Senin, 01 Juni 2009

tentang MEROKOK

Sebetulnya sudah lama saya mau menulis topik ini, tapi batal selalu dengan macam-macam alasan : dari mulai sibuk, lupa, mementingkan yang lain, sampai karna di negara ini, ini adalah topik sensitif.

Sekarang saya bertekad menulisnya, didukung dengan perayaan hari tanpa tembakau sedunia yang ternyata –saya baru sadar– jatuh tepat sehari setelah hari ulang tahun saya. WOW. Maka sebelum terlalu basi, saya berniat mendedikasikan sebagian waktu saya hari ini untuk berkontribusi melalui kemampuan terbaik saya : menulis.


Saya tidak dan tidak pernah merokok, juga semoga tidak akan pernah. Tapi sejujurnya, pernah terpikir untuk mencobanya karena penasaran. Seperti apa sih, rasanya? Kenapa begitu banyak orang menggandrunginya? Lalu pernah juga terlintas dalam benak saya : sepertinya saya akan tampak keren kalau jari-jari saya mengapit batang beracun itu dan menghisapnya dengan nikmat.

Alasan kenapa saya akhirnya tidak pernah benar-benar merokok mungkin erat hubungannya dengan lingkungan keluarga kecil yang membesarkan saya. Papa dan Mama saya sangat anti terhadap rokok. Dan setahu saya, Papa juga tidak pernah merokok. Beliau mengaku pernah mencobanya dulu sekali dan langsung tak habis pikir kenapa banyak orang yang menyukainya. ”Buat apa? Nggak enak kok,” katanya singkat. Begitu mendengar cerita itu, langsung pupus niat saya untuk mencoba. Saya meneladan sikap Papa yang rasional. Lalu, Ibu saya seorang dokter. Begitu mudah bagi saya untuk mengakses informasi tentang betapa bahaya dan merugikannya sebuah rokok. Entah berapa kali sudah kami mengangkat topik rokok saat makan bersama. Nafsu saya untuk terlihat keren dengan menggunakan rokok pun kalah telak.

Dari Mama, saya juga tahu bahwa salah satu bahaya yang sangat serius dari rokok adalah ancaman bahaya bagi para perokok pasif. Bukan hanya sekedar info yang saya dapat sejak remaja dulu, tapi bahkan contoh nyata : salah satu sahabat Mama meninggal karena kebiasaan suaminya yang perokok berat. Sungguh mengenaskan. Maka saya pun semakin berusaha keras untuk menghindari orang yang sedang merokok di sekitar saya. Itu pulalah yang menjadi syarat pertama ketika saya memilih calon suami dulu : dia bukan perokok (tapi ini cerita lain).

Namun sudah menjadi rahasia umum sepertinya, bahwa rokok adalah topik yang sensitif. Menegur atau melarang orang merokok di negeri ini mungkin bisa masuk dalam daftar ’hal paling sulit yang dilakukan orang pada umumnya’. Lha, wong para pejabat negara aja takut kok untuk mengesahkan undang-undang anti rokok...ups, bukan, bahkan bukan mengesahkan. Untuk membahasnya saja mereka tidak berani. Alasan yang paling sering didengar adalah betapa itu adalah salah satu generator terbesar devisa negara. Oh, saya tidak menyangka bahwa manusia-manusia negeri ini begitu bodoh, penakut dan tidak kreatif sehingga tidak bisa memikirkan alternatif solusinya. Lalu dari pengalaman nyata Mama saya yang masih merupakan bagian dari aparat negara, saya tahu bahwa mereka juga enggan membahas itu karena bahkan mereka tidak bisa melarang anggota keluarganya sendiri untuk merokok (suami, isteri, kakak, adik, orangtua atau anaknya). Saya tahu ini dari cerita teman-teman Mama yang aktif di LSM. Ketika menghadap salah satu orang penting tersebut, mereka disambut dengan kalimat : ”Mau membahas apa saja boleh, silakan, asal jangan tentang rokok”.

Saya sendiri merasakan betapa sulitnya menegur atau melarang orang lain merokok. Hmm, tidak usahlah menyuruh mereka berhenti merokok. Selama mereka bukan anggota keluarga saya, saya merasa tidak seberkepentingan itu untuk mencampuri pilihan hidupnya. Selain itu toh saya juga bukan bagian dari pemerintah yang bertugas untuk menyejahterakan masyarakatnya. Dan saya juga belum melihat ada undang-undang anti rokok yang perlu saya dukung.

Peraturan yang sudah ada adalah larangan merokok di tempat tertentu : fasilitas umum seperti jalan raya dan angkutan umum, pusat perbelanjaan, kantor-kantor pemerintah, rumah sakit, dan lain sebagainya. Kalau dipikir benar-benar, dengan peraturan ini saja berarti tempat-tempat untuk merokok sudah sangat terbatas. Jika peraturan ini benar-benar dipatuhi, tentu para perokok hanya bisa merokok di ruangan khusus atau rumah mereka sendiri. Tapi sayangnya, tidak demikian yang terjadi.

Di jalan, di angkutan umum, di kantor dan di berbagai tempat lainnya masih begitu banyak perokok yang tidak mengacuhkan larangan tersebut. Selain demi membela hak asasi saya untuk menghirup udara yang lebih bersih, saya sering menegur mereka juga karena merasa bahwa saya perlu mendukung upaya minimal pemerintah untuk mengurangi konsumsi rokok itu.

Tapi seperti yang saya sebut di awal, hal itu sama sekali tidak mudah. Saya pernah berhasil melakukannya. Anak-anak SMP yang saya tegur ketika merokok di dalam angkutan umum di Bandung dulu menuruti permintaan saya tanpa menjawab apapun mungkin karena menebak saya juga seorang guru waktu itu (dari pakaian dan barang-barang yang saya). Lalu saya pernah meminta seseorang untuk tidak merokok di samping saya dan Mama saya di sebuah acara pernikahan. Dia misuh-misuh, tapi akhirnya mematikan juga rokoknya ketika Mama mulai terbatuk-batuk dan saya meminta pengertiannya. Masih ada lagi lainnya, tapi itulah beberapa cerita sukses yang paling saya ingat.

Beberapa kali lainnya, saya gagal. Yang paling sering adalah saat meminta teman saya sendiri untuk berhenti merokok. Ada saja penyebabnya. Ada debat tak berujung yang beberapa kali memenangkan saya, tapi mereka hanya tertawa dan tetap tak berhenti merokok. Mungkin karena sudah hilang rasa sungkan pada saya yang sudah sangat akrab bergaul dengan mereka. Ada juga ketidakberanian saya sendiri atau dengan kata lain, sayalah yang sungkan. Salah satunya jika bertamu ke rumah teman yang memang perokok berat. Bagaimana cara melarangnya? Itu kan rumahnya sendiri, mungkin sayalah yang seharusnya tidak datang berkunjung ke sana. Lalu ada pula kemalasan, yang menunjukkan ketidakkonsistenan saya dalam bersikap dan mungkin dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman gagal sebelumnya.

Ada satu kejadian paling mengerikan yang saya ingat, mungkin karena ini yang paling baru terjadi. Waktu itu masih jam delapan pagi, tapi sudah cukup mepet bagi saya untuk tiba tepat waktu di kantor (saya sudah pindah dan bekerja di Jakarta). Saya naik angkutan umum yang terdekat dari rumah saya dan duduk di barisan bangku yang lebih pendek. Di bangku yang lebih panjang ada beberapa anak sekolah (yang mungkin tidak masuk pagi), sementara di bangku saya ada seseorang berpakaian hitam- hitam (berkacamata hitam, berjaket hitam, celana hitam, membawa tas hitam). Dia MEROKOK. Begitu saya duduk, saya langsung merasa nafas saya sesak. Ternyata si bapak yang duduk di ujung bangku ini merokok dengan santainya sementara seluruh jendela mobil tertutup. Selain ingin membela diri, tentu saja saya juga prihatin pada anak-anak sekolah itu. Betapa tak pekanya perokok yang satu ini.

”Pak, maaf, bisa tolong matikan rokoknya, Pak?” Itu kata yang saya ucapkan padanya dengan ramah, setelah sebelumnya menggeser kaca jendela di samping saya untuk mengeluarkan asap mematikan itu.

Apa yang terjadi kemudian tak pernah saya alami sebelumnya. Saya sudah pernah beradu mulut dengan orang yang merokok di sekitar saya sebelumnya, jadi saya sudah siap dengan jawaban yang paaaaaliiiiiing sering saya dengar seperti : ”Suka-suka gue, mau ngerokok atau nggak itu hak gue,”

Ya, itu hak Anda. Tapi adalah hak asasi saya untuk bernafas dengan udara yang lebih bersih, alasan itulah yang membuat saya berani untuk membela diri. Kalau ngajak debat untuk menimbang menang-kalah juga saya tidak takut. Memangnya ketika Tuhan menciptakan manusia pertama di bumi dulu, sudah ada rokok? Bernafas dengan udara bersih jelas merupakan hak asasi nomor satu.

Nah, yang terjadi hari itu tidak demikian. Sama sekali tidak ada jawaban yang langsung mendebat permintaan saya. Si bapak perokok itu hanya diam, menoleh ke saya dan melalui kacamata hitamnya, (mungkin) menatap saya. Sungguh sangat mengintimidasi.

Kemudian dia merokok lagi.

Dan saya pun mengucapkan permintaan saya sekali lagi.

Ketika reaksi dia tetap sama seperti sebelumnya dan saya merasa makin terintimidasi dan mungkin juga dipicu karena sebelumnya saya agak kesiangan dan mengawali hari dengan tidak terlalu baik, emosi menguasai diri saya.

Saya bicara lagi, kali ini saya akui dengan lebih kasar : “Bisa tolong matikan rokoknya Pak, atau kalau mau, merokok di luar saja,”

Dengan reaksinya yang sama, menit-menit berikutnya terasa makin menyiksa saya. Sebetulnya seandainya saya sedang dalam mood yang lebih baik mungkin saya akan mengalah dengan turun dari mobil itu dan menyetop mobil lainnya. Tapi saat itu, saya lebih ingin memenangkan harga diri.

Dalam sepersekian menit itu saya teringat cerita salah satu teman saya yang perokok tentang ’merokok dalam mobil angkutan umum’. Sungguh tidak ada enaknya sama sekali, kata dia. Percayalah, orang yang merokok dalam mobil itu bukan mencari kenikmatan, tapi lebih karena dia mati gaya atau tidak percaya diri. Berbekal pengetahuan itu, saya pun mengonfrontasi si perokok yang saya hadapi ini.

”Bapak nggak bisa dengar saya? Atau nggak bisa lihat saya? Atau takut sama saya?”

Orang itu masih bereaksi sama, tapi saya sudah puas. Saya meminta supir untuk meminggirkan mobilnya dan saya pun turun.

Tapi alangkah terkejutnya saya, ketika saya sudah berjalan, saya mendengar teriakan. Ternyata si perokok itu ikut turun, melepas kacamatanya, dan menunjuk-nunjuk saya sambil marah-marah tak keruan. Entah apa persisnya kata-katanya saya lupa, tapi dia menyebut-nyebut beberapa jenis binatang sebagai makian sambil membela haknya untuk merokok.

Antara marah juga dan takut, saya membalas perkataannya sambil tetap berjalan cepat.
”Emang hak lu, tapi hak gue juga untuk napas! Kalo mau ngisep racun, isep aja sendiri! Jangan ngeracunin orang juga dong!”

Dia mengejar, masih sambil mencaci maki. Saya nyaris berlari, sambil memaksa otak untuk berpikir apa yang harus saya lakukan. Dan syukurlah, Tuhan masih menolong saya.

Beberapa belas meter di depan, saya melihat kantor polisi (tentu saja sudah ada sejak dulu di situ dan saya juga sudah sering melihatnya, tapi tetap saja waktu itu benar-benar kebetulan saya turun tak jauh dari situ!) dan seorang aparatnya terlihat sedang mengatur lalu lintas. Saya mempercepat langkah, dan akhirnya berhenti ketika mencapai si polisi. Lalu apa?

Saya tak melakukan apa-apa. Hanya berdiri dengan konyolnya di belakang pak polisi sambil memandangi si perokok yang juga berhenti tak jauh dari saya. Dia juga terdiam, berdiri kaku. Pada saat itu saya menyadari betapa takutnya saya, tapi juga berusaha untuk terlihat seberani mungkin. Dan selama entah berapa menit kemudian, saya tak bergeming. Saya biarkan angkutan-angkutan umum jurusan tertentu yang harusnya saya naiki karena berpikir itu tidak akan aman. Bisa saja orang ‘gila’ itu mengejar dan ikut naik. Lalu entah bagaimana nasib saya nanti.

Sampai akhirnya, orang itu pergi. Entah bagaimana, saya juga tidak lihat persisnya. Saya masih ketakutan kalau-kalau dia belum benar-benar pergi, hingga saya masih berdiri ragu di samping pak polisi. Ketika saya melihat ada satu taksi kosong, saya cepat-cepat menyetopnya dan naik (karena merasa itulah cara teraman, lagipula saya sudah sangat terlambat ke kantor).

Malamnya, saya membahas kejadian itu dengan suami (lewat telepon, karena beliau bekerja di luar kota) yang kemudian agak marah karena saya telah membahayakan diri sendiri.

Ah, bahaya. Padahal saya melakukannya demi menghindari ancaman bahaya merokok pasif itu. Memang tentu lebih mudah dan aman jika saya hanya turun dan berganti mobil. Tapi saya berpikir lagi. Bukankah jika demikian saya malah akan memposisikan diri sebagai orang yang salah, orang yang harus mengalah, orang yang termasuk golongan minoritas yang tertindas dan terintimidasi? Karena itulah saya berontak marah. Saya sangat marah karena orang itu telah menzhalimi saya, menindas hak asasi saya sekaligus mengintimidasi dan menganggap seolah sayalah yang salah dan harus mundur.

Lalu pada kesempatan lain, Mama bercerita tentang program-program yang sedang dikerjakannya (beliau bekerja sebagai PNS di Departemen Kesehatan, sub direkotrat remaja). Betapa menyedihkan, masalah rokok ini. Dan soal mayoritas-minoritas itu, bukan tak mungkin jika suatu saat nanti kaum bukan perokoklah yang merupakan kaum minoritas. Lihat saja iklan-iklan rokok yang walaupun tak pernah menunjukkan gambar orang sedang merokok, selalu keren dan bergaya. Peringatan akan bahaya rokok hanya dilampirkan dalam satu boks kecil yang sangat mudah untuk diabaikan siapapun yang melihatnya, tidak seperti di negara-negara lain yang sudah gencar menyebarkan peringatan bahaya tersebut melalui gambar dan video yang sangat deskriptif dan jelas terlihat mengerikan. Juga acara-acara yang disponsori perusahaan rokok : pertandingan olahraga, pentas seni dan budaya. Semua kesan yang ditimbulkan mereka sungguh menarik dan jauh dari kesan buruk. Tidak heran jika banyak anak atau remaja yang berpikir seperti saya dulu : sepertinya saya akan keren kalau merokok. Dan sayangnya, hanya sedikit dari mereka yang ‘diselamatkan’ seperti saya. Malah sebaliknya, justru banyak yang menjerumuskan mereka. Tahukah Anda akan snack berbentuk rokok yang merupakan salah satu jenis jajanan di lingkungan SD? Sungguh sebuah usaha yang luarbiasa untuk pembudayaan kegiatan merokok di negeri ini.

Tak sulit mencari tahu tentang dampak buruk dari racun dalam rokok itu sendiri bagi kesehatan. Bahaya rokok mengancam kesehatan otak, paru-paru, jantung, hati, ginjal, sampai sistem reproduksi dan berdasarkan data yang dimiliki seorang peneliti*, sebanyak 400 ribu orang per tahun di Indonesia meninggal dunia akibat rokok, dan 60 juta lainnya tercemar karena asap rokok.

Saya yakin, para perokok itu sendiri pun tahu akan bahaya-bahaya tersebut. Hanya saja mereka tidak betul-betul menghayatinya dan kemudian mengabaikannya dengan santai (ingatlah peringatan yang hanya ada dalam boks tulisan yang tidak menarik itu)

Baiklah, jika mereka memang sudah sadar dan adalah pilihan mereka untuk meracuni diri seperti itu. Saya hanya berharap, jumlah mereka tidak terus bertambah banyak dan tidak ikut meracuni orang lain. Bisa habis bibit-bibit manusia unggul di negeri ini!

Namun bagaimana halnya dengan akibat kebiasaan merokok itu pada pribadi lain di sekitar mereka? Merokok di tempat umum yang mengakibatkan gangguan pernapasan pula pada orang di sekitar mereka. Merokok di rumah yang meninggalkan zat-zat beracun pada seisi rumah sehingga memelihara penyakit pada pasangan atau anak-anak mereka. Bahkan pernah saya mendapat oleh-oleh cerita hasil wawancara seorang aktivis dengan seorang perokok dari kelas ekonomi bawah, merokok membuatnya tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya. Anak-anaknya harus putus sekolah, karena uang yang dihasilkannya dari bekerja hanya cukup untuk membeli rokoknya. “Lebih baik anak saya tidak sekolah daripada saya harus berhenti merokok,” katanya santai. Itulah salah satu contoh dampak tak langsung dari kecanduan merokok yang mengakibatkan seorang kehilangan akal sehat : menambah jumlah anggota generasi masa depan yang tak berpendidikan dan pada akhirnya nanti menambah jumlah masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Nah, masih berapa lama lagikah Anda menutup mata terhadap masalah ‘kecil’ ini, wahai bapak dan ibu penentu kebijakan negara*?

Dan masih berapa lama lagikah Anda, para perokok, juga Anda, yang tidak merokok, meneruskan ketidakpekaan Anda?

Permohonan saya pada para penentu kebijakan negara...
Sudah terbukti bahwa Tuhan banyak menciptakan manusia-manusia berkualitas tinggi, lahir di atas tanah air yang subur ini, dan salah satunya adalah Anda dan para pengusaha rokok. Saya sungguh tidak percaya jika bersama-sama kita tidak punya cukup keberanian, kecerdasan, dan kreatifitas untuk mencari alternatif solusi penghasil devisa selain industri rokok. Setidaknya sebagai langkah pertama, terimalah ajakan duduk bersama untuk membahas itu.

Permohonan saya pada Anda yang merokok...
Setidaknya jika Anda memilih untuk merokok, biarkan itu menjadi pilihan Anda sendiri yang tidak merugikan orang lain. Merokoklah dengan menyendiri atau dalam tempat yang sudah disediakan bersama teman-teman perokok Anda. Jangan merokok di tempat terbuka atau tempat-tempat umum. Jangan merokok di rumah tempat suami, isteri, orangtua, anak, atau saudara anda yang bukan perokok tinggal di sana (jika melakukannya, berarti Anda sedang membunuh mereka pelan-pelan). Dan sadarilah betapa buruk dan merugikannya kebiasaan itu, sehingga Anda tidak bangga mengajak anak, pasangan, saudara, atau teman untuk mengikuti jejak Anda itu.

Permohonan saya pada Anda yang tidak merokok...
Anda bukan anggota kaum minoritas dan berjuanglah untuk tidak akan pernah! Bersuaralah. Beranikan diri. Bela hak asasi Anda, yang secara tak langsung berarti juga membela anak cucu Anda, bangsa, negara, dan bumi tempat Anda berpijak.


Dan mulai hari ini, saya sendiri bertekad untuk lebih berani dan konstisten dalam menunjukkan sikap anti rokok saya. Semoga Tuhan meridhoi dan melindungi saya selalu. Amiin.



- H e i D Y -



* Disebutkan oleh peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonsia, Abdillah Ahsan, dalam Kompas.com (Rabu, 12 November 2008, 14:26 WIB)
* Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau atau Frame Work Convention on Tobacco Control (FCTC) telah diratifikasi oleh 161 negara lain, sementara sampai saat tulisan ini dipos dalam blog ini, pemerintah Indonesia sendiri masih menolak meratifikasinya.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

aw..aw..aw
What a bold step!!
ckckck.. Di, kalo gw memandang rokok, gw memilih menjadi seorang oportunis. Call me chicken.
Gw pernah jg tuh batuk2(waktu SD-SMA. Trus, mencoba positif melihat rokok. Hehe.. *ups* :p

sylvia mengatakan...

perokok adalah pemberani sejati,
demi 5 menit siap menerima
konsekwensi sakit dari yang ringan sampai yang parah.

thanks, heidi, I am on your side.

helsa mengatakan...

waahhh...kisah yg tdk jauh beda dengan yang saya alami...
setuju, bagi para perokok pasif beranilah menegur jika merasa terganggu di tempat umum..