Pernah dengar kata oseanografi? Tahukah bahwa ini bidang
ilmu sekaligus nama jurusan kuliah di perguruan tinggi? Tenang … kalau belum
tahu, tidak apa-apa. Aku juga tidak tahu, dulu, hingga kira-kira dua puluh dua
tahun yang lalu (oh tidak …. buka kartu umur!).
Kuceritakan sedikit, ya. Bagi yang sudah tahu, silakan loncat
saja ke paragraf berikutnya … hehehe. Jadi, seperti yang kusinggung tadi,
oseanografi adalah suatu ilmu. Kalau melihat kata dasarnya, mungkin teman-teman
tidak akan sulit menebak bahwa yang dipelajari di bidang ini adalah laut. Masalahnya,
bagian dari laut yang dapat dipelajari tidak sedikit. Ada bagian makhluk hidupnya.
Ada bagian kapal, pelabuhan, atau bangunan lainnya. Ada pula bagian lautnya itu sendiri: arusnya,
gelombangnya, interaksinya dengan atmosfer, pencemarannya, dan sebagainya. Nah, bagian
terakhir inilah ranah kajian oseanografi.
Baik, cukup sampai di situ saja bahasan tentang oseanografi
yang ingin kubagikan di sini. Yang akan kuceritakan sekarang bukan detail
tentang ilmu ini, melainkan hubungannya denganku. Mengapa dan bagaimana aku menjalin
pertalian (bukan terkait kasih, tentunya) dengannya?
Pertama kali aku mengenal kata oseanografi ialah saat duduk
di bangku kelas dua sekolah menengah atas (SMA), tepatnya menjelang masuk ke jurusan ilmu pengetahuan alam (IPA) atau ilmu pengetahuan sosial (IPS) di tahun
berikutnya. Penjurusan tingkat terakhir SMA itu tentu berkaitan erat dengan rencana
masa depan: berkuliah, bekerja, berkarir, berkontribusi untuk bangsa, negara,
duni … mmm … apa ini terlalu muluk atau jauh? Yah, sebenarnya
aku hanya mau menunjukkan: itu momen yang genting dan penting. Setelah menyadari
itu bukan hal yang sepele, aku pun mulai melakukan riset kecil tentang beragam
pilihan jurusan di perguruan tinggi.
Aku tidak membutuhkan waktu yang lama sebelum menemukan dan tertarik pada kata oseanografi
di antara beragam jurusan kuliah yang kucermati. Alasannya mungkin sesederhana
alasan anak SD: ocean berarti laut. Aku suka laut. Di usia lima belas
tahun, entah mengapa tidak terpikir olehku bahwa selain rasa suka terhadap
suatu objek, masih ada hal yang perlu dipikirkan sebelum memutuskan untuk memilihnya
sebagai jurusan kuliah. Penyebab lain mengapa aku sangat mudah menemukan program studi oseanografi
adalah karena ‘nominasi’ yang kupilih
sudah cukup sedikit, yaitu hanya aneka bidang IPA yang ada di
perguruan tinggi di Jabodetabek dan Jawa Barat.
Mengapa hanya bidang IPA? Aku juga tidak tahu! Sama sekali
tak terpikir olehku mempelajari ilmu selain IPA di bangku kuliah. Mungkinkah
ini karena sepanjang masa, aku terbiasa dengan pemikiran “Ilmu alam adalah ilmu
terpenting dan teratas dalam kasta”? Kalau dipikir-pikir lagi sekarang, hal ini
sungguh konyol. Tidak hanya merasa seperti memakai kacamata kuda, aku juga merasa
bahwa semua pemikiranku menjadi tidak logis. Bukankah awalnya aku melakukan
riset program studi kuliah untuk memilih jurusan IPA atau IPS di SMA? Apa
artinya kalau sejak awal aku sudah menutup mata pada segala macam bidang ilmu
selain IPA? Jadi, risetnya buat apa, dong? Apa yang dipertimbangkan? Ck, ck,
ck … kurasa inilah yang menjadi salah satu alasan terkuatku untuk tidak
cepat-cepat menyekolahkan anak. Kedewasaan mental itu
penting, Bung!
Kemudian, mengapa hanya memilih perguruan tinggi di
Jabodetabek dan Jawa Barat? Nah, pertanyaan yang ini lebih mudah kujawab. Kuyakin
ini berkaitan erat dengan orang tuaku yang masih berdomisili di Jabodetabek. Ternyata
sekuat-kuatnya keinginanku waktu itu sebagai remaja untuk segera ‘bebas’ dari
rumah orang tua, sebenarnya aku tidak pernah membayangkan akan hidup terlalu jauh dari mereka.
Nominasi yang kudapat menjadi makin sedikit ketika aku mendahulukan
pilihan kampus sebelum jurusannya. Kuutamakan memilih perguruan tinggi tempat papa,
om, dan tanteku berkuliah dulu. Rasanya sih tidak ada satu pun dari
mereka yang terang-terangan menyuruhku memilih almamater yang sama. Namun,
sepertinya cerita-cerita yang kudengar sejak kecil dari mereka cukup berpengaruh
terhadap alam bawah sadarku: inilah tempat kuliah terkeren dan terbaik
se-Indonesia!
Tidak hanya mendengar cerita, aku juga melihat dan merasakan
langsung bagian-bagian dari kampus yang mereka banggakan itu. Saat belum lagi bersekolah,
aku sudah pernah dibawa berjalan-jalan dan salat di masjid kampusnya oleh almarhumah
tanteku. Kemudian, hingga duduk di bangku SMA, entah berapa kali sudah Papa mengajakku
bertandang ke markas almamater tercintanya itu, menghadiri acara-acara reuni atau semacamnya. Nah, apa ini
sudah termasuk dalam kategori doktrin, atau baru soft-selling? Mana pun
itu, yang jelas mereka semua sukses besar membuatku kabita ingin
berkuliah di sana juga.
Setelah menetapkan oseanografi sebagai pilihan pertama jurusan
kuliahku, aku kebingungan saat diminta memasang ancang-ancang untuk pilihan
kedua. Pilihan kedua ini dimaksudkan sebagai cadangan jika aku gagal masuk ke
jurusan pilihan pertama berdasarkan nilai Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN)
saat itu. Sebenarnya aku ingin memilih jurusan lain di kampus yang sama, tetapi
ternyata kami diharuskan mencari jurusan lain dengan passing grade yang
lebih rendah. Pasalnya, jurusan pilihanku tidak termasuk jurusan favorit. Tidak terlalu
banyak jurusan lain yang passing grade-nya berada di bawah oseanografi dan entah mengapa, tidak ada jurusan lain yang cukup menarik perhatianku.
Sempat terpikir pula olehku untuk memilih jurusan lain yang ber-passing
grade lebih tinggi dan menggeser oseanografi ke pilihan kedua. Pemikiran
ini terlintas setelah aku menjadi siswa kelas 3 SMA dan mulai banyak mengikuti
percobaan ujian alias try out (TO), tepatnya setelah melihat rata-rata nilai
hasil TO-ku yang cukup untuk menembus jurusan-jurusan yang lebih difavoritkan (kedokteran,
misalnya, yang hingga kini sering kusesali mengapa-tak-kulirik-hanya-karena-tidak-mau-mengikuti-jejak-mamaku-yang-menjadi-dokter).
Namun, lagi-lagi, entah bagaimana, masih belum ada jurusan lain yang di mataku ‘seseksi’
oseanografi. Akhirnya, terpaksa aku
melirik dan memasang kampus lain di pilihan kedua, dengan jurusan yang kuanggap
serupa dan sejalan dengan pilihan pertamaku: ilmu kelautan.
Wah, berarti emang udah cinta mati dengan laut, dong? Tak
sedikit yang menebak begini jika kuceritakan dua pilihan jurusanku saat UMPTN
itu. Jangankan orang lain, aku sendiri pun begitu. Sepertinya aku sudah mantap dengan pilihan jurusanku.
Tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Tugasku tinggal fokus belajar untuk UMPTN!
Kemantapan itu baru tergoyahkan beberapa hari sebelum aku
mengembalikan formular pendaftaran ujian. Ini berawal dari kejadian beberapa
hari sebelumnya, saat salah satu mentor di tempat bimbingan belajar yang kuikuti
membahas detail perbedaan oseanografi dengan ilmu kelautan. Sambil menunjukkan
rancangan mata kuliah di kedua bidang keilmuan ini, ia berkata bahwa kekuatan
oseanografi adalah aspek fisika dari laut. Itulah yang membedakannya dengan
ilmu kelautan yang lebih banyak mendalami aspek biologinya.
Saat itulah pertama kalinya aku menyadari dan mengutuki
kebodohanku. Riset macam apa yang sudah kulakukan, sampai-sampai tak tahu hal
semendasar itu? Kurang konyol apa lagi tindakanku dengan memasuki jurusan
kuliah yang isinya didominasi oleh bidang ilmu kelemahanku? Dalam hitungan hari,
aku pun tergopoh-gopoh kembali melakukan riset bergaya sistem kebut semalam.
Hasilnya, aku pusing. Sungguh tidak mudah berubah haluan
dalam waktu sekejap. Bagaimana cara mencari arah lain setelah sekian lama aku
yakin sudah berjalan menuju destinasi yang tepat? Belum pernah terpikir olehku
mencari kemungkinan jurusan lain, apalagi kampus lain. Kemudian, saat akan kupilih
jurusan lain di kampus favoritku (karena mengganti kampus lebih tidak terbayang lagi olehku), Mama memintaku untuk mempertimbangkannya lagi. Beliau mengingatkanku bahwa berkuliah
di jurusan oseanografi sudah menjadi cita-citaku selama lebih dari satu tahun. Yakinkah
aku mengubahnya hanya karena pertimbangan selama dua hari?
Akhirnya, karena takut akan penyesalan yang lebih besar, aku
mengembalikan formulir pendaftaran UMPTN dengan oseanografi tetap terpampang di urutan pilihan pertama. Selain
kata-kata Mama itu, yang kembali meyakinkanku adalah rancangan perkuliahan di
program studi ini yang ternyata juga memuat (sedikit) mata kuliah di luar ilmu
fisika. Mudah-mudahan tidak seburuk itu, pikirku.
Ada satu alasan terakhir yang menguatkanku hingga tak berubah haluan. Di antara
semua alasan, kurasa inilah yang terpenting. Dalam kondisiku yang terasa bagaikan
sedang berdiri di ujung tanduk itu, tidak ada pilihan lain selain mengucap
basmalah dan berdoa: “Jauhkanlah dariku, ya Allah, jika pilihan itu hanya
mendatangkan keburukan bagiku. Sebaliknya, dekatkanlah aku padanya, jika memang
itu yang terbaik untukku.”
Familier dengan doa itu? Benar, itu doa minta jodoh! Siapa
sangka, urusan memilih jurusan kuliah dan calon suami itu 'beda-beda tipis' … hahaha.
Namun, inilah hal yang paling kusyukuri di antara seluruh perjalananku dalam
memilih jurusan kuliah. Aku telah memohon rida Allah Swt. dan berserah diri. Berbekal keimananku pada-Nya,
aku hanya minta agar diberikan yang terbaik.
Itu tidak
berarti aku tidak akan mendapat kesusahan sedikit pun dan hanya hari-hari indah
yang kulalui dalam perjalanan kuliahku. Tidak pula itu berati aku juga langsung
menemukan jalan karirku di masa depan. Namun, sebesar apa pun badai yang kuhadapi
dalam perjalanan kuliahku, aku menjadi kuat bertahan karena ada satu keyakinan kuat dalam hati: "Aku berhasil masuk ke sini karena Allah rida. Tak pelak, pastilah ini yang paling baik untukku. Pelajaran atau hikmah penting apa yang harus kutemukan dari ini semua adalah cerita yang berbeda."
Alhamdulillah. Terima kasih, grup Mamah Gajah Ngeblog.
Berkat mengikuti tantangan blogging bertema ‘alasan memilih kuliah di jurusan
masing-masing’ ini, aku berkesempatan untuk menapaktilasi salah satu jejak sejarah
dalam kehidupanku bertahun-tahun yang lalu. Semoga catatan kenangan ini tidak
hanya berguna bagi diriku sendiri dalam berkontemplasi kembali, tetapi juga bagi siapa saja yang
membacanya (para orang tua yang akan mendampingi anak-anaknya memilih jurusan
kuliah kelak, misalnya :D). Kepada yang tidak meninggalkanku dan sudah setia
membaca hingga kalimat terakhir ini, terima kasih juga, ya!
Salam,
- H e i D Y -