Rabu, 21 April 2021

Perempuan Cantik

Minggu lalu, tulisanku tentang “Anak Perempuan dan Persoalannya” yang kubagikan di salah satu komunitas menulis ditanggapi dengan beragam cerita serupa. Tak kusangka, ternyata banyak anak perempuan di dunia ini yang mengalami masalah yang tidak jauh berbeda. Meskipun telah dua puluhan tahun berlalu sejak terakhir kali aku merasa tersiksa karenanya, aku tetap bahagia karena menemukan bahwa ternyata aku tidak sendiri! 

Senang sekali rasanya menemukan teman yang juga berpengalaman sebagai anak perempuan di luar definisi cantik menurut kebanyakan orang Indonesia. Kemudian, tak dapat kutahan imajinasiku yang melayang ke masa laluku, sebagai seorang anak perempuan berseragam putih-biru. Apa sih pemahamanku waktu itu tentang perempuan cantik?

Dalam rentang sebelas hingga tiga belas tahun usiaku di masa itu, aku sedang mulai mengusahakan agar segala perilaku dan kepercayaanku selaras dengan orang lain. Istilah kerennya dalam teori psikologi: konformitas. Sesuai teori ini, katanya (bukan kataku karena aku bukan psikolog), seorang anak remaja akan menyesuaikan perilaku dengan menganut norma kelompok acuan, menerima ide-ide atau aturan yang menunjukkan bagaimana ia harus berperilaku (Baron & Byrne, 2005).

Nah … dalam situasiku sebagai remaja dahulu, aku merasa wajib menyesuaikan diriku dengan opini umum yang berkembang di lingkungan sekitarku. Rambut kribo dijadikan pengganti keranjang untuk permainan bola basket kertas? Oh, jelas itu salahku! Bisa-bisanya tidak berambut lurus panjang selicin model-model sampo di teve! Tentu saja aku harus memperbaiki kesalahan ini! Baik, di mana aku dapat meluruskan rambut?

Namun, aku masih termasuk sangat beruntung karena dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan kebaikan universal. Prioritas pendidikan dan kebijaksanaan tidak perlu dipertanyakan, apalagi jika dibandingkan dengan cita-cita seremeh memiliki kulit seputih salju atau dan rambut selurus jalan tol. Maka, pergulatanku menghadapi konformitas di lingkungan sekolah pun tak berlarut-larut terlalu lama. Seiring dengan pertambahan usia, aku makin percaya diri dengan penampilan fisikku apa adanya.

Kenaikan jenjang pendidikan juga berpengaruh besar, apalagi setelah aku menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri yang cukup difavoritkan di negara ini. Aku tidak tahu pasti bagaimana situasi di kampus lain, tetapi di kampusku yang masih didominasi lelaki, bentuk rambut dan warna kulit bukan topik yang menarik dan populer. Dalam forum-forum curhat di sekitarku, terutama yang terkait dengan hubungan asmara, masalah yang lebih banyak berseliweran adalah bagaimana menemukan lawan jenis yang “nyambung”.

Jika dibahas lebih lanjut, tak sulit untuk menemukan bahwa kata nyambung itu tak lain dan tak bukan berhubungan dengan wawasan, kecerdasan, dan kepribadian. Hingga aku lulus sarjana, tak sekali pun kutemukan lelaki yang menyambungkannya dengan kecocokan motif rambut atau kulit. Tampaknya semua temanku sadar bahwa misi mencari jodoh itu jauh berbeda dari pekerjaan menyusun ubin kamar mandi.

“Perempuan cantik itu dilihat dari pinternya, karakternya.”

Hampir tersedak aku ketika tak sengaja mendengar kalimat yang diucapkan suamiku itu pada salah seorang adik sepupunya beberapa tahun yang lalu. Meskipun tidak disampaikannya padaku, boleh dong, aku terbang sedikit beberapa meter? Bukankah secara tidak langsung, ia sedang mendeskripsikan diriku? Aku kan istrinya! Hahahaa.

Nikmat mana lagi yang dapat kudustakan? Terima kasih, Mama, Papa, teman-teman, dan tentu saja, pasangan hidupku.  Berkat mereka semua yang pernah hadir dalam hidupku, pengalamanku tentang konsep kecantikan perempuan sungguh kaya. Kini, semua memori yang berserak itu kukumpulkan kembali untuk mendidik kedua anak perempuanku. Tidak hanya yang manis, yang asam pun kusajikan pada mereka.

Anak perempuanku perlu tahu, aku paham apa yang dirasakannya ketika ingin memakai produk pemutih kulit. Anak perempuanku perlu tahu, bahwa ia tidak sendiri dalam menghadapi kecutnya (tidak harus sampai pahit, kok, Nak) dunia remaja. Anak perempuanku perlu tahu, jalannya sebagai perempuan bisa jadi masih sangat panjang. Anak perempuanku perlu tahu, dunia sebenarnya jauh lebih luas daripada iklan produk kecantikan. Kemudian, tentu kuharap, anak perempuanku menemukan arti kecantikan yang hakiki dan bangga dengan kecantikan mereka masing-masing.


Bekasi, 21 April 2021

- H e i D Y -


Referensi:
Baron, R. A. dan Byrne, D. (2005). Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.

1 komentar:

  1. Opini nya tentang perempuan cantik mantap,, smoga ke2 putrinya paham maksud emaknya ini hehe...
    Betul sih kecantikan pling utama dr perempuan ada di innerbeutynya,, karakternyaa,, fisik persoalan ke seribu hihi

    BalasHapus