Rabu, 07 Februari 2024

Aku yang Dulu ...

 Alhamdulillah, gara-gara tantangan menulis Mamah Gajah Bercerita, blog ini kembali dilap, disapu, lalu dipel. Kemudian, gara-gara tema "Aku" dan topik khusus "Masa Lalu" yang ditetapkan untuk tulisan minggu ini, aku jadi bongkar-bongkar diari dan surat-surat lama. Lebih tepatnya lagi, ini gara-gara aku terlalu yakin bahwa aku masih ingat seluruh masa laluku sehingga menurutku topik ini sangat mudah untuk ditulis.

Ternyata aku salah. Berawal dari kebingunganku memilih pengalaman dari masa mana yang enak untuk ditulis, pelan-pelan kusadari bahwa bagian hidup di masa lalu yang kuingat kebanyakan hanyalah berupa potongan fakta dan data peristiwa (yang sekarang rasanya tak cukup menggugah diriku sendiri untuk menceritakannya). Termasuk di antaranya kapan dan di mana aku bersekolah, apa makanan yang kuhindari, bagaimana aku sering terjatuh, siapa manusia lawan jenis yang kusukai, dan lainnya. Ternyata, aku tidak dengan rapi menyimpan memori tentang apa dan bagaimana caraku berpikir dan berpendapat, misalnya.

Kesadaran itu makin jelas ketika menemukan tulisan-tulisan rahasiaku puluhan tahun yang lalu. Sibuklah aku tersenyum-senyum geli dan menggeleng-gelengkan kepala selama membaca semuanya. Rasanya tak habis pikir karena begitu berbeda dengan diriku saat ini.

Bagaimana mungkin, misalnya, dulu aku bisa ikut campur dalam urusan percintaan orang lain? Kenapa aku harus sampai ikut heboh sekali saat seorang temanku memutuskan pacarnya? Untuk apa sih, aku menulis panjang lebar tentang gagasan jodoh ideal bagiku berdasarkan pengalaman percintaan teman-teman dekatku? Oh, aku bahkan juga menuliskan teori dan analisis “masalah hubungan pertemanan” dalam berlembar-lembar draf surat ke salah satu sahabatku.

Wow. Apakah waktu luangku dulu sebanyak itu? Kurasa tidak, meskipun aku yakin bahwa memang masa-masa itu tak mungkin dibandingkan dengan kondisiku kini, saat sudah menjadi ibu dengan dua anak.

Di akhir “perjalanan singkat ke masa lalu”, kusimpan kembali teks-teks pribadi yang menggelikan itu. Sebagaimanapun memalukannya perilakuku di masa lalu, itu semua tetap bagian dari kehidupanku, pengalamanku yang berharga. Sebesar apa pun rasa malu itu, kuputuskan untuk tidak membuang atau melenyapkannya. Bukankah hanya berkat masa lalu yang seperti apa pun, aku menjadi aku yang sekarang ini?

Wahai, aku ... yang di masa lalu, di masa kini, ataupun di masa depan ...

terima kasih.

Aku mencintaimu. 


 

 

 

 


Minggu, 30 Oktober 2022

Tujuan Pendidikan

Pertanyaan pertama yang muncul di benakku ketika merencanakan pendidikan anak adalah sebuah pertanyaan mendasar, yaitu tentang definisi manusia. Apa itu manusia? Berkaca kembali pada definisi peran dan fungsi manusia, seharusnya ini menjadi landasan untuk menentukan tujuan pendidikan.

Manusia pasti bukan hanya seonggok daging dengan darah, otot, saraf, dan sebagainya. Ada begitu banyak fitur yang "dipasang" Yang Maha Kuasa di setiap makhluk-Nya. Akal dan hati nurani yang tidak diberikan kepada makhluk lain tidak hanya diberikan kepada sebagian saja, tetapi semua manusia yang Dia utus ke bumi ini.

Menurutku, penghayatan atas eksistensi dan asal muasal manusia serta hubungannya dengan Sang Penciptanya merupakan hal yang paling penting dalam merencanakan dan melaksanakan pendidikan. Setujukah pada opini bahwa seseorang hanyalah salah satu “suku cadang” di dunia industri? Aku sih sangat tidak sepakat dengan pendapat tersebut. 

Karena itu, aku pun berusaha menelaah kembali tujuan pendidikan bagi anak-anakku. Apakah aku harus menyekolahkannya hanya dengan harapan suatu hari nanti dia akan masuk perguruan tinggi bergengsi dan menemukan/menciptakan pekerjaan bergaji besar? Kemudian, apakah karena itulah aku perlu panik ketika ia tidak bisa membaca di usia dini atau marah ketika ia membawa nilai ujian sekolahnya yang buruk?

Topik tujuan pendidikan juga kurasa sangat berdekatan dengan topik hidup dan mati. Meskipun berbicara tentang kehidupan mungkin masih dapat diterima, aku mengerti bahwa topik tentang kematian sebenarnya bukanlah topik yang menyenangkan. Namun, menurutku, memikirkan dan membicarakannya sebenarnya dapat sangat bermanfaat. Bukankah menyadari keterbatasan usia membuat kita lebih menghargai hidup yang tidak kekal ini? 

Aku sering membayangkan, akan seperti apa dunia ini jika semua orang senantiasa sadar menghadapi "jatah waktunya" masing-masing. Apa yang akan benar-benar kita anggap penting setiap detiknya selagi menjalani kehidupan ini? Tidakkah kita lebih membutuhkan ketulusan di atas kedengkian, kerja sama di atas persaingan, dan—tentu saja, sekali lagi—kebaikan di atas kemuliaan? Kemudian, sudahkah tujuan pendidikan generasi penerus kita pun diarahkan ke sana?