Senin, 23 November 2009

yang lebih penting (dari meminta diberi keturunan)

Akrabnya topik pemeriksaan infertiliti, niat dan usaha untuk berketurunan dalam kehidupan saya dan Hamdan biasanya sudah dipahami betul oleh orangtua, keluarga hingga lingkungan dan teman-teman kami. Mungkin selain karena kenyataan yang dapat langsung terlihat bahwa belum adanya foto bayi yang kami pamerkan atau tangis bayi yang terdengar dari dalam rumah kami, hal itu juga dikarenakan keterbukaan kami dalam berbagi kisah.

Ini adalah masalah kesehatan reproduksi, sesuatu yang sangat wajar dan manusiawi...jadi mengapa harus menganggapnya tabu? Dengan bersikap terbuka, kami berharap orang lain pun dapat terbuka dan berbagi ilmu dengan kami, syukur-syukur kalau malah kisah kami sendiri juga dapat memberi manfaat. Sejauh ini, cukup banyak orang yang telah sukarela membagi wawasan dan pengalamannya dengan kami. Ada yang memberi info medis, ada yang menceritakan berbagai pengobatan alternatif, ada pula yang memberikan saran secara spiritual. Alhamdulillah, semoga ketulusan mereka mendapat balasan yang berkali-kali lipat. Lalu di akhir sesi ’bagi-membagi’ ilmu itu, umumnya orang-orang yang baik hati itu menyumbangkan doa bagi kami. Sekali lagi, Alhamdulillah.


Nah, bermula dari ingatan tentang doa-doa itulah saya merasa ingin kembali berbagi di sini. Semua doa yang disedekahkan pada kami adalah doa yang baik (tidak ada yang terang-terangan mendoakan agar kami ditimpa musibah atau jauh dari berkah, misalnya..hehe). Hanya saja, mungkin pengalaman batin yang telah mengajari kami akan banyak hal membuat pandangan kami sedikit berbeda perihal doa pada Allah SWT tentang berketurunan sehingga umumnya doa-doa sumbangan itu kami tambahkan lagi di dalam hati.
Berikut adalah contoh-contoh doa terpopuler untuk kami:
1. ”...semoga cepat punya momongan..”
2. “....semoga cepat dikasih anak....“

Dan beginilah tambahan doa kami dalam hati : “kabulkanlah ya Allah...ya Aliim, jika itulah yang terbaik bagi kami. Sesungguhnya hanya Engkau yang Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi kami, dan Engkaulah yang Maha Mengabulkan doa..”

Apa yang membuat saya merasa wajib menambahkan doa itu tidak datang melalui pemahaman yang instan. Diperlukan bermangkok-mangkok adonan rasa sedih, kesal, bahkan frustasi, lalu tambahkan bergelas-gelas air mata dan beberapa adegan pertengkaran suami-istri selama kurang lebih setahun. Semua effort itu tidak terbuang percuma. Dengan komunikasi-komunikasi eksklusif yang rutin antara saya dan Dzat Yang Maha Agung sebagai pelengkapnya, saya pun menikmati hasil yang luarbiasa : sebuah pemahaman yang mendalam atas keberadaan saya dan suami sebagai sepasang hambaNYA di muka bumi ini. Pemahaman itulah yang kemudian melahirkan bekal untuk sabar dan ikhlas, sikap yang tak pernah kekal dalam tiap diri manusia (namanya juga manusia yang tak sempurna..wong bahkan nabi pun sesekali bisa kehilangan kesabarannya) namun wajib dipelihara.

Sedih, marah, kecewa, adalah perasaan-perasaan yang mungkin muncul secara spontan pada saat pertama kali kita menghadapi atau mengalami kejadian yang ”umumnya dianggap sebuah ketidakberuntungan”. Kenapa saya menyebutnya demikian? Karena pengalaman tersebut adalah pengalaman yang tidak sesuai dengan keinginan manusiawi seseorang. Untuk kasus yang saya alami, misalnya. Jika menuruti pemikiran dan keinginan yang manusiawi, seringkali kondisi saya yang sudah menikah namun belum berketurunan dianggap sebuah ketidakberuntungan (atau mungkin jika saya yang baru 2 tahun menikah belum pantas dijadikan contoh, ingatlah pasangan-pasangan lain yang bisa sampai belasan atau puluhan tahun belum/tidak juga berketurunan).

Namun benarkah begitu? Apakah benar kami, atau mereka, tidak beruntung? Apakah yang terbaik itu adalah jika setiap pasangan berketurunan? Tidakkah ada kebaikan tertentu yang justru lahir dari kondisi seperti kami? Dan jika saya langsung menjawab tidak, bukankah itu menandakan saya tidak beriman kepada Allah? Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Allah yang Maha Tahu apa yang terbaik bagi hamba-hambaNYA. Allah Yang Menguasai alam semesta. Allah yang Maha Besar!

Allah tidak menghadirkan satu pun makhluk ciptaanNYA di dunia ini tanpa maksud. Dan Allah tidak pula menetapkan kehendakNYA atas sesuatu tanpa maksud. Setelah benar-benar memahami (mungkin lebih tepatnya lagi adalah menghayati, karena sebenarnya kalimat itu telah familiar bagi saya sejak dulu dan saya tak pernah merasa tak paham akan artinya, padahal sesungguhnya kalimat itu hanya numpang lewat di telinga saya) hal tersebut, saya pun merasa tak ada alasan untuk merasa sedih, resah dan gelisah atas apapun kehendak Allah pada saya. Saya harus berhenti mengikuti berbagai perasaan atau pemikiran negatif tentang itu. Hanya dua hal yang tidak pernah boleh berhenti : ikhtiar saya dan pencarian atas hikmah itu sendiri.

Saya ingat kisah Siti Aisyah R.A yang hingga akhir hayatnya tidak pernah mengandung dan melahirkan. Apakah beliau berputus asa? Tidak. Apakah beliau dianggap tidak beruntung? Tidak. Apakah beliau tetap dapat bermanfaat sebagai seorang wanita? Jelas, beliau adalah istri Rasulullah yang sangat cerdas dan melalui beliaulah, banyak perilaku Rasulullah sehari-hari (hingga hal-hal terkecil) kemudian dapat diketahui dan diteladani oleh seluruh umat muslim. Apakah beliau tetap dapat berfungsi sesuai kodratnya sebagai ibu? Ya, beliau tetap melakukan pengasuhan dan pendidikan sehingga beliau adalah ibu bagi banyak orang hingga ajal menjemputnya. Kisah Siti Aisyah R.A ini adalah salah satu kisah yang sangat inspiratif bagi saya. Membaca kembali kisah ini, saya merasa seperti diingatkan kembali betapa tidak pantasnya saya merasa frustasi atas kondisi saya, baik itu ketika mengingat saya belum ada apa-apanya (baru juga 2 tahun menikah!) maupun saat membayangkan seandainya saya tidak akan pernah berketurunan hingga akhir hayat. Apapun itu, pasti itulah ketetapan yang terbaik yang dianugerahkan pada saya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Tahu.

Berbagai kisah inspiratif lainnya saya dapatkan dari sumber yang lebih dekat. Salah satunya adalah ketika satu waktu, Ibu saya berkesempatan mengikuti acara yang bernarasumberkan Emha Ainun Najib. Beliau menceritakan pengalamannya ketika istrinya melahirkan seorang anaknya yang langsung meninggal dunia. Betapa tidak beruntungnya, mungkin itulah umumnya reaksi spontan nan manusiawi orang-orang yang mendengar berita itu. Namun ternyata, reaksi yang dituai Cak Nun dari sahabat-sahabatnya (yang sepertinya didominasi kalangan sufi) sama sekali tidak demikian. Yang lucu, mereka malah menyeletuk, ”Janc*k!” (bercanda) sebagai ungkapan RASA IRI. Ternyata mereka langsung ingat bahwa Allah SWT telah menjaminkan surga bagi sang orangtua ketika bayi mereka yang baru dilahirkan langsung berpulang ke rahmatullah. Subhanallah. Nah, contoh yang ini mungkin memang tidak persis cocok dengan keadaan saya sendiri, tapi tetap saja inspiratif : tidak ada satu pun ketetapan Allah terhadap hidup seorang hambaNYA yang tidak membawa kebaikan. Kebaikan di balik sesuatu yang seolah tampak bagi sebagian orang ’tidak menguntungkan’ itu pasti ada, dunia ataupun akhirat.

Semua itulah (pengalaman sendiri dan berbagai kisah orang lain yang inspiratif) yang membangun keyakinan saya hingga detik ini : apapun ketetapan Allah Sang Penguasa Alam Semesta, adalah tugas kita untuk tak pernah lelah mencari hikmah yang terkandung di baliknya. Itulah yang terpenting. Sesungguhnya Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Itulah mengapa dalam urusan berketurunan, saya dan suami terus berikhtiar (kami tetap yakin, pada saat terbaik nanti Allah pasti akan menganugerahi kami keturunan jika itu yang terbaik bagi kami) sambil juga terus mencari tahu hikmah dari setiap langkah perjuangan kami. Itulah mengapa dari hari ke hari, saya semakin semangat (rasanya seperti membuka kado yang tak ada habisnya!). Itulah mengapa saya begitu bahagia saat bersama suami mendiskusikan setiap rencana hidup kami. Entah suatu saat nanti saya akan dipercaya untuk hamil atau tidak, kami berniat tetap akan menjadi sepasang ayah dan bunda....Insya Allah. Dan kepada anak-anak itu, siapapun orangtua kandungnya, kami akan menceritakan kembali kisah hidup dan penemuan-penemuan kami di atas sehingga Insya Allah tumbuh keyakinan atas eksistensi mereka : bahwa tak seorang pun manusia dihadirkan ke dunia ini selain atas kehendakNYA. Kepada anak-anak itu, kami akan saling menyemangati untuk terus menguak rahasia-rahasiaNya yang maha indah dalam hidup kami-masing-masing. Lalu Insya Allah takkan bosan kami berkata pada mereka, ”Anak-anakku, sesungguhnya Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang....”



penuh cinta,
- H e i D Y -

2 komentar:

Crey mengatakan...

berserah dan percaya aja ya :)

Heidy Kaeni mengatakan...

Iya Crey, thanks yaa :D