Jumat, 24 Januari 2014

"Kepala saya pesing!"

Kalau Anda mengenal orang asing yang sedang belajar Bahasa Indonesia, atau bahkan terlibat langsung dalam pengajarannya, biasanya ada pengalaman menggelikan saat mendengar kesalahan-kesalahan ucapan yang mereka lakukan. Tidak menertawakan mereka yang memang baru belajar, tentu, tetapi ya memang murni geli karena disuguhi guyonan-tak-sengaja-tapi-sangat-kreatif itu. Saat ini saya lupa beberapa pengalaman yang saya alami sendiri  ketika mengajar, tapi saya malah ingat pengalaman salah satu dosen saya yang beliau ceritakan kembali. 

Saya ceritakan kembali, ya. Begini. Ketika akan menghadapi suatu tes, seorang warga Jepang yang belajar Bahasa Indonesia pada dosen saya masuk ke kelas dengan wajah kusut. Dosen saya menyapa dan bertanya ada apa dengannya. Ia bercerita bahwa sejak malam sebelumnya ia berusaha belajar untuk tes hari itu. 
"Kepala saya sampai pesing," katanya.
"Ya sudah, cuci rambut," kata dosen saya (yang herannya bisa) kalem.
"Maksud Ibu?"
"Ya, kepalanya pesing, kan? Makanya, cuci rambut," ulang dosen saya lagi dengan TETAP tenang, sementara saya dan teman-teman yang diceritakan sudah berhamburan di lantai karena terpingkal-pingkal.
"Kepala pesing...lalu...cuci rambut...?" dengan terbata-bata si Jepang menyatakan kebingungannya pada hubungan makna kedua frasa tersebut dan saya yang mendengar cerita ini pun, sambil sakit perut saking gelinya, merasa kagum pada cara dosen saya itu mengajar. Saya yakin, berkat 'kejahilan' dosen saya, orang Jepang itu kini telah sadar betul bahwa bunyi [e] dan [u] dalam bahasa Indonesia dibedakan sehingga kata pesing memiliki arti yang sama sekali berbeda dengan pusing. 

Dalam ilmu linguistik, dua bunyi yang berfungsi sebagai pembeda makna disebut fonem. Fonem pada suatu bahasa adalah hal mendasar pertama yang perlu dipelajari seseorang ketika ingin menguasai bahasa tersebut. Ingat saja proses pemerolehan bahasa pertama pada anak-anak balita. Hal yang pertama dipelajarinya dalam berbahasa ya membedakan bunyi-bunyi bahasa yang berbeda sebelum dapat menirunya. 

Bagi seorang linguis yang meneliti suatu bahasa, fonem dalam bahasa tersebut dapat ditemukan dengan cara mencari pasangan-pasangan minimal. Oleh Verhaar (2001, hlm. 36), pasangan minimal didefinisikan sebagai seperangkat kata yang sama kecuali dalam satu bunyi. Untuk memperoleh pasangan minimal, pertama-tama peneliti perlu memeriksa apakah perbedaan suatu bunyi pada dua kata disebabkan oleh pengaruh lingkungan bunyi tersebut. 

Jika lingkungannya berbeda, bunyi-bunyi tersebut sebenarnya berasal dari fonem yang sama. Contohnya adalah bunyi [i] dalam kata manis dan bunyi [I] dalam kata cantik. Kedua bunyi tersebut bukan fonem karena tidak membedakan makna. Kita yang merupakan penutur asli Bahasa Indonesia mungkin bahkan tidak meyadari adanya perbedaan bunyi [i] dan [I]. Namun, bagi penutur bahasa lain yang sudah terbiasa membedakan bunyi [i] yang dipengaruhi oleh bunyi [s] seperti dalam kata manis dan bunyi [I] yang dipengaruhi oleh bunyi glotal seperti pada kata cantik, ini bisa menjadi masalah. Hal serupa bisa terjadi pada kita yang sudah terbiasa membedakan bunyi [e] dan [u] seperti dalam pesing dan pusing ketika ingin belajar bahasa Jepang yang tidak membedakan kedua bunyi tersebut. 

Seorang peneliti bahasa, terutama yang berkecimpung di bidang fonologi, dituntut memiliki kepekaan terhadap bunyi-bunyi bahasa yang berbeda meskipun bunyi-bunyi itu tidak dibedakan dalam bahasa ibunya sendiri. Ketika ia menemukan bahwa bunyi-bunyi yang berbeda pada sepasang kata memiliki lingkungan yang sama, ia perlu memeriksanya lebih lanjut, apakah maknanya berbeda atau tidak. Jika berbeda, ia dapat memahaminya sebagai fonem yang berbeda dan berarti pasangan kata tersebut merupakan pasangan minimal. Contohnya dalam bahasa Indonesia adalah kata liang dan riang. Bunyi [l] dan [r] pada dua kata itu dipengaruhi lingkungan yang sama ([i]-[a]-[n]-[g]), tetapi makna kedua kata tersebut berbeda. Jadi, dapat disimpulkan bahwa liang dan riang adalah pasangan minimal dan kemungkinan bunyi [l] dan [r] merupakan fonem, yaitu fonem /l/ dan fonem /r/. 

Hal yang berbeda terjadi pada bunyi [o] dan [u]  dalam pasangan kata lobang dan lubang. Setelah menemukan bahwa bunyi [o] dan [u] pada kedua kata tersebut memiliki lingkungan yang sama ([l]-[b]-[n]-g]), peneliti memeriksa lebih lanjut dan menemukan bahwa ternyata makna kedua kata tersebut sama saja. Maka, sementara dapat disimpulkan  bahwa [o] dan [u] bukan fonem. Namun, ternyata simpulan ini dapat dipatahkan oleh temuan pasangan minimal  pola dan pula yang berbeda makna sehingga terbukti bahwa fonem /o/ dan /u/ dibedakan. Dari contoh ini, terlihat bahwa pembuktian fonem tidak boleh didasarkan pada temuan satu pasangan minimal saja.


Nah. Sekian sedikit 'cerita' yang saya teruskan dari berbagai sumber. Ada yang ingin menambahkan?



Referensi: 
Verhaar, J. W. M. (2010). Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

2 komentar:

  1. hueheheh...saya juga ketawa geli baca cerita tentang orang Jepang itu, jangankan orang asing, kesalahan yang biasa kita lakukan karna typo aja lucu..

    Salam buat Orang Jepangnya yah...tanyain dia maen dimana sampe pesing gtu?hihi...

    BalasHapus
  2. Hai Irly, terima kasih banyak sudah mampir ke sini yaa, salam kenal :)
    Hehehe iya yaa betul juga, baru ingat banyak juga kelucuan yang kita ciptakan sendiri akibat typo..
    Wah gimana nyampein salamnya ya, hanya kisahnya yang saya kenal lewat dosen, orangnya sih nggak... XD

    BalasHapus