Dalam buku yang berjudul A History of Ideas
in Science Education, De Boer menulis bahwa istilah Scientific Literacy (atau
yang berarti kita terjemahkan sebagai “Literasi Sains”) pertama kali
diperkenalkan oleh Paul de Hart Hurt, seorang ilmuwan dari Stanford University.
Menurut De Hart Hurt, istilah tersebut merujuk pada pemahaman ilmu pengetahuan
dan penerapannya di masyarakat. Sementara itu, dalam situs Gerakan LiterasiNasional dari Kemdikbud RI, literasi sains diartikan sebagai pengetahuan dan
kecakapan ilmiah untuk mampu
mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan fenomena
ilmiah, serta mengambil simpulan berdasar fakta, memahami karakteristik sains,
kesadaran bagaimana sains dan teknologi membentuk lingkungan alam, intelektual,
dan budaya, serta kemauan untuk terlibat dan peduli terhadap isu-isu yang
terkait sains. Bagiku, berbagai kutipan ini menunjukkan luasnya pengertian
literasi sains, sebagai bagian dari literasi. Namun, hanya dua hal yang ingin aku
garis bawahi: ilmu pengetahuan dan pemanfaatannya.
Kata sains yang
diartikan sebagai ilmu pengetahuan pada umumnya sebenarnya sesuai dengan salah
satu pengertian yang tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V. Ya,
betul … salah satu, bukan satu-satunya. Ada tiga pengertian yang diberikan di
sana:
- ilmu pengetahuan pada umumnya;
- pengetahuan sistematis tentang alam dan dunia fisik, termasuk di dalamnya, botani, fisika, kimia, geologi, zoologi, dan sebagainya; ilmu pengetahuan alam;
- pengetahuan sistematis yang diperoleh dari suatu observasi, penelitian, dan uji coba yang mengarah pada penentuan sifat dasar atau prinsip sesuatu yang sedang diselidiki, dipelajari, dan sebagainya.
Mana pengertian
yang paling sering kita pakai sehari-hari atau temukan dari lingkungan sekitar
kita? Berdasarkan pengalamanku sendiri, sejak masih duduk di bangku sekolah
hingga dipercaya mendidik anak-anakku sendiri, sebenarnya pemakaian kata sains
di lingkungan sekitarku lebih jarang merujuk pada “ilmu pengetahuan” pada
umumnya. Kebanyakan dari kita lebih banyak merujuk pada pengertian kedua, yaitu
ilmu pengetahuan alam, saat menggunakan istilah sains.
Awalnya, aku
sendiri cenderung memilih membiasakan diri dengan pengertian pertama. Baik ilmu
pengetahuan alam maupun berbagai jenis ilmu pengetahuan lainnya seperti ilmu
pengetahuan sosial dan budaya kuanggap sama-sama masuk dalam ranah sains. Ini
berarti ketika sedang membahas literasi sains, sebenarnya kita sedang
membicarakan dunia ilmu pengetahuan yang beraneka rupa dan nyaris tak terhingga
luasnya.
Banyak orang yang
mengaitkan literasi dengan buku. Mungkin karena itulah, tak sedikit juga yang
mengira bahwa literasi sains terbatas pada pemerolehan ilmu pengetahuan dari bahan-bahan
bacaan. Apakah ini berati literasi sains baru dimulai di bangku sekolah atau
saat seseorang telah dapat membaca?
Aku tidak berpendapat
demikian. Selain meyakini bahwa sains berarti beragam jenis ilmu pengetahuan,
aku juga percaya bahwa setiap anak manusia dapat memulai petualangan literasi
sainsnya sejak awal kehadirannya di dunia ini. Bayi baru lahir dapat memulai pelajaran
pertamanya tentang mencari makanan sebagai kebutuhan pokok hidupnya melalui
Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Anak batita belajar tentang perbedaan makhluk
hidup dan benda mati dari rutinitasnya sehari-hari. Begitu pula dengan konsep
gravitasi, perubahan wujud benda, keberagaman, dan toleransi yang tidak hanya boleh,
tetapi memang harus dipelajari anak sejak usia dini.
Meskipun
demikian, tidak berati para ibu atau ayah harus ambisius dalam menyelenggarakan
kegiatan pembelajaran secara khusus untuk anak-anak balitanya di rumah. Aku pribadi
memilih cara yang—menurutku—paling mudah dan “hemat energi”. Untuk si bungsu
yang belum berumur tujuh tahun, kumanfaatkan pendekatan free play sesuai
teori pendidikan Waldorf yang digagas oleh Rudolf Steiner. Kegiatan yang lebih
banyak membebaskan anak dalam bermain ini mungkin sekilas tampak tidak penting
atau tidak berguna, padahal merupakan fondasi penting bagi anak sebelum memasuki
usia sekolah. Menyediakan alam bebas untuk anak bermain, misalnya, tidak hanya berarti
memfasilitasi anak belajar tentang hewan dan tumbuhan yang dilihatnya, tetapi
juga menanamkan kebiasaan berempati pada makhluk hidup lain, mengasah
keterampilan mengamati dan meneliti, serta menumbuhkan rasa ingin tahu yang tak
terhingga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar