Senin, 20 Oktober 2008

di salah satu tahun barumu, Papa

hari ini, 18 Oktober 2008, adalah hari ulangtahun ke-58 Papa saya yang tercinta.
Mengingat tanggal ini, saya jadi ingin menulis sesuatu tentang, bahkan kalau mungkin untuk (kalau tulisan ini cukup pantas), Papa. Tidak ada alasan kenapa saya belum pernah membuat tulisan ini (ya memang belum saja!), juga kenapa saya memilih usia yang ke-58 ini (bukan angka 50, 40, atau angka ’menarik’ lainnya). Bukan maksud mengistimewakan satu angka dari yang lain, karna menurut saya, usia adalah suatu nikmat yang perlu disyukuri sesering mungkin.


Nah, saya akan mulai sekarang.

Selamat memulai tahun usiamu yang lain, Papaku sayang...
Di usia Papa yang ke-58 ini, aku makin melihat jelas perbedaan penampilan Papa sekarang dengan...katakanlah, 20 tahun lalu.
Ya, rambut putih Papa yang sudah jauh bertambah banyak itu salah satunya.
Tapi di mataku, ada banyak hal yang jauh lebih jelas terlihat.

Papa tahu..?
Sejak pertama kali aku mempunyai memori, yang kuingat Papa adalah sosok yang menyebalkan atau menakutkan.
Di meja makan, Papa yang kuingat adalah Papa yang menggenggam sebotol sambal sebagai ancaman kalau aku tak segera menghabiskan makanan di piringku.
Di akhir acara makan, cuma Papa yang keras kepala mengejarku kemana-mana dengan potongan pepaya, mangga, melon, atau semangka yang malas kumakan.
Di waktu tidur siang, bayangan akan dihadiahi jeweran Papa adalah satu-satunya cara ampuh untuk membuatku tidur.
Di saat mengerjakan PR dari sekolah, kebencian pada ujung bolpen yang akan didaratkan Papa ke pahaku menjadi motivasi yang kuat untuk tidak membuat kesalahan sama sekali saat mengerjakan pekerjaan rumah itu.

Papa tahu..?
Sampai masa abg, aku tidak tahu, dan mungkin juga tidak akan percaya kalau ada yang memberitahu bahwa sesungguhnya...Papa sayang padaku.

Papa tahu..?
Menjelang masa-masa terakhirku tinggal bersamamu dulu, beberapa minggu sebelum aku menempuh ujian akhir SMA-ku, tak lama sebelum aku menyandang gelar mahasiswa yang berdomisili di kota lain....aku betul-betul tercengang.
Karna saat aku nyaris frustasi dan menyerah menghadapi ujian Fisika, Papa yang selalu bersemboyan ”Fisika-itu-mudah” ternyata mengerti kesusahanku dan dengan sabar membantuku belajar (sama sekali tidak ada bentakan atau colokan bolpen ke paha setiap kali aku tak mengerti!).
Karna saat aku benar-benar merasa bodoh dan sedih, Papa berusaha mengembalikan kepercayaan diriku.
Karna entah bagaimana, tiba-tiba aku baru menyadari semua bentuk kasih sayang Papa untukku sebelumnya.

Papa tahu...?
Kalau bukan karna Papa yang menuntutku untuk mendapatkan nilai 10 di sekolah sejak dulu, mungkin aku tak tumbuh jadi seorang yang selalu mengusahakan kesempurnaan dalam pekerjaanku.
Kalau bukan karna Papa yang memaksaku untuk selalu tidur siang, mungkin saja aku akrab dengan penyakit insomnia.
Kalau bukan karna Papa yang rajin mengejar-ngejarku sampai ke kamar untuk menyuapkan potongan buah pepaya tiap malam dulu, mungkin seumur hidup aku tak akan pernah senang makan buah.
Kalau bukan karna Papa yang menakut-nakutiku dengan sambal, mungkin Mama juga tak akan berhasil mendidikku menjadi seorang yang tak pernah menyisakan makanan.

Papa tahu...?
Salah satu yang membuatku bertahan dan berjuang untuk bisa menyesaikan kuliahku adalah kata-kata dalam surat Papa waktu aku akan mulai kuliah di institut negeri yang juga merupakan almamater Papa: Papa bilang, Papa bangga padaku! Itu cukup bagiku untuk berulangkali membantu mengalahkan semua rasa ketidakberdayaanku selama lima setengah tahun aku menjadi mahasiswa di institut terbaik di negeri ini.

Papa tahu...?
Bertentangan dengan keberatan Papa dulu pada hobiku menulis yang sering tak mengenal waktu dan tempat, keengganan Papa dulu waktu aku hampir ingin kuliah di jurusan sastra, Papa adalah orang nomor satu yang membuat karir kepenulisanku akhirnya dimulai. Kalau bukan karna Papa yang bersikeras mencetak dan memperbanyak satu karya yang sudah hampir kulupakan untuk menjadi souvenir pernikahanku, mungkin sekarang belum satu pun penerbit yang mengenal namaku sebagai nama seorang penulis buku.

Papa tahu...?
Salah satu yang membuatku paling sedih saat Papa melakukan ijab kabul dengan lelaki yang menjadi suamiku sekarang adalah perasaan Papa padaku , yang entah bagaimana sampai begitu indahknya padaku. Entah bagaimana, Papa yang selalu berhemat dalam penyampaian kata-kata itu bisa begitu saja menyampaikan seluruh perasaan sayang Papa yang luar biasa untukku hanya melalui sorot sepasang mata Papa.

Papa tahu...?
Entah kenapa, aku dulu pernah tak percaya bahwa Papa menyayangiku.
Dan aku pun dulu pernah merasa, mungkin tak perlu menyayangi Papa.

Tapi, tahukah Papa....?
Aku bahkan sudah lupa sejak kapan aku begitu menyayangi Papa.
Dan sekarang, Papa yang kuingat hanyalah Papa yang tak pernah tak menyayangiku.

Selamat ulang tahun, Papa sayang…
Semoga Allah SWT mengaruniai Papa usia panjang yang berkah, kesehatan lahir dan batin, kebahagiaan dunia dan akhirat.


Jakarta, 18 Oktober 2008.
- H e i D Y -

6 komentar:

Rieka mengatakan...

Huaaaa aku terharu!!!!
Jadi inget papaku...
Apalagi kalo inget puisi bikinan papa di akad nikahku... huuuuu
Oh ya, papaku juga baru ultah beberapa hari yang lalu dy...

Happy Birthday Papaku & Papa Heidy...
:)

Fitri - saya turis... mengatakan...

gue gak tahan mau baca detil, belum apa2 mata gue dah berkaca2...ternyata heidi bakat jadi poet nih dah baca beberapa puisi-nya ok juga..

prisintan mengatakan...

waah puisinya bagus banget!
iya emang ayah paling top!

Heidy Kaeni mengatakan...

Rieka : waah ternyata ultah papa kita berdekatan Ka? Happy belated bday tuk Papamu klo bgitu.. trims yaa

Fitri : y ampuun. masa sih Mbak..

Intan : wah trimakasih..emang ini puisi ya? hehe *gak yakin sendiri*

scttrBrain mengatakan...

uhuhuhu jadi pengen nangis...uhuhuhuhu...oh papa papa...uhuhuhuhuh..

:p

pakabar heiddyyy

Anonim mengatakan...

jadi terharu nih baca na...