Sabtu, 11 Januari 2014

Bahasa yang Berdaya Hidup Hanya Sesaat

Nah. Sebagai salah satu bentuk 'kecurangan', saya mencoba ikut memenuhi tantangan #30tulisan dengan mempublikasikan tulisan-tulisan yang sebenarnya sudah lama saya buat ... hahaha. Lagipula, seperti yang saya ceritakan sebelumnya, sesungguhnya tantangan bagi saya bukan menulis itu sendiri, melainkan mempublikasikan tulisan atau menghasilkan tulisan yang layak dibaca orang banyak.

Di bawah ini adalah tulisan pertama yang saya buat ketika mengikuti mata kuliah Perubahan Bahasa dalam program studi Linguistik. Sebelum diajak mempelajari lebih dalam tentang bagaimana bahasa-bahasa di dunia ini mengalami perubahan, dosen saya, Prof. Dr. Multamia R. M. T. Lauder, meminta kami, mahasiswanya, untuk memperhatikan bahasa yang daya hidupnya hanya sesaat. Berikut hasil 'iseng-iseng berhadiah' tersebut.

Bahasa yang Berdaya Hidup Hanya Sesaat

            Karena sifat bahasa yang dinamis, bahasa dapat berubah. Ada banyak contoh yang dapat menunjukkan telah terjadinya perubahan dalam sejarah perkembangan bahasa-bahasa di diunia. Bahasa Inggris misalnya, yang dapat terbagi menjadi bahasa Inggris kuno, bahasa Inggris pertengahan, dan bahasa Inggris modern. Perubahan itu bukan terjadi pada satu titik waktu tertentu, melainkan merupakan proses yang panjang. Hal yang serupa pun terjadi pada bahasa Melayu yang berubah menjadi bahasa Indonesia.
            Kridalaksana (2011) mengatakan bahwa ada jenis ragam bahasa atau dialek dari bahasa yang berbeda-beda dari waktu ke waktu. Jenis dialek ini disebut dialek temporal. Contoh yang diberikan adalah Bahasa Melayu Kuna, Bahasa Melayu Klasik, dan Bahasa Melayu Modern yang masing-masing merupakan dialek temporal dari Bahasa Melayu. Oleh Chaer (2004), kronolek atau dialek temporal didefinisikan sebagai variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu dan contoh yang diberikan adalah variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan yang berbeda dengan variasi bahasa pada tahun lima puluhan dan yang digunakan pada masa kini. Dalam entri terpisah, saya menemukan definisi ini digunakan oleh Kridalaksana untuk menjelaskan mengenai bahasa prokem dan bahasa gaul.
            Istilah bahasa prokem oleh Kridalaksana diartikan sebagai ragam nonstandar Bahasa Indonesia yang lazim di Jakarta pada tahun 1970-an dan kemudian digantikan oleh ragam yang diistilahkan dengan bahasa gaul pada tahun 1980-an hingga abad ke-21 ini. Lebih lanjut, Kridalaksana menjelaskan bahwa ragam prokem ditandai oleh kata-kata Indonesia atau kata dialek Betawi yang dipotong dua fonem terakhirnya kemudian disisipi -ok- di depan fonem terakhir yang tersisa. Ini terjadi misalnya pada kata bapak yang dipotong menjadi bap lalu disisipi -ok- sehingga menjadi kata prokem bokap. Diceritakan pula bahwa konon ragam ini berasal dari bahasa khusus yang digunakan oleh para narapidana. Sementara itu, ragam bahasa gaul semula diperkenalkan oleh generasi muda yang mengambilnya dari kelompok waria dan masyarakat terpinggir lainnya. Seperti juga bahasa prokem, bahasa gaul memanfaatkan sintaksis dan morfologi bahasa Indonesia dan dialek Betawi.
            Sebagian kosakata yang digunakan dalam ragam bahasa prokem dan bahasa gaul dapat bertahan lama. Kata bokap yang dianggap merupakan bagian dari ragam bahasa prokem pada tahun 1970-an, misalnya, masih sering digunakan pada masa sekarang ini. Namun, ada pula kosakata lainnya yang hanya berdaya hidup sesaat. Contohnya adalah kata boil yang lazim digunakan pada tahun 1980-an untuk menyebut 'mobil'. Memasuki abad ke-21, kata boil itu sudah jarang digunakan. Saat ada yang masih menggunakannya, umumnya petutur akan merasakan adanya kejanggalan dan menganggap si penutur masih ‘tertinggal’ di jaman tahun 1980-an.

Daftar Acuan:
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. (2004) Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. 
Kridalaksana, Harimurti. (2011). Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar