Seperti yang saya ceritakan pada tulisan sebelumnya, tantangan
#30tulisan selama sebulan sesungguhnya sudah dimulai sejak 1 Januari 2014. Namun,
saya baru mencoba ikut kemarin. Ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, ada target
lain yang jauh lebih mendesak untuk saya penuhi: penyelesaian tesis! Dan di balik tesis ada .... banyak kisah :D
Urusan pertesisan saya sebenarnya sudah dimulai sejak semester
kuliah pertama di tahun 2012, yaitu dengan memikirkan topik penelitian. Namun,
ternyata memilih topik tesis itu tidak semudah memilih baju dari lemari pakaian
(karena membalikkan telapak tangan terlalu mainstream
:p)! Berangkat dari minat dan perhatian saya pada dunia anak dan
pendidikan, sebenarnya saya sudah punya banyak ‘koleksi’ topik riset yang dapat
menghubungkan bidang-bidang tersebut dengan linguistik. Sayangnya, tidak perlu waktu
lama untuk menemukan banyaknya kendala untuk mengembangkan topik-topik itu.
Riset mengenai UN yang sempat saya minati, misalnya, terbentur masalah
kerahasiaan data. Ada pula topik pemerolehan bahasa pada anak yang masih
‘seksi’ bagi saya hingga kini, tetapi menuntut waktu, tenaga, dan biaya yang
tidak sedikit untuk menelitinya. Akhirnya, setelah mencapai semester ketiga,
tepatnya pada bulan Maret 2013, barulah saya berjodoh dengan sebuah topik: kajian
wacana kritis terhadap cerita rakyat Betawi dalam buku teks Pendidikan
Lingkungan Budaya Jakarta untuk siswa SD.
Sebetulnya topik yang akhirnya saya pilih tersebut berawal
dari celetukan iseng suami saya beberapa bulan sebelumnya ketika media massa
heboh memberitakan muatan buku ajar untuk anak SD itu, “Coba Dy, teliti ini
dari linguistiknya!” Saat itu saya hanya tertawa menanggapinya. Siapa sangka,
berbulan-bulan kemudian ternyata saya benar-benar berjodoh menjadikannya
sebagai topik tesis! Tentu tepatlah jika setelah Allah SWT, terima kasih yang
pertama saya tujukan pada suami. Topik
itu cocok sekali dengan minat dan kemampuan saya: berhubungan dengan
pendidikan, anak-anak, dan kajian kritis atas wacana, serta tidak membutuhkan biaya yang
besar untuk menelitinya. Alhamdulillah.
Setelah mantap dengan topik, langkah selanjutnya adalah
menyusun rencana penelitian yang membuat saya kelimpungan setengah hidup. Ternyata
memang bagian perencanaan sebuah penelitian merupakan setengah nyawa dari seluruh
penelitian tersebut. Bersama teman-teman sejurusan, saya menghabiskan satu
semester sendiri untuk menyusun proposal tesis. Itu pun ternyata masih jauh
dari sempurna. Akibatnya, setelah seminar proposal, selama 2-3 bulan saya masih
harus berkutat dengan alur pemikiran mengenai bagaimana riset saya dapat
dilakukan.
Masalah berikutnya adalah memikirkan bagaimana saya dapat
menyajikan hasil riset dengan apik, atau dengan kata lain membuat orang yang membaca
mudah memahami tesis saya. Setelah sempat ‘bongkar-pasang’ belasan kali,
barulah saya menemukan cara yang tepat di awal Desember lalu. Padahal, draf
lengkap pertama harus sudah diserahkan dua minggu kemudian. Saya merasa seperti
ditugaskan dalam proyek pembangunan seribu candi Rara Jonggrang.
Syukurlah, saya tidak bernasib sama dengan Pangeran
Bandung Bondowoso karena secara ajaib dapat memenuhi tenggat waktu yang
ditetapkan (tapi sungguh, saya tidak dibantu dedemit, lho). Namun, sembari
menunggu sidang praakhir tesis (seminar hasil), saya tidak berhasil membayar hutang pada tubuh saya
yang telah bekerja keras tanpa cukup istirahat. Satu-dua hal meminta sang tubuh
untuk menunda istirahat yang diperlukan. Akibatnya tidak sulit ditebak. Saya
jatuh sakit tepat seminggu sebelum sidang.
Awalnya saya berharap hanya mengalami gejala awal sakit
dan dengan beberapa strategi dapat mencegahnya berkembang menjadi sakit ‘betulan’.
Sayang, sepertinya tubuh sudah tidak dapat memaafkan keegoisan saya. Saya benar-benar
sakit: sulit menelan dan bernapas, batuk, menggigil, lalu panas tinggi hingga melebihi
39C. Ini jauh di luar toleransi saya mengingat di hari-hari biasa, suhu tubuh normal
saya selalu di bawah suhu normal orang pada umumnya. Mungkin karena itulah,
kondisi tersebut sudah cukup untuk membuat saya sulit bangun dan mulai
berhalusinasi (Hiiy!). Tiga hari
sebelum sidang, alhamdulillah panas
tubuh mulai stabil kembali. Namun, gejala lainnya belum hilang hingga saya
masih tidak mungkin melakukan persiapan untuk sidang. Saya baru bisa menyusun
tayangan presentasi sehari sebelum sidang dan nyaris tidak belajar apa-apa
lagi. Hingga tiba di hari sidang, saya masih belum mampu bicara lebih
dari enam kata tanpa batuk heboh dan mengeluarkan air mata.
Selain masalah sakit, hal berikutnya yang ‘mengolahragakan
jantung’ saya adalah absennya dosen pembimbing di masa-masa saya paling
membutuhkannya. Setelah sidang praakhir, segunung perbaikan harus diselesaikan
dalam waktu seminggu. Entah mengapa pembimbing saya malah memilih waktu
tersebut untuk cuti ke luar kota. Ini mirip sekali dengan pengalaman 8 tahun
yang lalu saat akan menyelesaikan skripsi: dosen pembimbing skripsi saya
tiba-tiba pergi umrah!! Nasib kok ya nggak
jauh-jauh.
Saya masih ingat dulu, saking semangatnya mengerjakan skripsi, saya mendeklarasikan target lulus saya dengan pede
selangit: “Saya PASTI wisuda OKTOBER ini!” Beberapa sahabat yang mendengarnya
segera menegur. “InsyaAllah,” koreksi
mereka. Sayang, waktu itu kesadaran saya masih tersesat entah di alam mana. Dalam
hati, saya memandang remeh koreksi para sahabat. Saya masih meyakini bahwa
persoalan saya dalam hidup ini hanya soal kemauan. Kalau saya sudah bertekad,
apa sih yang bisa menghalangi, pikir saya sinis. Lalu, DJEGAR ... dosen saya pergi, penyelesaian skripsi terundur, dan saya
baru lulus sidang sarjana di bulan November. Tuhan tidak menunggu lama-lama
untuk memberi saya pelajaran.
Itu benar-benar pelajaran yang sangat berharga dan
mudah-mudahan akan terus saya ingat sampai tua. Berbekal pelajaran itu pula,
kali ini saya tidak berani mengulangi kesalahan yang sama. Ya, saya memang
punya target untuk lulus dari program S2 tepat waktu, yaitu bulan Januari ini.
Namun, saya tidak berani mengatakan bahwa pasti saya berhasil
mencapainya. Oleh berbagai kondisi yang tidak menguntungkan (jatuh sakit, dosen
cuti, dll), saya dibantu agar siap jika kenyataan tidak sesuai
dengan harapan. Ajaibnya, keihlasan itu justru menuntun pada beragam kemudahan.
Dalam sidang praakhir tesis, presentasi saya tidak
selesai. Setelah lebih banyak batuk daripada berkata-kata, saya diminta hanya
mempresentasikan bagian simpulan. Kemudian saat sesi tanya-jawab, rasanya
seperti sedang les privat dengan tiga dosen penguji karena mereka hanya menyampaikan berbagai
saran dengan lemah lembut. Sama sekali tidak terasa seperti sidang!
Berikutnya, perihal bimbingan terakhir. Karena tidak dapat
bertatap muka langsung, saya dibimbing melalui fasilitas chat dan email, yang
ternyata jauh lebih lancar dan memuaskan daripada sesi-sesi bimbingan dengan
bertatap muka. Bayangkan saja, chat
bimbingan itu bisa terus berbalas selama berjam-jam sejak Subuh hingga larut
malam (Semoga kebaikan dosen saya itu mendapat
balasan berkali lipat, aamiin).
Lalu ada pula hal-hal kecil tapi tak kalah penting seperti
gardu PLN yang ‘memilih’ untuk meledak sesaat setelah saya selesai mengerjakan
perbaikan draf akhir tesis. Lebih ajaib lagi, listrik yang mati sekompleks perumahan ‘menunggu’ saya
pulang ke rumah, sampai di kamar, baru kemudian menyala lagi. Allahuakbar.
Perjuangan saya terkait tesis sebenarnya belum selesai.
Masih ada satu tahap lagi yang harus saya hadapi, yaitu ujian akhir tesis yang
akan berlangsung lusa. Namun, mudah-mudahan saya sudah lebih tenang. Banyak
sekali pelajaran yang telah menunjukkan bahwa kewajiban saya hanya sampai
memaksimalkan usaha. Perkara hasil, itu sudah berada di luar kuasa saya dan
tidak ada gunanya saya melakukan apapun selain berserah diri. Bagaimana pun
hasilnya lusa, saya yakin itulah ketetapan yang terbaik dan semoga saya dapat segera
memahami segala hikmahnya. Jika berkenan, mohon doakan, ya. Terima kasih banyak! :)
Salam,
- H e i
D Y -
Heidy...legaaa yah rasanya udah lulus..ingin rasa itu...
BalasHapusAkhirnya baru sempat membaca tulisan ini dan senang sekali bisa mengetahui kisah di balik tesis mbak Heidy (mengingat kesempatan bertemu kita yang saat ini sulit sekali). Semoga setelah 'badai'ku berlalu, kita bisa bertemu dan bertukar cerita :D Sukses selalu untukmu, mbak! :)
BalasHapusasiknya lulus S2 dy, pasti seneng banget :D
BalasHapusWaah maap baru liat ada komentar...
BalasHapusMeysi: alhamdulillah ada kelegaan, digantikan dengan ketegangan baru..hehehe. In sya Allah Mey bisa segera lulus juga, ya. Aamiin. Semangatt!
Citta: Sukses selalu juga, Cit!! Semoga badainya segera berlaluu...kangen sekali padamuu...
Petty: alhamdulillah, makasih Pet, iya senang, sekaligus tegang juga sih karena tanggungjawabnya nambah...hahhahaa