Minggu, 13 Agustus 2006

in memoriam of Icha

Icha...sekarang kamu dimana, sayang?
Bagaimana rasanya di alam sana?
Ah, anak sekecilmu tentu tidak akan kesusahan, ya?
Di usia sedini ini telah menghadapNya, tidak terbayang olehku dosa apa saja yang sempat kamu perbuat selama hidup.

Hidup sesingkat itu...siapa yang tahu?
Apa kamu pernah tahu, sayang?
Apa kamu pernah menebaknya, mengira-ngiranya, sayang?
Bahwa hidupmu sesebentar itu...
Aku, sama sekali tak menyangka.

Saat kita pertama kali bertemu, sama sekali tak terpikir olehku bahwa itu adalah sebuah kesempatan emas yang dianugerahkanNya padaku.
Bagaikan sebuah kesempatan dalam kesempitan, begitulah istilah yang dulu populer di masa-masa ujian sekolahan.
Masa-masa kita bermain bersama, tak pernah terbayangkan sebelumnya olehku bahwa itu adalah kesempatan terakhirku bercengkrama denganmu.

Saat malaikat pencabut nyawa sedang menunggu hitungan detik untuk melaksanakan tugasnya,tak pernah kutahu, tak pernah sedikit pun terpikir atau terbayang olehku,bahwa waktuku untuk bersamamu tak lagi banyak.

Dan kini, setelah waktu itu habis, aku terpaku.
Aku tercenung, mengenang sosokmu.
Apakah aku telah menggunakan waktuku dengan baik?
Ataukah aku telah menyia-nyiakan kesempatan emas itu?

Kesempatan yang sebentar itu, adalah emas bagiku.
Aku sempat mengenalmu, aku sempat mendapat senyummu, aku sempat mendapat kepercayaanmu,aku sempat menyentuhmu, aku sempat mendapat sayangmu.
Semua itu, adalah emas bagiku...

and I'll treasure that for the rest of my life.

Lalu, Sayang, sempatkah kamu mendapatkan sesuatu dariku?
Sempatkah aku memberimu sesuatu yang tidak sia-sia?
Adakah, satu, saja...
satu, saja....hal yang berharga yang sempat kuberikan bagimu..
yang terkenang selama sisa hidupmu yang sangat singkat itu?

Pada suatu siang, di tengah perjalanan ke suatu tempat, seorang teman menelepon ke HP.
Ucapan 'halo' dari saya langsung dibalas dengan sepatah kalimat super singkat dan padat : "Dy, Icha meninggal."
Kedua kaki langsung berhenti berjalan.
Sementara jantung tiba-tiba bekerja sepuluh kali lipat lebih cepat, saya menanggapi perkataan itu dengan suara yang sama sekali tidak pelan, "ICHA SIAPA?!"
Jawaban yang saya terima setelah itu bukan lagi kalimat singkat, melainkan kalimat-kalimat penjelas yang entah kenapa rasanya membuat sekujur tubuh membeku.
Yang meninggal dunia itu, bukan 'siapanya' seorang yang saya kenal.
Yang wafat itu, adalah seorang yang saya kenal langsung.
Seorang yang belum lama saya kenal, tapi sosoknya telah memiliki tempat di hati ini.

Almarhumah adalah salah satu anak kelas menulis kreatif yang saya 'asuh' pada kegiatan liburan kemarin.
Ya Allah...rasanya susah sekali untuk percaya.
Susah sekali, untuk percaya bahwa 'anak' saya itu telah tiada.

Di dalam angkutan kota, saya duduk dengan isi pikiran melayang ke masa beberapa minggu sebelumnya.
Masa-masa dimana saya masih berinteraksi dengannya, bermain dan sebagainya.
Masa-masa dimana ia sering sekali memeluk saya, ngelendot, bermanja-manja.
Masa-masa dimana ia banyak sekali melontarkan ucapan canda dan terkadang saya menegurnya karena itu.
Lalu saya ingat ketika terakhir kali kami bertemu, saya memberinya surat perpisahan.

Tulisan saya dalam surat itu tidak begitu pendek (mengingat saya susah sekali mengerem ketika menulis), dan sebenarnya berisikan apa-apa yang sebelumnya juga telah sering saya sampaikan padanya secara lisan: tentang apresiasi terhadap keberaniannya, tentang pengakuan atas keunggulannya dalam beberapa hal lain, tentang ajakan dan dorongan untuk terus berkarya, dan tentang teguran halus atas salah satu sikapnya yang terkadang membuat orang lain merasa tidak nyaman.

Rasanya ingin menangis ketika mengingat itu semua, ketika menyadari bahwa itu semua adalah kata-kata terakhir saya padanya.
Saya tidak akan dapat menyampaikan apapun lagi padanya, dan begitu pula sebaliknya.
Saya tidak akan pernah mendapatkan senyum atau candaan lagi darinya.

Selama beberapa jam, pikiran saya menolak untuk menyimpan kembali kenangan itu dengan rapih dan berkonsentrasi pada kegiatan saya saat itu.
Rasanya setengah bagian otak memerintahkan kedua tangan saya untuk bekerja di atas mouse dan keyboard komputer, namun setengah lagi masih berkelana dalam kenangan itu.

Kepergian 'anak' saya ini benar-benar meninggalkan sebuah pelajaran yang sungguh berharga.
Pelajaran tentang kesempatan, pelajaran tentang syukur.


Dalam sehari, tepatnya dalam 24 x 3600 detik, seberapa banyak aku bertemu dengan orang lain?
Bangun tidur, bertemu adik dan sahabat yang tinggal serumah.
Keluar rumah, bertemu tukang ojek, supir angkot, orang-orang di angkot atau di jalan.
Di tempat yang dituju, bertemu teman-teman atau rekan belajar atau bekerja.
Mungkin ada puluhan, atau mungkin ratusan orang yang sempat bertatap muka denganku setiap harinya.

Dengan kata lain...ada puluhan, atau mungkin ratusan kesempatan.
Bukan tak mungkin, di antara itu merupakan puluhan, atau juga ratusan kesempatan terakhir kami bertatap muka.
Tapi, apa sajakah yang telah kulakukan pada semua kesempatan itu?
Pada setiap orang yang mungkin tak akan pernah kutemui lagi, apa sudah kulakukan padanya?

Apakah aku pernah meninggalkan sesuatu yang berharga baginya?
Ataukah aku hanya seorang yang lewat begitu saja di hadapannya, yang tidak memiliki arti apapun baginya?
Ataukah justru, aku adalah seorang yang ingin ia jauhi, seorang yang ia harap tak lagi ia temui?

Dalam 24 x 3600 detik setiap harinya, apa saja yang kulakukan tiap bertemu dengan orang lain?
Seberapa banyak aku melempar senyum, dibandingkan dengan memasang wajah dingin atau bahkan mencemberuti mereka?
Seberapa banyak aku menyapa ramah, dibandingkan dengan diam seribu bahasa atau bahkan memaki-maki mereka ?
Seberapa banyak aku menawarkan bantuan, dibandingkan dengan bersikap tak mau tahu?

Seberapa banyak aku menumbuhkan persahabatan, dibandingkan dengan mengobarkan permusuhan?
Seberapa banyak aku merawat cinta, dibandingkan memelihara benci?
Selama ini...apakah aku telah menggunakan kesempatanku dengan baik, ataukah hanya menyia-nyiakannya?
Dan jika waktuku pun tiba suatu saat nanti, jika tak ada lagi kesempatan bagiku... apakah aku dapat meninggalkan dunia ini dengan tersenyum, mengenang hidupku yang indah, ataukah aku akan berteriak dan menangis menyesali segalanya?

Icha sayang...tidak hanya hidupmu, bahkan kepergianmu juga telah membuahkan sesuatu yang berharga bagiku.
Membuahkan pemikiran, membuahkan kesadaran, membuahkan tekad untuk memperbaiki diri.
Segala puji bagi Allah SWT, sang pemilik jiwa dan ragaku.
Selamat jalan Icha...semoga damai dan bahagia menyertaimu, melebihi apapun yang pernah kamu cicipi di dunia ini.




Dan pada hari itu, tepatnya pada Jumat 4 Agustus 2006, tidak hanya satu berita duka yang saya peroleh.
Hanya berselang dua jam, sebuah berita duka lain sampai pada saya.
Kali ini seorang 'kakak', yang tak usianya juga tak terpaut jauh dari saya, tiba-tiba dipanggil begitu saja olehNya.
Innalillahi wa innailaihi rojiuun.
Semoga amal ibadah mas Ahmad Bakti (alm) diterima di sisiNya. Amiin.
Kepada keluarga almarhum, semoga dianugerahi kekuatan dan ketabahan menghadapi semua ujian ini. Amiiin.


1 komentar:

Liva mengatakan...

iya dy..gw juga sedih bgt pas dapet kabar dari lo..satu yg paling gw inget ttg icha..dia tu seneng banget ngegelendot manja...tipe anak yg rindu sentuhan gt...