Senin, 25 Oktober 2021

Antara Makanan dan Kesehatan

Aku yakin, sebenarnya tidak ada orang (dewasa) di dunia ini yang tidak tahu atau tidak sepakat bahwa makanan memiliki hubungan erat dengan kesehatan. Yang ada (dan banyak) adalah orang-orang yang meskipun mengetahui dan memahaminya, tetap memilih untuk abai. Tentu alasannya jelas: memenangkan hawa nafsu.

Keyakinanku itu berangkat dari pengalamanku sendiri, sejak kecil dulu hingga dewasa kini, sejak masih anak-anak hingga sudah menjadi ibu-ibu. Sebagai anak yang tidak terlalu suka makan semasa kecil, kurasa aku cukup beruntung. Aku tidak mengalami gagal tumbuh, misalnya, karena sebenci apa pun aku pada kegiatan makan, mamaku selalu memastikanku tertib mengonsumsi makanan padat gizi secara teratur.

Masalah mulai muncul ketika aku makin besar dan peran Mama atas keseharianku makin berkurang. Aku ingat betul, pertama kali aku terkena penyakit tukak lambung adalah saat duduk di bangku SMP. Mungkin karena merasa merdeka dari pengawasan Mama, aku langsung semena-mena mengabaikan jam makan siang. Masalah kesehatan pencernaanku timbul bukan karena nafsuku untuk jajan sembarangan, melainkan karena nafsuku untuk mendahulukan berbagai kegiatan lainnya yang kurasa lebih seru daripada makan.

Maag pun menjadi penyakit kronisku hingga aku mulai merantau untuk kuliah di Bandung. Setelah bosan dengan serangan maag yang makin menganggu aneka kegiatanku di kampus, aku mulai merasakan kemunculan tekad untuk makan  lebih baik. Tidak hanya berusaha tidak terlambat makan, aku juga mulai peduli dengan makanan yang kusantap.

Pada mulanya, praktiknya memang terasa janggal. Setelah mengawali hari dengan minum air hangat dengan perasan jeruk nipis atau lemon, aku makan aneka buah hingga menjelang siang. Dengan kata lain, menu sarapanku adalah buah. Lupakan nasi, daging, atau jenis makanan lain yang memberatkan sistem pencernaan agar energi dapat dimaksimalkan untuk berkegiatan pada pagi hari. Makanan lainnya kukonsumsi pada siang dan malam hari, tetapi patuh pada aturan kesetimbangan sifat asam dan basa makanan: lebih banyak makan sayuran dan tidak menggabungkan karbohidrat dan protein hewani (misalnya makan nasi dan sayur pada siang hari, lalu malamnya makan daging dan sayur).

Sejak mengikuti food combining, penyakit lambungku lenyap tak berbekas. Karena terkagum-kagum dengan hasil ini, pola makan ini kupertahankan hingga sekarang, meskipun terkadang hanya setengah prinsipnya yang konsisten kuterapkan terus. Sering kali nafsulah yang lebih kumenangkan, misalnya saat ingin sekali makan daging ayam dengan nasi.

Food combining sebenarnya tidak hanya membantuku terbebas dari penyakit lambung. Dari food combining, aku disadarkan lagi tentang prinsip-prinsip umum kesehatan yang dipengaruhi oleh asupan sehari-hari. Aku menjadi lebih mudah memahami gejala-gejala tubuh seperti sariawan, jerawat, kembung, mulas, atau nyeri kepala sebagai alarm-alarm kecil yang menandakan ketidakseimbangan asupanku. Inilah alasan mengapa menolak hidangan lezat tertentu sama sekali tak sulit bagiku. Jika sudah paham dan merasakan betul dampak negatifnya terhadap kesehatanku, keinginan menikmatinya sudah benar-benar menguap, tergantikan oleh bayangan sakit di tubuhku yang jelas jauh dari nikmat. 


Tidak ada komentar: