Setelah mengenal dekonstruksi-nya Derrida (telah saya sampaikan pada tulisan sebelumnya: Perkembangan Aliran Strukturalisme ke Pascastrukturalisme), saya baru mengerti bahwa interpretasi atas suatu hal dapat terbuka seluas-luasnya. Adalah hal yang sangat penting untuk memahami ini sebelum terjun ke ilmu-ilmu budaya, apalagi bagi saya yang berlatarbelakang pendidikan S1 di bidang ilmu alam. Apa hubungannya? Yah, karena sebelumnya lebih banyak bergumul dengan ilmu pasti, cara pandang saya atas segala hal sangat terbatas. Saya hanya tahu benar-salah, hitam-putih, dan meremehkan kesubjektifan. Ternyata, dalam mempelajari suatu ilmu budaya, kesubjektifan tersebut perlu diakui, ada 'warna abu-abu', dan 'benar sekaligus salah' atau' tidak benar tetapi tidak salah' sangat mungkin terjadi. Pusing? Pasti. Apalagi bagi orang seperti saya yang dulu sangat memuja ilmu pasti. Sekarang saya tahu mengapa para budayawan itu luar biasa (Al Fatihah untuk alm Gus Dur)!
Dalam tulisan sebelum ini, saya sempat menyinggung tentang bagaimana saya memperoleh beberapa ilmu baru dan menarik dari perkuliahan yang saya ikuti. Salah satu ilmu yang saya maksud adalah semiotik, sebuah ilmu tentang tanda. Melalui semiotik, saya belajar bagaimana tanda-tanda di sekitar kita diinterpretasikan (contoh: bendera kuning, bubur merah-putih, rangkaian prosesi adat pernikahan, dan lain-sebagainya). Setelah melihat bagaimana beraneka macam tanda diinterpretasikan, saya pun mencoba memberikan sebuah interpretasi terhadap salah satunya: makna lambang Garuda Pancasila. Seperti yang telah saya paparkan di atas, tentu saja terpretasi ini bersifat subjektif dan dapat sangat berbeda dari interpretasi pembaca lainnya. Namun, saya berharap interpretasi ini turut menyumbang kekayaan makna di balik lambang negara kita.
Tulisan ini saya poskan dalam rangka memeriahkan hari ulang tahun kemerdekaan RI yang ke-68. Dirgahayu negeriku, semoga seiring dengan berjalannya waktu, kita terus melangkah ke arah yang lebih baik! Aamiin..
- H e i D Y -
Lambang negara Republik Indonesia sebenarnya memiliki
kemiripan dengan beberapa negara lain di dunia seperti Jerman dan Amerika
Serikat yang menggunakan gambar burung sebagai lambang negara. Dalam kehidupan
sehari-hari, kita mengetahui bahwa ciri utama dari burung adalah kemampuannya
untuk terbang. Lebih dalam lagi, kita pun dapat menarik makna konotasinya: kebebasan. Karena itu, menurut saya, penggunaan sosok burung sebagai
lambang suatu negara menandakan bahwa negara tersebut mencita-citakan
kebebasan.
Secara khusus, burung yang dipilih sebagai lambang negara
RI adalah burung garuda. Sebenarnya jenis burung ini tidak ada dalam kehidupan nyata.
Burung garuda adalah sosok fiktif yang diambil dari cerita mitologi Hindu.
Dalam cerita tersebut, garuda yang merupakan kendaraan dari Batara Wisnu
sebenarnya juga berstatus sebagai dewa. Dewa berarti sosok ideal yang lebih
tinggi derajatnya dari manusia, padahal manusia sendiri sudah merupakan
makhluk hidup dengan derajat tertinggi. Dengan demikian, pesan yang saya pahami
dari penggunaan burung garuda sebagai lambang negara kita adalah harapan negara
untuk mencapai kondisi yang seideal mungkin. Secara khusus, hal itu dapat berarti kekuatan dan kekuasaan. Selain itu, warna emas pada garuda juga melambangkan keagungan dan kejayaan.
Burung garuda untuk lambang RI digambarkan menengok lurus ke kanan. Hal ini dapat dikaitkan dengan pengetahuan umum dari
kehidupan sehari-hari, yaitu arah kanan yang identik dengan baik dan bercitra
positif. Karena itu, burung garuda menengok lurus ke kanan saya pahami sebagai
tekad untuk kebaikan dan kemuliaan.
Sementara itu, jumlah
bulu pada burung garuda sebagai lambang RI sesuai dengan tanggal proklamasi
kemerdekaan RI sendiri, yaitu 17 Agustus 1945. Tanggal 17
ditunjukkan oleh bulu pada masing-masing sayap burung garuda yang berjumlah
tujuh belas helai, bulan Agustus yang merupakan bulan ke-8 dalam kalender
masehi ditunjukkan oleh bulu ekor yang berjumlah delapan helai, sedangkan tahun
1945 yang dapat disingkat penyebutannya menjadi ’45 ditunjukkan oleh bulu pada
leher burung garuda yang berjumlah empat puluh lima
helai. Disimbolkannya tanggal kemerdekaan RI dalam jumlah bulu ini
masih terkait makna kebebasan itu yang dilambangkan dengan burung itu sendiri,
yang telah dibahas sebelumnya di atas. Bagi negara yang mencita-citakan
kebebasan, tentu saja tanggal kemerdekaan merupakan suatu momen yang penting
karena merupakan tonggak kebebasannya.
Dalam lambang garuda
pancasila, burung garuda digambarkan memiliki perisai yang terpasang di
dadanya. Perisai yang pada kenyataannya merupakan salah satu alat perang untuk
bertahan ini dapat diartikan sebagai pertahanan bangsa. Saya mengartikan peletakan perisai pada dada ini sebagai tanda bahwa apa yang menjadi
pertahanan tersebut dijadikan prinsip dasar yang dipegah tegung dalam hati (yang
ada dalam dada).
Untuk mengetahui apa yang sebenarnya menjadi alat
pertahanan itu sendiri, kita dapat melihat warna dan gambar perisai. Warna merah dan putih pada perisai
sesuai dengan warna bendera negara RI,
yaitu merah yang melambangkan keberanian dan putih yang melambangkan kesucian. Sifat
berani dan suci ini diharapkan menjadi sifat bangsa Indonesia dalam
mempertahankan negara.
Lebih lanjut lagi, hal
yang dapat teramati dari perisai adalah lima simbol yang tergambar pada perisai
itu sendiri. Simbol-simbol ini merupakan lambang dari isi Pancasila, yaitu
konsep lima sila yang menjadi dasar negara Republik Indonesia. Dengan digambarkannya Pancasila pada perisai, berarti
nilai-nilai yang dirumuskan di dalamnyalah yang menjadi pegangan bangsa
Indonesia untuk bertahan dan berlindung dalam
kehidupan bernegara, baik itu di dalam maupun di luar negara.
Simbol satu bintang emas dapat diartikan sesuai dengan bunyi silanya: Ketuhanan yang Maha Esa. Tuhan
berarti tujuan atau pusat dan Tuhan hanya ada satu. Karena itu, agama yang
diakui adalah agama yang meyakini hanya ada satu Tuhan (termasuk trinitas dalam
Kristen dan trimurti dalam Hindu yang meski berwujud tiga, tetap berkonsep satu
Tuhan). Adanya lima agama yang diakui ketika negara ini baru merdeka dilambangkan dengan jumlah
sudut pada bintang itu sendiri.
Simbol rantai menunjukkan sifat kait, yaitu
bagaimana tiap manusia saling berhubungan dan bergantung satu sama lain. Apa yang
dilakukan seseorang akan berimbas ke yang lain. Pada simbol rantai ini, terlihat
bahwa pembentuknya adalah gelang-gelang kecil yang berbentuk lingkaran sebagai
lambang dari perempuan dan persegi sebagai lambang dari laki-laki. Ini
menunjukkan bahwa hubungan antarmanusia yang harus dijaga tidak hanya menyoroti
kehidupan lelaki, melainkan juga perempuan. Rantai menunjukkan susunan yang
teratur, yang dalam kehidupan masyarakat berarti diartikan sebagai terrwujudnya
masyarakat yang adil dan beradab. Rantai juga memiliki sifat dapat
bergerak atau dinamis, namun demikian tetap utuh bersatu. Kedinamisan yang
tetap menjaga kesatuan ini pulalah yang diharapkan terjadi dalam masyarakat
Indonesia.
Jika kita menjaga persatuan dan kesatuan, maka kita menjadi
bangsa yang besar dan kokoh. Hal inilah yang dapat dimaknai dari simbol pohon
beringin. Pohon beringin merupakan pohon yang besar dan sangat kuat karena
memiliki akar tunggal yang panjang untuk menunjang pohon besar tersebut dan tumbuh sangat dalam ke tanah sehingga tidak akan roboh. Selain itu, terdapat pula banyak akar yang menggelantung dari ranting-ranting pohon yang dapat diartikan sebagai banyaknya akar
budaya yang berbeda dalam kesatuan bangsa Indonesia. Semua akar yang
menggelantung pada pohon beringin tumbuh ke bawah dan menuju tanah untuk ikut
menyokong pohon. Hal ini menunjukkan bahwa semua unsur bangsa termasuk kalangan
penguasa atau bangsawan sekali pun diharapkan ikut turun ke bawah untuk
bersama-sama menunjang persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Simbol lainnya yang tergambar dalam perisai adalah kepala banteng. Dalam kehidupan nyata, banteng atau lembu liar adalah hewan pekerja dan makhluk sosial seperti manusia. Dengan kata lain, kepala banteng ini dapat melambangkan
kaum kecil seperti buruh atau kelompok pekerja. Hal ini kemudian mengarah pada
makna lain, yaitu bagaimana cara paling bijaksana untuk menyelesaikan berbagai
masalah yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk menyelesaikan
berbagai pekerjaan, masyarakat kita memiliki cara yang bijaksana yaitu gotong
royong. Suatu pekerjaan pekerjaan
dimulai dengan musyawarah dulu. Pengambilan keputusan lewat musyarwarah dan penerapan cara bekerja gotong royong sebagai nilai sosial bangsa Indonesia inilah yang diharapkan tetap terpelihara sampai kapan pun.
Gambar padi dan kapas melambangkan kebutuhan pokok manusia, yaitu pangan dan sandang. Lebih
dalam lagi, hal ini dapat diartikan sebagai kemakmuran suatu negara. Selain
karena merupakan kebutuhan pokok, penggunaan padi dan kapas sebagai simbol
kemakmuran juga karena Indonesia adalah negara agraris. Kemakmuran dalam hal
ini juga ditujukan untuk semua kalangan. Dengan kata lain, ditegaskan bahwa
tidak boleh ada kesenjangan sosial antara satu kalangan dengan kalangan lainnya. Inilah yang seharusnya menjadi prinsip yang dipegang teguh RI sebagai negara
sosialis, dimana perekonomian diatur oleh negara dan diserahkan pada rakyat
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat itu sendiri.
Selain lima gambar pada perisai, kita juga dapat melihat
garis tegas melintang berwarna hitam sehingga perisai tampak terbagi menjadi dua bagian. Ini melambangkan wilayah kedaulatan
negara Republik Indonesia yang dilalui garis khatulistiwa. Keberadaan secara geografis ini penting dan sesuai dengan
visi politik luar negeri RI yaitu bebas aktif (tidak berpihak pada blok barat maupun timur, dua blok yang berseberangan pada masa perang dunia kedua, saat lambang negara kita ini diciptakan). Keberadaan wilayah Indonesia di
khatulistiwa yang merupakan garis tengah bumi dapat dimaknai sebagai harapan
negara kita untuk menjadi penyeimbang kekuatan politik di dunia, yang kemudian
salah satunya terwujud dalam pendirian gerakan non blok.
Terakhir, kita dapat melihat digambarkannya cakar burung garuda yang mencengkram pita bertuliskan semboyan
“Bhinneka Tunggal Ika”. Semboyan yang berarti “berbeda-beda berbeda tetapi satu
juga” ini sesuai dengan gambaran bangsa Indonesia yang terdiri atas beraneka
ragam suku dengan kebudayaan yang berbeda-beda, namun tetap mencita-citakan persatuan dan kesatuan. Seperti
halnya cakar burung garuda mencengkeram pita semboyan tersebut, diharapkan bangsa Indonesia pun memegang kuat prinsip saling menghormati berbagai perbedaan yang ada dan tetap mengutamakan persatuan serta kesatuan bangsa.
Pada akhirnya, saya berkesimpulan bahwa garuda pancasila
sebagai lambang negara sebenarnya merupakan suatu mitos atau penyampai pesan
berupa cita-cita atau harapan untuk kebaikan bangsa dan negara Republik
Indonesia. Untuk mencapai cita-cita mulia tersebut, disampaikan pesan yang
mengingatkan kita untuk selalu berpegang teguh pada nilai-nilai yang dijadikan
dasar negara.
Berikut beberapa daftar pustaka yang saya gunakan:
Barthes, Roland.
2007. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa.
Diterjemahkan oleh Ikramullah Mahyuddin. Yogyakarta: Jalasutra.
Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok:
Komunitas Bambu.
UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan
Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Zaimar, Okke K. S. 2008. Semiotik
dan Penerapannya dalam Karya Sastra. Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Gambar diambil dari commons.wikimedia.org. Terima kasih!
2 komentar:
Bagus banget kak tulisannya. Berguna buat bahan belajar cpns
Ya ampun, maaf Kak Benni ... karena banyak spam, komentar ini terlewat, baru terbaca oleh saya. Terima kasih banyak atas apresiasinya. Meski terlambat, saya doakan semoga sukses di tes cpns-nya.
Posting Komentar