooh mungkin jauh lebih mudah digambarkan. Kalau sedang malas, kurasa tidak
salah jika—seandainya ada yang belum tahu (serius?)—aku menjawab dengan satu
kata: beruang. Orang atau bahkan anak kecil dapat langsung membayangkan sesosok
binatang besar berbulu yang dapat berdiri … oh … baiklah. Tentu <s>tinggal</s>
masih harus kutambahkan: berwarna kuning, tidak besar, penyuka madu, baik hati,
dan seterusnya agar tidak terjadi kesalahpahaman besar. <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Eh, kenapa malah Winnie yang dibahas?<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Mari kita beralih ke Totoro. Deskripsi singkat pertama yang
ingin kucoba adalah “makhluk imajinatif”. Bagaimana? Terbayang? Ampun … tolong
jangan lempari diriku! 😆😆</p><p class="MsoNormal">Kucoba lagi, ya. Secara visual, bentuk kepala Totoro
agak menyerupai kelinci atau kucing, sementara tubuhnya yang berbulu mungkin
sebesar beruang (wah, ternyata bahasanku tentang beruang tadi tidak melenceng terlalu
jauh). Jika Totoro berdiri, tinggi badan anak usia sekolah dasar yang
juga menjadi salah satu tokoh utama di film ini (menurutku ada tiga tokoh utama
di sini) hanya setara dengan perutnya. <o:p></o:p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1IOFlzlE_0VLjJekxAZFJCLF7hswoXZPlVMIHnw22WRW8Zh_mV6179Z6MvIqhAodGJ8W1Xgo1GtBSH5AhTCSyx2ux_MNVdQ3HBt0B094QHwvwyHNfFHtCnCFu8916EHUUHwkH/s1280/Film+Totoro.jpeg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="960" data-original-width="1280" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1IOFlzlE_0VLjJekxAZFJCLF7hswoXZPlVMIHnw22WRW8Zh_mV6179Z6MvIqhAodGJ8W1Xgo1GtBSH5AhTCSyx2ux_MNVdQ3HBt0B094QHwvwyHNfFHtCnCFu8916EHUUHwkH/s320/Film+Totoro.jpeg" width="320" /></a></div><p class="MsoNormal">Perut yang gendut dan empuk (benar-benar ditunjukkan seperti
itu, tampaknya sangat asyik dijadikan kasur) sepertinya merupakan daya tarik
utama Totoro. Matanya yang bulat dan besar kurasa lebih tepat disebut tidak begitu
ekspresif daripada tidak ramah. Dari sudut pandang orang dewasa, mungkin
keramahannya baru tertangkap dari senyum lebar yang memamerkan gigi-gigi putihnya
(yang juga tidak sering terlihat). <span style="mso-spacerun: yes;"> </span></p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p><p class="MsoNormal"></p><p class="MsoNormal">Bagaimana dengan sudut pandang anak-anak? Nah, kupikir itulah
yang menjadi fokus dan salah satu pesan utama film ini. Melalui film ini, kakak
beradik Satsuki dan Mei seolah mengajak penonton untuk selalu memandang segala hal
yang ada di sekitarnya dengan positif. Totoro menjadi satu wujud contoh yang unik.
Bagaimana tidak, sosok yang kemungkinan besar dicurigai dan dijauhi orang dewasa
(banyak yang menyamakan Totoro dengan sosok genderuwo di Indonesia) justru dikejar-kejar
oleh Mei, si anak balita yang dipenuhi rasa ingin tahu. Sama sekali tak ada pula
ketakutan yang ia rasakan ketika berada di tempat asing atau saat menemukan makhluk
yang jauh lebih besar dan berbeda darinya.</p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGjg9yp_jELnl5lY57SMuBhSQSxFtgDJVfPB8sel-tSnnHt3GE1aYvEsPqLg8xgw84VBQGjPGmrejDTQpib432PrgbTwlKfUPKilNnz5zvTCrjG5vgZIKV9VzPs9RpaLz_bMmy/s1280/Film+Totoro_bertemu+di+hutan.jpeg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="960" data-original-width="1280" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGjg9yp_jELnl5lY57SMuBhSQSxFtgDJVfPB8sel-tSnnHt3GE1aYvEsPqLg8xgw84VBQGjPGmrejDTQpib432PrgbTwlKfUPKilNnz5zvTCrjG5vgZIKV9VzPs9RpaLz_bMmy/s320/Film+Totoro_bertemu+di+hutan.jpeg" width="320" /></a></div><p class="MsoNormal">Aku merasa tersentil. Betul juga, ya. Apa-apa yang dianggap kotor,
menjijikkan, mencurigakan, menyeramkan oleh kita (Eh, kita? Cuma aku, mungkin, ya?) ternyata belum tentu dianggap demikian pula oleh anak. Lebih jauh lagi, aku
diingatkan kembali tentang kemurnian mata dan hati seorang anak. Apa yang kelak
membuat mereka berubah? Apa lagi kalau bukan beragam opini orang dewasa yang terkadang
bersifat sok tahu dan memaksa?</p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Sosok orang dewasa di dalam film ini tidak seperti itu. Nenek
yang membantu membersihkan rumah tidak marah atau mencemooh saat Mei berlarian di
ruangan berdebu hingga kakinya hitam legam. Sang ayah juga tidak menakut-nakuti
putrinya agar mereka tidak memasuki hutan dan bermain di dalamnya.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Aku menonton (ulang) film ini beberapa bulan yang lalu bersama
anak-anak. Sejak awal film diputar, raut wajah mereka begitu cerah dan dipenuhi
kegembiraan. Mata si bungsu (waktu itu umurnya lima tahun) tampak sangat bersemangat
mengikuti petualangan Satsuki dan Mei. Tak terhitung jumlah adegan yang
membuatnya tertawa-tawa geli.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Jangan bayangkan ini sebuah film petualangan yang dahsyat. Alur
cerita film ini sebenarnya cukup sederhana. Kisahnya diawali dengan kesibukan Satsuki,
Mei, dan ayah mereka pindah ke sebuah <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>rumah tua di desa. Tidak diceritakan di mana
mereka tinggal sebelumnya. Yang jelas, mereka tampak begitu antusias dengan
kepindahan itu. Hampir tidak ada hal yang tidak menggembirakan bagi mereka:
mulai dari rerumputan hijau yang begitu luas membentang di pekarangan rumah
baru mereka, tiang kayu penyangga bangunan yang sudah lapuk dan hampir roboh, hingga
makhluk-makhluk kecil hitam misterius yang melarikan diri begitu mereka sekilas
melihatnya di ruangan yang baru dibuka.</p><p class="MsoNormal"></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0NtpAcFQtTUytt9D3G50UMsmyjRrtPZ83vmTQRypWNuDUgflJ1AbKL5REpDvxpdYR3UlJ0uReykgYBEZcHjQOz7rKU0GRoq0KuspsbxHEWK-5dbDRgKKX9bKLOBx1WWkzUmB3/s1280/Film+Totoro_tiang+lapuk.jpeg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="960" data-original-width="1280" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0NtpAcFQtTUytt9D3G50UMsmyjRrtPZ83vmTQRypWNuDUgflJ1AbKL5REpDvxpdYR3UlJ0uReykgYBEZcHjQOz7rKU0GRoq0KuspsbxHEWK-5dbDRgKKX9bKLOBx1WWkzUmB3/s320/Film+Totoro_tiang+lapuk.jpeg" width="320" /></a></div><br />Cerita selanjutnya bergulir seolah hanya demi merekam pengalaman nyata
suatu keluarga. Petualangan magis yang dialami Satsuki dan Mei terangkum dalam
kegiatan sehari-hari yang terasa begitu membumi. Tidak ada musibah atau
kejadian besar yang dramatis, termasuk tentang sang ibu yang sakit. Kisah
sakitnya ibu Satsuki dan Mei hingga harus tinggal di rumah sakit untuk dirawat
dalam jangka waktu tertentu terpotret secara alami. Keterlibatan penuh sang ayah dalam mengasuh anak-anak dan kemandirian mereka dalam mengurus rumah pun menjadi hal yang wajar.<p></p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Bukankah absennya seorang ibu—dalam kesibukan keluarga sehari-hari—karena
sakit dapat terjadi pada keluarga mana pun? Sepertinya ini salah satu pesan
yang ingin disampaikan oleh sang penulis skenario sekaligus sutradara, Hayao
Miyazaki. Kemungkinan besar inspirasinya datang dari pengalamannya sendiri saat
kecil, saat ibunya harus dirawat selama hampir sepuluh tahun karena penyakit <i>spinal
tuberculosis. </i><o:p></o:p></p>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGlYb3G6anvbbLZgvaNHEm9lUGejXEOr01RKh3iq7GFtlxe3ZSyoLs8Wc79W8DllCYcBZlFbQd6ZEyFVdXEeMlWiGSpc6coMQEtNjs_P3E8irj7JSVE2jDmHGu_xhMyM0xDzAO/s1280/Film+Totoro_ibu+sakit.jpeg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="960" data-original-width="1280" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiGlYb3G6anvbbLZgvaNHEm9lUGejXEOr01RKh3iq7GFtlxe3ZSyoLs8Wc79W8DllCYcBZlFbQd6ZEyFVdXEeMlWiGSpc6coMQEtNjs_P3E8irj7JSVE2jDmHGu_xhMyM0xDzAO/s320/Film+Totoro_ibu+sakit.jpeg" width="320" /></a></div><p class="MsoNormal">Meskipun menyajikan kisah yang erat dengan keseharian
keluarga, bukan berarti <i>My Neighbor Totoro </i>menihilkan unsur-unsur cerita
yang menegangkan. Saat Mei hilang, misalnya. Kebingungan dan ketegangan Satsuki
dalam mencarinya tidak hanya menular ke penduduk desa dalam film, tetapi juga
ke penonton cilik yang duduk di sebelahku. Syukurlah, ketegangan itu tidak
berlangsung lama dan tidak berakhir buruk (ini aspek penting dalam film
keluarga untuk semua umur).</p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Kami sekeluarga sungguh menikmati film layar lebar yang berdurasi
hampir satu setengah jam ini. Tidak hanya ramah anak kecil (aman dari adegan
menyeramkan atau traumatis, bahasa yang tak pantas, dan sebagainya),
animasi Jepang ini juga sanggup memuaskan penonton dewasa. Gambar-gambar ciamik
yang amat memanjakan mata, adegan-adegan humor yang menggelikan, hingga <i>soundtrack
</i>yang menyenangkan sangat serasi berpadu dan menghasilkan film hiburan keluarga yang pas. <span style="mso-spacerun: yes;"> </span><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Namun, apa yang kuperoleh dari <i>My Neighbor Totoro </i>bukan
sekadar senyum yang tersungging. Film yang dilabeli sebagai tontonan wajib oleh
Metacritic—sebuah situs pengumpul ulasan film, buku, album musik, dan
sebagainya—ini juga sarat akan beragam informasi dan pesan. Sementara anak-anakku secara sadar tertarik
pada berbagai detail khas Jepang seperti mandi berendam air hangat bersama pada
malam hari (setelah membersihkan badan di luar bak) atau kunjungan ke kuil untuk
bersembahyang, aku seakan diajak merenung lebih jauh lagi tentang hubungan manusia
dengan alam.</p><p class="MsoNormal">Menurut beberapa sumber, umumnya orang Jepang percaya bahwa selalu ada roh dewa yang bersemayam di hutan atau pepohonan. Keyakinan tersebut sepertinya juga menuntun mereka untuk selalu menghormati alam. Aku mungkin tidak menganut animisme atau memiliki kepercayaan yang serupa. Namun, sebetulnya, agamaku—yang kebetulan juga menjadi agama yang dipeluk mayoritas penduduk negeriku—juga mengajarkan untuk tidak berperilaku semena-mena terhadap alam yang merupakan anugerah sekaligus titipan Sang Maha Pencipta. Sayangnya, saat ini kebanyakan dari kami sering kali lupa untuk lebih memedulikan dan menghargainya.</p><p class="MsoNormal">Ini hanya renunganku, tetapi aku sungguh-sungguh merasa bahwa film <i>My Neighbor Totoro </i>memang secara halus menyelipkan pesan untuk memandang alam dan segala isinya sebagai sahabat ... atau marilah kita pakai istilah <i>tetangga</i> jika ingin sesuai dengan judul film ini. Bukankah jika dibandingkan dengan saudara yang mungkin tinggal di kota atau negara yang berbeda, tetanggalah yang terdekat dengan kita dan paling dapat diandalkan? Entah bagaimana, aku tidak dapat menahan pikiranku untuk mengembara ke arah sana saat melihat Totoro si "tetangga" dalam film ini akhirnya menjadi sosok yang sangat diandalkan oleh Satsuki dan Mei dalam menyelesaikan masalah mereka.</p><p class="MsoNormal">Nah, bagaimana? Berlebihankah jika kupakai ungkapan <i>sederhana tetapi dalam dan menggugah</i> untuk secara singkat menggambarkan kesan dari film pemenang beberapa penghargaan ini? Yang belum menonton, coba buktikanlah! Tontonlah sendiri ... eh, bersama keluarga, maksudku.<br /></p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Hore ... alhamdulillah, akhirnya berhasil juga kujawab tantangan <i>ngeblog</i> kali ini. Demikianlah ulasanku tentang film <i>My Neighbor Totoro, </i>film yang sering disebut-sebut sebagai salah satu tontonan terbaik sepanjang masa untuk semua umur. Nah ... layaknya ulasan,
aku juga harus menyebutkan kekurangan film ini. Apa, ya? Oh, mungkin ini dia: filmnya
kurang panjang? Pemirsa mau lagi, lagi, dan lagi! 😅</p><p class="MsoNormal">Bagaimana menurutmu?
Yang sudah menonton, yuk, tinggalkan komentarmu. Yang belum … tidakkah kalian
penasaran setelah membaca ulasanku ini?</p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: right;"><u><span style="color: #800180; font-size: x-small;"></span></u></p><blockquote><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><u><span style="color: #800180; font-size: x-small;">Data Film (diambil dari Wikipedia)<o:p></o:p></span></u></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="color: #800180; font-size: x-small;">Judul Asli: Tonari no Totoro<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="color: #800180; font-size: x-small;">Judul Terjemahan: My Neighbor Totoro<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="color: #800180; font-size: x-small;">Sutradara & penulis skenario: Hayao Miyazaki<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="color: #800180; font-size: x-small;">Produksi: Studio Ghibli<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="color: #800180; font-size: x-small;">Tanggal Rilis: 16 April 1988<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="color: #800180; font-size: x-small;">Bahasa: Jepang<o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span style="color: #800180; font-size: x-small;">Durasi: 86 menit</span></p></blockquote><p class="MsoNormal" style="text-align: right;"><span style="color: #800180; font-size: x-small;"></span><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><br /></p><p class="MsoNormal"><o:p><span style="font-size: x-small;">Sumber gambar: </span></o:p></p><p class="MsoNormal"><o:p><span style="font-size: x-small;">Netflix (foto saat menonton)</span></o:p></p>Heidy Kaenihttp://www.blogger.com/profile/10006052961734919916noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-11838988.post-38696692520672374962021-04-26T17:06:00.007+07:002021-07-03T22:31:43.899+07:00Perempuan Inspiratif dalam Buku "Cinta yang Berpikir"<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgf0ssRokmO4utvbEX6-23GtqPpdL_dWfhoDj4IKaPP9lQpAIeS3h-pdhxfagzlvSQp08VJTeocFiZrN49n4f62oq0wb7pwyHMZakme4tjB6GoU8RCFmpSuBfWWG1J1XxtH7U0U/s2048/Banner+Tantangan+Blogging+MGN.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1152" data-original-width="2048" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgf0ssRokmO4utvbEX6-23GtqPpdL_dWfhoDj4IKaPP9lQpAIeS3h-pdhxfagzlvSQp08VJTeocFiZrN49n4f62oq0wb7pwyHMZakme4tjB6GoU8RCFmpSuBfWWG1J1XxtH7U0U/s320/Banner+Tantangan+Blogging+MGN.png" width="320" /></a></div><p>Bagiku, <a href="https://mamahgajahngeblog.com/" target="_blank">tantangan <i>blogging</i> Mamah Gajah Ngeblog</a> bulan ini lebih menantang daripada biasanya. Karena adanya peringatan Hari Kartini di bulan April, tema yang diusung adalah perempuan. Namun, ada tambahan "atribut" yang cukup unik, yaitu ulasan buku. Berbeda dengan ulasan biasa, kali ini ulasan buku yang kami tulis harus memuat sosok perempuan inspiratif yang berhubungan dengan buku tersebut: sang penulis buku atau tokoh di dalamnya.</p><h2 style="text-align: left;"><span style="color: #2b00fe;">Memilih Bintang Utama</span></h2><p>Sebagai penikmat dan kolektor buku, sebenarnya tak sulit bagiku menemukan buku yang ditulis oleh perempuan atau memuat tokoh perempuan. Penulis perempuan itu banyak ... bukankah aku salah satu di antaranya? Namun, kecuali diam-diam mengidap penyakit narsisisme kronis, mana mungkin aku mengulas sosokku dan bukuku sendiri? Aku pun masih cukup tahu diri untuk tidak menawarkan atau meminta temanku yang lain untuk mengulas karyaku. Alasannya jelas sekali: label "inspiratif" itu teramat jauh dari buku maupun sosokku sendiri, kira-kira mungkin sejauh Bimasakti dengan galaksi lain.</p><p>Nah ... sebenarnya aku juga bingung memilih sosok perempuan inspiratif dari buku-buku yang pernah kubaca. Dari novel-novel, tokoh perempuan yang menginspirasi bagiku terlalu banyak. Aku mengidolakan mulai dari tokoh fiktif bernama Georgina alias George dalam cerita petualangan <i>Lima Sekawan</i> hingga almarhumah Ibu Ainun Habibe dalam buku biografi <i>Habibie Ainun</i>. Begitu pula dengan para penulis perempuan yang kutahu. Aku mengagumi mulai dari penulis buku anak lokal Watiek Ideo hingga sastrawati dunia Jhumpa Lahiri. Jadi, siapa yang harus kupilih sebagai bintang utama kali ini?</p><p>Pencerahan kutemukan saat aku menjalani rutinitas harianku dan merenunginya: <a href="https://tigasebelas.wordpress.com/" target="_blank">peranku sebagai orang tua</a> dari anak-anak pesekolah rumah alias <i>homeschoolers</i>. Jika diingat-ingat lagi, keseharian yang aku, suamiku, dan anak-anakku lalui cukup banyak dipengaruhi ilmu-ilmu <i>parenting</i> yang sekarang cenderung mudah diperoleh dari berbagai sumber. Berbagai buku, kursus, pelatihan, <i>talkshow</i>, webinar, <i>kulwapp</i>, dan sumber lainnya menyumbang cukup banyak pengetahuan yang kami butuhkan --sebagai orang tua zaman sekarang-- dalam mengasuh dan mendidik anak. Di antara semua itu, satu sumber yang cukup besar pengaruhnya bagi kami adalah buku karya Ellen Kristi yang berjudul <i>Cinta yang Berpikir: Sebuah Manual Pendidikan Karakter Charlotte Mason (Edisi Revisi).</i> </p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiZ1dFhG1ich3MS0gKrER8M9PH9HZNq5-HopkLiBLb-vCCCpi59KSyVzNEz2WSVmXM5ZDC20-rmO6YI98hsrdhVKqlnFEmOBnx0NNQSptaFt7z8TLTZtrhbrxiW9v2rPIbjNN_u/s1280/Buku+Cinta+yang+Berpikir.jpeg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1280" data-original-width="960" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiZ1dFhG1ich3MS0gKrER8M9PH9HZNq5-HopkLiBLb-vCCCpi59KSyVzNEz2WSVmXM5ZDC20-rmO6YI98hsrdhVKqlnFEmOBnx0NNQSptaFt7z8TLTZtrhbrxiW9v2rPIbjNN_u/s320/Buku+Cinta+yang+Berpikir.jpeg" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Salah Satu Buku Kesayanganku </td></tr></tbody></table><h2 style="text-align: left;"><span style="color: #2b00fe;">Sang Penulis dan Sumbangsihnya untuk Negeri</span></h2><p>Ellen Kristi atau yang akrab dipanggil dengan sebutan "Mbak Ellen" adalah seorang ibu, praktisi <i>homeschooling, d</i>an pegiat sebuah lembaga swadaya masyarakat. Perempuan asli Semarang ini juga pernah berprofesi sebagai dosen Filsafat di Universitas Diponegoro. Selain menulis buku <i>Cinta yang Berpikir</i>, ia membangun berbagai komunitas Charlotte Mason (CM) dan membuat situs Charlotte Mason Indonesia (CMid). Dengan berbagai jalan itulah, Mbak Ellen melambungkan nama Charlotte Mason, seorang tokoh perempuan pendidik yang hidup di era Victoria, di dunia pendidikan di Indonesia. </p><p>Dalam prakata yang ditulisnya untuk buku <i>Cinta yang Berpikir, </i>Mbak Ellen bercerita tentang panggilan jiwanya untuk menuliskan pemikiran-pemikiran Charlotte Mason perihal pendidikan. Menurut Mbak Ellen, dari sosok guru perempuan yang berkepribadian mengagumkan itu, telah lahir ide-ide yang kaya, mendalam, dan menakjubkan. Semua ide itu terekam dalam beberapa jilid buku tebal dan banyak sekali artikel lepas yang ditulisnya.</p><p>Sebenarnya, Mbak Ellen yakin bahwa cara terbaik bagi siapa pun yang ingin mendalami pemikiran-pemikiran Charlotte Mason adalah membaca langsung tulisan-tulisan beliau. Akan tetapi, karena mempertimbangkan pemakaian bahasa Inggris klasik dalam ribuan halamannya dan kekentalan muatan filsafat dalam tulisan-tulisan tersebut, beliau memutuskan untuk membuatkan "jembatan"nya melalui buku <i>Cinta yang Berpikir. </i>Dengan kata lain, Mbak Ellen berharap buku ini dapat membantu orang tua, guru, atau praktisi pendidikan lainnya di tanah air dalam mempelajari gagasan-gagasan Charlotte Mason.</p><h2 style="text-align: left;"><span style="color: #2b00fe;">Buah Pemikiran Sang Guru</span></h2><p>Sosok Charlotte Mason sebagai guru yang luar biasa diperkenalkan di bagian prolog buku <i>Cinta yang Berpikir. </i>Berbeda dengan kebanyakan guru pada zamannya yang lebih otoriter dan gemar menggunakan kekerasan fisik, Charlotte Mason selalu bersikap penuh kasih dan bijaksana dalam mendidik murid-muridnya. Alih-alih melihat anak sebagai kertas kosong yang harus diisi oleh orang dewasa yang mendidiknya, beliau mengibaratkan anak sebagai obor yang hanya menunggu pemantik agar apinya dapat berkobar. </p><p>Dengan meyakini tiap anak lahir dengan kelengkapan nurani, hasrat, emosi, dan bakat masing-masing, Charlotte Mason berpandangan bahwa tugas orang tua dan guru hanyalah memaksimalkan setiap kekuatan dan mengatasi segala kelemahan mereka. Dengan percaya bahwa tiap anak terlahir setara dan menyimpan potensi kecerdasannya masing-masing, ia menolak pemikiran yang mendiskrimasi ras, gender, atau kalangan sosial tertentu dalam mendapatkan hak pendidikan. Charlotte juga menegaskan bahwa pendidikan rumah harus diutamakan dan orang tualah, bukan guru, yang paling bertanggung jawab dalam membesarkan anak menjadi pribadi yang bermanfaat bagi dunia. </p><p>Sejatinya, metode pendidikan yang digagas oleh Charlotte Mason dapat dipakai dalam konteks pendidikan berbasis keluarga maupun sekolah formal. Namun, buku <i>Cinta yang Berpikir </i>lebih dimaksudkan Mbak Ellen sebagai manual dalam pendidikan keluarga yang menyoroti orang tua sebagai penanggung jawabnya. Karena itulah, pemikiran Charlotte Mason yang dibukukan dalam serial <i>Home Education </i>menjadi sumber utama penulisan buku <i>Cinta yang Berpikir</i> ini. </p><h2 style="text-align: left;"><span style="color: #2b00fe;">Isi yang Kaya</span></h2><p>Mbak Ellen juga mengakui bahwa selain tulisan karya Charlotte Mason tersebut,<i> </i>pengalaman bersama anak-anaknya dalam menerapkan metode CM serta berbagai bacaan dari para pemikir dan praktisi pendidikan lainnya juga turut memperkaya isi buku <i>Cinta yang Berpikir. </i>Kemudian, demi memudahkan para pembaca, muatan yang sangat padat tersebut diklasifikasikannya menjadi tiga bagian besar: sekilas filosofi, sekilas kurikulum, dan sekilas komparasi. Di bagian awal buku (sebelum prolog), diuraikannya pula secara jelas gambaran tiap bagian dan rekomendasi urutan membacanya untuk mendapatkan pemahaman yang mudah, utuh, dan tepat sasaran.</p><p>Saran lain yang diberikan Mbak Ellen dalam membaca bukunya ini adalah membaca satu demi satu bab (terutama di bagian filosofi) secara perlahan dalam rentang waktu yang cukup panjang. Tujuannya adalah agar kita dapat benar-benar meresapi pesan yang terkandung dalam tiap bab tersebut. Sebagai orang yang terbiasa membaca cepat dan banyak, aku merasa sangat sulit mengikuti petunjuk ini. Walaupun demikian, memang benar terasa manfaatnya ketika aku sukses melakukannya. Jelas pula rasanya berbeda dengan ketika aku buru-buru melahap dua atau tiga bab sekaligus. </p><p>Selain karena kebiasaan, mungkin yang membuatku beberapa kali terlalu cepat membaca bab-bab di bagian pertama adalah karena beberapa pemikiran filosofis yang dipaparkan sebetulnya bukan baru pertama kali kudapatkan. Beragam pendekatan dan metode <i>parenting</i> yang telah kupelajari sebelumnya dari beberapa sumber sebetulnya juga bersinggungan dengan apa yang digagas oleh Charlotte Mason. Akan tetapi, setelah mencoba mengikuti petunjuk Mbak Ellen, aku menyadari hal yang esensial: sekadar tahu atau bahkan pernah dengar saja ternyata tidak cukup. </p><p>Sebagai contoh, cobalah pikirkan, siapa <i>sih </i>yang tidak tahu di zaman sekarang bahwa anak merupakan titipan Sang Pencipta yang menjadi tanggung jawab utama orang tuanya? Bukankah mungkin hampir semua penduduk bumi saat ini setidaknya pernah mendengar prinsipnya? Namun, apakah dengan demikian, otomatis tiada lagi orang tua di dunia ini yang bersikap seolah-olah sang anak adalah harta miliknya yang bebas diatur menurut kewenangannya sendiri? </p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipvw1yyBSTo72HgVKzBAdYPZaYaXpC5hXx6qRpwSqTZaKT_q7bqrebf_iVsc8VlzJk95MKSnU0C6pBUzL1tCtGDG-aDNd6mDrXsi4_ifyFRc33dxF1m4xZ2C8ZSs1Mk-MD7q-L/s2048/titipan+Ilahi.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1536" data-original-width="2048" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipvw1yyBSTo72HgVKzBAdYPZaYaXpC5hXx6qRpwSqTZaKT_q7bqrebf_iVsc8VlzJk95MKSnU0C6pBUzL1tCtGDG-aDNd6mDrXsi4_ifyFRc33dxF1m4xZ2C8ZSs1Mk-MD7q-L/s320/titipan+Ilahi.jpg" width="320" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Aku dan Para Titipan Ilahi</td></tr></tbody></table><p>Oleh karena itulah, membaca perlahan secara berurutan (untuk yang kesekian kalinya) setiap bab dalam bagian pertama buku <i>Cinta yang Berpikir </i>ini sama sekali tidak membuang-buang waktu bagiku. Aku merasa diingatkan kembali dan rasanya sikapku dalam berhubungan dengan anak-anak pun turut terpengaruh. Setiap gagasan berharga yang terkandung di dalam buku ini<i> </i>selalu menggugahku ketika aku meresapinya perlahan-lahan.</p><blockquote><p><span style="color: #2b00fe;"><i><span style="font-family: trebuchet;">"Sepertiga hasil pendidikan disumbang oleh atmosfer rumah tangga, yakni ide-ide yang memancar dari kepribadian kedua orang tuanya, yang mereka jadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari."</span></i> - Charlotte Mason </span></p></blockquote><p>Menurut Mbak Ellen, cara membaca secara acak dapat diterapkan ketika memasuki bagian kedua buku <i>Cinta yang Berpikir. </i>Bagian yang berjudul "Sekilas Kurikulum" ini memaparkan konsep dan instruksi untuk menerapkan pendidikan anak usia sekolah menurut kurikulum CM, yang juga kerap disebut "kurikulum pembangunan watak 12 tahun". Luas dan seimbangnya kurikulum CM dapat terlihat dari beragam subjek pelajaran yang dibahas secara khusus. Di antaranya ada membaca, menulis, tata bahasa, pendidikan agama, sejarah, sastra dan puisi, kewarganegaraan, bahasa asing, musik dan seni, sains, matematika dan logika, pendidikan jasmani, hasta karya dan keterampilan praktis, serta bacaan dan kegiatan bebas. Semua bidang pelajaran -beserta berbagai kegiatan yang disarankan di dalamnya- ini tetap memiliki satu target besar, yaitu pemuliaan karakter anak. </p><p>Di bagian kurikulum, kita dapat menemukan bahasan khusus tentang <i>living books, </i>ikon metode CM yang makin populer belakangan ini. Istilah <i>living books </i>merujuk pada pustaka yang mengandung ide-ide berharga yang menggerakkan anak untuk mengingat, merenungkan, atau memvisualisasikannya. Charlotte berpendapat bahwa penuturan gagasan secara baik, tepat, dan indah wajib ada dalam setiap buku bacaan anak. Keberadaan buku-buku dengan kriteria seperti ini dianggap sangat penting dalam kurikulum CM. Setiap praktisi metode CM diharapkan selalu menyediakannya, dalam bentuk buku fiksi maupun nonfiksi, untuk menunjang tiap bidang pelajaran. </p><p>Poin penting lainnya dalam proses belajar CM adalah bernarasi. Menurut Charlotte, kegiatan ini merupakan proses belajar yang penting karena menuntut kemampuan untuk meringkas, mengklasifikasi, menyimpulkan, menimbang, memvisualisasi, memilah, dan menggarap suatu gagasan. Anak yang terlatih bernarasi akan mampu menyampaikan apa yang diserapnya dalam tatanan kalimat yang runtut dan mudah dipahami orang lain. </p><p>Hal lain yang kusukai dari bagian kurikulum di buku <i>Cinta yang Berpikir </i>ini adalah adanya penjelasan mengenai tujuan disarankannya kegiatan tertentu. Kurasa tiap orang tua atau guru yang ingin mengikuti kurikum ini memang diharapkan mengutamakan penghayatan atas prinsip-prinsip dasarnya. Selanjutnya, setiap praktisi dapat lebih leluasa mencari atau menciptakan variasi penerapannya sesuai dengan konteks keperluannya masing-masing.</p><p>Di bagian terakhir yang berjudul "Sekilas Komparasi", Mbak Ellen memberikan bonus pengetahuan berupa perbandingan antara CM dengan beberapa metode pendidikan lainnya, seperti Montessori, Waldorf, dan <i>unschooling classical education</i>. Paparan singkat tentang beragam metode tersebut tentu akan makin mengenyangkan para pembaca buku ini. Namun, bagiku pribadi, bagian itu justru kuanggap sebagai salah satu kekurangan buku ini. </p><h2 style="text-align: left;"><span style="color: #2b00fe;">Tiada Gading yang Tak Retak</span></h2><p>Kebetulan, CM memang bukan metode pendidikan yang pertama kali kupelajari begitu memutuskan akan melakukan <i>homeschooling </i>beberapa tahun yang lalu. Perkenalan dengan metode Montessori dan Waldorf sudah kulalui terlebih dahulu. Aku pun mulai berusaha mendalami keduanya secara serius berbarengan dengan perkenalanku dengan CM (aku sudah menyelesaikan pendidikan diploma Montessori dan sedang bersiap untuk melakukan hal yang sama pada Waldorf). Kurasakan adanya perbedaan antara kesan sekilas dengan wawasan menyeluruh tentang metode-metode tersebut. </p><p>Uraian perbandingan yang diberikan Mbak Ellen dalam bagian terakhir buku <i>Cinta yang Berpikir </i>memang tidak salah, tetapi jauh dari lengkap dan menyeluruh. Jika diumpamakan, ini seperti melihat gajah hanya dari bagian ekornya sehingga belalai dan gadingnya yang indah tidak terlihat. Menurutku, kesalahpahaman dapat timbul, terutama bagi para pembaca yang sama sekali belum mengenal metode-metode selain CM itu. Lebih jauh lagi, aku khawatir orang-orang akan kehilangan ketertarikan untuk menggalinya lebih dalam, padahal ini bukan sikap yang bijaksana dalam dunia pendidikan.</p><h2 style="text-align: left;"><span style="color: #2b00fe;">Akhir Kata</span></h2><p>Di atas kekurangan itu, aku merasa buku <i>Cinta yang Berpikir (Edisi Revisi) </i>tergolong buku yang layak dan sangat bermanfaat untuk dimiliki oleh tiap praktisi pendidikan. Sesuai dengan judulnya, buku ini dapat menyadarkan atau mengingatkanku kembali bahwa perasaan cinta harus dilengkapi dengan pemikiran dan penghayatan yang mendalam agar dapat membuahkan pendidikan yang arif dan bijaksana. Dari buku ini pula, kutemukan tak sedikit inspirasi dari dua perempuan yang hidup di tempat dan zaman yang jauh berbeda: Charlotte Mason dan Ellen Kristi.</p><blockquote style="border: none; margin: 0px 0px 0px 40px; padding: 0px;"><h4 style="text-align: left;"><u style="color: #2b00fe;">Data Buku</u></h4></blockquote><blockquote style="border: none; margin: 0px 0px 0px 40px; padding: 0px; text-align: left;"><h4 style="text-align: left;"><span style="font-size: x-small;">Judul: <b><i>Cinta yang Berpikir - Sebuah Manual Pendidikan Karakter Charlotte Mason<br /></i></b></span><span style="font-size: x-small;">Penulis: Ellen Kristi<br /></span><span style="font-size: x-small;">Penyunting: Willy Chrisna Dinata<br /></span><span style="font-size: x-small;">Desainer Sampul: Eunike Nugroho<br /></span><span style="font-size: x-small;">Penerbit: Ein Institute<br /></span><span style="font-size: x-small;">Tahun Terbit: 2016 (Edisi Revisi)<br /></span><span style="font-size: x-small;">Jumlah Halaman: xviii + 263 halaman</span></h4></blockquote><p><br /></p><p></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgvKMQzbCDVXBAglGWf9Yxui8lqGPHIOaCFbxbNkjh7BF8XvgfJXpUDs_pJ4aUSwCKXOqhEv6LaBW3iuVlTZBge9uHD2RaYh3PXpPgyoZSsYJ9BIlH9s_eotzDYyI_gVQlEQo_2/s1280/MGN+10+besar+April.jpeg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="904" data-original-width="1280" height="315" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgvKMQzbCDVXBAglGWf9Yxui8lqGPHIOaCFbxbNkjh7BF8XvgfJXpUDs_pJ4aUSwCKXOqhEv6LaBW3iuVlTZBge9uHD2RaYh3PXpPgyoZSsYJ9BIlH9s_eotzDYyI_gVQlEQo_2/w445-h315/MGN+10+besar+April.jpeg" width="445" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: x-small;">Artikel ini mendapat penghargaan "10 besar Terbaik Tantangan Blogging April 2021" dari <a href="https://mamahgajahngeblog.com/" target="_blank">Komunitas Mamah Gajah Ngeblog</a></span></td></tr></tbody></table><br /> <p></p>Heidy Kaenihttp://www.blogger.com/profile/10006052961734919916noreply@blogger.com15tag:blogger.com,1999:blog-11838988.post-22617368008795440572021-04-21T03:00:00.008+07:002021-04-21T03:38:09.142+07:00Perempuan Cantik<p>Minggu lalu, <a href="https://tigasebelas.wordpress.com/2021/04/09/anak-perempuan-dan-persoalannya/" target="_blank">tulisanku tentang “Anak Perempuan dan Persoalannya”</a> yang kubagikan di salah satu komunitas menulis ditanggapi dengan
beragam cerita serupa. Tak kusangka, ternyata banyak anak perempuan di dunia
ini yang mengalami masalah yang tidak jauh berbeda. Meskipun telah dua puluhan tahun berlalu sejak terakhir kali aku merasa tersiksa karenanya, aku tetap bahagia karena menemukan bahwa ternyata aku tidak sendiri! </p><p>Senang sekali rasanya
menemukan teman yang juga berpengalaman sebagai anak perempuan di luar definisi
cantik menurut kebanyakan orang Indonesia. Kemudian, tak
dapat kutahan imajinasiku yang melayang ke masa laluku, sebagai seorang anak
perempuan berseragam putih-biru. Apa <i>sih</i> pemahamanku waktu itu tentang perempuan cantik?</p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Dalam rentang sebelas hingga tiga belas tahun usiaku di masa itu, aku sedang mulai mengusahakan agar segala
perilaku dan kepercayaanku selaras dengan orang lain. Istilah kerennya dalam
teori psikologi: konformitas. Sesuai teori ini, katanya (bukan kataku karena
aku bukan psikolog), seorang anak remaja akan menyesuaikan perilaku dengan
menganut norma kelompok acuan, menerima ide-ide atau aturan yang menunjukkan
bagaimana ia harus berperilaku (Baron & Byrne, 2005). <o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Nah … dalam situasiku sebagai remaja dahulu, aku merasa
wajib menyesuaikan diriku dengan opini umum yang berkembang di lingkungan
sekitarku. Rambut kribo dijadikan pengganti keranjang untuk permainan bola <s>basket</s>
kertas? Oh, jelas itu salahku! Bisa-bisanya tidak berambut lurus panjang
selicin model-model sampo di teve! Tentu saja aku harus memperbaiki kesalahan
ini! Baik, di mana aku dapat meluruskan rambut?<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Namun, aku masih termasuk sangat beruntung karena dilahirkan dan
dibesarkan dalam keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan
kebaikan universal. Prioritas pendidikan dan kebijaksanaan tidak perlu
dipertanyakan, apalagi jika dibandingkan dengan cita-cita seremeh memiliki
kulit seputih salju atau dan rambut selurus jalan tol. Maka, pergulatanku menghadapi
konformitas di lingkungan sekolah pun tak berlarut-larut terlalu lama. Seiring
dengan pertambahan usia, aku makin percaya diri dengan penampilan fisikku apa
adanya.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Kenaikan jenjang pendidikan juga berpengaruh besar, apalagi
setelah aku menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri yang cukup
difavoritkan di negara ini. Aku tidak tahu pasti bagaimana situasi di kampus
lain, tetapi di kampusku yang masih didominasi lelaki, bentuk rambut dan
warna kulit bukan topik yang menarik dan populer. Dalam forum-forum curhat di
sekitarku, terutama yang terkait dengan hubungan asmara, masalah yang
lebih banyak berseliweran adalah bagaimana menemukan lawan jenis yang
“nyambung”. <o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Jika dibahas lebih lanjut, tak sulit untuk menemukan bahwa
kata <i>nyambung </i>itu tak lain dan tak bukan berhubungan dengan wawasan,
kecerdasan, dan kepribadian. Hingga aku lulus sarjana, tak sekali pun kutemukan lelaki yang menyambungkannya dengan kecocokan motif rambut atau kulit. Tampaknya semua temanku sadar bahwa misi mencari jodoh itu jauh berbeda dari pekerjaan menyusun ubin
kamar mandi.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">“Perempuan cantik itu dilihat dari pinternya, karakternya.” <o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Hampir tersedak aku ketika tak sengaja mendengar kalimat
yang diucapkan suamiku itu pada salah seorang adik sepupunya beberapa tahun
yang lalu. Meskipun tidak disampaikannya padaku, boleh dong, aku terbang
sedikit beberapa meter? Bukankah secara tidak langsung, ia sedang
mendeskripsikan diriku? Aku kan istrinya! <i>Hahahaa</i>.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Nikmat mana lagi yang dapat kudustakan? Terima kasih, Mama,
Papa, teman-teman, dan tentu saja, pasangan hidupku. Berkat mereka semua yang pernah hadir dalam
hidupku, pengalamanku tentang konsep kecantikan perempuan sungguh kaya.
Kini, semua memori yang berserak itu kukumpulkan kembali untuk mendidik kedua
anak perempuanku. Tidak hanya yang manis, yang asam pun kusajikan pada mereka. <o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Anak perempuanku perlu tahu, aku paham apa yang dirasakannya
ketika ingin memakai produk pemutih kulit. Anak perempuanku perlu tahu, bahwa
ia tidak sendiri dalam menghadapi kecutnya (tidak harus sampai pahit, kok, Nak)
dunia remaja. Anak perempuanku perlu tahu, jalannya sebagai perempuan bisa jadi
masih sangat panjang. Anak perempuanku perlu tahu, dunia sebenarnya jauh lebih
luas daripada iklan produk kecantikan. Kemudian, tentu kuharap, anak perempuanku
menemukan arti kecantikan yang hakiki dan bangga dengan kecantikan mereka
masing-masing.<o:p></o:p></p><p class="MsoNormal"><br></p><p class="MsoNormal">Bekasi, 21 April 2021</p><p class="MsoNormal">- H e i D Y -</p>
<div><span face=""Calibri",sans-serif" style="font-size: 11pt; line-height: 107%; mso-ansi-language: EN-ID; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: "Malgun Gothic"; mso-fareast-language: KO; mso-fareast-theme-font: minor-fareast; mso-hansi-theme-font: minor-latin;"><br></span></div><div><u style="font-size: 11pt;">Referensi:</u></div><div><span style="font-size: 10pt;">Baron,
R. A. dan Byrne, D. (2005). </span><i style="font-size: 10pt;">Psikologi Sosial. </i><span style="font-size: 10pt;">Jakarta: Erlangga.</span></div>Heidy Kaenihttp://www.blogger.com/profile/10006052961734919916noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-11838988.post-23611808615523620532021-03-20T17:10:00.003+07:002021-03-23T05:53:26.217+07:00Kesehatan, Probiotik, dan Pandemi<p>Sejak kecil, topik kesehatan tidak pernah jauh dariku dan
adik-adikku. Kuduga ini dialami oleh semua anak lain yang orang tuanya juga berprofesi sebagai dokter. Kebersihan makanan dan lingkungan sebagai langkah
pencegahan penyakit pasti selalu menjadi prioritas. Tak ketinggalan pula ilmu
praktis berupa rangkaian tindakan yang harus diambil jika ada yang telanjur
sakit. Koleksi obat-obatan yang memenuhi sebagian sisi meja makan di rumah kami
pun menjadi pemandangan yang biasa.</p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Namun, ada yang berbeda dari “transfer ilmu” yang dilakukan ibu
kami sejak beliau mempelajari <i>functional medicine </i>atau kedokteran
fungsional.<i> </i>Sekarang<i>, </i>hal yang Mama ajarkan kepada anak-anaknya bukan
lagi beragam obat pereda gejala penyakit seperti yang dahulu ia sampaikan saat
kami masih kecil. <o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">“Maafin Mama, ya … banyak banget salahnya dulu. Dikit-dikit
ngasih obat …”<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Berulang kali Mama meminta maaf pada kami. Anak mana yang
tak sedih mendengar ibunya berkata demikian? Mungkin karena bumbu perasaan
itulah, wawasan baru Mama juga segera terserap oleh kami. Lagi pula, sekarang
bukan hanya Mama yang mengajari kami. Beberapa dokter langganan kami kebetulan juga memberi banyak “kuliah” tentang ini tiap kami mengunjungi mereka.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Ketika kuceritakan bahwa dokter-dokter kami tidak pernah
cepat-cepat memberi antibiotik, Mama tampak senang. Beliau menyesal karena
tindakan itu justru sering beliau lakukan padaku dahulu. Seperti membunuh
seekor kecoa di toilet kecil dengan menggunakan bom atom, begitulah beliau
mengumpamakannya.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Mamaku tak bosan mengingatkan bahwa cara pengobatan yang
seperti itu malah melemahkan tubuh manusia. Sesuai dengan namanya, antibiotik akan
mematikan semua bakteri. Keseimbangan tubuh yang terbentuk oleh trilyunan
pasangan bakteri “baik” dan “jahat” pun terganggu. Akibatnya, tubuh kita lupa
akan bekal kemampuannya sendiri untuk mengatasi berbagai gangguan dari luar. <o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Kami sekeluarga diajak menggunakan cara baru dalam memandang
kesehatan dan penyakit. Kesehatan tubuh harus dilihat sebagai keseimbangan suatu
sistem yang berhasil bekerja secara harmonis, sedangkan penyakit dilihat
sebagai gangguan terhadap ketidakseimbangan fungsi tubuh tersebut. Dengan demikian,
kita dapat menyadari bahwa sejatinya penyakit itu tidak hanya berasal dari apa
yang masuk ke tubuh, tetapi juga dari bagaimana tubuh bereaksi atas segala
pemicu tersebut. Sebenarnya ini sama sekali bukan ilmu baru. Konon, prinsip ini
telah dipegang erat oleh nenek moyang kita yang masih bersahabat dengan alam
sepenuhnya, jauh sebelum manusia gemar mengembangkan zat-zat pembasmi
berbagai makhluk lainnya. <o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Berangkat dari pemahaman itulah, Mama memperkenalkan
probiotik pada kami. Dalam artikel yang ditulis bersama beberapa peneliti
lainnya, Colin Hill, seorang profesor di bidang <i>microbial food safety, </i>mendefinisikan
probiotik sebagai mikroorganisme hidup yang dapat memberikan manfaat kesehatan
jika dikonsumsi dalam jumlah yang memadai (Baud, dkk., 2020). Beberapa bukti klinis
pun telah menunjukkan bahwa <i>strain</i> probiotik tertentu dapat membantu pencegahan
infeksi bakteri dan virus. <o:p></o:p></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhCfyABjw8SO79F1bnfpnaMV9GzB0aDxnSIQktWyr_FTuh21yyVfk7huezSrqybgR2P-nA5K9jMI_b9vTF6xNW4THP2tVOJlgKj7UT5XbxC-yTeJpuU48KIfToNuX3FhPDcNAOY/s1280/foto+probiotik.jpeg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="960" data-original-width="1280" height="302" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhCfyABjw8SO79F1bnfpnaMV9GzB0aDxnSIQktWyr_FTuh21yyVfk7huezSrqybgR2P-nA5K9jMI_b9vTF6xNW4THP2tVOJlgKj7UT5XbxC-yTeJpuU48KIfToNuX3FhPDcNAOY/w402-h302/foto+probiotik.jpeg" width="402"></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">seperangkat suplemen probiotik andalan keluargaku<br>(kubeli di <a href="https://www.instagram.com/serunidjamoe/" target="_blank">Seruni Djamoe</a>)</td></tr></tbody></table><p class="MsoNormal">Tidak seperti terapi medis pada umumnya, probiotik tidak membunuh
kuman penyakit secara langsung. Probiotik justru bekerja dengan menyuplai lebih
banyak lagi <i>strain</i> bakteri agar keseimbangan mikroba dalam tubuh tercapai. Tujuannya
jelas, yaitu membiarkan tubuh bekerja dan menemukan kembali kemampuan alaminya
dalam mencapai dan mempertahankan kesehatan. Bukankah ini menjadi misi yang kian penting
dan genting di era pandemi sekarang?</p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Dari berbagai tinjauan pustaka kasus Covid-19, diketahui bahwa
orang yang memiliki imunitas alami yang baik akan mampu menghadapi ancaman
virus tersebut. Salah satu penelitian yang mendukung prinsip ini datang dari Al-Ansari, dkk. (2020). Dalam artikel tersebut, dikatakan bahwa suplementasi probiotik
dapat menjadi salah satu “pemain utama” dalam meningkatkan imunitas tubuh demi
memerangi virus Covid-19. <o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Tak ada yang tak setuju bahwa menjaga kesehatan mesti diprioritaskan,
apalagi di era pandemi ini. Namun, mungkin yang perlu dicermati kembali adalah cara
yang kita pilih. Jika diibaratkan dengan pemenuhan kebutuhan hidup jangka panjang,
kurasa aku lebih memilih dibekali dengan keterampilan untuk bertani sendiri daripada dihadiahi selumbung padi. Bagaimana denganmu?<o:p></o:p></p><p class="MsoNormal"><br></p><p class="MsoNormal"><br></p><p class="MsoNormal">Salam,</p><p class="MsoNormal">- H e i D Y -</p><p class="MsoNormal"><br></p><p class="MsoNormal"><span style="font-size: x-small;"><u>Referensi</u>:</span></p><p class="MsoNormal"><span style="font-size: x-small;">Al-Ansari, Mysoon M., dkk. 2020. “Probiotic lactobacilli:
Can be a remediating supplement for pandemic COVID-19. A review” dalam <i>Journal
of King Saud University – Science. Vol.33, Issue 2. </i> <o:p></o:p></span></p><p class="MsoNormal">
</p><p class="MsoNormal"><span style="font-size: x-small;">Baud, D., dkk. 2020. “Using Probiotics to Flatten the Curve
of Coronavirus Disease COVID-2019 Pandemic” dalam <i>Front Public Health, V.8, 2020. </i></span><o:p></o:p></p><p class="MsoNormal"><br></p>
<p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p>Heidy Kaenihttp://www.blogger.com/profile/10006052961734919916noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-11838988.post-54006290902103058442021-03-07T17:36:00.005+07:002021-03-08T05:18:36.800+07:00Alasan Memilih Jurusan Kuliah<p>Pernah dengar kata <i>oseanografi</i>? Tahukah bahwa ini bidang
ilmu sekaligus nama jurusan kuliah di perguruan tinggi? Tenang … kalau belum
tahu, tidak apa-apa. Aku juga tidak tahu, dulu, hingga kira-kira dua puluh dua
tahun yang lalu (oh tidak …. buka kartu umur!).</p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Kuceritakan sedikit, ya. Bagi yang sudah tahu, silakan loncat
saja ke paragraf berikutnya … hehehe. Jadi, seperti yang kusinggung tadi,
oseanografi adalah suatu ilmu. Kalau melihat kata dasarnya, mungkin teman-teman
tidak akan sulit menebak bahwa yang dipelajari di bidang ini adalah laut. Masalahnya,
bagian dari laut yang dapat dipelajari tidak sedikit. Ada bagian makhluk hidupnya.
Ada bagian kapal, pelabuhan, atau bangunan lainnya. <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Ada pula bagian lautnya itu sendiri: arusnya,
gelombangnya, interaksinya dengan atmosfer, pencemarannya, dan sebagainya. Nah, bagian
terakhir inilah ranah kajian oseanografi.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Baik, cukup sampai di situ saja bahasan tentang oseanografi
yang ingin kubagikan di sini. Yang akan kuceritakan sekarang bukan detail
tentang ilmu ini, melainkan hubungannya denganku. Mengapa dan bagaimana aku menjalin
pertalian (bukan terkait kasih, tentunya) dengannya?<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Pertama kali aku mengenal kata <i>oseanografi</i> ialah saat duduk
di bangku kelas dua sekolah menengah atas (SMA), tepatnya menjelang masuk ke jurusan ilmu pengetahuan alam (IPA) atau ilmu pengetahuan sosial (IPS) di tahun
berikutnya. Penjurusan tingkat terakhir SMA itu tentu berkaitan erat dengan rencana
masa depan: berkuliah, bekerja, berkarir, berkontribusi untuk bangsa, negara,
duni … <i>mmm</i> …<i> </i>apa ini terlalu muluk atau jauh? Yah, sebenarnya
aku hanya mau menunjukkan: itu momen yang genting dan penting. Setelah menyadari
itu bukan hal yang sepele, aku pun mulai melakukan riset kecil tentang beragam
pilihan jurusan di perguruan tinggi. <o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Aku tidak membutuhkan waktu yang lama sebelum menemukan dan tertarik pada kata <i>oseanografi
</i>di antara beragam jurusan kuliah yang kucermati. Alasannya mungkin sesederhana
alasan anak SD: <i>ocean </i>berarti laut. Aku suka laut. Di usia lima belas
tahun, entah mengapa tidak terpikir olehku bahwa selain rasa suka terhadap
suatu objek, masih ada hal yang perlu dipikirkan sebelum memutuskan untuk memilihnya
sebagai jurusan kuliah. Penyebab lain mengapa aku sangat mudah menemukan program studi oseanografi
adalah karena ‘nominasi’ yang kupilih
sudah cukup sedikit, yaitu hanya aneka bidang IPA yang ada di
perguruan tinggi di Jabodetabek dan Jawa Barat.</p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Mengapa hanya bidang IPA? Aku juga tidak tahu! Sama sekali
tak terpikir olehku mempelajari ilmu selain IPA di bangku kuliah. Mungkinkah
ini karena sepanjang masa, aku terbiasa dengan pemikiran “Ilmu alam adalah ilmu
terpenting dan teratas dalam kasta”? Kalau dipikir-pikir lagi sekarang, hal ini
sungguh konyol. Tidak hanya merasa seperti memakai kacamata kuda, aku juga merasa
bahwa semua pemikiranku menjadi tidak logis. Bukankah awalnya aku melakukan
riset program studi kuliah untuk memilih jurusan IPA atau IPS di SMA? Apa
artinya kalau sejak awal aku sudah menutup mata pada segala macam bidang ilmu
selain IPA? Jadi, risetnya buat apa, dong? Apa yang dipertimbangkan? <i>Ck, ck,
ck</i> … kurasa inilah yang menjadi salah satu alasan terkuatku untuk tidak
cepat-cepat menyekolahkan anak. Kedewasaan mental itu
penting, Bung! <o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Kemudian, mengapa hanya memilih perguruan tinggi di
Jabodetabek dan Jawa Barat? Nah, pertanyaan yang ini lebih mudah kujawab. Kuyakin
ini berkaitan erat dengan orang tuaku yang masih berdomisili di Jabodetabek. Ternyata
sekuat-kuatnya keinginanku waktu itu sebagai remaja untuk segera ‘bebas’ dari
rumah orang tua, sebenarnya aku tidak pernah membayangkan akan hidup terlalu jauh dari mereka.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Nominasi yang kudapat menjadi makin sedikit ketika aku mendahulukan
pilihan kampus sebelum jurusannya. Kuutamakan memilih perguruan tinggi tempat papa,
om, dan tanteku berkuliah dulu. Rasanya sih tidak ada satu pun dari
mereka yang terang-terangan menyuruhku memilih almamater yang sama. Namun,
sepertinya cerita-cerita yang kudengar sejak kecil dari mereka cukup berpengaruh
terhadap alam bawah sadarku: inilah tempat kuliah terkeren dan terbaik
se-Indonesia!<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Tidak hanya mendengar cerita, aku juga melihat dan merasakan
langsung bagian-bagian dari kampus yang mereka banggakan itu. Saat belum lagi bersekolah,
aku sudah pernah dibawa berjalan-jalan dan salat di masjid kampusnya oleh almarhumah
tanteku. Kemudian, hingga duduk di bangku SMA, entah berapa kali sudah Papa mengajakku
bertandang ke markas almamater tercintanya itu, menghadiri acara-acara reuni atau semacamnya. Nah, apa ini
sudah termasuk dalam kategori doktrin, atau baru <i>soft-selling</i>? Mana pun
itu, yang jelas mereka semua sukses besar membuatku kabita<i> </i>ingin
berkuliah di sana juga.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Setelah menetapkan oseanografi sebagai pilihan pertama jurusan
kuliahku, aku kebingungan saat diminta memasang ancang-ancang untuk pilihan
kedua. Pilihan kedua ini dimaksudkan sebagai cadangan jika aku gagal masuk ke
jurusan pilihan pertama berdasarkan nilai Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN)
saat itu. Sebenarnya aku ingin memilih jurusan lain di kampus yang sama, tetapi
ternyata kami diharuskan mencari jurusan lain dengan <i>passing grade</i> yang
lebih rendah. Pasalnya, jurusan pilihanku tidak termasuk jurusan favorit. Tidak terlalu
banyak jurusan lain yang <i>passing grade</i>-nya berada di bawah oseanografi dan entah mengapa, tidak ada jurusan lain yang cukup menarik perhatianku.<i><o:p></o:p></i></p>
<p class="MsoNormal">Sempat terpikir pula olehku untuk memilih jurusan lain yang ber-<i>passing
grade </i>lebih tinggi dan menggeser oseanografi ke pilihan kedua. Pemikiran
ini terlintas setelah aku menjadi siswa kelas 3 SMA dan mulai banyak mengikuti
percobaan ujian alias <i>try out</i> (TO), tepatnya setelah melihat rata-rata nilai
hasil TO-ku yang cukup untuk menembus jurusan-jurusan yang lebih difavoritkan (kedokteran,
misalnya, yang hingga kini sering kusesali mengapa-tak-kulirik-hanya-karena-tidak-mau-mengikuti-jejak-mamaku-yang-menjadi-dokter).
Namun, lagi-lagi, entah bagaimana, masih belum ada jurusan lain yang di mataku ‘seseksi’
oseanografi. Akhirnya, terpaksa aku
melirik dan memasang kampus lain di pilihan kedua, dengan jurusan yang kuanggap
serupa dan sejalan dengan pilihan pertamaku: ilmu kelautan. <o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Wah, berarti emang udah cinta mati dengan laut, dong? Tak
sedikit yang menebak begini jika kuceritakan dua pilihan jurusanku saat UMPTN
itu. Jangankan orang lain, aku sendiri pun begitu. Sepertinya aku sudah mantap dengan pilihan jurusanku.
Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Tugasku tinggal fokus belajar untuk UMPTN!<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Kemantapan itu baru tergoyahkan beberapa hari sebelum aku
mengembalikan formular pendaftaran ujian. Ini berawal dari kejadian beberapa
hari sebelumnya, saat salah satu mentor di tempat bimbingan belajar yang kuikuti
membahas detail perbedaan oseanografi dengan ilmu kelautan. Sambil menunjukkan
rancangan mata kuliah di kedua bidang keilmuan ini, ia berkata bahwa kekuatan
oseanografi adalah aspek fisika dari laut. Itulah yang membedakannya dengan
ilmu kelautan yang lebih banyak mendalami aspek biologinya. <o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Saat itulah pertama kalinya aku menyadari dan mengutuki
kebodohanku. Riset macam apa yang sudah kulakukan, sampai-sampai tak tahu hal
semendasar itu? Kurang konyol apa lagi tindakanku dengan memasuki jurusan
kuliah yang isinya didominasi oleh bidang ilmu kelemahanku? Dalam hitungan hari,
aku pun tergopoh-gopoh kembali melakukan riset bergaya sistem kebut semalam.<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Hasilnya, aku pusing. Sungguh tidak mudah berubah haluan
dalam waktu sekejap. Bagaimana cara mencari arah lain setelah sekian lama aku
yakin sudah berjalan menuju destinasi yang tepat? Belum pernah terpikir olehku
mencari kemungkinan jurusan lain, apalagi kampus lain. Kemudian, saat akan kupilih
jurusan lain di kampus favoritku (karena mengganti kampus lebih tidak terbayang lagi olehku), Mama memintaku untuk mempertimbangkannya lagi. Beliau mengingatkanku bahwa berkuliah
di jurusan oseanografi sudah menjadi cita-citaku selama lebih dari satu tahun. Yakinkah
aku mengubahnya hanya karena pertimbangan selama dua hari?<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Akhirnya, karena takut akan penyesalan yang lebih besar, aku
mengembalikan formulir pendaftaran UMPTN dengan <span lang="EN-US" style="font-style: italic;">oseanografi </span><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">tetap terpampang di urutan pilihan pertama. Selain
kata-kata Mama itu, yang kembali meyakinkanku adalah rancangan perkuliahan di
program studi ini yang ternyata juga memuat (sedikit) mata kuliah di luar ilmu
fisika. Mudah-mudahan tidak seburuk itu, pikirku. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Ada satu alasan terakhir yang menguatkanku hingga tak berubah haluan. Di antara
semua alasan, kurasa inilah yang terpenting. Dalam kondisiku yang terasa bagaikan
sedang berdiri di ujung tanduk itu, tidak ada pilihan lain selain mengucap
basmalah dan berdoa: “Jauhkanlah dariku, ya Allah, jika pilihan itu hanya
mendatangkan keburukan bagiku. Sebaliknya, dekatkanlah aku padanya, jika memang
itu yang terbaik untukku.”</span><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Familier dengan doa itu? Benar, itu doa minta jodoh! Siapa
sangka, urusan memilih jurusan kuliah dan calon suami itu 'beda-beda tipis' … <i>hahaha.</i>
Namun, inilah hal yang paling kusyukuri di antara seluruh perjalananku dalam
memilih jurusan kuliah. Aku telah <span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">memohon rida Allah Swt. dan berserah diri. Berbekal keimananku pada-Nya,
aku hanya minta agar diberikan yang terbaik. <o:p></o:p></span></p>
<p class="MsoNormal"><span lang="EN-US" style="mso-ansi-language: EN-US;">Itu tidak
berarti aku tidak akan mendapat kesusahan sedikit pun dan hanya hari-hari indah
yang kulalui dalam perjalanan kuliahku. Tidak pula itu berati aku juga langsung
menemukan jalan karirku di masa depan. Namun, sebesar apa pun badai yang kuhadapi
dalam perjalanan kuliahku, aku menjadi kuat bertahan karena ada satu keyakinan kuat dalam hati: "Aku berhasil masuk ke sini karena Allah rida. Tak pelak, pastilah ini yang paling baik untukku. Pelajaran atau hikmah penting apa yang harus kutemukan dari ini semua adalah cerita yang berbeda."</span><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal">Alhamdulillah<i>. </i>Terima kasih, grup Mamah Gajah Ngeblog.
Berkat mengikuti tantangan <i>blogging</i> bertema ‘alasan memilih kuliah di jurusan
masing-masing’ ini, aku berkesempatan untuk menapaktilasi salah satu jejak sejarah
dalam kehidupanku bertahun-tahun yang lalu. Semoga catatan kenangan ini tidak
hanya berguna bagi diriku sendiri dalam berkontemplasi kembali, tetapi juga bagi siapa saja yang
membacanya (para orang tua yang akan mendampingi anak-anaknya memilih jurusan
kuliah kelak, misalnya :D). Kepada yang tidak meninggalkanku dan sudah setia
membaca hingga kalimat terakhir ini, terima kasih juga, ya!<o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><br></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhRsCfPPHeDMPMhowe0vKO8qQvVYhMzYmTRlQalaoay1ShGAHVb8uniqjaRQ8ZzQX1BG6mfGQHxq3-snXrB5yptxt79zys9npBQ4USKKDRF7CKF7UrjmJvSNbXfGDjRqs4ZqVaa/s2048/Banner+Tantangan+Blogging+MGN.png" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1152" data-original-width="2048" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhRsCfPPHeDMPMhowe0vKO8qQvVYhMzYmTRlQalaoay1ShGAHVb8uniqjaRQ8ZzQX1BG6mfGQHxq3-snXrB5yptxt79zys9npBQ4USKKDRF7CKF7UrjmJvSNbXfGDjRqs4ZqVaa/s320/Banner+Tantangan+Blogging+MGN.png" width="320"></a></div><br><div>Salam,</div><div>- H e i D Y -</div>Heidy Kaenihttp://www.blogger.com/profile/10006052961734919916noreply@blogger.com30