Rabu, 19 Mei 2010

Ketika Mama Sakit

Ketika Mama Sakit --> postingan 19 Mei 2010

“Mba Dy dimana?” tanya adik saya begitu saya menjawab panggilannya melalui ponsel saya.
“Di plasa telkom, lagi antri mau bayar speedy. Kenapa?” jawab saya.
“Oh…belum sampai rumah ya. Ya sudah, nanti kalo udah sampai rumah bilang ya, ntar ditelpon lagi.”
Saya mengernyit. Kenapa harus begitu? Saya tidak keberatan diajak ngobrol saat itu, karena menunggu sekitar 20 nomor antrian bukan pekerjaan yang tidak bisa ’disambi’ dan menuntut fokus. Saya sampaikan pendapat itu, tapi adik saya tetap menolak dan bersikeras untuk menelepon lagi saja setelah saya tiba di rumah. Akhirnya saya mengalah dan menutup telepon, meski tetap sibuk memikirkannya. Perasaan saya tidak enak. Sebersit dugaan tiba-tiba terlintas di benak saya.

Beberapa puluh menit kemudian, saya sampai di rumah dengan selamat. Saya beritahu adik saya dan ia langsung menelepon. Kali ini tanpa panjang lebar, ia langsung berkata, ”Mama diopname,”

Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun. Berita itu sama sekali tidak mengejutkan saya. Mungkin karena Mama memang sudah terserang typhoid sejak 3 minggu yang lalu. Mungkin karena di bawah perintah dokternya untuk bedrest, Mama tetap saja bekerja kesana kemari. Mungkin karena kondisinya tak juga membaik, malah sebaliknya. Dan mungkin karena berita itu sama persis dengan dugaan saya beberapa puluh menit sebelumnya.

Sebetulnya menurut saya, jauh lebih baik jika Mama dirawat di rumah sakit ketimbang di rumah...sejak awal, begitu tes darah menyatakan Mama positif typhus. Kalau di rumah sakit, judulnya jelas: DIRAWAT. Kalau di rumah? Perintahnya sih bedrest....tapi penerapannya sangat mudah melenceng. Mulai dari tidak adanya perawat tulen yang siaga sehari semalam, godaan untuk mengurus rumah, sampai anggapan remeh dari berbagai pihak terhadap penyakit yang diderita.

Saya agak maklum sih, jika pada awalnya banyak yang tak percaya Mama sakit. Memang sejak dulu, begitulah Mama. Dalam kondisi sakit seperti apapun, nyaris tak ada tanda-tanda yang ditunjukkannya melalui suara, wajah, maupun gerak-geriknya. Suaranya tetap penuh semangat, ceria atau tegas sesuai kebutuhan. Wajahnya tetap segar berseri. Gerak-gerik...tak usah ditanya lagi. Jangankan ke kamar mandi, ke luar kota pun masih dilakoninya saat terserang penyakit yang biasanya sudah membuat seseorang berbaring tak berdaya.

Masih ada satu lagi. Ingat tadi cerita saya di awal tentang bagaimana adik saya menahan-nahan info tentang Mama yang diopname? Itu adalah amanah mama saya, yang selalu memikirkan orang lain terlebih dulu sebelum memikirkan dirinya sendiri, yang selalu berusaha tak merepotkan orang lain dalam kondisi apapun, yang terkadang narsis tapi tak senang me’narsis’kan kondisi sakitnya.

Apa yang terjadi di hari Mama masuk rumah sakit untuk rawat inap? Papa sedang di Pekanbaru. Saya di sekolah. Kedua adik saya di Bandung. Mama ke rumah sakit hanya diantar pembantu, yang meskipun cukup membantu beberapa urusan tetap tidak bisa mencegah Mama berjalan kesana-kemari mengurus berbagai hal lainnya (pendaftaran dan pembayaran dokter, administrasi ketika akan opname, dan lain sebagainya) sambil menahan sakit. Ketika saya protes menanyakan mengapa Mama tidak memberitahu saya (karena sayalah satu-satunya anggota keluarganya yang tidak berada di luar kota saat itu!) sejak awal, Mama menjawab ringan tentang pekerjaan saya. Lalu mengapa harus menunggu saya sampai di rumah dulu? Supaya tidak cemas dan grogi saat menyetir, katanya. Ya Alloh...ingin nangis rasanya.

Tapi......Mama betul-betul sudah sakit. Tes darah menunjukkan positif typhoid. Internist memberi surat keterangan sakit dan perintah bedrest. Bedrest berarti istirahat di tempat tidur, bukan di perjalanan antar kota....masya Alloh. Apa masih kurang jelas?

Saya betul-betul tak mengerti. Ketika Mama berkata bahwa beliau masih HARUS memimpin rapat di kantor karena tak ada yang bisa menggantikan. Ketika pihak yang mengundangya ke luarkota menyampaikan bahwa mereka sangat membutuhkan Mama dan TIDAK BISA mencari orang lain dan berkata ”tidak apa-apa Bu, Ibu tinggal datang saja...” dengan santai. Maksudnyaaaa?? Yang tidak apa-apa itu siapa, sih? Mereka yang tidak sakit??? Apa mereka menggunakan sedikit saja logika berpikir mereka????

Kalau Mama diopname, apa ada yang masih bisa membuatnya tetap pergi ke kantor? Siapa yang masih bisa memberangkatkannya ke luar kota? Sok atuh....angkut infusnya, sewa ambulans sekalian. Sebanyak itukah fans Mama yang ingin melihatnya memimpin forum sambil tidur dan ber-infus ria? Subhanallah....Michael Jackson ternyata tidak ada apa-apanya ya, dibandingkan mama saya.

Seharusnya Mama diopname sejak awal sakit, sebelum penyakitnya bertambah parah dan mempersulit kesembuhan. Ketika Mama sekarang akhirnya diopname dengan berbagai macam pemeriksaan dan pengobatan yang lebih kompleks, saya merasa jauh lebih sedih dan khawatir...karena itu berarti dokter yang menanganinya pun sudah lebih khawatir dan tak berani melepaskan Mama di luar rawat inap.... *sigh*

Doa anak Mama
Ya Allah...berikanlah keikhlasan, kesabaran, dan kekuatan bagi Mama dan kami keluarganya dalam menghadapi ujian-Mu. Curahkanlah kasih sayangMu yang tak terbatas pada Mama, sebagaimana ia mencurahkannya tanpa batas pada kami selama ini....amiin...

Pesan sponsor
Bagi pihak-pihak yang masih membutuhkan mama saya secara profesional, saya mohon carilah cara agar saat ini Mama dapat menggunakan waktu istirahatnya secara maksimal sehingga Insya Allah Mama lebih cepat pulih dari penyakitnya dan dapat berkarya dengan lebih baik pula....


RS Haji Jakarta, 19 Mei 2010.
Di sela-sela kegiatan memandangi wajah cantik Mama yang sedang tidur.... :D
- anak narsis -

Minggu, 16 Mei 2010

Di mana saya sekarang?

Hai! Siapa yang merindukan sayaa?…..? *kedip-kedip centil*

Beberapa bulan yang lalu, saat saya masih berstatus pegawai swasta yang sedang mengambil unpaid leave dan menghabiskan lebih banyak waktu di rumah untuk tujuan menulis, saya sempat mengalami writer’s block dan menjadi gundah gulana karenanya. Inspirasi mampet dan gairah lebih banyak ‘tenggelam’ ketimbang ‘timbul’. Tak perlu waktu lama untuk menyelidiki dan mengetahui penyebabnya. Hanya dengan beberapa kali kontemplasi dan berdiskusi sana-sini, saya pun tahu bahwa kebuntuan itu disebabkan oleh minimnya sumber inspirasi.

Dari mana saja saya memperoleh inspirasi? Hidup saya sendiri? Bosan! Bukan berarti saya merasa hidup saya membosankan, astaghfirullah... Hidup saya luar biasa kok, alhamdulillah. Masalahnya, saya sudah menulis berlembar-lembar tentang berbagai hal dalam hidup saya. Saya haus akan sumber inspirasi lainnya!

Dalam masa itu, salah seorang sahabat saya sempat berkomentar sambil lalu, “Heidy....kamu itu nggak cocok hanya kerja di belakang meja. Kamu hidup untuk bersentuhan langsung dengan orang lain..untuk berbagi banyak hal secara langsung! Kurasa kamu ditakdirkan untuk itu!”

Kata-kata itu begitu ringan diucapkan, namun bermakna sangat dalam! Itu adalah kata-kata yang diucapkan hanya dalam hitungan detik, tapi membuat saya terhenyak dan termenung berhari-hari. Dan siapa sangka, ucapan itulah yang menjadi salah satu pendorong saya dalam mengambil salah satu keputusan terpenting dalam hidup saya.
Saya kembali menceburkan diri ke dunia yang sebetulnya sangat kuat menarik minat saya tapi kemudian sempat saya tinggalkan dengan alasan ’ingin melihat dunia yang lebih luas dan mencari tantangan yang lebih besar’. Dunia pendidikan, itulah labelnya.

Untuk itu, saya menggenapkan shalat-shalat istikharah saya, memohon untuk diberikan kemantapan dalam memutuskan....dan saya pun mengundurkan diri dari pekerjaan saya di dunia market research, sebuah dunia yang sebetulnya juga sangat menarik, menawarkan luasnya wawasan ilmu dan jaringan sosial, tantangan dan karir yang berjenjang, serta penghasilan tetap yang cukup.

Waktu saya sudah benar-benar mundur (bukan lagi berstatus cuti, tapi resign), saya masih meraba-raba dalam membuat tahapan langkah untuk cita-cita saya di dunia pendidikan. Apa yang saya inginkan? Apa yang harus saya lakukan untuk itu? Dari mana saya harus mulai? Saat itulah, subhanallah, Allah menunjukkan jalan melalui seorang teman yang menawarkan lowongan pekerjaan sebagai guru sekolah.

Guru sekolah! Saya belum pernah benar-benar menjadi guru sekolah. Saya pernah menjadi guru privat, guru bimbel, guru di sebuah lembaga pendidikan non formal, tapi belum pernah menjadi guru sekolah. Saya ingat betul ketika melakoni peran guru di lembaga-lembaga itu, seringkali saya bertanya-tanya tentang guru sekolah. Sebesar apa tanggung jawab mereka? Apa saja yang mereka lakukan sebagai sosok kedua (setelah orangtua) yang bertatap muka paling banyak dengan para pelajar? Saya mungkin belum memutuskan untuk menjadi guru sekolah sampai akhir hayat kelak, tapi saya tahu betul...entah untuk berapa lama, dalam suatu masa hidup saya, saya harus menjadi guru sekolah.

Selain alasan tersebut di atas, ada alasan lain yang lebih besar mengapa saya memutuskan untuk menyandang profesi guru di sekolah ini. Sekolah tempat saya mengajar ini adalah sebuah sekolah dasar yang mengandung nama ’Islam’ dalam rangkaian nama yang disandangnya. Namun, sekolah ini lebih dari sekolah agama seperti yang selama ini saya bayangkan. Berdasarkan informasi awal yang saya peroleh, saya mengetahui bahwa gaya pembelajaran di sekolah ini mengadopsi gaya pembelajaran di beberapa sekolah sekaligus : sekolah alam, sekolah islam terpadu, sekolah swasta, hingga bahkan sekolah negeri. Hal ini pun terbukti ketika saya mencicipinya langsung.


Sungguh luar biasa. Sebagai seseorang yang selama ini lebih banyak mengenyam pendidikan di sekolah negeri (dari SMP sampai perguruan tinggi), saya takjub menyaksikan apa yang diperoleh anak-anak di sekolah ini. Mereka mendapatkan banyak pengalaman belajar yang tidak saya peroleh ketika di bangku sekolah. Mempelajari berbagai ilmu dengan memaksimalkan seluruh modal belajar (visual, auditori, kinestetik) dan ranah kompetensi (psikomotor, afektif, dan kognitif), menerapkan prinsip-prinsip islam dalam multi disiplin ilmu, menerapkan langsung ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari, belajar berpikir kritis, belajar memahami konsep-konsep moral di balik peraturan, belajar menyelesaikan berbagai masalah sosial, dan masih banyak lagi!

Saya bisa belajar banyak hal dan insyaAllah turut berbagi banyak hal. Itulah yang menjadi motivasi saya bergabung dengan sekolah ini. Meskipun untuk itu, keikhlasan saya untuk mengorbankan banyak hal juga diuji.

Waktu dan tenaga adalah salah satu biaya terbesar yang harus saya keluarkan untuk memperoleh pelajaran yang saya inginkan di sini. Berbeda halnya dengan profesi guru bimbel yang pernah saya lakoni dulu, waktu dan tenaga saya di sini tidak hanya terpakai untuk menyiapkan problem set dan mengajar di depan kelas. Saya belajar bahwa untuk bisa memberikan dan mendapatkan hasil yang maksimal, persiapan yang dilakukan pun harus maksimal...mulai dari menggodok konsep, menyusun program, menurunkannya dalam bentuk unit&lesson plan, menyiapkan alat peraga, menyiapkan rencana cadangan, dan sebagainya. Belum lagi hal-hal di luar persoalan akademis yang sangat saya senangi sejak dulu : memfasilitasi anak untuk menyelesaikan masalah-masalahnya di luar masalah akademis.

Di tengah kelelahan fisik yang terkadang muncul dan komentar orang-orang di luar lingkungan ini tentang ’untuk apa saya membuang-buang uang di sini’, saya yakin bahwa saya sama sekali tidak merugi. Untuk yang peduli dan ikut memikirkan masalah pendapatan, terimakasih dan tidak perlu khawatir: saat ini saya sedang sekolah lagi, cari ilmu, bukan cari uang. Untuk yang peduli dan menyayangkan masih ’kecil’nya tantangan dan sumbangsih saya pada negeri dan dunia, terimakasih dan tolong bersabar. Doakan saja saya untuk terus berkembang, karena saya berjanji tak akan berhenti di sini.

Lalu bagaimana soal gairah dan inspirasi, hal pertama yang saya sebut dalam tulisan ini? Let’s hear the other good news, meskipun saya merasa belum bisa tersenyum senang. Tentu saja, alhamdulillah…dunia ini terbukti mendukung passion saya di bidang menulis dengan memberi banyak inspirasi. Kalau saya mengalami kebuntuan inspirasi di saat dulu sedang cuti dan punya banyak waktu untuk menulis, sekarang…inspirasi begitu melimpah ruah! Masalahnya, sekarang saya tidak punya cukup waktu untuk menulisnya.

So, any advice?

15 Mei 2010
- H e i D Y -

Terimakasih kepada sang pencipta gambar (saya unduh dari sini)!