Senin, 29 Juli 2013

Konsumsi Khusus untuk Puasa Ramadan, Perlukah?


Tidak terasa, kita sudah berhadapan dengan minggu terakhir Ramadan 1434 H. Rasanya seolah baru kemarin saya melihat di sana-sini banyak orang melakukan berbagai persiapan untuk  menyambut bulan suci ini dan sekarang keantusiasan itu sudah berganti: untuk menyambut lebaran. Bagi saya sendiri, tidak terlalu banyak persiapan yang perlu dilakukan baik menjelang Ramadan maupun sebelum Idul Fitri. Belanja khusus untuk menyetok bahan makanan yang jauh lebih banyak dari biasanya, misalnya, justru merupakan hal yang saya hindari.

Sebenarnya saya tidak begitu memahami kebiasaan banyak keluarga di negeri kita ini untuk memborong bahan makanan secara besar-besaran menjelang bulan puasa. Saya dapat memaklumi jika mereka adalah orang-orang yang kemampuan finansialnya sangat berlebih dan memanfaatkan momen Ramadan ini sebagai kesempatan untuk memberi makan sebanyak-banyaknya fakir miskin, anak yatim dan dhuafa, atau kalangan orang tidak mampu lainnya. Namun, lain halnya jika mereka kalap belanja hanya untuk kebutuhan keluarganya sendiri. Untuk apa? Bukankah dengan berpuasa berarti tidak ada acara makan siang sehingga setidaknya telah berkurang satu jatah makan? Bukankah dengan demikian –seharusnya– berkurang pula bahan makanan yang perlu dibeli?

Salah satu alasan yang pernah saya dengar adalah “Kan udah puasa seharian, boleh dong memanjakan diri dengan makanan yang banyak dan enak-enak waktu buka!” Padahal, pemikiran ini jelas bertentangan dengan salah satu esensi berpuasa itu sendiri: menahan nafsu dan merasakan keprihatinan saudara-saudara kita yang kurang mampu mencukupi kebutuhan dasarnya sehari-hari. Di mana letak prihatinnya jika kita berpuasa dengan cara ‘menimbun’ makanan saat sahur, ‘balas dendam’ saat berbuka, dan selalu menyantap makanan-makanan yang mahal?

Banyak pula yang beralasan seperti “Harus makan banyak dong waktu sahur, supaya puasanya kuat!” Yang ini rasanya agak mengada-ada. Saya yakin, sudah banyak di antara kita yang telah membuktikan bahwa kita tidak perlu makan dengan porsi lebih banyak dari biasanya saat sahur hanya agar kuat berpuasa seharian. Jika Anda belum memercayai hal ini, silakan coba sendiri. Makan dengan porsi yang berlebih sebenarnya justru akan menghasilkan efek di luar harapan karena sistem pencernaan dipaksa bekerja ekstra keras sehingga energi kita pun lebih banyak tersedot. Menurut saya, satu-satunya hal yang penting untuk dipastikan dalam setiap santapan sahur atau berbuka adalah muatan gizi yang seimbang (selain halal, tentunya)!

Kebutuhan akan gizi tinggi saat puasa juga sering dijadikan alasan sebagian orang untuk memborong daging menjelang Ramadan. Sepertinya sebagian besar masyarakat di negeri ini menganggap bahwa daging –terutama daging sapi- mutlak dibutuhkan untuk menjamin kecukupan gizi seseorang! Dengan kata lain, singkatnya, yang telah terpatri dalam benak sebagian orang Indonesia adalah makanan bergizi berarti daging.

Padahal, tidak sedikit keluarga yang telah membuktikan bahwa mereka tidak kekurangan gizi meskipun jarang sekali atau bahkan tidak pernah mengonsumsi daging sapi. Jika ingin mencari sumber protein, masih ada jenis daging lainnya, telur, atau berbagai jenis kacang-kacangan. Tempe yang merupakan pangan asli asal Indonesia malah sudah mendunia dan diandalkan oleh para vegetarian di banyak negara sebagai sumber protein mereka. Jadi, mengapa harus daging sapi?

Ternyata, masih ada alasan lain yang biasanya diakui orang secara malu-malu: gengsi! Dengan kondisi dompet yang pas-pasan, sebagian orang justru memaksa membeli daging sapi karena bahan pangan tersebut merupakan barang mahal dan salah satu simbol kemewahan. Karena itulah di negeri ini, berlaku anggapan umum bahwa yang membeli daging sapi adalah orang 'mampu'. Dengan demikian, membeli daging dapat diibaratkan seperti membeli semacam 'tiket masuk' ke strata sosial tertentu.

Karena kekalapan dan sikap konsumtif masyarakat itu, tidak heran jika harga daging sapi selalu naik di bulan puasa. Komoditi yang biasanya sudah tidak murah itu pun  semakin mahal lagi menjelang bulan Ramadan, seperti yang diberitakan dalam “Jelang puasa harga daging sapi naik” (teraspos.com, 5 Juli 2013)Hal serupa pun terjadi pada kebutuhan pangan pokok. Wajarlah jika rakyat kecil menjerit dan mendesak pemerintah untuk bertindak. Hal ini dapat terlihat salah satunya dari unjuk rasa atas harga sembako beberapa hari yang lalu (teraspos.com, 21 Juli 2013)

Jika peduli pada jutaan rakyatnya yang masih berada di bawah garis kemiskinan dan benar-benar tidak mampu membeli kebutuhan pangan pokok, langkah bijak apa yang diambil pemerintah? Meskipun saya bukan orang pintar yang ikut ‘mengurus’ negara, setidaknya saya tidak bodoh-bodoh amat hingga percaya bahwa semua masalah itu akan selesai dengan baik jika kita mengimpor lebih banyak lagi bahan pangan dari negara-negara lain. Benarkah impor dari sana-sini akan menyejahterakan rakyat kita? Benarkah impor menjadi satu-satunya solusi karena produksi dalam negeri sudah tidak dapat mencukupi kebutuhan pangan kita? Bagaimana dengan konsumsi yang berlebihan itu sendiri? Bukankah sebagian masalah sebenarnya terletak di sana?

Masih banyak orang yang memaksa diri harus mengonsumsi makanan mewah dan dalam porsi yang besar sebagai ‘bekal khusus’ untuk menjalani puasa meskipun kemampuan finansialnya terbatas. Padahal, jika mau, sesungguhnya bulan Ramadan justru dapat dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk berhemat. Kesempatan untuk berbagi dengan mereka yang benar-benar kurang mampu pun lebih besar. Uang yang diperlukan untuk membeli sekilo daging sapi, misalnya, jika disisihkan mungkin dapat memberi makan lima orang atau lebih anak yatim dan dhuafa. Seandainya masyarakat dari kalangan ekonomi menengah ke atas kompak dalam menjauhi sikap konsumtif dan memilih memanfaatkan kelebihan uang mereka untuk membantu kalangan yang kurang mampu, saya rasa bukan tidak mungkin jumlah orang miskin di negeri ini dapat terus berkurang dari tahun ke tahun. Jika saja pemerintah mau dan lebih cerdas mengambil kebijakan serius untuk menangani masalah sikap konsumtif masyarakat ini, mungkin mereka tidak perlu terlalu pusing dengan lonjakan harga kebutuhan pokok menjelang Ramadan setiap tahunnya.

Kembali ke perkataan awal saya. Meskipun tidak belanja pangan besar-besaran setiap menjelang Ramadan, tidak berarti persiapan menjelang Ramadan itu tidak diperlukan sama sekali. Tentu saja setidaknya ada satu persiapan penting yang dibutuhkan. Bukan belanja, melainkan persiapan NIAT. Dengan berniat ikhlas berpuasa karena Allah SWT, insya Allah kita dapat menunaikan ibadah ini dengan lancar. Selamat berpuasa!

-Heidy Kaeni-


Tulisan sederhana ini diikutsertakan dalam TerasPos Blogging Contest. Karena penilaian menggunakan sistem voting, jika berkenan mohon mampir dan ikut memilih (klik LIKE) di:
http://kontes.teraspos.com/participant/konsumsi-khusus-untuk-puasa-ramadan-perlukah/

Terima kasih banyak!


banner-kontes-blog-teraspos

Tidak ada komentar: