Apa kabar, teman-teman? Semoga semua sehat, ya. Jika ada yang sakit, semoga segera sehat kembali. Siapa sangka ya, setelah satu setengah tahun sejak era pandemi Covid-19 dimulai, pertanyaan seputar kabar kesehatan ini masih terasa berat, bahkan makin berat dalam dua bulan terakhir ini. Di lingkungan sekitarku, suara sirene ambulans bolak-balik terdengar. Kabar duka silih ganti berdatangan di berbagai grup whatsapp.
Tantangan Ngeblog Bulan Juli
Menimbang latar situasi di atas, salah satu grup whatsapp favoritku, Mamah Gajah Ngeblog, berinisiatif meluncurkan tantangan menulis dengan tema yang sangat mulia unik karena diniatkan untuk menghibur para pembacanya: cerita lucu. Selain unik, sepertinya tantangan ini berat juga ya, bagi kebanyakan penulis atau blogger. Tidak semua orang terlahir berbakat untuk melucu, bukan?
Sebagai anggota kelompok yang baik, setia, dan agak gemar menabung pahala ambisius, tentu aku takkan melewatkan tantangan ini. Ada bakat melucu atau tidak, tak usahlah kukhawatirkan sekarang. Biarkan Tuhan dan pembaca yang menentukan. Tugas kami hanya berusaha. Bukan begitu, Kawan?
Baik, mari kita mulai. Tolong jangan lempari tulisan ini jika ternyata nanti tulisanku tidak ada lucu-lucunya, ya. Namanya juga usaha. Cukup senyumi saja ya, Kak. Ingat, senyum adalah sedekah, Kak.
Cara Melahirkan Tawa
Tak satu pun anggota keluargaku berprofesi
sebagai komedian. Sosok terdekat yang terpikir saat ini olehku dalam hal melucu
mungkin beberapa teman yang dulu pernah berkegiatan di unit kegiatan yang sama.
Kini mereka menjadi influencer yang kalau tidak salah (karena
aku tidak begitu mengikutinya) sering membuat konten-konten lucu. Aku pun iseng mencari tahu apa dan bagaimana tepatnya hal-hal yang disebut lucu.
Rupanya temuanku dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori
besar (ini menurutku pribadi, tentu saja, jadi tak usahlah kalian repot-repot mencari artikel
jurnal hanya untuk mengecek pernyataan ini). Kategori pertama adalah suatu
kesalahan atau keganjilan. Kategori kedua sebenarnya mungkin bukan kesalahan, tapi
dicari-cari kesalahan/kejanggalannya. Para stand up comedian pasti
paling jago menciptakan lawakan dari kategori terakhir ini.
Berbekal temuan itu, aku mendapat sedikit pencerahan tentang
rencanaku menjawab Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog kali ini. Aku bukan
komedian, jelas. Jadi, sebaiknya kulupakan kategori kedua untuk menghindarkan
pembaca dari rasa mual dan mulas. Aku harus ingat niat mulia grup kesayanganku
yang kunyatakan di atas tadi: tulisan ini diharapkan dapat menghibur pembaca,
bukan malah menambah penderitaan.
Salah Pangkal Tertawa
Kesalahan seperti apa yang dianggap lucu? Sebenarnya aku
juga penasaran pada hal ini. Apakah ada yang penelitian yang sudah diterbitkan
dalam artikel jurnal, mungkin, khusus untuk membahas ini? Aku hanya bertanya,
sih, sekadar bergaya, tidak berarti ingin langsung ikut mengupas tuntas
sekarang juga. Namun, pertanyaannya serius. Kalau ada yang tahu, mohon
tinggalkan komentar, ya.
Aku teringat pada adegan-adegan yang sering terjadi di antara anak-anak. Kenapa anak-anak? Karena merekalah makhluk terlucu dan termurah hati dalam menganggap apa pun yang di sekitarnya lucu. Benda jatuh saja bisa dianggap lucu, kan, oleh mereka? Waktu masih bayi, anakku pernah terkikik terbungkuk-bungkuk selama belasan menit hanya karena melihat lakban gulungan yang berbelok saat digelindingkan. Kurasa ia berpikir bahwa lakban itu seharusnya lurus saat menggelinding. Dengan kata lain, lakban yang menggelinding berbelok merupakan kesalahan di matanya.
Kita semua pernah menjadi anak kecil. Apa yang terjadi seiring dengan bertambahnya umur kita? Kita makin jarang tertawa. Kita tidak lagi menganggap benda berbelok menggelinding sebagai hal yang lucu. Kita bahkan mengajarkan pada anak kita untuk tidak tertawa saat orang lain jatuh. Tidak sopan, kan?
Namun, aku ingat ajaran untuk tertawa saat diri sendiri
jatuh. Entah kapan dan siapa yang mengajarkannya padaku, tetapi rasanya aku
sudah mengetahui ajaran ini sejak kecil. Di usia dewasa, ajaran ini makin dalam. Aku
lupa kata-kata tepatnya, tapi kurang lebih intinya: orang yang positif adalah orang
yang dapat menertawakan dirinya sendiri. Nah, karena tidak ingin menjadi
negatif (siapa juga ya, yang mau begitu), aku pun memutuskan untuk sering-sering
menertawakan diri sendiri. Dengan begini, kuharap aku menjadi sehat tanpa
melanggar norma kesopanan.
Mulai Belajar (Menertawakan Diri)
Teorinya sih gampang. Siapa bilang pelaksanaannya tidak sulit? Dari puluhan tahun usiaku, pengalaman terdini yang paling
kuingat terkait hal ini adalah saat aku masih duduk di kelas lima SD.
Waktu itu, aku dan adikku masih selalu diantar-jemput oleh
sopir Papa untuk bersekolah. Kami memakai mobil sejenis kijang (aku lupa tepatnya)
dan duduk di bangku tengah. Berkebalikan dengan adikku yang rapi dan
disiplin, aku sering terburu-buru naik ke mobil di pagi hari. Biasanya penampilanku
masih berantakan: resleting tas belum dikunci, kemeja seragam belum dimasukkan
ke rok, dan kaus kaki belum dipakai. Tentu saja kaki belum terbungkus rapi, hanya
masuk sedikit ke dalam sepatu dan aku berjalan berjinjit.
Aku masuk ke mobil dalam situasi yang agak heboh seperti itu.
Setelah masuk mobil, barulah aku sibuk merapikan pakaianku, memakai kaus kaki,
sepatu, dan sebagainya. Tak kuperhatikan hal lainnya, termasuk menutup pintu
mobil. Biasanya sopir kami yang melakukannya begitu aku duduk di dalam mobil.
Ibuku kesal sekali pada tabiatku saat itu. Ia menganggapku
manja dan sering memarahiku karenanya. Berkali-kali beliau menegur agar aku menutup
pintu mobil sendiri. Tentu saja aku lebih banyak lupa ketimbang ingatnya. Pada
saat-saat seperti itu, sopir kami yang baik pun tetap sering membantu menutup
pintu.
Itu pulalah yang terjadi pada hari istimewa itu. Mobil sudah
mulai meluncur saat aku teringat belum melakukan ritual menutup pintu mobil. Otomatis
aku menoleh ke samping kiri dan segera merasa lega melihat pintu telah tertutup.
Oh, terima kasih, om sopirku yang selalu tak tega aku dimarahi Mama. Itulah
kata-kata yang kuucapkan tulus dalam hati selagi mobil berjalan melewati beberapa
rumah tetangga, sebelum menikung di belokan pertama. Sepersekian detik
kemudian, aku yang masih sibuk menalikan sepatu tiba-tiba lenyap dari pandangan
adik yang duduk di sebelah kananku, diikuti jeritan histerisnya.
Ke mana aku pergi menghilang? Syukur berkali-kali kupanjatkan
hingga kini, aku belum pergi ke akhirat waktu itu. Aku hanya terbang. Tepatnya terbang melayang ke jalanan, melewati pintu mobil yang rupanya
tadi belum tertutup sempurna.
Aku Terbang (TIDAK) Seperti Ini, Tentu Saja (sumber: Froken Fokus - pexels.com) |
Seperti aku yang mengira ia sudah menutupnya, sopir kami pun mengira aku sudah menutup pintu mobil itu. Sama sekali bukan salahnya, tentu. Akulah yang seharusnya bertanggung jawab pada urusanku sendiri dan tidak bersikap manja atau mengandalkan orang lain, seperti yang sudah berkali-kali dikatakan Mama.
Dahulu, tidak ada yang menertawakan kejadian ini. Semua orang menganggapnya musibah dan berempati pada sakit yang kurasakan di—maaf—bokong selama berminggu-minggu. Setelah sembuh, aku terlalu malu untuk mengingat-ingatnya. Bertahun-tahun kemudian, setelah betul-betul menghayati “pelajaran kapok” (bertekad menjadi anak yang lebih mandiri) itu, barulah aku belajar hal baru: menertawakannya.
Pelajaran Terus Berlanjut di Tingkat Sekolah Menengah
Seiring bertambahnya usia, pelajaranku dalam hal menertawakan
diri terus bertambah. Tak seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang
hanya kupelajari sekali seminggu di sekolah, pelajaran yang satu ini kupelajari
hampir tiap hari. Kalau betul ada penelitian yang membuktikan bahwa
menertawakan diri ini berpengaruh pada perkembangan moral sesorang, kurasa
ada baiknya kalau ini kuusulkan kepada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
untuk dijadikan mata pelajaran. Siapa tahu aku dapat turut menyusun kurikulumnya.
Sebetulnya sih bukan niat awalku juga untuk belajar menertawakan
diri sesering mungkin. Ini lebih karena terpaksa. Walau aku sudah bertekad
menjadi anak yang lebih mandiri sejak insiden terbang keluar mobil saat kelas
lima SD itu, entah mengapa masih banyak insiden-insiden kecil berikutnya.
Dengan kata lain, kecerobohanku seakan tidak berkurang.
Saking banyaknya insiden-insiden itu, aku bingung menceritakannya
dan mungkin sudah terasa biasa saja. Namun, umumnya semua melibatkan anggota
tubuh yang lupa kufungsikan secara tepat. Kaki, contohnya. Entah bagaimana, kakiku
sangat sering “terpelekok” (saat berjalan bagian telapak kaki terputar hingga
terbalik sehingga punggung kaki di bawah, telapak kaki menghadap atas). Aku
tidak tahu apakah ini bentuk kecacatan atau bukan, tetapi kurasa lebih baik menertawakannya
saat sedang “kambuh”. Beberapa kali ini terjadi saat aku di lingkungan sekolah.
Tak jarang aku lenyap dari pandangan teman-teman yang awalnya sedang saling menatap
dan berbicara serius denganku. Tidak benar-benar lenyap, tentu. Mereka dapat
segera menemukanku terkapar di ubin, tanah, aspal, atau yang tersial: selokan. Agar
mereka tidak salah tingkah, kesigapanku untuk segera menertawakan diri
sendiri menjadi penting.
Contoh lain berhubungan dengan … hm, aku tidak yakin sesungguhnya,
apakah ini masalah mata atau memori otak. Kemudian, masalah bertambah akibat sifatku
yang kurang sabar dan kurang santun saat sedang terburu-buru. Aku pasti berdosa
karena menzalimi beberapa teman di sekitarku waktu SMA. Bukan sekali atau dua
kali aku berkata dengan nada gusar pada mereka yang kukira belum mengembalikan pinjaman
barang-barang penting seperti kalkulator dan pensil mekanik. Kira-kira begini
kejadiannya.
Scientific Calculator, Benda Wajib Anak SMA IPA (sumber: Karolina Grabowska - pexels.com) |
Kejadian A
Aku yang gusar: "Eh, mana tadi kalkulator gue?"
Temanku yang sabar: "Lah, itu yang lo pegang di tangan apa namanya?"
Kejadian B
Aku yang kurang berbudi baik: "Eh lo belom balikin pensil mekanik gue, ya?"
Temanku yang disayang malaikat: "Emang itu sekarang lo lagi
nulis pake apa, Dy?"
Teman sekelas—apalagi yang sebangku atau duduk di bangku-bangku
terdekat—adalah aset penting untuk bertahan hidup di dunia persekolahan. Oleh
karena itu, dalam kasus-kasus di atas, aku tak membuang-buang waktu untuk mengajak
teman-teman korban kezalimanku itu segera menertawakan kekonyolanku. Bukankah dicap
konyol jauh lebih baik daripada dianggap lalim?
Belajar di Angkutan Umum
Tidak hanya dari sekolah, aku juga mendapat banyak pelajaran menertawakan
diri dari atas jalan raya. Yang kumaksud tepatnya adalah mobil angkutan umum.
Sejak lulus SD, inilah jenis kendaraan yang paling sering kugunakan.
Hingga akhir kelas satu SMA, aku tinggal di kota Medan. Angkutan
umum di sana dikenal dengan “sudako”. Selain nama yang berbeda, cara meminta
sopir menghentikan mobil saat kita sedang menumpanginya pun tidak sama. Kalau tidak
ada bel atau kaca penghalang antara ruang sopir dan penumpang, kita dapat berseru
pada sang sopir, “Pinggir, Bang!”
Aku tak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa bukan kata-kata
itu yang digunakan di jalanan Jakarta. Sehari sebelum masuk sekolah, orang
tuaku yang yakin akan kemandirianku hanya mengajakku mengamati rute angkot rumah-sekolah
dengan cara menunjukkannya dari dalam mobil pribadi. Jarak antara rumah dan
sekolahku tidak terlalu dekat. Aku harus menaiki tiga jenis mobil angkutan umum
untuk satu kali perjalanan, baik saat berangkat maupun pulang sekolah. Keesokan
harinya, aku langsung memimpin adikku—yang sekolahnya dekat sekali dengan
sekolahku—untuk praktik nyata dengan (pura-pura) gagah berani.
Aku baru menyadari kepura-puraan itu ketika harus pulang sendiri
dari sekolah (aku lupa bagaimana adikku—yang belum lebih mandiri dariku waktu
itu—pulang). Ternyata sebetulnya aku gugup, takut salah. Syukurlah aku termasuk
anak yang taat pada orang tua. Dalam hal ini, bentuk ketaatan itu dapat
terlihat dari tindakanku mengucap “Bismillah” persis saat menaiki si angkot dan
“Alhamdulillah” saat angkot yang kunaiki sampai di tujuannya.
Saat benar-benar menghayati kedua arti ucapan itu, aku
merasakan dampak yang cukup signifikan. Kegugupanku hilang. Aku turun dari
angkot pertama dan kedua dengan lancar dan selamat. Terima kasih, Mama!
Kunaiki angkot ketiga dengan penuh rasa percaya diri. Entah kepercayaan
diri itu terlalu membuncah atau bagaimana, ucapan yang seharusnya kubisikkan saat
kakiku melangkah naik ke angkot rupanya keluar terlalu keras dari mulutku. Selain
itu, bukan hanya volumenya yang bermasalah, melainkan juga kata-katanya. Alih-alih
berbisik “Bismillah”, aku malah berseru dengan gelora semangat bertanding di Olimpiade
atau sebangsanya, “ASSALAMUALAIKUM!”
Ibarat Semangat Atlet yang Berlaga di Olimpiade (Pixabay - pexels.com) |
Ya Allah. Andai ada lubang di dasar angkot, ingin rasanya aku menerjunkan diri ke dalamnya. Karena tidak ada fitur semacam itu, terpaksa kutelanlah rasa maluku sembari memamerkan cengiran selebar-lebarnya pada semua penumpang. Tidak hanya tersenyum lebar, aku juga mengangguk pada setiap orang, dalam upaya membuat mereka menduga bahwa aku memang sejenis siswa teladan yang luar biasa ramah pada setiap orang.
Melihat para penumpang tersenyum-senyum memandangiku bahkan
setelah aku duduk, aku menjadi gelisah. Apakah “tipuanku” tadi tidak berhasil?
Apakah sebenarnya mereka tahu betul bahwa aku tadi salah berucap? Karena sibuk
memikirkan semua itu, kegugupanku muncul kembali. Aku segera mengingat-ingat
pesan Mama lagi. Setelah mengutuki diri karena salah mengucap “Bismillah” dan “Alhamdulillah”,
terus kurapalkan kedua kata itu berulang-ulang dalam pikiran, seperti saat
sedang menghafal tabel periodik unsur dalam pelajaran Kimia.
Kekhusyukanku “menghafal” baru terpecah saat aku melihat
gerbang belakang kompleks rumahku terlewati. Astaga, bisa-bisanya aku malah
lupa memperhatikan jalan dan bersiap-siap turun. Dengan panik, kuketukkan uang
logam di tanganku ke kaca jendela belakang angkot (aku duduk di pojok belakang
dengan harapan dapat menghindar dari perhatian khalayak). Kepanikanku bertambah
saat ketukan uang logamku itu terabaikan dan mobil masih terus meluncur. Dengan
mengumpulkan segenap keberanian, aku pun memutuskan untuk berteriak sekuat tenaga,
“ALHAMDULILLAH, PAK!”
Belajar dari kesalahan tentang “Assalamualaikum” tadi, kali
ini aku tidak lagi berakting menjadi pelajar panutan. Syukurlah, kali ini aku
insaf dan ingat apa yang biasanya kulakukan untuk kebaikan semua pihak: menertawakan
diri sendiri. Setelah meralat ucapanku dengan “EH … MAKSUD SAYA, KIRI, YA, PAK!”, kuabaikan
rasa malu yang seakan membakar wajahku dan langsung kukeluarkan suara
tawaku, mempersilakan para penumpang lain untuk turut menertawaiku juga.
Pelajaran Bahasa dari Angkutan Umum
Setelah sempat bersekolah selama dua tahun di Jakarta, aku merantau ke Bandung untuk berkuliah. Kendaraan favoritku masih sama, yaitu mobil angkutan umum. Syukurlah, sesuai umur yang sudah pantas memegang KTP, aku merasa bahwa kepercayaan diriku sudah makin besar dalam menjalani hidup (tsaaah).
Jangankan menaiki dan menghentikan angkot, menjelajahi daerah-daerah asing dan mencoba-coba rute angkutan baru pun tak lagi membuatku gugup. Saking percaya dirinya, aku pernah jauh tersesat akibat menganggap bahwa rute pergi dan pulang suatu mobil angkutan umum sama saja, seperti yang kutahu baik di Jakarta maupun Medan. Pelajaran tentang banyaknya jalan yang diberlakukan satu arah di Bandung akhirnya kupahami setelah aku tersasar beberapa belas kilo meter dari rumahku karena mengira mobil yang kunaiki itu pasti akan melewati titik yang sama.
Aku juga kembali memperhatikan perbedaan cara meminta sopir berhenti saat kita ada di dalamnya. Rupanya ucapannya hampir mirip dengan di Jakarta. Kata yang diserukan adalah "kiri" bukan "pinggir".
Namun, ucapan "Kiri, ya!" jarang kutemukan. Yang sering kudengar adalah "Kiri, kiri!" alias bentuk repetisi kata. Ucapan lain yang juga sering kudengar adalah "Kiri, payun!" Saat mendengar ini, aku langsung merasa mendapat pencerahan mengenai alasan kenapa jarang terdengar "Kiri, Pak!" Rupanya penduduk kota kembang ini sudah punya panggilan sendiri.
Bukan hanya "Kiri, kiri!" atau "Kiri, payun!", atau "Payun, kiri!" yang kupelajari dari pengalaman naik angkutan umum di Bandung. Kuperhatikan pula bahwa orang-orang Sunda ini begitu santun dalam berkomunikasi. Selain nada bicara yang lembut, mereka juga hampir selalu menyertakan kata-kata untuk meminta maaf dan berterima kasih. Saat berusaha melewati penumpang lain atau duduk di antara beberapa penumpang, misalnya, sering kudengar kata "punten". Tak jarang pula kudengar "nuhun" atau "hatur nuhun" yang diucapkan pada sopir setelah si penumpang selesai membayar.
Angkutan Umum di Kota Bandung (sumber: Ilman Muhammad - pexels.com) |
Masuk kandang kambing mengembik, masuk kandang kerbau menguak. Ingatkah teman-teman pada peribahasa ini? Sebagai perwujudan niatku untuk menjadi bagian dari bangsa yang berbudaya, aku pun bertekad mengikuti kebiasaan penduduk setempat. Kuusahakan untuk melepas pengaruh bahasa Medan maupun Jakarta dan mulai meniru cara bicara orang-orang Bandung.
Merasa sudah fasih meniru ucapan-ucapan yang kudengar di atas, suatu kali terpikir olehku untuk berimprovisasi. Saat memberikan ongkos kepada sopir, dengan riang dan semangat kukatakan padanya, "Nuhun, Payun!"
Alangkah herannya aku ketika tak melihat ekspresi senang di wajah sang sopir. Ia malah merengutkan dahinya. "Bade kamana, Neng?" tanyanya.
Aku sudah cukup pintar untuk memahami bahwa maksud kalimat itu adalah menanyakan aku mau pergi ke mana, tetapi masih cukup bodoh untuk menjawabnya dalam bahasa Sunda juga. "Eeh, ke ... ya ke sini, Pak," jawabku sambil menunjuk gerbang kampusku.
"Oh, udah bener?" tanyanya lagi.
Aku mengangguk-angguk bingung dan meskipun raut wajah si bapak sopir juga menampakkan kebingungan, akhirnya ia kembali menjalankan mobilnya.
Setibanya di kelas tempatku berkuliah, kuceritakan pengalamanku tadi kepada seorang teman yang memang asli Sunda. Namun, baru saja ceritaku sampai di bagian "Nuhun, Payun!", ia sudah menginterupsi.
"Kenapa kamu bilang gitu?"
"Ya mau bilang makasih. Bener kan, bilang 'nuhun'?"
"Kok ada 'payun'nya?"
"Ya mau nyebut panggilannya ... kayak 'Makasih, Pak', 'Makasih, Bu', gitu ... kan lebih sopan daripada 'makasih' doang?"
Apakah engkau orang Sunda atau mengerti bahasa Sunda? Kalau ya, pastilah kau paham mengapa saat itu temanku tak sanggup langsung memberiku penjelasan. Ia sibuk tertawa terpingkal-pingkal hingga hampir seperempat jam kemudian sebelum memberi tahuku bahwa "payun" itu bukan kata sapaan yang berarti "Pak", melainkan kata yang artinya "depan".
Terima kasih, Bandung. Di sini aku tak hanya meneruskan pelajaran tentang menertawakan diri sendiri, tetapi juga mendapatkan pelajaran bahasa dan pengembangan karakter: jangan sok tahu!
Penutup
Katanya tertawa itu menyehatkan. Aku sepakat dengan hal ini dan ingin menambahkan pesan: sepertinya lebih menyehatkan lagi kalau yang kita tertawakan adalah kebodohan diri sendiri. Kurasa ini jelas jauh lebih baik daripada mengutuki atau menyesalinya berkepanjangan. Sebodoh-bodohnya pengalaman, ia tetap guru terbaik dalam hidup.
Dari kebiasaan mengenang dan membagi-bagikan cerita berbagai kebodohan ini, aku bahkan pernah sampai menerbitkan sebuah novelet, lo. Sungguh, kala itu aku hanya ingin melepas stres setelah operasi gigi bungsu. Ternyata setelah teman-teman dan keluargaku menyukainya, beberapa penerbit juga tertarik menerbitkannya. Yang lebih tak kusangka lagi, buku itu diberi label "humor", padahal awalnya aku hanya ingin curhat, bukan melucu. MasyaAllah Tabarakallah. Hidup memang penuh kejutan.Label Humor yang Tak Kuharapkan di Buku Karyaku |
Sampul Depan Bukuku, "Giginosaurus" terbitan DAR! Mizan tahun 2008 |
Akhir kata, izinkan aku mohon maaf, ya, teman-teman. Maaf jika berbeda dengan niat awal, ternyata tulisan ini tidak terlalu menghibur para pembaca yang budiman. Misalnya karena terlalu berempati dan bukannya ikut tertawa, malah sedih membaca ceritaku. Mohon maaf lahir batin dan tetap sehat ya, Kakak-kakak!
Eh Alhamdulillah, Maak ... Masup Sepuluh Besar Ternyata! |
11 komentar:
HAHAHAHAHAHA
Auto ngakak..bercucuran air mata dan samapai harus ke toilet. Lucu abiss ..terutama yang masuk angkot di Jakarta dan turun angkot di Bandung. Belum pulak diceritakan yang terbang dari angkot ya
Ahahhaa alhamdulillah kalo Ma bahagia bacanya. Yg terbang dari angkot lupa euyy Ma ...
Ehehehehe. Dari WAG, sepertinya Heidy adalah orang yang 'serius', ternyata seru membaca tulisan kocak Heidy dan tingkah Heidy saat masiy anak-anak.
Apalagi yang bagian ke-reckless-an Heidy saat lupa belum menutup pintu mobil hingga akhirnya 'terbang', duh untungnya tidak terlalu tinggi ya level injury nya.
Itulah pentingnya memakai seatbelt walaupun duduk di bangku belakang. Ehehe.
Wah ternyata penulis Giginosaurus itu Heidy ya. Saya ingat kala itu, rame dibicarakan oleh circle saya. Senang sekali akhirnya bisa bertemu. Ehehe.
Dan, somehow, saya juga merasa familiar dengan nama Heidy. Apakah pernah bekerja di H*lli***t*n?? (Ini komemnya tidak nyambung ya, ehehe)
Aku ngalamin tuh perubahan kata pinggir bang jadi kiri kiri aa. Awalnya merasa aneh nyuruh ke kiri dan milih mencet bel aja kalau ada, apa daya ga selalu ada bel tuh angkotnya. Pelajaran dari angkot emang banyak ya, heheheh...
@Kak Risna: Wah iya Kak Risna kan juga naik sudako ya dulu. Haha iyaa ... dipikir-pikir beruntunglah yang ngerasain naik angkutan umum ya, seru-seru pengalamannya.
@Uril: waa makasih, Uril ... hee serius pernah rame itu Giginosaurus? Kukira sepi-sepi aja, haha. Makacii ... seneng banget juga ketemu pembaca yang bukan dari lingkaran pertemanan pas buku itu terbit XD
Eh Uril dulu di Halli? Suamiku itu yang kerja di sana duluu ... ya ampuun, sempitnya duniaa
Aku ngakak banget, teh :))) masalah memberhentikan angkot jg masuk kekhawatiran aku dulu. Maklum, anaknya pemalu
@Andina: Huaaa ... ada yang paham masalahku ternyata! Iya banget kan inii hal besar untuk yang pemalu, kan. Sayangnya akhirnya malah malu-maluin ... mungkin karena itu aku jadi kapok deh, bertrasnformasi jadi udah ga malu-malu lagii XD
Aneh memang orang Sunda ini. Rumahku kan di kanan. Kalau kubilang: "Kanan Mang" ke Mang Beca, itu pasti pada terus aja jalan. Harus bilangnya Kiri. Kiri=berhenti. Kalau kanan jalan terus. Ampun dah!
Yang terbang dari mobil itu horor banget :D
@Teh Shanty: naah ... iyaa kocak kalo dipikir-pikir ya Teh. Eh apa mungkin masudnya taat peraturan ya ... kan emang kudu di kiri kalo mau berenti XD
@Lia: heuu iya yaah ... kl dipikir2 mukzizat emang aku gapapa ... bersyukur juga krn mobilnya masih jalan pelan XD
Posting Komentar