Senin, 22 November 2021

Saat Jiwa Tak Sehat

Entah sejak kapan, aku menjadi lebih paham tentang kasus orang-orang yang melakukan bunuh diri. Mereka tak tahan dengan berbagai tekanan hidup. Mereka tak tahan lagi dengan hidup yang jadi terasa begitu menyiksa. Kemudian, muncul pikiran untuk mengakhiri semuanya, yakin sekali bahwa hanya ada kedamaian dan kebahagiaan setelah mati.

Aku pernah cukup dekat dengan pemikiran itu. Perih dan hampa (aku tak pernah tahu sebelumnya, dua hal ini dapat dirasakan bersamaan) yang tak tertahankan juga terkadang menuntunku pada ide untuk mengakhiri hidup. Satu-satunya yang menghalangiku adalah kepercayaanku.

Hidup dan mati itu milik Tuhan. Apa yang terjadi saat aku melanggar aturan itu? Aku mungkin tak pernah benar-benar berani mengakhiri hidupku, tetapi tahu betul rasanya tak menjalani hidup dengan baik. Hidup segan, mati tak mau. Mungkin itu ungkapan yang cocok.

Pada masa itu, aku selalu kesulitan menjawab pertanyaan sederhana seperti "Apa kabar? Sehat?"

Sepertinya tubuhku cukup sehat. Tidak ada bagian yang terluka ataupun terserang penyakit. Akan tetapi, aku sadar, aku tidak baik-baik saja pada saat itu. Bukan fisikku yang terganggu, melainkan mentalku.

Sayangnya, dahulu ungkapan "sehat lahir batin" belum selazim saat ini. Opsi untuk pergi berkonsultasi ke psikolog dan psikater juga selalu berat dipertimbangkan, mungkin karena sadar akan kesan yang berkembang di masyarakat tentang pasien dengan gangguan kejiwaan. Berbeda dengan saat fisik kita sakit, pilihan untuk berobat justru dinomorduakan jika mental kita yang sakit. Nomor satunya: bersembunyi dan merahasiakan kondisi tersebut.

Kurasa aku cukup beruntung karena saat mengalaminya, aku masih sanggup mencapai tingkat "sadar". Aku sadar sepenuhnya waktu itu, mentalku tidak dalam keadaan sehat. Mungkin karena sejak kecil, aku telah terbiasa menyaksikan ibuku yang selalu terang-terangan menyatakan apa yang dirasakannya, termasuk saat mentalnya sedang terganggu: "Mama depresi nih."

Benar juga. Jika kita dapat mengeluhkan sakit di badan, mengapa tidak boleh mengungkapkan sakit di jiwa? Bukankah makin cepat kita mengakui ada masalah, akan makin besar peluang untuk menanggulanginya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar