Minggu lalu, tulisanku tentang “Anak Perempuan dan Persoalannya” yang kubagikan di salah satu komunitas menulis ditanggapi dengan beragam cerita serupa. Tak kusangka, ternyata banyak anak perempuan di dunia ini yang mengalami masalah yang tidak jauh berbeda. Meskipun telah dua puluhan tahun berlalu sejak terakhir kali aku merasa tersiksa karenanya, aku tetap bahagia karena menemukan bahwa ternyata aku tidak sendiri!
Senang sekali rasanya menemukan teman yang juga berpengalaman sebagai anak perempuan di luar definisi cantik menurut kebanyakan orang Indonesia. Kemudian, tak dapat kutahan imajinasiku yang melayang ke masa laluku, sebagai seorang anak perempuan berseragam putih-biru. Apa sih pemahamanku waktu itu tentang perempuan cantik?
Dalam rentang sebelas hingga tiga belas tahun usiaku di masa itu, aku sedang mulai mengusahakan agar segala
perilaku dan kepercayaanku selaras dengan orang lain. Istilah kerennya dalam
teori psikologi: konformitas. Sesuai teori ini, katanya (bukan kataku karena
aku bukan psikolog), seorang anak remaja akan menyesuaikan perilaku dengan
menganut norma kelompok acuan, menerima ide-ide atau aturan yang menunjukkan
bagaimana ia harus berperilaku (Baron & Byrne, 2005).
Nah … dalam situasiku sebagai remaja dahulu, aku merasa
wajib menyesuaikan diriku dengan opini umum yang berkembang di lingkungan
sekitarku. Rambut kribo dijadikan pengganti keranjang untuk permainan bola basket
kertas? Oh, jelas itu salahku! Bisa-bisanya tidak berambut lurus panjang
selicin model-model sampo di teve! Tentu saja aku harus memperbaiki kesalahan
ini! Baik, di mana aku dapat meluruskan rambut?
Namun, aku masih termasuk sangat beruntung karena dilahirkan dan
dibesarkan dalam keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan
kebaikan universal. Prioritas pendidikan dan kebijaksanaan tidak perlu
dipertanyakan, apalagi jika dibandingkan dengan cita-cita seremeh memiliki
kulit seputih salju atau dan rambut selurus jalan tol. Maka, pergulatanku menghadapi
konformitas di lingkungan sekolah pun tak berlarut-larut terlalu lama. Seiring
dengan pertambahan usia, aku makin percaya diri dengan penampilan fisikku apa
adanya.
Kenaikan jenjang pendidikan juga berpengaruh besar, apalagi
setelah aku menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri yang cukup
difavoritkan di negara ini. Aku tidak tahu pasti bagaimana situasi di kampus
lain, tetapi di kampusku yang masih didominasi lelaki, bentuk rambut dan
warna kulit bukan topik yang menarik dan populer. Dalam forum-forum curhat di
sekitarku, terutama yang terkait dengan hubungan asmara, masalah yang
lebih banyak berseliweran adalah bagaimana menemukan lawan jenis yang
“nyambung”.
Jika dibahas lebih lanjut, tak sulit untuk menemukan bahwa
kata nyambung itu tak lain dan tak bukan berhubungan dengan wawasan,
kecerdasan, dan kepribadian. Hingga aku lulus sarjana, tak sekali pun kutemukan lelaki yang menyambungkannya dengan kecocokan motif rambut atau kulit. Tampaknya semua temanku sadar bahwa misi mencari jodoh itu jauh berbeda dari pekerjaan menyusun ubin
kamar mandi.
“Perempuan cantik itu dilihat dari pinternya, karakternya.”
Hampir tersedak aku ketika tak sengaja mendengar kalimat
yang diucapkan suamiku itu pada salah seorang adik sepupunya beberapa tahun
yang lalu. Meskipun tidak disampaikannya padaku, boleh dong, aku terbang
sedikit beberapa meter? Bukankah secara tidak langsung, ia sedang
mendeskripsikan diriku? Aku kan istrinya! Hahahaa.
Nikmat mana lagi yang dapat kudustakan? Terima kasih, Mama,
Papa, teman-teman, dan tentu saja, pasangan hidupku. Berkat mereka semua yang pernah hadir dalam
hidupku, pengalamanku tentang konsep kecantikan perempuan sungguh kaya.
Kini, semua memori yang berserak itu kukumpulkan kembali untuk mendidik kedua
anak perempuanku. Tidak hanya yang manis, yang asam pun kusajikan pada mereka.
Anak perempuanku perlu tahu, aku paham apa yang dirasakannya
ketika ingin memakai produk pemutih kulit. Anak perempuanku perlu tahu, bahwa
ia tidak sendiri dalam menghadapi kecutnya (tidak harus sampai pahit, kok, Nak)
dunia remaja. Anak perempuanku perlu tahu, jalannya sebagai perempuan bisa jadi
masih sangat panjang. Anak perempuanku perlu tahu, dunia sebenarnya jauh lebih
luas daripada iklan produk kecantikan. Kemudian, tentu kuharap, anak perempuanku
menemukan arti kecantikan yang hakiki dan bangga dengan kecantikan mereka
masing-masing.
Bekasi, 21 April 2021
- H e i D Y -
1 komentar:
Opini nya tentang perempuan cantik mantap,, smoga ke2 putrinya paham maksud emaknya ini hehe...
Betul sih kecantikan pling utama dr perempuan ada di innerbeutynya,, karakternyaa,, fisik persoalan ke seribu hihi
Posting Komentar