Jumat, 08 Desember 2006

menguak hikmah, sebuah pilihan

Ya, ya ... akhirnya gue mengubah penampilan (blog) gue.
Kalau ada yang bertanya mengapa dan tujuannya apa, jangan mengharapkan jawaban yang keren ya. Nggak, nggak...nggak ada hubungannya sama citra diri atau idealisme lain kok. Ini hanya salah satu bukti nyata bahwa waktu luang yang gue miliki terlalu banyak dibandingkan dengan kegiatan pengisinya.

Betul. Dengan kata lain : gue kurang kerjaan alias iseng.

Dan mengapakah bisa demikian?
Karena. :-w
Mungkin, kerakusan gue menyantap dua penyakit berbahaya sekaligus yang kemaren itu meminta pembayaran yang tidak murah. Di antaranya yg paling menyedihkan (bagi gue) adalah kenyataan bahwa gue harus menarik diri dari aktifitas normal selama ini dan mendekam sebagai tahanan rumah selama berminggu-minggu.

Oke. Sekarang gue nomer satu setuju kalo ada yg berceramah tentang ‘mengambil hikmah’ dari sebuah pengalaman (tentu bukan gue doang kan, yang sering mendengar orang berkata, “sing sabar yaa. Ambil hikmahnya aja,” ?)

Man, ternyata menggali hikmah dari suatu pengalaman itu penting sekali...
Apalagi, terutama, jika pengalaman itu sangat BURUK....setidaknya jika dilihat, didengar, atau dirasa secara sekilas.

Dari pengalaman gue kemarin, mulai dari jatuh sakit hingga melewati berminggu2 masa pemulihan, bermacam pikiran dan perasaan datang berkunjung, bahkan ada yang sempat bercokol dan enggan pergi.

Mulai dari gue yang selama berhari-hari hanya bisa berbaring di tempat tidur dan tidak bisa tidak, harus bergantung pada orang lain bahkan hanya untuk hal-hal yang (biasanya) terasa sepele. Ini jelas adalah mimpi buruk bagi gue yang terbiasa melakukan apa-apa sendiri. Keinginan gue buanyaaaak sekali, dan sungguh tersiksa sekali rasanya ketika hampir tiap detik gue harus memanggil orang lain demi memenuhi semua itu... :(


Dan tidak hanya itu. Ketika banyak orang mengira gue masih bisa mengisi hari-hari di atas tempat tidur itu dengan berbagai kegiatan kegemaran gue, gue hanya bisa meringis sedih. Membaca, misalnya. Gue yang biasanya bisa tenggelam dalam dunia buku selama 2x24 jam, mendadak hanya sanggup membaca selama 10 menit (lewat dari itu, huruf-huruf itu tiba-tiba terbang menari-nari di sekeliling gue). Menulis, apalagi. Entah bagaimana gue yang selama ini pecandu word processor tiba-tiba jadi tidak bisa mengetik lebih dari 3 atau 4 baris kalimat. @-)

Gue nggak lupa bersorak sorai bergembira saat mulai diperbolehkan duduk dan kadang-kadang berdiri atau berjalan tidak lebih dari 3 langkah (beneran deh, gue udah kayak bayi baru belajar jalan). Tapi kegembiraan itu tidak lama. Berhari-hari lamanya, yang rasanya seperti seabad saja, gue begitu merindukan kepulihan gue. Suka ngiler en ngiri kalo liat atau denger orang-orang dgn segudang aktifitas mereka di luar rumah.

Jadi...
Jujur saja kuakui, sejak awal aku sama sekali tidak memiliki sabar itu, ikhlas itu, bersyukur itu. Yang ada hanyalah sedih, marah, bahkan frustasi.

Ketika ada yang berkata, “sabarlah,” atau, “ikhlaslah,” atau “bersyukurlah,”
Dengan sedih, marah, dan frustasi kujawab dalam hati,
“Bagaimana bisa? Untuk satu hal seburuk ini? Heyy...aku tidak bisa merasakan nikmat apapun dari semua ini!”

Dan kenapa itu hanya kujawab dalam hati?
Tentu saja...aku sadar betul, pastinya saat itu ada begituuuuuuuu banyak orang lain yang sedang mengalami hal yang jaaaaaaaauuuuuuuuh lebih buruk dariku.
Dan bukan rasa rendah hati yang membuatku menjaga sikap.
Sebaliknya, “the pride” lah yang mengambil alih.
Aku, tidak mau dianggap tidak tahu diri.

Dan rasa tersiksa itu terus ada, seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diriku. Seperti apapun ku berteriak dan menangis, kelegaan itu tak pernah kunjung datang. Sungguh aneh. Padahal selama ini kukira menangis selalu bisa mendatangkan kelegaan...
Kenapa kini justru sebaliknya, yang kutemukan justru aku dan hidupku yang terasa makin suram??

Dan sampai kapan ini akan terus berlangsung?
Kapan semua ini akan berakhir?
Kapan aku bisa kembali bebas?
Kapan ku bisa bebas tersenyum kembali, tanpa harus bergantung pada apapun yang kualami?
Kapan ku bebas untuk berbahagia, atas pilihanku sendiri?

Lalu perlahan ku mulai paham.
Mengambil hikmah dari sebuah pengalaman bukan berarti berdiam diri dan menunggu sang ‘hikmah’ itu diturunkan begitu saja dari langit. Apalagi jika berdiam mematung dalam kubangan penyesalan dan berpangku tangan pada pesimistis.

Jadi...
Okelah, gue jatuh sakit.
Dan ternyata butuh waktu yang tidak sebentar untuk kembali pulih ke kondisi semula. Begitu banyak hal yang tadinya bisa gue lakukan dengan mudah, menjadi sama sekali di luar kesanggupan gue.
Sedih, marah, dan frustasi... tentu sajaaaaa, wajar sekali perasaan-perasaaan seperti itu muncul ke permukaan.
Terimakasih, kalian telah datang berkunjung. Sebagai penanda bahwa gue sedang medapatkan sebuah pengalaman yang berbeda, bahwa hidup gue sedang disentuh oleh warna krayon yang berbeda.
Tapi bahwa kemudian kalian menjadi penguasa atas perasaanku, atas kehidupanku?

Hohohho...maaf-maaf saja yaa.
Gue nggak selemah itu, dan gue nggak akan kalah atas keadaan.

Gue nggak bisa berjalan secepat biasanya,
tapi itu membuat gue bisa melihat lebih banyak, memperhatikan segala yang ada di sekitar gue, dan informasi yang masuk ke dalam kepala ini pun bertambah dengan kecepatan arus (hohho...oceanography, i miss u ) yang lebih besar dari biasanya.

Dan saat kesanggupan untuk membaca dan menulis sedang menurun drastis,
optimalisasi kemampuan untuk berbicara pun terjadi (tentu saja, ini tidak lepas dari peran seorang yang telah dengan sangat sabar dan rela hati menyediakan telinganya untuk gue bombardir dengan segala jenis celotehan, tanpa mengenal batas ruang dan waktu...bwahahhaha. thank u sooo much, darling... )

Dan karna berstatus sebagai tahanan rumah selama berminggu-minggu...
gue jadi menguasai lebih banyak resep masakan;
gue jadi nonton tv (fyi, sebelumnya gue hampir tidak pernah nonton tv sama sekali) sehingga jadi tahu apa yang terjadi pada dunia (oh my God! what happened to the world??!) dan jadi tahu artis (maaf utk para seleb yg selama ini selalu gue cuekin kalo papasan di jalan, mall, atw tempat2 lainnya ;)) );
setelah bisa baca, gue jadi nyentuh buku-buku yang nggak pernah gue lirik sebelumnya (yaa..berhubung waktu ‘masuk penjara’ kan gue nggak sempet bawa perbekalan bahan hiburan yg biasanya);
dan gue jadi mendandani blog tersayang ini, sekaligus agak-agak kenal ama bahasa html
...yippee... :D/

Lalu, apa yang gue dapet dari puluhan kali periksa darah yang gue jalani dalam kurun waktu kurang dari sebulan?
Hemmm. Let’s see...ada yang tertarik mengajukan nama gue ke MURI?
Yah, setidaknya, gue jadi punya lumayan tahu seluk beluk pengambilan darah.
Ada yang misalnya, juga pernah mengalami darah muncrat dari lengan yang baru diambil darahnya? Hihhhihii....berbagi cerita yuuks...

Trus, ada juga bagian agak seriusnya.
Berkat jasa dua penyakit yang kompakan mengunjungi gue di saat bersamaan itu, perkembangan kondisi kesehatan gue terus dipantau (terutama oleh sang ibu yang hargadirinya sbg dokter cukup terluka karna merasa kecolongan, kok bisaaa anaknya sampe kena penyakit nggak mutu gitu..ha3).
Dan berkat pemantauan yang cermat itu, sampailah pada penemuan (atau kesadaran?) akan adanya kelainan darah pada tubuh gue selama ini. Whoaaaaa. Dan itulah yg paling luar biasa. Saat itu, gue merasakan betapa luarbiasanya hikmah dari segala proses yang gue alami ini.

Hikmah itu kutemukan, karena ku mencarinya.
Karena dengan sengaja kuniatkan mencarinya,
karena ku bertekad untuk menemukannya.

Dan kenapa kukuniatkan pencarian itu,
Kucita-citakan untuk menemukan hikmah itu?

Karena ku sudah tak ingin lebih lama lagi diperbudak apapun...
Karena kuingin bebas, menjadi pemilik atas hidupku sendiri,
bebas melakukan apapun, merasakan apapun, atas pilihanku sendiri.
Cause I wanna be a winner, don’t wanna be a loser...

Aku ingin tersenyum,
maka aku akan tersenyum...
tanpa bergantung pada seberapa lama ku bisa berdiri..
tanpa bergantung pada seberapa jauh ku bisa berjalan..
tanpa bergantung pada seberapa banyak pekerjaan yang bisa kulakukan sendiri..
dan tanpa bergantung pada apapun, hal lain yang kualami di luar kuasaku.
Apapun itu yang pernah, sedang, dan akan kualami, takkan bisa memperbudak perasaanku,
tak akan bisa menghalangi aku, untuk menjadi pemilik atas hidupku sendiri.

Kuyakin, tidak ada golongan orang yang ditakdirkan untuk berbahagia, sementara sebagian yang lain tidak ditakdirkan untuk itu.
Yang ada hanyalah golongan orang yang MEMILIH untuk meraih bahagia itu, dan yang memilih untuk tidak meraihnya.
Nah, anda termasuk golongan yang mana?

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Cool!