Sejak kecil, topik kesehatan tidak pernah jauh dariku dan adik-adikku. Kuduga ini dialami oleh semua anak lain yang orang tuanya juga berprofesi sebagai dokter. Kebersihan makanan dan lingkungan sebagai langkah pencegahan penyakit pasti selalu menjadi prioritas. Tak ketinggalan pula ilmu praktis berupa rangkaian tindakan yang harus diambil jika ada yang telanjur sakit. Koleksi obat-obatan yang memenuhi sebagian sisi meja makan di rumah kami pun menjadi pemandangan yang biasa.
Namun, ada yang berbeda dari “transfer ilmu” yang dilakukan ibu
kami sejak beliau mempelajari functional medicine atau kedokteran
fungsional. Sekarang, hal yang Mama ajarkan kepada anak-anaknya bukan
lagi beragam obat pereda gejala penyakit seperti yang dahulu ia sampaikan saat
kami masih kecil.
“Maafin Mama, ya … banyak banget salahnya dulu. Dikit-dikit
ngasih obat …”
Berulang kali Mama meminta maaf pada kami. Anak mana yang
tak sedih mendengar ibunya berkata demikian? Mungkin karena bumbu perasaan
itulah, wawasan baru Mama juga segera terserap oleh kami. Lagi pula, sekarang
bukan hanya Mama yang mengajari kami. Beberapa dokter langganan kami kebetulan juga memberi banyak “kuliah” tentang ini tiap kami mengunjungi mereka.
Ketika kuceritakan bahwa dokter-dokter kami tidak pernah
cepat-cepat memberi antibiotik, Mama tampak senang. Beliau menyesal karena
tindakan itu justru sering beliau lakukan padaku dahulu. Seperti membunuh
seekor kecoa di toilet kecil dengan menggunakan bom atom, begitulah beliau
mengumpamakannya.
Mamaku tak bosan mengingatkan bahwa cara pengobatan yang
seperti itu malah melemahkan tubuh manusia. Sesuai dengan namanya, antibiotik akan
mematikan semua bakteri. Keseimbangan tubuh yang terbentuk oleh trilyunan
pasangan bakteri “baik” dan “jahat” pun terganggu. Akibatnya, tubuh kita lupa
akan bekal kemampuannya sendiri untuk mengatasi berbagai gangguan dari luar.
Kami sekeluarga diajak menggunakan cara baru dalam memandang
kesehatan dan penyakit. Kesehatan tubuh harus dilihat sebagai keseimbangan suatu
sistem yang berhasil bekerja secara harmonis, sedangkan penyakit dilihat
sebagai gangguan terhadap ketidakseimbangan fungsi tubuh tersebut. Dengan demikian,
kita dapat menyadari bahwa sejatinya penyakit itu tidak hanya berasal dari apa
yang masuk ke tubuh, tetapi juga dari bagaimana tubuh bereaksi atas segala
pemicu tersebut. Sebenarnya ini sama sekali bukan ilmu baru. Konon, prinsip ini
telah dipegang erat oleh nenek moyang kita yang masih bersahabat dengan alam
sepenuhnya, jauh sebelum manusia gemar mengembangkan zat-zat pembasmi
berbagai makhluk lainnya.
Berangkat dari pemahaman itulah, Mama memperkenalkan
probiotik pada kami. Dalam artikel yang ditulis bersama beberapa peneliti
lainnya, Colin Hill, seorang profesor di bidang microbial food safety, mendefinisikan
probiotik sebagai mikroorganisme hidup yang dapat memberikan manfaat kesehatan
jika dikonsumsi dalam jumlah yang memadai (Baud, dkk., 2020). Beberapa bukti klinis
pun telah menunjukkan bahwa strain probiotik tertentu dapat membantu pencegahan
infeksi bakteri dan virus.
seperangkat suplemen probiotik andalan keluargaku (kubeli di Seruni Djamoe) |
Tidak seperti terapi medis pada umumnya, probiotik tidak membunuh kuman penyakit secara langsung. Probiotik justru bekerja dengan menyuplai lebih banyak lagi strain bakteri agar keseimbangan mikroba dalam tubuh tercapai. Tujuannya jelas, yaitu membiarkan tubuh bekerja dan menemukan kembali kemampuan alaminya dalam mencapai dan mempertahankan kesehatan. Bukankah ini menjadi misi yang kian penting dan genting di era pandemi sekarang?
Dari berbagai tinjauan pustaka kasus Covid-19, diketahui bahwa
orang yang memiliki imunitas alami yang baik akan mampu menghadapi ancaman
virus tersebut. Salah satu penelitian yang mendukung prinsip ini datang dari Al-Ansari, dkk. (2020). Dalam artikel tersebut, dikatakan bahwa suplementasi probiotik
dapat menjadi salah satu “pemain utama” dalam meningkatkan imunitas tubuh demi
memerangi virus Covid-19.
Tak ada yang tak setuju bahwa menjaga kesehatan mesti diprioritaskan,
apalagi di era pandemi ini. Namun, mungkin yang perlu dicermati kembali adalah cara
yang kita pilih. Jika diibaratkan dengan pemenuhan kebutuhan hidup jangka panjang,
kurasa aku lebih memilih dibekali dengan keterampilan untuk bertani sendiri daripada dihadiahi selumbung padi. Bagaimana denganmu?
Salam,
- H e i D Y -
Referensi:
Al-Ansari, Mysoon M., dkk. 2020. “Probiotic lactobacilli:
Can be a remediating supplement for pandemic COVID-19. A review” dalam Journal
of King Saud University – Science. Vol.33, Issue 2.
Baud, D., dkk. 2020. “Using Probiotics to Flatten the Curve
of Coronavirus Disease COVID-2019 Pandemic” dalam Front Public Health, V.8, 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar