Saya mengerti
karena kadang ketidakpercayaan diri itu terjadi pada saya. Dan saya tahu
mengapa itu bisa terjadi. Ketidakpercayaan diri berarti meragukan diri sendiri
dalam suatu hal. Dulu saya pernah tidak percaya diri mengemudikan mobil di
jalan raya. Saat itu saya baru belajar dan masih meragukan kemampuan saya sendiri
dalam hal menyetir. Saya juga masih tidak percaya diri jika meluncur sendiri di
atas es di tengah arena ice skating. Tentu
saja karena saya tidak pernah secara khusus belajar ice skating dan memang
jarang sekali melakukannya. Wajar kan jika kemampuan saya melakukannya masih sangat meragukan?
Lalu bagaimana
dengan ketidakpercayaan diri untuk menulis? Setiap orang yang sudah lulus SD dan
tidak terisolir dari peradaban pasti bisa menulis. Adalah aneh, jika ada yang
meragukan kemampuan diri sendiri untuk menulis. Apa yang ditakutkan? Pensil
patah saat menulis? Listrik mati saat mengetik? Lalu?
Saya tidak percaya
tentang ketidakpercayaan diri untuk menulis. Yang saya percaya terjadi adalah
ketidakpercayaan diri untuk memperlihatkan hasil tulisan kepada orang lain.
Tidak percaya diri memamerkan hasil tulisan tangan mungkin berkaitan dengan
indah tidaknya tulisan tangan itu sendiri. Tapi saya yakin bukan itu maksud
sahabat saya. Yang ia ragukan adalah jalinan makna yang termuat dalam
tulisannya. Oya, dalam hal ini yang saya maksud adalah karangan bebas, bukan
sejenis karya tulis ilmiah.
Apa yang diragukan
dari isi tulisan sendiri? Mungkin keraguan apakah isi tulisan itu dapat
diterima orang lain. Atau bahkan, keraguan apakah orang lain akan menilai isi
tulisan itu baik atau indah. Keraguan apakah isi tulisan itu dianggap berbobot
oleh orang lain. Pokoknya yang berhubungan dengan orang lain, orang lain, dan orang lain. Sekali lagi: ORANG LAIN.
Maka, bukankah tidak
tepat jika masalah ini disebut ketidakpercayaan diri untuk menulis? Kurasa yang
sesungguhnya terjadi adalah ketidakpercayaan diri untuk memuaskan orang lain
melalui tulisan kita. Mari bertanya lagi pada diri sendiri: memangnya untuk apa kita menulis? Mengapa menjadikan orang lain sebagai kiblat?
Bagi saya,
menulis bebas (seperti ini) adalah satu kesempatan membebaskan jiwa. Juga
meringankan beban pikiran atau perasaan. Jika menghadapi banyak masalah dalam
keseharian, menulis bisa menjadi terapi yang menyehatkan jiwa. Tak perlu
membawa-bawa sampah dalam otak atau hati. Cukup tuangkan semuanya dalam tulisan,
beres. Nah, jadi, apa hubungannya dengan orang lain?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar