Senin, 21 Agustus 2006

Apa Gue Gila ???

Apakah orang gila tahu bahwa dirinya gila?
Katanya sih nggak mungkin.
Dgn kata lain, kata orang, orang sakit jiwa nggak mungkin bilang 'gue sakit jiwa'.
Tapi gue nggak yakin itu bener.

Soalnya, sempat pada suatu masa, beberapa waktu yg lalu, gue begitu.
Gue sempet curiga bahwa gue sakit jiwa, tapi relieved karna ada pikiran "Ah, ngga mungkin gila beneran. Kan katanya orang gila nggak akan tau dirinya gila?"
Walau gue nggak tau tepatnya kondisi gue waktu itu disebut apa, tapi gue yakin sekali kondisi jiwa gue sedang tidak sehat.
Dan tidak sehat = sakit, kan?
Dan nyaris memotong kabel telpon, nusuk supir angkot pake payung, ngiris-ngiris tangan atau makan tissue (padahal masih ada nasi), itu bukan termasuk gejala orang waras, kan?
Coba, coba....kok bisa2nya ya waktu itu, gue lebih tertarik ama tissue daripada nasi dan daging? Ck ck ck.

Eits, jangan ketawa!
Eh enggak ding, kalo cuman ketawa sih boleh.
Yang gue sarankan jangan adalah menertawakan dengan hina.
Dulu, gue nggak abis pikir kalo denger kabar tentang orang yg nyoba bunuh diri.
Apa dia nggak mikir, dengan begitu tetep aja dia nggak nyelesein masalah?
Okelah masalah di dunia ditinggalin, lha di akherat begimane?
Di neraka selamanya, bukan?

Sekarang, gue bisa menebak jawabanannya.
Man....gue juga tau, tissue tuh nggak enak.
Gue juga tau, ngiris tangan, nusuk supir angkot atau motong kabel telpon tuh nggak ada untungnya.
Gue masih bisa mikir, kok.
Pikiran gue jelas-jelas masih berkata bahwa segala yang gue lakukan itu enggak bener, enggak baik.
Tapi entah bagaimana, masih ada yg ngalahin pikiran itu.

Jangan minta gue cerita tentang hal apa yang membuat gue jadi seperti itu.
Menurut gue, parameter berat ringannya masalah itu relatif.
Dan jujur, gue malu sekali kalau harus mengingatnya lagi.
Masalah gue, mungkin terbilang ringan bagi temen-temen yg lain.
Tapi pemikiran itulah yg bikin gue makin stres.Justru dengan berulang kali berkata pada diri sendiri, "Masalah elo tuh cetek, nggak ada apa-apanya. Ello tuh sebenernya nggak punya masalah apa-apa lagi, jangan cengeng ah!", pada akhirnya gue nggak kuat lagi, meledak, dan jadi gila.

Gue nggak tau apa istilah psikologi yg tepat utk kondisi gue saat itu.
Tp yg jelas, gue tau, jiwa gue tidak baik-baik saja.
Sebisa mungkin gue menghindar bertemu dengan orang yg akan bertanya, "apa kabar?"
Karna pasti, kebohonganlah yang terucap.

Jiwa gue, waktu itu tidak baik-baik saja.
Gue bisa merasakan perang antara 'pemikiran waras' dan 'pemikiran gila' dalam diri gue. Misalnya begini....
Si gila : Lakukan!
Si waras : Jangan, gila, apa?!
Si gila : Iya, emang gue lagi gila, kan?
Si waras : Elo nggak gila! Elo yang kepengen gila!
Si gila : Iya, emang pengen, trus napa? Elo juga pengen kan? Nggak usah sok manis deh...

Sekali lagi, utk yg belum pernah (gue doakan nggak akan pernah) mengalami ini, gue sarankan utk nggak tertawa meremehkan dan bilang 'Ah, parah. kayaknya nggak mungkin banget ini terjadi pada gue,"
Elo, nggak tau rasanya.
You haven't been there.

Dan gue bisa bilang begini, karna gue juga dulu sering ngomong begitu.
Kpd orang-orang yang sudah lebih dulu pernah mengalami ketidakwarasan yang saya komentari seenaknya, maafkan saya ya... now i know how u feel..

Hal di atas bisa gue ceritakan dengan santai karna saat ini insyaAllah gue sudah keluar dari fasa itu.
Penyakit aneh itu, alhamdulillah akhirnya sembuh.
Fyi, obatnya tak lain tak bukan adalah agama.
Ehm...mungkin ketimbang 'agama', lebih tepat disebut 'kembali pada Tuhan'.
Dan dlm kasus gue, salahsatu caranya adalah dengan ikut pengajian, dengerin ceramah, dzikir n solat.

Kalo ada yg tanya...sesimpel itu?
Jawabannya : yeah, sesimpel itu.

Kegilaan itu diawali oleh sesuatu yang rumit, lahir karena keruwetan pikiran, yg pada akhirnya terobati hanya dengan menyerah pada kesederhanaan.
Dan dengan kembali pada Tuhan, kesederhanaan itu tiba-tiba saja terlihat dengan jelas.

ADA yg bisa mengalahkan kekuatan nafsu pikiran itu...
ADA yg bisa menghentikan perang pikiran itu...
dan keberADAannya tidak jauh, sungguh.
Berhenti sejenak dan dengarkan hati.
Selama ini, ternyata DIA ada di sana.
Selalu ADA.
DIA tak pernah pergi, tak pernah menjauh.
Akulah yang melupakannya, dan tanpa sadar pergi menjauh.

Ya Allah, aku tak akan memohonMU untuk tidak menjauh dariku.
Karena KAU, bagaimana pun memang tak pernah pergi.
Tapi...bolehkah aku memohon bantuanMU untuk menjaga langkahku,agar selamanya tak akan pernah lagi tergelincir menjauh dariMU?


Bandung, 14 Agustus 2006.

Minggu, 13 Agustus 2006

Matematika dan Masalah

Akhirnya, sempat juga kembali menyentuh komputer!
Fiuhhh....ehehehehe. #:-S
Ini serius loh, engga main-main dan engga hiperbolis.

Kira-kira mulai dua minggu yang lalu, saya memasuki dunia pendidikan.
Jadi selain penulis, profesi saya sekarang adalah pengajar (backsound: cieee..ehm, ehm! )
Namun sampai hari ini, pekerjaan baru saya itulah yang lebih menyita waktu....
Komputer tak tersentuh, bahan tulisan pun menumpuk dalam kepala...huhhuu.... :(

Ya, saya bergabung dengan sebuah lembaga bimbingan belajar, menjadi salah satu staf pengajar di sana.
Mata pelajaran yang saya geluti adalah matematika.

Sejak kecil saya memang menyukai matematika, walau sangat jauh dari predikat jenius.
Namun, tidak sejak awal saya telah memutuskan untuk mengajar matematika.
Awalnya, saya tidak bisa memilih antara matematika dan Bahasa Inggris.
Keduanya merupakan hal yang selalu saya sukai sejak di bangku sekolah dulu hingga sekarang. ;)

Waktu diadakan tes potensi akademik (dalam hal ini bukan tes IQ, melainkan benar-benar tes sesuai mata pelajaran yang dipilih).
Di antara kedua mata pelajaran yang saya minati, saya memutuskan untuk menjalani tes bahasa inggris terlebih dulu.
Kenapa?
Karena menurut saya itulah yang termudah, yang saya yakin dapat menyelesaikan semuanya TANPA MASALAH (soal-soal anak smp, gitu lho!)./:)

Tapi ketika mengikuti tes praktek (presentasi mengajar di depan kelas), barulah saat itu saya menyadari kelemahan saya.
Saya merasa bahwa Bahasa Inggris itu sangat mudah, karena tidak pernah merasa mendapat masalah dalam mengahadapinya.
Karena tidak sadar akan adanya masalah, saya pun tidak sadar tentang bagaimana saya menyelesaikannya, tidak sadar tentang apa yang saya pelajari.
Tidak ada masalah, tidak ada pelajaran, lalu apa yang bisa saya ajarkan? #-o

Beda halnya dengan matematika.
Saya mungkin tidak cerdas, mungkin tidak merasa bahwa soal-soal matematika adalah sangat mudah, tapi saya tidak mau berhenti sebelum dapat menyelesaikannya.
Sebuah soal matematika berarti sebuah tantangan, dan saya menyukainya. =
Sebagai seorang yang tidak jenius, tidak jarang saya mengerutkan dahi ketika mengerjakan matematika.
Saya sadar akan masalahnya, sempat mengetahui dimana letak kesulitannya, barulah saya merangkak menelusuri jalan penyelesaiannya.
Dan saat dapat menemukan pintu keluarnya, selama apapun waktu yang harus dihabiskan untuk itu, rasanya tidak ada yang dapat mengalahkan kepuasan saya.

Saya kira saya BERUNTUNG karena tidak pernah bermasalah saat menghadapi bahasa.
Tapi ternyata tidak demikian. [-)
Saat menghadapi matematika, saat merasakan adanya masalah, di sanalah saya belajar.Dan di sanalah terdapat KEBERUNTUNGAN YANG SEBENARNYA.

Matematika dan Masalah.
Ini mengingatkanku pada hal lainnya : Kehidupan dan Masalah.

Saat menghadapi hidup, pernahkah aku merasakan adanya masalah?
Tidak jarang.
Tidak jarang aku jugkir balik karena masalah hidup.
Tidak jarang aku menangis histeris, stres oleh masalah dalam hidup.
Tidak jarang aku merasa iri pada orang-orang yang KELIHATANNYA beruntung, hidup tanpa masalah.

Tapi, ada yang sangat-tidak-tidak-jarang.
Sangat jarang aku menyadari bahwa masalah dalam kehidupan telah membuatkubelajar.
Sangat jarang aku menyadari bahwa dengan pernah bermasalah, aku dapat berbagi pengalaman.
Sangat jarang aku menyadari bahwa dirikulah yang sebenarnya beruntung karena dianugerahi masalah hidup.
Dan sangat jarang, aku bersyukur karena semua itu.
Astaghfirullahalladziim.

in memoriam of Icha

Icha...sekarang kamu dimana, sayang?
Bagaimana rasanya di alam sana?
Ah, anak sekecilmu tentu tidak akan kesusahan, ya?
Di usia sedini ini telah menghadapNya, tidak terbayang olehku dosa apa saja yang sempat kamu perbuat selama hidup.

Hidup sesingkat itu...siapa yang tahu?
Apa kamu pernah tahu, sayang?
Apa kamu pernah menebaknya, mengira-ngiranya, sayang?
Bahwa hidupmu sesebentar itu...
Aku, sama sekali tak menyangka.

Saat kita pertama kali bertemu, sama sekali tak terpikir olehku bahwa itu adalah sebuah kesempatan emas yang dianugerahkanNya padaku.
Bagaikan sebuah kesempatan dalam kesempitan, begitulah istilah yang dulu populer di masa-masa ujian sekolahan.
Masa-masa kita bermain bersama, tak pernah terbayangkan sebelumnya olehku bahwa itu adalah kesempatan terakhirku bercengkrama denganmu.

Saat malaikat pencabut nyawa sedang menunggu hitungan detik untuk melaksanakan tugasnya,tak pernah kutahu, tak pernah sedikit pun terpikir atau terbayang olehku,bahwa waktuku untuk bersamamu tak lagi banyak.

Dan kini, setelah waktu itu habis, aku terpaku.
Aku tercenung, mengenang sosokmu.
Apakah aku telah menggunakan waktuku dengan baik?
Ataukah aku telah menyia-nyiakan kesempatan emas itu?

Kesempatan yang sebentar itu, adalah emas bagiku.
Aku sempat mengenalmu, aku sempat mendapat senyummu, aku sempat mendapat kepercayaanmu,aku sempat menyentuhmu, aku sempat mendapat sayangmu.
Semua itu, adalah emas bagiku...

and I'll treasure that for the rest of my life.

Lalu, Sayang, sempatkah kamu mendapatkan sesuatu dariku?
Sempatkah aku memberimu sesuatu yang tidak sia-sia?
Adakah, satu, saja...
satu, saja....hal yang berharga yang sempat kuberikan bagimu..
yang terkenang selama sisa hidupmu yang sangat singkat itu?

Pada suatu siang, di tengah perjalanan ke suatu tempat, seorang teman menelepon ke HP.
Ucapan 'halo' dari saya langsung dibalas dengan sepatah kalimat super singkat dan padat : "Dy, Icha meninggal."
Kedua kaki langsung berhenti berjalan.
Sementara jantung tiba-tiba bekerja sepuluh kali lipat lebih cepat, saya menanggapi perkataan itu dengan suara yang sama sekali tidak pelan, "ICHA SIAPA?!"
Jawaban yang saya terima setelah itu bukan lagi kalimat singkat, melainkan kalimat-kalimat penjelas yang entah kenapa rasanya membuat sekujur tubuh membeku.
Yang meninggal dunia itu, bukan 'siapanya' seorang yang saya kenal.
Yang wafat itu, adalah seorang yang saya kenal langsung.
Seorang yang belum lama saya kenal, tapi sosoknya telah memiliki tempat di hati ini.

Almarhumah adalah salah satu anak kelas menulis kreatif yang saya 'asuh' pada kegiatan liburan kemarin.
Ya Allah...rasanya susah sekali untuk percaya.
Susah sekali, untuk percaya bahwa 'anak' saya itu telah tiada.

Di dalam angkutan kota, saya duduk dengan isi pikiran melayang ke masa beberapa minggu sebelumnya.
Masa-masa dimana saya masih berinteraksi dengannya, bermain dan sebagainya.
Masa-masa dimana ia sering sekali memeluk saya, ngelendot, bermanja-manja.
Masa-masa dimana ia banyak sekali melontarkan ucapan canda dan terkadang saya menegurnya karena itu.
Lalu saya ingat ketika terakhir kali kami bertemu, saya memberinya surat perpisahan.

Tulisan saya dalam surat itu tidak begitu pendek (mengingat saya susah sekali mengerem ketika menulis), dan sebenarnya berisikan apa-apa yang sebelumnya juga telah sering saya sampaikan padanya secara lisan: tentang apresiasi terhadap keberaniannya, tentang pengakuan atas keunggulannya dalam beberapa hal lain, tentang ajakan dan dorongan untuk terus berkarya, dan tentang teguran halus atas salah satu sikapnya yang terkadang membuat orang lain merasa tidak nyaman.

Rasanya ingin menangis ketika mengingat itu semua, ketika menyadari bahwa itu semua adalah kata-kata terakhir saya padanya.
Saya tidak akan dapat menyampaikan apapun lagi padanya, dan begitu pula sebaliknya.
Saya tidak akan pernah mendapatkan senyum atau candaan lagi darinya.

Selama beberapa jam, pikiran saya menolak untuk menyimpan kembali kenangan itu dengan rapih dan berkonsentrasi pada kegiatan saya saat itu.
Rasanya setengah bagian otak memerintahkan kedua tangan saya untuk bekerja di atas mouse dan keyboard komputer, namun setengah lagi masih berkelana dalam kenangan itu.

Kepergian 'anak' saya ini benar-benar meninggalkan sebuah pelajaran yang sungguh berharga.
Pelajaran tentang kesempatan, pelajaran tentang syukur.


Dalam sehari, tepatnya dalam 24 x 3600 detik, seberapa banyak aku bertemu dengan orang lain?
Bangun tidur, bertemu adik dan sahabat yang tinggal serumah.
Keluar rumah, bertemu tukang ojek, supir angkot, orang-orang di angkot atau di jalan.
Di tempat yang dituju, bertemu teman-teman atau rekan belajar atau bekerja.
Mungkin ada puluhan, atau mungkin ratusan orang yang sempat bertatap muka denganku setiap harinya.

Dengan kata lain...ada puluhan, atau mungkin ratusan kesempatan.
Bukan tak mungkin, di antara itu merupakan puluhan, atau juga ratusan kesempatan terakhir kami bertatap muka.
Tapi, apa sajakah yang telah kulakukan pada semua kesempatan itu?
Pada setiap orang yang mungkin tak akan pernah kutemui lagi, apa sudah kulakukan padanya?

Apakah aku pernah meninggalkan sesuatu yang berharga baginya?
Ataukah aku hanya seorang yang lewat begitu saja di hadapannya, yang tidak memiliki arti apapun baginya?
Ataukah justru, aku adalah seorang yang ingin ia jauhi, seorang yang ia harap tak lagi ia temui?

Dalam 24 x 3600 detik setiap harinya, apa saja yang kulakukan tiap bertemu dengan orang lain?
Seberapa banyak aku melempar senyum, dibandingkan dengan memasang wajah dingin atau bahkan mencemberuti mereka?
Seberapa banyak aku menyapa ramah, dibandingkan dengan diam seribu bahasa atau bahkan memaki-maki mereka ?
Seberapa banyak aku menawarkan bantuan, dibandingkan dengan bersikap tak mau tahu?

Seberapa banyak aku menumbuhkan persahabatan, dibandingkan dengan mengobarkan permusuhan?
Seberapa banyak aku merawat cinta, dibandingkan memelihara benci?
Selama ini...apakah aku telah menggunakan kesempatanku dengan baik, ataukah hanya menyia-nyiakannya?
Dan jika waktuku pun tiba suatu saat nanti, jika tak ada lagi kesempatan bagiku... apakah aku dapat meninggalkan dunia ini dengan tersenyum, mengenang hidupku yang indah, ataukah aku akan berteriak dan menangis menyesali segalanya?

Icha sayang...tidak hanya hidupmu, bahkan kepergianmu juga telah membuahkan sesuatu yang berharga bagiku.
Membuahkan pemikiran, membuahkan kesadaran, membuahkan tekad untuk memperbaiki diri.
Segala puji bagi Allah SWT, sang pemilik jiwa dan ragaku.
Selamat jalan Icha...semoga damai dan bahagia menyertaimu, melebihi apapun yang pernah kamu cicipi di dunia ini.




Dan pada hari itu, tepatnya pada Jumat 4 Agustus 2006, tidak hanya satu berita duka yang saya peroleh.
Hanya berselang dua jam, sebuah berita duka lain sampai pada saya.
Kali ini seorang 'kakak', yang tak usianya juga tak terpaut jauh dari saya, tiba-tiba dipanggil begitu saja olehNya.
Innalillahi wa innailaihi rojiuun.
Semoga amal ibadah mas Ahmad Bakti (alm) diterima di sisiNya. Amiin.
Kepada keluarga almarhum, semoga dianugerahi kekuatan dan ketabahan menghadapi semua ujian ini. Amiiin.