Senin, 23 November 2009

yang lebih penting (dari meminta diberi keturunan)

Akrabnya topik pemeriksaan infertiliti, niat dan usaha untuk berketurunan dalam kehidupan saya dan Hamdan biasanya sudah dipahami betul oleh orangtua, keluarga hingga lingkungan dan teman-teman kami. Mungkin selain karena kenyataan yang dapat langsung terlihat bahwa belum adanya foto bayi yang kami pamerkan atau tangis bayi yang terdengar dari dalam rumah kami, hal itu juga dikarenakan keterbukaan kami dalam berbagi kisah.

Ini adalah masalah kesehatan reproduksi, sesuatu yang sangat wajar dan manusiawi...jadi mengapa harus menganggapnya tabu? Dengan bersikap terbuka, kami berharap orang lain pun dapat terbuka dan berbagi ilmu dengan kami, syukur-syukur kalau malah kisah kami sendiri juga dapat memberi manfaat. Sejauh ini, cukup banyak orang yang telah sukarela membagi wawasan dan pengalamannya dengan kami. Ada yang memberi info medis, ada yang menceritakan berbagai pengobatan alternatif, ada pula yang memberikan saran secara spiritual. Alhamdulillah, semoga ketulusan mereka mendapat balasan yang berkali-kali lipat. Lalu di akhir sesi ’bagi-membagi’ ilmu itu, umumnya orang-orang yang baik hati itu menyumbangkan doa bagi kami. Sekali lagi, Alhamdulillah.


Nah, bermula dari ingatan tentang doa-doa itulah saya merasa ingin kembali berbagi di sini. Semua doa yang disedekahkan pada kami adalah doa yang baik (tidak ada yang terang-terangan mendoakan agar kami ditimpa musibah atau jauh dari berkah, misalnya..hehe). Hanya saja, mungkin pengalaman batin yang telah mengajari kami akan banyak hal membuat pandangan kami sedikit berbeda perihal doa pada Allah SWT tentang berketurunan sehingga umumnya doa-doa sumbangan itu kami tambahkan lagi di dalam hati.
Berikut adalah contoh-contoh doa terpopuler untuk kami:
1. ”...semoga cepat punya momongan..”
2. “....semoga cepat dikasih anak....“

Dan beginilah tambahan doa kami dalam hati : “kabulkanlah ya Allah...ya Aliim, jika itulah yang terbaik bagi kami. Sesungguhnya hanya Engkau yang Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi kami, dan Engkaulah yang Maha Mengabulkan doa..”

Apa yang membuat saya merasa wajib menambahkan doa itu tidak datang melalui pemahaman yang instan. Diperlukan bermangkok-mangkok adonan rasa sedih, kesal, bahkan frustasi, lalu tambahkan bergelas-gelas air mata dan beberapa adegan pertengkaran suami-istri selama kurang lebih setahun. Semua effort itu tidak terbuang percuma. Dengan komunikasi-komunikasi eksklusif yang rutin antara saya dan Dzat Yang Maha Agung sebagai pelengkapnya, saya pun menikmati hasil yang luarbiasa : sebuah pemahaman yang mendalam atas keberadaan saya dan suami sebagai sepasang hambaNYA di muka bumi ini. Pemahaman itulah yang kemudian melahirkan bekal untuk sabar dan ikhlas, sikap yang tak pernah kekal dalam tiap diri manusia (namanya juga manusia yang tak sempurna..wong bahkan nabi pun sesekali bisa kehilangan kesabarannya) namun wajib dipelihara.

Sedih, marah, kecewa, adalah perasaan-perasaan yang mungkin muncul secara spontan pada saat pertama kali kita menghadapi atau mengalami kejadian yang ”umumnya dianggap sebuah ketidakberuntungan”. Kenapa saya menyebutnya demikian? Karena pengalaman tersebut adalah pengalaman yang tidak sesuai dengan keinginan manusiawi seseorang. Untuk kasus yang saya alami, misalnya. Jika menuruti pemikiran dan keinginan yang manusiawi, seringkali kondisi saya yang sudah menikah namun belum berketurunan dianggap sebuah ketidakberuntungan (atau mungkin jika saya yang baru 2 tahun menikah belum pantas dijadikan contoh, ingatlah pasangan-pasangan lain yang bisa sampai belasan atau puluhan tahun belum/tidak juga berketurunan).

Namun benarkah begitu? Apakah benar kami, atau mereka, tidak beruntung? Apakah yang terbaik itu adalah jika setiap pasangan berketurunan? Tidakkah ada kebaikan tertentu yang justru lahir dari kondisi seperti kami? Dan jika saya langsung menjawab tidak, bukankah itu menandakan saya tidak beriman kepada Allah? Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Allah yang Maha Tahu apa yang terbaik bagi hamba-hambaNYA. Allah Yang Menguasai alam semesta. Allah yang Maha Besar!

Allah tidak menghadirkan satu pun makhluk ciptaanNYA di dunia ini tanpa maksud. Dan Allah tidak pula menetapkan kehendakNYA atas sesuatu tanpa maksud. Setelah benar-benar memahami (mungkin lebih tepatnya lagi adalah menghayati, karena sebenarnya kalimat itu telah familiar bagi saya sejak dulu dan saya tak pernah merasa tak paham akan artinya, padahal sesungguhnya kalimat itu hanya numpang lewat di telinga saya) hal tersebut, saya pun merasa tak ada alasan untuk merasa sedih, resah dan gelisah atas apapun kehendak Allah pada saya. Saya harus berhenti mengikuti berbagai perasaan atau pemikiran negatif tentang itu. Hanya dua hal yang tidak pernah boleh berhenti : ikhtiar saya dan pencarian atas hikmah itu sendiri.

Saya ingat kisah Siti Aisyah R.A yang hingga akhir hayatnya tidak pernah mengandung dan melahirkan. Apakah beliau berputus asa? Tidak. Apakah beliau dianggap tidak beruntung? Tidak. Apakah beliau tetap dapat bermanfaat sebagai seorang wanita? Jelas, beliau adalah istri Rasulullah yang sangat cerdas dan melalui beliaulah, banyak perilaku Rasulullah sehari-hari (hingga hal-hal terkecil) kemudian dapat diketahui dan diteladani oleh seluruh umat muslim. Apakah beliau tetap dapat berfungsi sesuai kodratnya sebagai ibu? Ya, beliau tetap melakukan pengasuhan dan pendidikan sehingga beliau adalah ibu bagi banyak orang hingga ajal menjemputnya. Kisah Siti Aisyah R.A ini adalah salah satu kisah yang sangat inspiratif bagi saya. Membaca kembali kisah ini, saya merasa seperti diingatkan kembali betapa tidak pantasnya saya merasa frustasi atas kondisi saya, baik itu ketika mengingat saya belum ada apa-apanya (baru juga 2 tahun menikah!) maupun saat membayangkan seandainya saya tidak akan pernah berketurunan hingga akhir hayat. Apapun itu, pasti itulah ketetapan yang terbaik yang dianugerahkan pada saya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Tahu.

Berbagai kisah inspiratif lainnya saya dapatkan dari sumber yang lebih dekat. Salah satunya adalah ketika satu waktu, Ibu saya berkesempatan mengikuti acara yang bernarasumberkan Emha Ainun Najib. Beliau menceritakan pengalamannya ketika istrinya melahirkan seorang anaknya yang langsung meninggal dunia. Betapa tidak beruntungnya, mungkin itulah umumnya reaksi spontan nan manusiawi orang-orang yang mendengar berita itu. Namun ternyata, reaksi yang dituai Cak Nun dari sahabat-sahabatnya (yang sepertinya didominasi kalangan sufi) sama sekali tidak demikian. Yang lucu, mereka malah menyeletuk, ”Janc*k!” (bercanda) sebagai ungkapan RASA IRI. Ternyata mereka langsung ingat bahwa Allah SWT telah menjaminkan surga bagi sang orangtua ketika bayi mereka yang baru dilahirkan langsung berpulang ke rahmatullah. Subhanallah. Nah, contoh yang ini mungkin memang tidak persis cocok dengan keadaan saya sendiri, tapi tetap saja inspiratif : tidak ada satu pun ketetapan Allah terhadap hidup seorang hambaNYA yang tidak membawa kebaikan. Kebaikan di balik sesuatu yang seolah tampak bagi sebagian orang ’tidak menguntungkan’ itu pasti ada, dunia ataupun akhirat.

Semua itulah (pengalaman sendiri dan berbagai kisah orang lain yang inspiratif) yang membangun keyakinan saya hingga detik ini : apapun ketetapan Allah Sang Penguasa Alam Semesta, adalah tugas kita untuk tak pernah lelah mencari hikmah yang terkandung di baliknya. Itulah yang terpenting. Sesungguhnya Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Itulah mengapa dalam urusan berketurunan, saya dan suami terus berikhtiar (kami tetap yakin, pada saat terbaik nanti Allah pasti akan menganugerahi kami keturunan jika itu yang terbaik bagi kami) sambil juga terus mencari tahu hikmah dari setiap langkah perjuangan kami. Itulah mengapa dari hari ke hari, saya semakin semangat (rasanya seperti membuka kado yang tak ada habisnya!). Itulah mengapa saya begitu bahagia saat bersama suami mendiskusikan setiap rencana hidup kami. Entah suatu saat nanti saya akan dipercaya untuk hamil atau tidak, kami berniat tetap akan menjadi sepasang ayah dan bunda....Insya Allah. Dan kepada anak-anak itu, siapapun orangtua kandungnya, kami akan menceritakan kembali kisah hidup dan penemuan-penemuan kami di atas sehingga Insya Allah tumbuh keyakinan atas eksistensi mereka : bahwa tak seorang pun manusia dihadirkan ke dunia ini selain atas kehendakNYA. Kepada anak-anak itu, kami akan saling menyemangati untuk terus menguak rahasia-rahasiaNya yang maha indah dalam hidup kami-masing-masing. Lalu Insya Allah takkan bosan kami berkata pada mereka, ”Anak-anakku, sesungguhnya Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang....”



penuh cinta,
- H e i D Y -

anemia hemolisis vs kemungkinan anovulasi

Tentang anemia hemolisis

Tiga tahun yang lalu, tepatnya menjelang akhir tahun 2006, saya dinyatakan mengidap penyakit autoimmune haemolysis anaemia oleh hematolog (dokter spesialis darah) yang merawat saya di Bandung.

Anemia hemolisis itu bukan penyakit yang tiba-tiba menyerang saya begitu saja, melainkan penyakit bawaan lahir. Dengan kata lain, saat itu sebetulnya saya tidak mengalami sesuatu yang baru atau berbeda. Hanya saja itulah pertama kalinya saya tahu tentang penyakit yang saya idap sejak lahir itu.

Autoimmune haemolysis anaemia secara singkat dapat dijelaskan sebagai suatu kondisi dimana jumlah sel darah merah selalu kurang dari normal karena setiap sel darah merah yang diproduksi dianggap sebagai benda asing dan selalu dihancurkan oleh sistem kekebalan tubuh sendiri (akibat dari sistem kekebalan tubuh yang abnormal).

Jika ditanya tentang gejala, khususnya pada kasus saya, ada kesulitan dalam menjawabnya. Kenapa? Karena sekali lagi, walaupun itu adalah kondisi abnormal, itu adalah kondisi saya sejak lahir. Kalaupun itu adalah abnormal, saya bahkan tidak tahu yang normal itu seperti apa. Sampai tiga tahun yang lalu. Pengetahuan tentang nama penyakit yang saya idap datang diikuti pemahaman lainnya. Misalnya, ternyata anemia itulah dalang dari gejala pusing, ”oyong” (ini bahasa Indonesianya apa ya??), jatuh sampai hampir pingsan (hampir loh yaa...alhamdulillah saya masih diberi gengsi dan kekuatan untuk tidak sampai digotong orang) yang seringkali saya alami selama ini dan ternyata normalnya manusia tidak perlu sakit kepala setiap hari.

Intinya, gejala anemia hemolisis itu sama saja seperti anemia yang sering diderita umumnya orang. Yang berbeda adalah penyebabnya (seperti yang saya sebut di atas) dan penanganannya. Kalau anemia biasa bisa diobati dari luar seperti pil zat besi atau makanan yang mengandung zat besi, tidak demikian dengan anemia hemolisis (karena yang bermasalah adalah sistem kekebalan dari dalam tubuh).


Terapi obat steroid

Ketika hematolog yang menangani kasus saya berhasil mengidentifikasi penyakit ini, tindakan berikutnya yang beliau ambil adalah melakukan terapi obat pada saya. Obat berjenis steroid (Medrol) ini awalnya saya konsumsi 3 kali 4 mg setiap hari. Seiring dengan perkembangan jumlah sel darah merah (Hb) saya, dosis tersebut pun pelan-pelan dikurangi hingga akhirnya pada tujuh bulan yang lalu menjadi hanya 1 kali dalam seminggu.

Kegelisahan saya tentang konsumsi steroid ini mulai muncul sejak pengalaman Mama pada kira-kira tahun lalu. Ini berhubungan dengan penyakit autoimmune jenis lain yang diderita Mama : LUPUS. Ya, oleh beberapa dokter ahli di Indonesia, sejak 7 tahun sebelumnya Mama memang divonis menderita penyakit berbahaya tersebut. Selama 7 tahun itu Mama pun mengonsumsi steroid, yang lama kelamaan malah menimbulkan berbagai efek samping lain pada kesehatannya. Dari situ saya mulai memahami bahwa konsumsi steroid itu tidak baik, tapi saya sendiri belum berani untuk benar-benar melepasnya (ada sebagian pikiran optimis bahwa saya akan bisa sembuh dari anemia hemolisis itu dan benar-benar berhenti mengonsumsi obat itu sesuai izin/petunjuk dokter saya).


Kemungkinan Anovulasi

Soal ini sebetulnya sudah lebih detil saya ceritakan di tulisan-tulisan sebelumnya (seri tulisan ”Pemeriksaan Infertiliti" di blog berdua saya dan suami). Tapi baiklah, bagi yang tidak membacanya...saya ceritakan kembali intinya saja : Setelah lebih dari setahun menikah dan saya belum juga mengalami kehamilan, saya dan suami memeriksakan diri ke dokter. Salah satu hasilnya adalah penemuan atas keabnormalan hormon saya yang diduga memicu kondisi anovulasi (tidak terjadi ovulasi atau ovulasi yang terjadi tidak sempurna atau dengan kata lain : ketidaksuburan).

Sewaktu berkonsultasi mengenai kemungkinan-kemungkinan solusi untuk masalah ini, dokter kandungan saya menanyakan perihal obat ”Medrol” yang saya minum. Waktu saya tanya hubungannya, beliau menjelaskan dengan singkat bahwa ia bisa memberi saya obat penyubur, tapi ada satu masalah : cara kerja obat penyubur itu kontradiktif dengan kerja obat untuk anemia hemolisis yang saya derita.

Penjelasan itu cukup membuat saya shock berkepanjangan. Alasannya:
1. Jika obat yang bekerja untuk ’menyuburkan’ saya bertentangan dengan obat anemia saya, bukankah berarti obat yang saya minum selama ini itulah yang menyebabkan kondisi ketidaksuburan pada saya??
2. Saya seperti disuruh makan buah simalakama : pilih mana, anemia atau tidak subur?
3. Kalau seenaknya memenangkan keinginan yang kuat untuk hamil dan mengabaikan si anemia :
- saya akan mengalami kehamilan beresiko tinggi karna Hb seorang ibu hamil pasti akan turun (nah, kalo gitu gimana dengan nasib saya yang sehari-harinya udah ber-Hb rendah? Hb yang udah rendah itu pasti akan semakin rendah lagi dan akan mengakibatkan gejala yang lebih parah)
- ada kemungkinan besar bahwa bayi yang saya kandung akan berberat lahir rendah dan tidak sehat
- resiko meninggal dunia saat melahirkan cukup tinggi
4. Kalau hanya memikirkan anemia saja dan mengabaikan peluang untuk hamil....itu sih sudah jelas lah yaa : nggak mungkiiiin.....jelas-jelas saya ingin hamil, begitu juga harapan suami dan orang-orang di sekeliling kami.


Jalan Alternatif

Melihat tidak adanya win-win solution dari dokter-dokter saya untuk kedua masalah di atas, (gynekolog maupun hematolog), saya pun mulai mencari ’jalur alternatif’. Sebenarnya saya belum memikirkan ’jalur’ itu secara khusus sejak awal. Waktu itu yang ada dalam pikiran saya hanyalah bahwa ilmu medis / kedokteran barat tidak dapat menyelesaikan masalah saya, yang berarti saya harus mencari cara lain. Tak lama berselang, barulah saya teringat pada sharing salah seorang teman yang menyebutkan tentang pengobatan akupunktur yang dijalaninya.

Itu bukan pertama kalinya saya mendengar tentang akupunktur, karena Mama juga sudah mencoba pengobatan tersebut sejak bertahun-tahun sebelumnya. Namun entah kenapa, saat itulah pertama kalinya saya baru merasakan adanya kepercayaan dan keyakinan (saya memang belum tahu hasil apa yang akan saya peroleh kelak, tapi saya yakin atas ikhtiar saya).

Alasan mengapa saya memilih akupunktur dari sekian metode pengobatan alternatif sebetulnya simpel saja : saya bertekad menyetop segala jenis racun yang masuk ke tubuh saya. Enough. I’m done consuming any medicine. Sementara itu, saya tahu bahwa cara kerja akupunktur bukanlah ’memberi tambahan’ ketika tubuh kita tak bisa memproduksi sesuatu sehingga dalam kondisi ’kekurangan', melainkan dengan cara merangsang / sebagai stimulus agar organ tubuh tersebut dapat bekerja seefektif mungkin. Jadi jika Hb saya naik, itu bukan karena hasil masukan dari luar melainkan karena hasil kerja tubuh saya sendiri yang telah dirangsang untuk kembali normal/bekerja efektif.

Sementara itu, obat yang biasa diberikan oleh dokter dengan segala zat kimia yang terkandung di dalamnya memang dapat menyembuhkan suatu penyakit, tapi pada waktu yang bersamaan dapat meracuni bagian tubuh lainnya dan malah memicu timbulnya penyakit lain. Obat herbal mungkin relatif lebih aman (karena tidak mengandung zat-zat kimia), tapi tetap saja tidak ada jaminan atas ketiadaan efek samping itu.


2nd Opinion

Ada hal yang cukup penting yang belum saya ceritakan tentang pengalaman Mama soal LUPUS-nya itu, yang kemudian mempengaruhi pemikiran dan keputusan saya dalam pengobatan anemia yang saya derita. Setelah bertahun-tahun kami sekeluarga menerima fakta bahwa Mama menderita LUPUS, pada suatu saat kami dikejutkan oleh kenyataan lainnya. Keresahan Mama karena konsumsi obat yang terus menerus dan semakin tinggi dosisnya namun tidak membuat kondisinya lebih baik itu berujung pada tekad untuk mencari 2nd opinion ke luar negeri. Yah..sebetulnya tidak betul-betul pendapat ke-DUA, mengingat sebelumnya Mama sudah berkonsultasi dengan beberapa dokter di INDONESIA (namun semua dokter di tanah air memberi pendapat yang serupa).

Dokter yang dijumpai adalah seorang ahli penyakit LUPUS di Singapore. Lewat cerita Mama belakangan, saya baru tahu bahwa tidak seperti di Indonesia, di sana seorang dokter ahli akan lebih jarang berpraktek. Jadi semakin ahli seorang dokter, akan semakin langka jam prakteknya. Ini dikarenakan dokter tersebut lebih memfokuskan perhatiannya pada riset-riset bidang keahliannya. Bukankah hal itu sangat berbeda dengan kebiasaan di tanah air kita tercitan yang mana semakin hebat seorang dokter, maka akan semakin banyak dan panjang pula jam prakteknya? Nah. Demi meminta pendapat dokter ahli, Mama pun dibantu banyak pihak untuk jauh-jauh mengatur janji dengan sang dokter yang hanya berpraktek 1 x seminggu itu. Lalu sepulangnya dari Singapore, Mama bercerita bahwa tak perlu waktu lama bagi si dokter untuk menyatakan bahwa ternyata Mama sama sekali tidak mengidap LUPUS.

Setelah pengalaman yang menggemparkan itulah Mama dan Papa rajin mendorong saya agar melakukan hal yang sama : meminta 2nd opinion tentang penyakit saya ke dokter di luar negeri.


Yang Direncanakan vs Yang Terwujud

Karena situasi-kondisi dan kesempatan yang ada (cth: jadwal libur Hamdan, kepentingan yang terasa masih harus lebih diutamakan, dsb dsb), kami belum pernah benar-benar merencanakan untuk mencari 2nd opinion ke luar negeri itu sampai suatu hari di bulan Mei 2009, ketika Hamdan diminta perusahaannya tempatnya bekerja untuk pergi mengikuti training di Kuala Lumpur, Malaysia. Keberangkatannya direncanakan 2 bulan kemudian (Juli 2009).

Saat itulah saya merasa itu suatu kesempatan yang harus saya ambil. Meskipun negara itu sebetulnyai bukan negara yang ingin saya kunjungi (karena sebetulnya tujuan yang saya inginkan adalah Singapore dan karena hmm, yah...negara itu adalah M-a-l-a-y-s-i-a), akhirnya saya memilih pergi juga mencari 2nd opinion itu ke sana. Adapun alasannya adalah...
1. Mumpung biaya transportasi yang perlu dipikirkan hanya untuk saya seorang (sementara suami saya dibayari perusahaan),
2. dan mumpung akomodasi gratis (karena menginap di hotel tempat Hamdan training)
3. Karena saya sudah cukup lama menunda-nunda untuk pergi mencari 2nd opinion itu,
4. sementara saya juga semakin dilanda kepenasaran serta rasa bersalah, ragu (ketidakyakinan) dan takut karena telah menghentikan konsumsi Medrol secara sepihak (tanpa seizin para hematolog yang menangani kasus saya).
5. Dan karena untuk melakukan pengobatan terhadap kesuburan saya, tetap dibutuhkan pendapat seorang ahli medis terhadap penyakit anemia saya...tapi saya tidak berani untuk mendatangi kembali dokter-dokter hematolog saya yang sudah lama tidak saya ikuti anjuran resepnya!

Lalu bulan Juli pun datang. Menurut rencana, kami akan berangkat ke Kuala Lumpur dari Jakarta, bersama-sama. Hamdan pun mengundurkan liburnya (tidak mengambil libur sebelum jadwal trainingnya) supaya ia masih bisa bersantai sepulang dari KL nanti.

Namun manusia berencana, Tuhan yang menentukan. Sepuluh hari sebelum jadwal keberangkatan, Hamdan jatuh sakit sampai harus diopname selama seminggu lebih! Tiap hari selama dirawat, perusahaaannya terus menghubunginya untuk menanyakan kondisi. Akhirnya H-4, mereka pun memutuskan untuk membatalkan keikutsertaan suami saya dalam training di KL itu. Saya yang udah terlanjur membeli tiket pesawat pun menghubungi maskapai penerbangan untuk meminta pengunduran keberangkatan ke bulan berikutnya (Agustus 2009).


Pendapat Sang Dokter dari Negri Jiran

Begitu menemui sang hematolog di sebuah rumah sakit di Kuala Lumpur, saya diminta untuk kembali menjalani tes darah dan urin. Mengingat dulu saya sampai menjalani bedah kecil untuk mengambil sample sumsum tulang sebelum divonis menderita anemia hemolisis, saya pun menanyakan apakah saya perlu kembali menjalani pemeriksaan itu (sumsum tulang) juga. Betapa herannya saya waktu sang dokter dengan tegas berkata hal itu sama sekali tidak dibutuhkan.

Dua jam setelah menjalani tes dan istirahat makan siang, saya dan Hamdan kembali untuk berkonsultasi dengan si dokter. Kata-katanya saat menunjukkan hasil tes yang sudah diterimanya adalah, ”I don’t understand why your doctor said that you have autoimmune haemolysis anaemia. Based on this test, you don’t seem to have any autoimmune disease. You have to stop that steroid,”

Dan sambutan singkat itu ternyata cukup untuk membakar akumulasi perasaan gelisah saya selama ini. Saya shock seketika, dan langsung menumpahkan unek-unek saya yang sudah menumpuk tanpa sempat ingat beristighfar (that I took the d*mn medicine for nothing, etc..).

Mungkin karena saking ’tulus’nya saya mengomel-ngomel, si dokter sampai ikut ‘terbawa’. Hanya saja yang saya sayangkan, beliau menunjukkan simpatinya dengan cara yang kurang simpatik. Salah satu kalimat berikutnya yang ia sampaikan pada saya adalah, “yaa…you know-laah, doctors…hematolog...in Indonesia…nobody good..,”

Deg. Kata-kata itu membuat saya tersadar. Tepatnya, alhamdulillah itu membangunkan saya untuk tidak semakin terlarut dalam drama. Saya emang bukan sesama dokter (apalagi dokter spesialis darah), tapi apa dia lupa, saya juga orang Indonesia?? Meskipun bukan kapasitas saya membela kemampuan seorang hematolog dari negri saya (karna saya juga tidak tahu yang sebenarnya)….tapi –please dong- … dia juga tidak berhak kaliii, terang-terangan menghina apapun yang berhubungan dengan tanah air saya di depan muka saya! Apa disangkanya saya berobat kesana sambil kepingin pindah kewarganegaraan?? Dan dalam hal ini harap bedakan kritik dan hinaan, karna saya selalu berusaha menyambut kritik dengan tangan terbuka. Walaupun kedua hal itu agak sulit dibedakan, saya percaya tetap ada satu cara ampuh mengatasinya : ETIKA. Duh Dokter….mbok ya selain sekolah tinggi-tinggi sambil belajar ber-etika juga…

Setelah ‘sadar’, saya berusaha bersikap senetral mungkin. Kembali fokus pada pernyataan dia sendiri (bahwa saya tidak menginap anemia hemolisis, melainkan hanya anemia biasa yang umumnya diderita sebagian perempuan karena periode menstruasinya yang agak lebih berat/lebih lama dan bisa gampang diobati dengan lebih banyak mengonsumsi zat besi), saya menanyakan kembali pendapatnya terhadap fakta-fakta berikut :
- bahwa Hemoglobin saya memang selalu agak jauh di bawah standar sejak saya lahir...bukan sejak saya puber dan mengalami menstruasi
- bahwa sebelum saya bertemu hematologist pertama saya (yang meresepkan medrol), makanan atau suplemen apapun tidak pernah berhasil mengobati anemia saya itu
- bahwa kesehatan saya (sehubungan dengan Hb) terus meningkat selama terapi Medrol itu
- dan bahwa setelah saya berhenti mengonsumsi Medrol, Hb saya kembali turun sampai akhirnya beberapa bulan yang lalu saya memulai pengobatan dengan akupunktur

Sayang, jawaban sang dokter ketika saya mengemukakan hal-hal di atas sangat tidak memuaskan saya. Beliau hanya berkali-kali menegaskan pokoknya-kamu-terbukti-tidak-menderita-autoimun dan bahwa ’anemia biasa’ saya hanya perlu diobati dengan lebih banyak zat besi dan terakhir : akupunktur itu tidak akan memberi pengaruh apapun.

Namun Alhamdulillah, dengan itu Allah sekali lagi menyadarkan saya. Dokter yang satu ini ternyata tidak berpikiran terbuka. Dia memercayai hasil yang ia temukan sendiri (which is good, actually), namun juga sekaligus menolak kemungkinan teori apapun di belakangnya selain dari apa yang dipelajarinya / diketahuinya selama ini (yg ini saya tidak bisa bilang baik atau buruk, tapi yang jelas tidak sejalan dengan prinsip hidup saya).

Untuk sementara, akhir kunjungan ke dokter di Malaysia itu juga mengakhiri bab pencarian saya atas ”Anemia Hemolisis vs Kemungkinan Anovulasi”. Saya pulang dari rumah sakit itu tidak hanya membawa lembaran hasil terbaru atas kondisi hematologi saya, tapi juga bersama ketenangan pikiran dan perasaan. Hasil pemeriksaan hematolog di Malaysia itu mungkin memang benar menyatakan kondisi saya saat ini. Tapi pada saat yang bersamaan, saya juga memilih untuk tidak mengatakan kondisi yang dinyatakan hematolog pertama saya dulu adalah salah. Mungkin saja dokter saya yang dulu benar, dan hasil pemeriksaan dokter yang sekarang pun benar. Mungkin saja semua benar, namun pada saatnya masing-masing, yang berarti kondisi saya dulu dan sekarang sudah berbeda. Bukankah sudah tiga tahun berlalu dan saya sudah menjalani dan melakukan banyak hal?

Saya juga memilih untuk tetap memercayai pengobatan akupunktur yang masih saya jalani sampai saat ini. Hal menguatkan keyakinan saya atas pilihan ini -bahkan meskipun setelah mendengar opini si dokter Malaysia itu- adalah apa yang saya alami beberapa bulan terakhir ini. Saya berhenti mengonsumsi obat apapun (bukan hanya obat kimia, tapi juga terhadap obat herbal) dan tetap mengonsumsi makanan sehat seperti biasanya, dan secara rutin melakukan pengobatan akupunktur. Lalu setiap bulan, saya mengecek perkembangan kondisi saya dengan melakukan tes darah dan alhamdulillah jumlah sel darah merah saya meningkat, perlahan tapi pasti. Maka wajar kan, jika saya menolak untuk setuju bahwa akupunktur sebagai alternatif yang saya pilih itu sama sekali tidak berpengaruh?



Aku bukan seorang dokter, apalagi dokter spesialis. Aku juga bukan tabib atau akupunkturist. Baik hematologi maupun sistem reproduksi sama sekali tidak pernah menjadi bidang kajianku secara khusus, apalagi bidang keahlian. Dan yang jelas, aku manusia...bukan sejenis ensiklopedia ;p

Aku hanya manusia biasa. Dan layaknya manusia, seperti manusia lainnya yang diciptakan Allah SWT dengan berbagai kelebihannya dari makhluk hidup lain, aku diciptakan untuk maksud dan tujuan tertentu...wallahu alam. Seorang Heidy lahir ke dunia ini dengan dibekali rasa ingin tahu yang tak pernah habis, energi dan semangat yang berlebih untuk menaklukkan tantangan apapun, serta gairah yang tak pernah putus untuk berbagi rasa dengan orang lain. Kemudian dalam perjalanan hidupnya, ia dipertemukan dengan keadaan-keadaan atau peristiwa-peristiwa yang mungkin bagi sebagian orang tampak ’betapa tidak menguntungkannya’, padahal yang sesungguhnya adalah sebaliknya. Mengapa? Karena semua keadaan dan peristiwa itu ’tepat berjodoh’ dengan semua bekal yang dianugerahiNYA padaku! Subhanallah. Memahami hal seindah itu, bagaimana mungkin aku masih pantas bersedih? Allah telah menganugerahiku salah satu kebutuhan hakiki seorang hambaNYA: menemukan sebuah arti hidup. Alhamdulillah.

Rabu, 11 November 2009

Tuhan Sembilan Senti (oleh Taufik Ismail)

( Nemu karya luar biasa ciptaan Taufiq Ismail ini di sebuah blog multiply !! )


Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok.

Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara-perwira nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok.

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah…ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok.

Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok,
sampai kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok.

Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok, tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok.

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita.

Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran, di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok.

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan asap rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok.

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya. Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di kantor atau di stop-an bus, kita ketularan penyakitnya. Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS.

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di dunia, dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu, bisa ketularan kena.

Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok.

Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis, turnamen sepakbola mengemisngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok.

Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil ‘ek-’ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok merokok.

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi orang perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok.

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita.

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.

Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.

Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil, sembilan senti panjangnya, putih warnanya, kemana-mana dibawa dengan setia, satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya.

Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang, tampak kebanyakan mereka memegang rokok dengan tangan kanan, cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?

Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.
Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i.
Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok.

Laa taqtuluu anfusakum. Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu ‘alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu, sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.

Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan.

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu ujung rokok mereka.

Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai terbatuk-batuk.

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini, sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok. Korban penyakit rokok lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas.

Lebih gawat ketimbang bencana banjir, gempa bumi dan longsor, cuma setingkat di bawah korban narkoba.

Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negara kita,
jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam kantong baju dan celana, dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna, diiklankan dengan indah dan cerdasnya.

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri, tidak perlu ruku’ dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini, karena orang akan khusyuk dan fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan api dan sesajen asap tuhan-tuhan ini.

Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.

Selasa, 10 November 2009

Sedikit tentang Flu A H1N1 di Indonesia

Melanjutkan curhat saya di Kisah dari Sebuah Ujian Kenaikan Kelas yang di antaranya melibatkan pengalaman suami menjadi salah satu penderita positif flu A H1N1 di Indonesia, ijinkan saya berbagi sedikit wawasan yang saya peroleh saat itu tentang flu A H1N1 itu sendiri. Mungkin saja saat ini info yang berkembang sudah lebih banyak, namun saya juga merasa mungkin saja tulisan ini masih lebih bermanfaat jika saya publish ketimbang jika teronggok begitu saja dalam harddisk laptop saya.

Apa yang membedakan gejala flu babi dengan gejala flu biasa? Apa yang membuat seseorang diduga terjangkit virus flu A H1N1 itu dan bukan virus flu biasa?
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang membuat kami datang jauh-jauh ke rumah sakit yang telah menjadi rumah sakit rujukan untuk setiap kasus flu A H1N1 di Jakarta itu. Saya, juga Mama, berpikir bahwa di sana para petugas yang telah menangani langsung kasus-kasus itu tentu lebih mengerti dan bisa mengetahui dengan cepat dan tepat apakah flu yang diderita suami saya adalah flu biasa atau H1N1. Namun ternyata pemikiran itu salah.
Di spanduk yang dipasang di beberapa bagian rumah sakit itu, saya baru mengetahui bahwa gejala flu H1N1 sama persis dengan flu biasa : demam, nyeri tenggorokan, batuk, pilek, kadang disertai mual dan muntah atau diare. Lalu seseorang bisa dinyatakan sebagai suspect flu A H1N1 jika menderita beberapa dari gejala flu tersebut dan ditambah pernah kontak erat dengan suspect flu tersebut atau baru datang dari daerah infeksius (luar negeri, misal Amerika atau Malaysia)

Proses diagnosa menjadi suspect flu A H1N1
Jadi, dokter yang pertama kali memeriksa Hamdan tidak mendiagnosa bahwa suami saya mungkin terjangkit virus flu A H1N1 setelah meneliti gejala-gejala yang mungkin tidak terlihat oleh kami, melainkan setelah melakukan wawancara dengan kami. Syarat pertama yaitu gejala yang tampak sudah jelas : Hamdan menderita batuk dan nyeri tenggorokan, lalu sudah 4 hari demam. Syarat kedua yaitu histori atau pengalaman kontaknya dengan suspect flu babi itulah yang sempat membingungkan.
Hamdan tidak baru saja datang dari luar negeri. Terakhir kali ia meninggalkan tanah air adalah kira-kira dua tahun yang lalu. Di Balikpapan, ia bertemu dengan banyak orang, dan tak tahu apakah di antaranya ada suspect flu babi atau tidak. Dia hanya tahu bahwa ditemukan kasus di platform lain yang menyebabkan semua pekerja di sana dikarantina, namun pada hari dilangsungkannya pemilu, ada sebagian dari mereka yang datang ke tempat pemilihan. Inilah contoh bahwa dari histori yang sangat meragukan pun ternyata cukup untuk menjadikannya suspect flu A H1N1.

Cara penularan flu A H1N1
Yang menyebabkan penyebaran flu A H1N1 sangat cepat adalah cara penularannya yang sangat mudah, yaitu melalui udara. Layaknya flu biasa, seorang penderita flu A H1N1 bisa menularkan virus flunya ketika ia bernapas ataupun batuk terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya saat itu. Oleh karena itulah, penderita flu sebaiknya memakai masker. Begitu pula sebaiknya orang-orang yang berada di sekitar penderita flu. Selain itu, virus tersebut juga bisa menular melalui benda-benda yang baru disentuh penderita dalam kurun waktu yang dapat ditoleransi si virus untuk bisa hidup yaitu kurang lebih satu jam (jadi kalau si penderita menyentuh meja lalu kita baru menyentuh meja tersebut besoknya ya tidak akan terjadi penularan karna si virus sudah mati).
Namun layaknya flu biasa, secepat dan semudah apapun penularannya...belum tentu semua orang langsung tertular flu begitu ada orang di sekitarnya menderita flu. Bukankah terkadang kita juga bisa merawat anggota keluarga kita yang terkena flu tanpa tertular? Yang mempengaruhi hal tersebut adalah daya tahan tubuh. Orang yang daya tahan tubuhnya lemah akan mudah sekali tertular penyakit, sementara yang lebih kuat akan lebih sulit terserang.
Menurut salah satu dokter ahli di lab penelitian dan pengembangan Depkes, masa inkubasi virus flu A H1N1 adalah 1 hingga 7 hari. Ini berarti gejala flu A H1N1 akan timbul dalam waktu 1 hingga 7 hari setelah seseorang terkontaminasi virus flu tersebut (ada kontak dengan orang yang memiliki gejala flu juga dan ternyata belakangan diketahui positif flu A H1N1), bergantung pada kekuatan daya tahan tubuh orang tersebut. Orang yang daya tahan tubuhnya sangat lemah dapat langsung ikut jatuh sakit sehari kemudian. Namun sebaliknya, orang yang daya tahan tubuhnya sangat kuat bisa saja takkan jatuh sakit. Oleh karena itu jika seseorang yang telah terkontaminasi virus tetap dapat bertahan (tidak sakit) sampai seminggu kemudian, maka dapat dipastikan ia telah berhasil bertahan dari virus yang telah masuk ke dalam tubuhnya dan mencoba menyerangnya.

Tips untuk bertahan saat ada ancaman menyerang
Saat suami dinyatakan positif terkena flu A H1N1, mau tidak mau saya juga mengkhawatirkan diri saya sendiri. Apakah saya juga sudah tertular? Bagaimana kalau saya sakit juga, padahal Hamdan sedang sangat membutuhkan saya?
Berdasarkan penjelasan dokter, saya tahu bahwa saya adalah orang yang saat itu berkemungkinan paling tinggi untuk tertular flu A H1N1 juga, mengingat Hamdan sempat pulang dan tidur sekamar dengan saya sebelum dibawa ke rumah sakit esok harinya. Namun, seperti yang saya sebutkan di atas, masa inkubasi virus tersebut adalah 1-7 hari. Saya jelas sudah terkontaminasi virus, tapi kondisi saya yang masih sehat walafiat tanpa sedikit pun gejala flu menandakan bahwa virus dalam tubuh saya belum berhasil menyerang pertahanan saya. Jika saya tidak mau terserang, maka saya harus terus mempertahankan kondisi siaga saya hingga hari ke-7. Alhamdulillah, dengan segala usaha yang diridhoi Allah SWT, saya berhasil. Berikut inilah yang saya lakukan untuk ’bertahan dlam perang’ itu :
- Berdoa sungguh-sungguh
- Empowering my mind. Saya hanya sempat larut dalam sedih di hari-hari pertama masa karantina Hamdan. Begitu tahu hasil pemeriksaan Hamdan, saya justru segera bangkit. I had no time to feel sad and cry. My top priority was to stay healthy. I had to be strong…for me, for my beloved life partner, and for those who care for us.
- Istirahat yang cukup. Sesibuk-sibuknya saya seharian mengurus keperluan suami yang sedang diopname di rumah sakit yang letaknya ‘ujung ke ujung’ dengan rumah saya, saya harus meluangkan waktu untuk tidur malam yang cukup dan nyenyak (itu berarti harus bebas dari stress sebelum tidur!)
- Minum air putih sebanyak-banyaknya, minimal 8 gelas sehari
- Makan makanan dengan gizi seimbang (karbohidrat, protein, lemak...pokoknya lengkap!)
- disempurnakan dengan susu (boleh susu sapi maupun kedelai), kurang lebih 500ml sehari
- dibantu juga dengan air jeruk nipis (sebagai pembentuk basa, karna tubuh dalam kondisi basa akan lebih susah sakit), jus buah (400-500ml) vitamin C dosis tinggi (1000 mg) dan madu (3 sendok makan) sehari
- olahraga, minimal gerak jalan atau senam kecil di bawah sinar matahari

Sikap media yang berlebihan dan apa yang sebenarnya terjadi
Flu A H1N1 sebetulnya bukan penyakit yang berbahaya. Dari informasi yang gw peroleh belakangan, tingkat kematian yang diakibatkan oleh flu A H1N1 ini bahkan lebih rendah daripada flu biasa. Ya, bukankah flu biasa juga bisa berakibat fatal jika tidak ditangani dengan baik? Kejadian seperti itu dapat ditemukan di negara-negara yang mengalami musim dingin. Lagipula, korban-korban meninggal itu tidak semata hanya sakit flu. Kondisi tubuh mereka telah memburuk akibat penyakit atau hal lain seperti asma, gizi buruk, dan lain sebagaiya, baru kemudian diperparah dengan flu tersebut dan terlambat ditangani. Jadi, jangan sampai tertipu berita-berita oleh media. Memang betul mungkin, misalnya disebutkan di sana: 2 orang meninggal karena flu babi di negara XXX. Tapi tidak disebutkan kan, misalnya, ada 5 orang meninggal karena flu biasa di sana? Inilah yang disebut kebohongan statistik. Bahkan di negara-negara dimana telah sangat banyak terjadi kasus flu ini, para penderita sudah tidak lagi diisolasi dan bisa sembuh dengan sendiri setelah dirawat di rumah saja.
Lalu bagaimana dengan di Indonesia sendiri? Di negara ini, flu A H1N1 ini masih dianggap kasus flu baru. Karena jumlah kasusnya belum sebanyak di negara lain, pemerintah masih berupaya sekuat tenaga untuk menghentikan penyebarannya. Ditambah pula mengingat kasus flu A H5N1 di Indonesia belum benar-benar berhasil diberantas 100%, ada kekhawatiran jika kedua jenis virus bercampur sehingga dapat memunculkan virus lain yang jauh lebih berbahaya.
Jadi dengan kata lain, memang betul apa yang dirasakan Hamdan dan pasien-pasien lainnya. Mereka bukan mengidap penyakit parah, jadi tak merasa sampai perlu diopname. Memang benar! Mereka tidak dirawat disana untuk kepentingan kesehatannya sendiri, melainkan demi kesehatan orang lain atau DEMI KEPENTINGAN ORANG BANYAK. Mereka tidak sedang menyelamatkan dirinya sendiri. Mereka sedang MENYELAMATKAN NEGARAnya. Mereka memenuhi tanggung jawabnya sebagai warga negara, memberikan dukungan pada pemerintah demi kecintaan pada tanah air mereka.
Saya tahu, bahkan pemahaman yang seperti itu tak mampu sepenuhnya mengobati atau menghibur suami saya yang merasa ‘tersiksa’ di ruang isolasi itu. Tapi ya, saya yakin hal itu cukup menggelitik nuraninya. Selama ini kecintaan terhadap tanah air dan rasa nasionalisme begitu mudah kita ucapkan, diteriakkan dengan penuh perasaan yang menggelora. Tapi bagaimana dengan wujud nyatanya? Tidak banyak orang yang bertindak sesuai dengan prinsip yang digembar-gemborkannya itu dengan mudah, dan memang tidak banyak juga orang yang diberi kesempatan untuk itu. Di zaman sekarang ini, tidak diperlukan mengangkat senjata bambu runcing untuk melawan penjajah. Kebetulan sedang tidak ada kesempatan menunjukkan kecintaan kita pada ibu pertiwi dengan cara seperti itu. Sekarang ini, mungkin malah hal-hal yang seolah remeh yang menjadi jalannya. Cukup dengan membayar pajak, misalnya. Atau dengan sukarela menyerahkan diri untuk diisolasi ketika diduga mengidap suatu penyakit baru yang bisa menjadi wabah. Tindakan yang sepertinya KECIL, dan mungkin TIDAK ENAK serta TIDAK MENARIK PERHATIAN memang, tapi inilah merupakan wujud nyata jihad yang sesungguhnya. Bukan tindakan bombastis dan sok heroik seperti mengebom warga negara asing yang jelas-jelas malah merupakan pengkhianatan terhadap bangsa dan tanah air.


Ditulis dengan rasa kagum dan bangga pada para penderita flu A H1N1 yang rela berkorban dikarantina demi banyak orang lainnya (saya sendiri tak yakin bisa demikian)....terimakasih, semoga Tuhan membalasnya berkali-kali lipat. Amiiin.

- H e i D Y -