Setahun yang lalu, saya memutuskan untuk kembali ke bangku kuliah. Sebagai makhluk yang banyak maunya, kebimbangan sempat menghampiri saya ketika memilih jurusan. Memalukan deh, sudah setua ini tapi tak ada kemajuan dari dua belas tahun lalu. Yah...saya kira bingung gundah memilih jurusan itu cuma hak-nya para abg calon mahasiswa S1, bukan emak-emak yang sudah mau mengambil program magister.
Dua belas tahun yang lalu, saya memutuskan untuk menceburkan diri ke sebuah jurusan ilmu kebumian, yang tentu saja menginduk pada ilmu pasti alam. Ada yang lucu (sebenarnya mau bilang bodoh, tapi tak enak hati) pada saya di masa itu. Sebelum tahu bahwa saya lolos Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri, saya mengambil ujian dan tawaran masuk tanpa tes dari beberapa perguruan tinggi swasta sebagai cadangan pilihan kuliah. Saya tidak bisa mengambil ilmu kebumian juga seperti pilihan pada UMPTN karena jurusan itu memang jarang ada, tetapi saya bersikeras memilih jurusan yang masih merupakan keluarga ilmu pasti alam. Teknik Kimia. Teknik Elektro. Teknik Informatika. Dan seterusnya. Sementara itu, tak sedikit teman saya yang memilih kuliah di jurusan ilmu sosial seperti Ilmu Komunikasi, Hubungan Internasional, dan lain-lain, padahal mereka masuk dalam jurusan ilmu alam saat SMA. Saat itu saya yang amat tak berwawasan ini sungguh tidak habis pikir dengan keputusan mereka, sekaligus juga tidak mengerti sama sekali tentang bagaimana ilmu selain ilmu pasti alam bisa menarik! Nah, cukup lucu (boleh juga dibaca: bodoh) kan saya waktu itu?
Jangan mengira saya orang yang berbakat pintar apalagi jenius dalam bidang ilmu pasti. Bukan, sama sekali bukan! Sejak kecil saya memang menyenangi matematika, tapi saya lebih menggemari kegiatan mengarang dan lebih berjaya dalam kelas-kelas ilmu bahasa. Mungkin sikap kedua orangtua yang lebih mementingkan prestasi pada ilmu alamlah yang turut mempengaruhi pemikiran saya semasa SD hingga SMA. Saya pun mendapati nilai-nilai saya pun cenderung lebih baik untuk ilmu-ilmu pasti ketimbang ilmu sosial. Daripada bakat, saya lebih mencurigai itu sebagai hasil doktrinasi yang telah merasuki saya hingga ke tulang-tulang! Karena mengimaninya begitu kuat, tanpa sadar kan saya jadi berupaya lebih keras dalam pelajaran-pelajaran ilmu pasti alam dan mengabaikan kelompok ilmu sosial. Ya wajar dong, kalau nilainya jadi lebih bagus!
Saya mulai insaf, eh maksudnya mulai membuka mata, justru ketika baru mulai kuliah di jurusan ilmu bumi itu. Makin hari, makin terasa bahwa ternyata saya tidak bahagia mempelajari ilmu tersebut. Tidak bahagia, maka tidak sukses. Setengah mati saya berusaha menyelesaikan kuliah. Saya pun lulus lima tahun kemudian semata karena tekad pantang untuk mundur atau tidak menyelesaikan apa yang telah saya mulai. Padahal kalau menuruti kajian ulang terhadap minat dan kemampuan, mungkin saya baru menjadi sarjana tujuh tahun kemudian, dari jurusan yang sama sekali berbeda di perguruan tinggi lainnya.
Lepas kuliah, saya langsung terjun ke dunia pendidikan. Saya tahu saya bukan pelajar yang baik, tapi saya 'merekam' dengan baik seluruh suka duka saya selama menjalani peran tersebut. Karena itulah saya bersemangat menjadi guru. Atau lebih tepatnya, saya sangat bersemangat ingin menjadi teman berbagi atau teman belajar untuk banyak orang.
Awalnya saya hanya mengajar matematika, bidang ilmu yang saya senangi sekaligus juga masih bisa 'dihubungkan' dengan latar belakang pendidikan sarjana saya. Lambat laun setelah memiliki pengalaman sebagai guru, saya juga mengajar bidang ilmu yang lebih saya cintai lagi: bahasa. Maka jadilah saya dikenal oleh murid-murid saya sebagai guru matematika dan/atau guru bahasa. Sebagian murid tak tahu saya pun mengajar bahasa, sementara sebagian lagi justru tak tahu saya mengajar matematika. Belakangan barulah ada kelompok siswa yang mengetahui kedua 'wujud' saya tersebut :D
Ketika baru menyandang gelar sarjana, sempat terpikir bahwa mungkin saya takkan pernah sekolah lagi. Kapok! Berhasil tidak drop out saja sudah prestasi luar biasa bagi saya waktu itu. Juga rasanya sudah capek sekali, tujuh belas tahun terus menerus sekolah (TK tidak dihitung, karena waktu itu alhamdulillah saya masih merasa bermain-main saja di sana, bukan sekolah). Pokoknya, tak pernah terbayang sama sekali bahwa saya akan kembali bersekolah.
Sekitar lima tahun kemudian, barulah terbersit keinginan saya untuk bersekolah lagi. Jika saat baru lulus SMU dulu saya merasa harus kuliah ya karena semua orang (baca: teman-teman saya pada umumnya) kuliah, kali ini berbeda. Kali ini, saya kuliah karena memang merasa benar-benar ingin kuliah lagi. Meski saya percaya bahwa ilmu dapat diperoleh dari mana saja, saya merasa bahwa makhluk seperti saya ini lebih cocok belajar melalui lembaga pendidikan formal, dimana kurikulum studi pun telah dirancang sedemikian rupa dan dapat membantu saya pula dalam kegiatan belajar secara mandiri. Tanpa bantuan itu, saya tidak yakin dapat menentukan langkah pencarian ilmu itu secara tepat, urut dan lengkap.
Namun bagian yang membingungkan, seperti yang telah saya sebut di awal tulisan ini, adalah ketika saya memilih jurusan berikut universitasnya. Saya ingin kuliah di jurusan pendidikan atau psikologi karena ingin memperkuat kompetensi saya sebagai seorang pendidik. Universitas yang saya incar untuk jurusan-jurusan pendidikan ini tidak terletak di dalam negeri. Keinginan saya yang lain adalah menguasai ilmu tentang bahasa, satu bidang yang sangat saya sukai tetapi selama ini belum pernah saya berkesempatan untuk mempelajarinya secara khusus. Untuk jurusan yang satu ini, saya merasa bisa memilih universitas di dalam atau luar negeri.
Setelah mempertimbangkan berbagai hal selama hampir setahun (Book...lama yah mikirnya!!), pilihan saya akhirnya jatuh pada yang kedua, yaitu program studi linguistik di sebuah universitas dalam negeri. Bagi yang penasaran dan tak tahu apa itu linguistik, saya jelaskan pada kesempatan lain saja, ya!
Tentang keinginan yang pertama, sebagai orang yang amat sangat bahagia berkarya di bidang pendidikan, wajar kan jika saya belum membuang minat tersebut? Pada satu kesempatan, saya sempat menceritakan hal ini pada beberapa teman. Jika umur masih panjang, jika ada rezeki, jika ada kesempatan, kelak saya juga ingin bersekolah di jurusan pendidikan atau psikologi, mengambil program magister lagi. Sebagian besar teman saya itu tercengang, tak habis pikir. Buat apa saya sekolah S2 lagi? Kenapa bukan S3?? Pokoknya, waktu itu mendadak saya merasa dianggap sinting. Hahahaha.
Setali tiga uang dengan saat saya baru lulus sarjana dulu, kini pun saya sama sekali tak terpikir untuk melanjutkan sekolah hingga jenjang S3. Keinginan saya untuk sekolah lagi di bidang pendidikan kelak adalah pada jenjang yang sama, yaitu S2. Lagipula latar belakang pendidikan saya sama sekali tidak linier (antara S1 dan S2, apalagi jika nanti langsung S3). Inilah yang berbeda dari teman-teman yang telah secara khusus berniat untuk mempelajari ilmu yang telah mereka pilih secara konsisten sejak dulu hingga sedalam-dalamnya, menapaki jenjang hingga setinggi-tingginya. Dan yang terpenting, kini yang saya kejar dalam bersekolah adalah luas bentangan ilmu serta pengalamannya. Bukan gelarnya ;)
Ah, tulisan ini sudah panjang. Maaf, seperti biasa, saya lupa waktu jika sudah menulis. Insya Allah lain kali saja saya ceritakan pengalaman-pengalaman seru saya berkenalan dengan ilmu non pasti alam, ya!
Salam semangat! Semangat sekolah bagi yang ingin!
- H e i D Y -
* Gambar saya ambil dari sini. Terimakasih pada penciptanya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar