Tidak terasa, kita sudah berhadapan dengan minggu terakhir
Ramadan 1434 H. Rasanya seolah baru kemarin saya melihat di sana-sini
banyak orang melakukan berbagai persiapan untuk menyambut bulan suci ini dan sekarang
keantusiasan itu sudah berganti: untuk menyambut lebaran. Bagi saya sendiri,
tidak terlalu banyak persiapan yang perlu dilakukan baik menjelang Ramadan
maupun sebelum Idul Fitri. Belanja khusus untuk menyetok bahan makanan yang
jauh lebih banyak dari biasanya, misalnya, justru merupakan hal yang saya
hindari.
Sebenarnya saya tidak begitu memahami kebiasaan banyak
keluarga di negeri kita ini untuk memborong bahan makanan secara besar-besaran
menjelang bulan puasa. Saya dapat memaklumi jika mereka adalah orang-orang yang
kemampuan finansialnya sangat berlebih dan memanfaatkan momen Ramadan ini
sebagai kesempatan untuk memberi makan sebanyak-banyaknya fakir miskin, anak
yatim dan dhuafa, atau kalangan orang tidak mampu lainnya. Namun, lain halnya jika mereka
kalap belanja hanya untuk kebutuhan keluarganya sendiri. Untuk apa? Bukankah
dengan berpuasa berarti tidak ada acara makan siang sehingga setidaknya telah
berkurang satu jatah makan? Bukankah dengan demikian –seharusnya– berkurang
pula bahan makanan yang perlu dibeli?
Salah satu alasan yang pernah saya dengar adalah “Kan udah
puasa seharian, boleh dong memanjakan diri dengan makanan yang banyak dan
enak-enak waktu buka!” Padahal, pemikiran ini jelas bertentangan
dengan salah satu esensi berpuasa itu sendiri: menahan nafsu dan merasakan
keprihatinan saudara-saudara kita yang kurang mampu mencukupi kebutuhan
dasarnya sehari-hari. Di mana letak prihatinnya jika kita berpuasa dengan cara
‘menimbun’ makanan saat sahur, ‘balas dendam’ saat berbuka, dan selalu menyantap
makanan-makanan yang mahal?
Banyak pula yang beralasan seperti “Harus makan banyak dong waktu sahur, supaya puasanya
kuat!” Yang ini rasanya agak mengada-ada. Saya yakin, sudah banyak di antara
kita yang telah membuktikan bahwa kita tidak perlu makan dengan porsi lebih banyak dari biasanya saat sahur hanya agar kuat berpuasa
seharian. Jika Anda belum memercayai hal ini, silakan coba sendiri. Makan
dengan porsi yang berlebih sebenarnya justru akan menghasilkan efek di luar
harapan karena sistem pencernaan dipaksa bekerja ekstra keras sehingga energi
kita pun lebih banyak tersedot. Menurut saya, satu-satunya hal yang penting
untuk dipastikan dalam setiap santapan sahur atau berbuka adalah muatan gizi
yang seimbang (selain halal, tentunya)!
Kebutuhan akan gizi tinggi saat puasa juga sering
dijadikan alasan sebagian orang untuk memborong daging menjelang Ramadan. Sepertinya
sebagian besar masyarakat di negeri ini menganggap bahwa daging –terutama daging
sapi- mutlak dibutuhkan untuk menjamin kecukupan gizi seseorang! Dengan kata
lain, singkatnya, yang telah terpatri dalam benak sebagian orang Indonesia
adalah makanan bergizi berarti daging.
Padahal, tidak sedikit keluarga yang telah membuktikan
bahwa mereka tidak kekurangan gizi meskipun jarang sekali atau bahkan tidak
pernah mengonsumsi daging sapi. Jika ingin mencari sumber protein, masih ada jenis
daging lainnya, telur, atau berbagai jenis kacang-kacangan. Tempe yang
merupakan pangan asli asal Indonesia malah sudah mendunia dan diandalkan oleh
para vegetarian di banyak negara sebagai sumber protein mereka. Jadi, mengapa
harus daging sapi?
Ternyata, masih ada alasan lain yang biasanya diakui orang
secara malu-malu: gengsi! Dengan kondisi dompet yang pas-pasan, sebagian orang justru
memaksa membeli daging sapi karena bahan pangan tersebut merupakan barang mahal
dan salah satu simbol kemewahan. Karena itulah di negeri ini, berlaku anggapan
umum bahwa yang membeli daging sapi adalah orang 'mampu'. Dengan demikian,
membeli daging dapat diibaratkan seperti membeli semacam 'tiket masuk' ke strata sosial
tertentu.
Karena kekalapan dan sikap konsumtif masyarakat itu, tidak
heran jika harga daging sapi selalu naik di bulan puasa. Komoditi yang biasanya
sudah tidak murah itu pun semakin mahal lagi menjelang bulan Ramadan,
seperti yang diberitakan dalam “Jelang puasa harga daging sapi naik” (teraspos.com, 5 Juli 2013). Hal serupa pun terjadi pada kebutuhan pangan pokok. Wajarlah jika rakyat kecil menjerit dan mendesak pemerintah untuk bertindak. Hal ini dapat terlihat salah satunya dari unjuk rasa atas harga sembako beberapa hari yang lalu (teraspos.com, 21 Juli 2013).
Jika peduli pada jutaan rakyatnya yang masih berada di
bawah garis kemiskinan dan benar-benar tidak mampu membeli kebutuhan pangan
pokok, langkah bijak apa yang diambil pemerintah? Meskipun saya bukan orang
pintar yang ikut ‘mengurus’ negara, setidaknya saya tidak bodoh-bodoh amat
hingga percaya bahwa semua masalah itu akan selesai dengan baik jika kita
mengimpor lebih banyak lagi bahan pangan dari negara-negara lain. Benarkah
impor dari sana-sini akan menyejahterakan rakyat kita? Benarkah impor menjadi
satu-satunya solusi karena produksi dalam negeri sudah tidak dapat mencukupi
kebutuhan pangan kita? Bagaimana dengan konsumsi yang berlebihan itu sendiri?
Bukankah sebagian masalah sebenarnya terletak di sana?
Masih banyak orang yang memaksa diri harus mengonsumsi
makanan mewah dan dalam porsi yang besar sebagai ‘bekal khusus’ untuk menjalani
puasa meskipun kemampuan finansialnya terbatas. Padahal, jika mau, sesungguhnya
bulan Ramadan justru dapat dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk berhemat. Kesempatan
untuk berbagi dengan mereka yang benar-benar kurang mampu pun lebih besar. Uang
yang diperlukan untuk membeli sekilo daging sapi, misalnya, jika disisihkan
mungkin dapat memberi makan lima orang atau lebih anak yatim dan dhuafa. Seandainya
masyarakat dari kalangan ekonomi menengah ke atas kompak dalam menjauhi sikap
konsumtif dan memilih memanfaatkan kelebihan uang mereka untuk membantu
kalangan yang kurang mampu, saya rasa bukan tidak mungkin jumlah orang miskin
di negeri ini dapat terus berkurang dari tahun ke tahun. Jika saja pemerintah
mau dan lebih cerdas mengambil kebijakan serius untuk menangani masalah sikap konsumtif
masyarakat ini, mungkin mereka tidak perlu terlalu pusing dengan lonjakan harga
kebutuhan pokok menjelang Ramadan setiap tahunnya.
Kembali ke perkataan awal saya. Meskipun tidak belanja pangan
besar-besaran setiap menjelang Ramadan, tidak berarti persiapan menjelang
Ramadan itu tidak diperlukan sama sekali. Tentu saja setidaknya ada satu persiapan
penting yang dibutuhkan. Bukan belanja, melainkan persiapan NIAT. Dengan
berniat ikhlas berpuasa karena Allah SWT, insya Allah kita dapat menunaikan
ibadah ini dengan lancar. Selamat berpuasa!
-Heidy Kaeni-
http://kontes.teraspos.com/participant/konsumsi-khusus-untuk -puasa-ramadan-perlukah/
Terima kasih banyak!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar