Senin, 29 November 2021

Sehat vs Produktif

Dalam tulisanku beberapa minggu yang lalu, aku pernah bercerita tentang bagaimana aku memaknai nikmat sehat melalui pengalaman yang tak terlalu menyenangkan: jatuh sakit akibat terlalu sibuk. Jadwal harianku begitu padat oleh berbagai aktivitas. Bukan tak disengaja tentunya, semua kegiatan itu memang telah direncanakan jauh sebelumnya atas dasar satu alasan kuat: aku ingin memaksimalkan produktivitas.

Tak peduli apa pun profesinya, bukankah setiap orang lebih bahagia ketika produktif mengisi hari-harinya? Para pegawai tentu lebih puas saat berhasil menyelesaikan berbagai agenda pekerjaannya. Begitu pula halnya dengan ibu rumah tangga yang lebih bangga saat berhasil menghasilkan lebih banyak tumpukan baju yang tersetrika rapi sembari menuntaskan beragam tugas rumah lainnya. Namun, demi tujuan tersebut, tak jarang batas-batas tertentu terlanggar sehingga terabaikanlah hak utama tubuh kita: hak untuk tetap sehat. 

Bukan sekali atau dua kali aku pun lalai akan hal ini: saat mengabaikan jam istirahat demi tuntas membereskan rumah, atau bahkan saat melewatkan jatah makan demi menyelesaikan tumpukan pekerjaan. Dalam waktu singkat setelahnya, kudapatkan "hadiah" yang kuinginkan: aneka tugas yang tuntas. Kelelahan yang ada terbayar kontan oleh perasaan lega, puas, senang, dan bangga. 

Sayangnya, nikmat itu tak berumur panjang. Ketika pelanggaran hak tubuhku itu kulakukan berkali-kali, aku pun terpaksa menghadapi konsekuensinya: kesehatan yang terampas. Akhirnya aku "dipaksa beristirahat" oleh kondisi tubuhku yang memang tak memungkinkan untuk berkegiatan seperti biasa. Pada saat itulah mataku seolah terbuka. Sesungguhnya produktivitas yang kucapai dengan mengorbankan kesehatanku hanyalah prestasi semu. Apa artinya jika aku berhasil produktif dalam rentang waktu tertentu tetapi kemudian akibatnya malah "nyaris lumpuh" setelahnya (yang syukur-syukur jika diridai untuk sembuh kembali, tapi bagaimana kalau tidak)?

Ada siang, ada malam. Ada pasang, ada surut. Ada tarikan napas, ada embusannya. Sejatinya, alam sudah mengajarkan bahwa ada ritme yang harus ditaati dalam kehidupan ini. Jika paham dan ingat pada prinsip ini, sudah seharusnya aku lebih tertib dalam menjaga ritme hidupku: ada waktu untuk bekerja, ada waktu untuk beristirahat. Antara sehat dan produktif seharusnya senantiasa seimbang, tidak pernah dipertentangkan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar