Minggu, 11 Agustus 2013

Perkembangan Aliran Strukturalisme ke Pascastrukturalisme


Sebagai mahasiswa pascasarjana yang 'murtad' dari ilmu S1-nya, saya tidak punya banyak bekal pengetahuan ketika baru mulai berkuliah di program studi linguistik, termasuk pengetahuan tentang apa saja PERSISnya yang akan saya pelajari. Maka, saya pun kaget dan heran ketika ternyata di semester pertama saya mendapatkan mata kuliah Teori Kebudayaan serta Filsafat Ilmu Pengetahuan. Namun, berbeda dengan saat kuliah S1 dulu, bagi saya, ilmu ini menjadi kejutan yang menyenangkan!

Salah satu hal yang saya pelajari dari mata kuliah Teori Kebudayaan adalah aliran-aliran pengetahuan atau filsafat. Tidak seperti suami saya yang memang berwawasan luas karena tidak hanya mengandalkan sekolah formal sebagai sumber pengetahuannya, ini benar-benar hal baru bagi saya waktu itu. Baru, tetapi sangat menarik. Setelah saya mengikuti perkuliahan tersebut, saya bahkan merasa bahwa pengetahuan ini sebaiknya disampaikan di semester awal bagi mahasiswa S1, atau bahkan siswa setingkat SMA, sebelum mereka memilih menekuni suatu bidang ilmu tertentu.

Di sini saya akan menuliskan pemahaman saya (sebagai seorang pelajar pemula dalam ilmu budaya) mengenai perkembangan aliran strukturalisme ke pascastrukturalisme. Saya yakin rangkuman ini masih sangat jauh dari baik. Jika Anda menemukan kekurangan atau kesalahan, saya mohon kesediaannya untuk memberikan masukan. Terima kasih!

- H e i D Y -


Strukturalisme

Smith (2001) mengatakan bahwa dalam strukturalisme, ada sistem dan pola-pola yang mendasari fenomena bahasa, mitos, dan berbagai fakta sosial-budaya. Kode, mitos, narasi, dan simbolisme kemudian menjadi alat yang kaya dan sangat kuat untuk memahami kehidupan budaya. Objek atau fakta tersebutlah yang diamati, tetapi ada asumsi bahwa realitas ditentukan oleh struktur dan hasil pengamatan dijelaskan sesuai dengan sistem atau struktur yang diakui kebenarannya itu. 

Menurut para strukturalis, pembentukan pengertian dan teori bergantung pada lokasi sosial dan konstruksi historis pengamat serta menekankan kualitas matematis dari sistem budaya. Ferdinand de Saussure adalah salah satu tokoh strukturalis yang terkenal dengan strukturalisme linguistiknya, yaitu upaya mencari struktur dan konvensi dasar yang memungkinkan penggunaan bahasa. Sebagai strukturalis yang mengutamakan bahasa sebagai sistem atau struktur, Saussure memperkenalkan 4 konsep penting dalam teori linguistiknya yang dilihat sebagai oposisi biner: langue-parolesignifie-signifiant, sintagmatik-paradigmatik, dan sinkroni-diakroni. 

Oposisi biner adalah sebuah sistem yang terdiri dari dua kategori yang berelasi, yang membentuk keuniversalan dalam bentuknya yang paling murni. Dalam oposisi biner, segala sesuatu yang masuk dalam kategori A hanya dapat dipahami dalam relasinya dengan kategori B. Kategori A hanya eksis dalam relasinya dengan kategori B dan hanya dapat dipahami karena ia bukan atau berbeda dari kategori B (Lubis, 2011). Berdasarkan pemahaman ini, 'manusia', misalnya, hanya eksis karena ada kategori yang 'bukan manusia'. 

Saussure membedakan antara langue, seperangkat aturan atau sistem bahasa, dengan parole, yang menjadi wujud bahasa dalam tuturan/ujaran dan tulisan. Strukturalisme hanya memiliki perhatian terhadap langue dan tidak menjadikan parole yang merupakan pemakaian bahasa individual sebagai kajiannya. Ini menunjukkan bahwa aliran strukturalisme hanya memperhatikan bahasa sebagai suatu hal yang obyektif dan universal dan tidak memperhatikan keunikan bahasa itu sendiri.

Saussure juga membedakan bahasa atas signifiant (penanda) dan signifie (petanda). Ia menekankan peran petanda serta hubungan makna yang pasti antara bahasa dengan apa yang diacu. Kata pohon, misalnya, merupakan penanda yang mengacu pada petanda makhluk hidup yang berakar, berbatang, berdaun, dan seterusnya.

Istilah sintagmatik dan paradigmatik digunakan Saussure untuk menjelaskan sifat relasi antarkomponen dalam bahasa. Relasi sintagmatik adalah relasi antarkomponen dalam struktur. Contohnya adalah hubungan antara kata sayaminum, dan susu dalam kalimat saya minum susu atau antara kata ayah, membeli, dan koran dalam kalimat ayah membeli koran. Sementara itu, relasi paradigmatik adalah relasi antara suatu komponen dalam struktur tertentu dengan entitas lain di luar struktur tersebut seperti hubungan kata ayah dengan saya, membeli dengan minum, dan koran dengan susu dalam contoh kalimat di atas.

Dalam linguistik struktural, Saussure menyatakan bahwa analisis bahasa harus bersifat sinkronis atau berarti hanya pada periode tertentu agar terjadi objektivitas makna bahasa. Dengan demikian, tidak ada kekaburan karena faktor situasi historis seperti yang terjadi pada analisis diakronis (dari waktu ke waktu). Analisis sinkronis penting karena dapat menentukan aturan/struktur langue suatu bahasa. Dengan hanya memperhatikan bahasa pada periode tertentu atau sinkronik, maka bahasa dapat dilihat sebagai sebuah sistem yang stabil dan makna dapat dilepaskan dari unsur nonlinguistik.

Pascastrukturalisme

Lahirnya aliran pascastrukturalisme tidak dapat lepas dari strukturalisme itu sendiri.  Menurut Smith (2001), aliran pascastrukturalisme paling tepat dipahami sebagai perbaikan dan perkembangan dari strukturalisme daripada sebagai pemikiran yang bertentangan. Pemikiran pascastrukturalisme kontemporer tidak akan ada tanpa adanya inovasi terdahulu dari strukturalisme. Hal ini dapat dilihat dari pemikiran para pascastrukturalis yang muncul setelah mereka menolak strukturalisme, padahal pada mulanya pemikiran mereka berada dalam payung strukturalisme.

Berbeda dari strukturalis yang berpendapat bahwa pembentukan pengertian dan teori bergantung pada lokasi sosial dan konstruksi historis pengamat, pascastrukturalis menyarankan agar pembentukan teori didasarkan pada usaha eksplorasi kondisi-kondisi sosial yang melahirkan pengetahuan berlatar sosial tertentu. Kemudian, jika strukturalisme menekankan kualitas matematis dari sistem budaya, pascastrukturalisme mengedepankan hasrat, kesenangan, dan permainan sebagai dimensi-dimensi budaya yang dapat diobservasi serta kualitas penulisan teoretis. Selain itu, pascastrukturalis berargumen bahwa budaya dan teks dapat diinterpretasikan dalam beragam cara dan berpendapat bahwa tidak ada kepastian pemahaman yang benar atau salah. Karena itulah, pascastrukturalisme mempertanyakan keilmiahan, kebenaran, dan epistemologi strukturalisme.

Jacques Derrida yang mengemukakan konsep dekonstruksi merupakan salah satu pemikir pascastrukturalis. Bagi Derrida, kebudayaan tidak harus dianalisis sebagai struktur, tetapi melalui metode dekonstruksi, yaitu metode pembacaan teks secara komprehensif untuk menginterpretasinya. Dengan menggunakan metode ini, diyakini tidak ada makna yang pasti pada teks. Hoed (2011) menyebutkan bahwa dekonstruksi sebenarnya merupakan bentuk ultra-strukturalisme karena berusaha mengubah atau mengembangkan strukturalisme dengan berada di dalam sekaligus di luar strukturalisme itu. Ini berarti dekonstruksi sebenarnya adalah suatu tindakan strukturalis sekaligus anti strukturalis.

Derrida mengakui konsep difference Saussure merupakan dasar eksistensi sebuah tanda, tetapi selanjutnya harus dipahami dalam ruang dan waktu yang berbeda-beda sehingga kemudian dapat diperoleh maknanya. Pemaknaan statis melalui difference pada strukturalisme dikembangkan menjadi pemaknaan yang dinamis melalui apa yang disebutnya dengan “differance”. Hubungan antara penanda dan petanda, misalnya, menurut Derrida tidak dapat bersifat statis. Makna suatu tanda tidak hanya diperoleh berdasarkan pembedaan antartanda yang bersifat tetap, melainkan berubah-ubah sesuai kehendak pemakai tanda, ruang, dan waktu.

Kritik lain yang dilontarkan Derrida terhadap pemikiran Saussure adalah hubungan hirarkis langue-parole. Derrida tidak menyetujui konsep hubungan ini dan mengatakan bahwa pada gilirannya, parole dapat menguasai langue dengan menimbulkan perubahan pada langue. Ini sebenarnya merupakan bentuk dekonstruksi dari konsep hubungan hirarkis antara langue dan parole.

Pemikiran Derrida terkait kesejarahan versus konseptual adalah perlawanannya terhadap strukturalisme yang mengutamakan analisis sinkronis di atas analisis diakronis. Derrida mengatakan bahwa tulisan tidak terikat pada penulisnya dan akan bergerak mengikuti poros ruang dan waktu. Hal ini berkaitan dengan differance yang mendestabilisasi semua relasi biner dalam strukturalisme sehingga tidak ada yang bersifat tetap. Semua bergerak dalam ruang dan waktu dan karena ada gerak pada struktur, maka struktur bukan “ada”, melainkan “menjadi”. Jika pendekatan strukturalis adalah pada konsep (padahal suatu model atau pemikiran dapat berubah atau siap berkembang), maka pemikiran Derrida merupakan pendekatan penyejarahan. Ia mendekonstruksi pementingan pada konsep sehingga suatu konsep dikatakan tidak tinggal diam, melainkan bergerak, berkembang, dan berubah. Dengan demikian, historitas harus menjadi bagian analisis struktural. Karena aspek historis ini penting, makna pun menjadi tidak stabil (Hoed, 2011).

Menurut Derrida, seharusnya bahasa didekati sebagai suatu sistem yang independen dari penutur. Ia berpendapat bahwa makna itu terbuka, jamak, dan tanpa pengakhiran. Pemikiran tersebut  menantang ide penulis yang "memerintah", yang telah memproduksi suatu teks dengan batas-batas yang jelas. Dalam pengertian ini, karya-karya Derrida dipahami sebagai karya pascastrukturalis yang kuat. Smith (2001) mengatakan bahwa meskipun berspesialisasi pada metode interpretasi teks, karya-karya Derrida berpengaruh besar pada teori kebudayaan: secara luas mempertanyakan model-model penelitian objektivis dan dipahami sebagai penggambaran prinsip strukturalis dari semiosis infinit. Selain itu, Derrida juga menyarankan hibriditas dan ambiguitas sebagaimana juga klasifikasi sebagai fitur sentral suatu sistem kebudayaan.


Daftar Pustaka
Hoed, Benny H. (2011). Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu.
Lubis, Akhyar.( 2011). Teori dan Konsep-Konsep Penting Filsafat Ilmu dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Sosial-Budaya Kontemporer. Depok: Departemen Filsafat FIB UI.
Maksum, Ali. (2011). Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme. Yogyakarta:  Ar-Ruzz Media.
Powell, Jason. (2006). Jacques Derrida: A Biography. London: Continuum.
Smith, Philip. (2001). Cultural Theory: An Introduction. Massachutsetts: Blackwell Publishing Inc.

Tidak ada komentar: