Selamat tanggal satu Juni! Selamat memasuki bulan baru, kata teman-teman pecinta journaling atau setidaknya cukup menaruh perhatian pada jadwal dan kalender selamat hari lahir Pancasila, kata sebagian rakyat Indonesia yang berpendapat bahwa mengingat sejarah bangsanya adalah salah satu kebanggaan yang patut dipertahankan.
Aku termasuk yang mana, ya? Karena ini bukan pemilu dan tidak ada aturan bahwa memilih A berarti tidak dapat memilih B, rasanya aku dapat mengatakan keduanya. Namun, ada ucapan satu Juni lainnya yang bagiku cukup istimewa dan sepertinya yang mengucapkannya pun tidak sebanyak dua kelompok di atas.
Selamat ulang tahun. Itu ucapan yang kumaksud. Bukan untuk diriku sendiri, tentu, karena aku berharap tidak mengidap narsisisme. Ucapan itu juga bukan untuk ibuku, ayahku, pasangan hidupku, atau anak-anakku.
Itu adalah ucapan yang dulu sering kusampaikan untuk tanteku pada tanggal ini. Beliau bukan tanteku satu-satunya. Karena mama dan papaku memiliki beberapa adik, ada beberapa orang yang kusebut sebagai tanteku (kandung maupun karena perkawinan dengan om kandung). Jadi, yang mau kukatakan di sini: beliau hanya satu di antara banyak tanteku.
Apakah tanteku tersebut istimewa? Jawabannya: tidak dan ya. Tidak adalah jawabanku untuk menyanggah dugaan bahwa tante-tanteku yang lain kalah istimewa darinya. Mereka semua istimewa, dong (*tambahkan imajinasi visual berupa bunga-bunga beterbangan*). Sementara itu, ya adalah jawabanku yang diharap cukup kuat untuk menjadi alasan mengapa aku menceritakan sosoknya di sini.
Izinkan aku bercerita tentang dirinya, ya. Sudah lihat di atas, kan, aku punya beberapa alasan kuat? Satu, hari ini tanggal satu Juni, ulang tahun beliau. Dua, beliau salah satu orang yang istimewa dalam hidupku. Tiga, ini blog-ku.
Tante E, anggaplah demikian aku menyebutnya dulu. Mamaku lebih tahu kapan persisnya kami pertama kali bertemu karena waktu itu aku masih bayi. Menurut Mama, beliau sering membantu mengasuhku sejak dulu.
Aku tidak banyak mendapat cerita tentang apa saja yang kulakukan bersama Tante E di masa kecilku dulu. Mungkin karena sampai dewasa, aku masih cukup sering berhubungan dengannya dan tidak ada alasan bagiku untuk mencari-cari potongan kenangan langka yang hilang. Atau mungkin juga karena ada banyak hal lain dari Tante E yang lebih menarik menjadi bahan cerita Mama.
Salah satu yang paling sering diceritakan oleh Mama adalah betapa pintarnya Tante E. Bukti yang paling sering diajukan adalah Tante E adalah adik kelas Papa di perguruan tinggi, yang kata orang-orang sampai sekarang masih sangat sulit untuk ditembus (bukan kataku yang pernah melihat siapa pun bisa masuk ke sana, dari tukang gorengan sampai anak kecil yang sedang diajak tamasya pada akhir pekan), terutama oleh perempuan (pada zaman beliau berkuliah di sana, jumlah mahasiswa laki-lakinya masih jauh mendominasi. Cerita Mama tentang kecerdasan Tante E ini sering dikaitkan dengan masalah makanan favoritnya, ikan. Aku tidak tahu persis bagaimana cerita awalnya, tetapi entah sejak kapan aku mulai curiga sebenarnya ini adalah salah satu ikhtiar Mama agar anak-anaknya gemar makan ikan.
Aku termasuk yang mana, ya? Karena ini bukan pemilu dan tidak ada aturan bahwa memilih A berarti tidak dapat memilih B, rasanya aku dapat mengatakan keduanya. Namun, ada ucapan satu Juni lainnya yang bagiku cukup istimewa dan sepertinya yang mengucapkannya pun tidak sebanyak dua kelompok di atas.
Selamat ulang tahun. Itu ucapan yang kumaksud. Bukan untuk diriku sendiri, tentu, karena aku berharap tidak mengidap narsisisme. Ucapan itu juga bukan untuk ibuku, ayahku, pasangan hidupku, atau anak-anakku.
Itu adalah ucapan yang dulu sering kusampaikan untuk tanteku pada tanggal ini. Beliau bukan tanteku satu-satunya. Karena mama dan papaku memiliki beberapa adik, ada beberapa orang yang kusebut sebagai tanteku (kandung maupun karena perkawinan dengan om kandung). Jadi, yang mau kukatakan di sini: beliau hanya satu di antara banyak tanteku.
Apakah tanteku tersebut istimewa? Jawabannya: tidak dan ya. Tidak adalah jawabanku untuk menyanggah dugaan bahwa tante-tanteku yang lain kalah istimewa darinya. Mereka semua istimewa, dong (*tambahkan imajinasi visual berupa bunga-bunga beterbangan*). Sementara itu, ya adalah jawabanku yang diharap cukup kuat untuk menjadi alasan mengapa aku menceritakan sosoknya di sini.
Izinkan aku bercerita tentang dirinya, ya. Sudah lihat di atas, kan, aku punya beberapa alasan kuat? Satu, hari ini tanggal satu Juni, ulang tahun beliau. Dua, beliau salah satu orang yang istimewa dalam hidupku. Tiga, ini blog-ku.
Tante E, anggaplah demikian aku menyebutnya dulu. Mamaku lebih tahu kapan persisnya kami pertama kali bertemu karena waktu itu aku masih bayi. Menurut Mama, beliau sering membantu mengasuhku sejak dulu.
Aku tidak banyak mendapat cerita tentang apa saja yang kulakukan bersama Tante E di masa kecilku dulu. Mungkin karena sampai dewasa, aku masih cukup sering berhubungan dengannya dan tidak ada alasan bagiku untuk mencari-cari potongan kenangan langka yang hilang. Atau mungkin juga karena ada banyak hal lain dari Tante E yang lebih menarik menjadi bahan cerita Mama.
Salah satu yang paling sering diceritakan oleh Mama adalah betapa pintarnya Tante E. Bukti yang paling sering diajukan adalah Tante E adalah adik kelas Papa di perguruan tinggi, yang kata orang-orang sampai sekarang masih sangat sulit untuk ditembus (bukan kataku yang pernah melihat siapa pun bisa masuk ke sana, dari tukang gorengan sampai anak kecil yang sedang diajak tamasya pada akhir pekan), terutama oleh perempuan (pada zaman beliau berkuliah di sana, jumlah mahasiswa laki-lakinya masih jauh mendominasi. Cerita Mama tentang kecerdasan Tante E ini sering dikaitkan dengan masalah makanan favoritnya, ikan. Aku tidak tahu persis bagaimana cerita awalnya, tetapi entah sejak kapan aku mulai curiga sebenarnya ini adalah salah satu ikhtiar Mama agar anak-anaknya gemar makan ikan.
Sampai sekarang, aku masih pilih-pilih unuk makan ikan (hanya yang durinya sedikit atau lunak). Namun, aku tidak membenci Mama maupun Tante E seandainya memang benar-benar telah terjadi doktrinasi perihal makan ikan tersebut. Entah ada hubungannya atau tidak dengan ikan, yang jelas fakta bahwa Tante E berkuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) unggulan itu sepertinya menyuntikkan motivasi dan tekad terpendam dalam diriku untuk mengikuti jejaknya.
Lulus SMA, akhirnya aku juga berkuliah di PTN yang merupakan almamater Tante E itu, yang marilah sekarang kita sebut saja IXY. Kalau tak salah ingat sepertinya sempat ada rasa bangga dan gembira yang seolah meledak-ledak karena diterima menjadi mahasiswa IXY, tetapi tak berlangsung lama. Dalam waktu singkat, rasa penyesalan mulai tumbuh karena aku sangat meragukan kesesuaian minat dan bakatku di sana.
Setelah tahun demi tahun berlalu, aku juga semakin tidak setuju pada pernyataan orang-orang tentang sulitnya masuk IXY. Pikiranku tidak hanya tertuju pada penjaja makanan yang jelas-jelas mudah memasuki kampusku, tetapi juga teman-teman seangkatanku di kampus lainnya (kecuali mungkin anak FK). Aku pun menganut keyakinan baru: masuk IXY itu mudah. Yang jauh lebih sulit adalah keluarnya (sambil bawa ijazah dan gelar).
Di tengah suka (berkegiatan mahasiswa) dan duka (berkuliah) pada masa-masa itu, aku menjadi sangat dekat dengan Tante E yang memutuskan mengambil S2. Sungguh aku tak habis pikir ketika pertama kali mendengar kabar beliau kembali ke almamaternya untuk kuliah lagi. Astaga. Yang benar saja, Tante ... aku sedang setengah mati berusaha keluar dari sini dan Tante dengan sukarela kembali ke sini? Kita pasti beda kasta! Begitulah kira-kira suara hatiku saat itu.
Sebenarnya, Tante E sekeluarga tinggal di kota yang berbeda dengan perguruan tinggi tempat kami berkuliah. Kadang-kadang, kalau tidak terlalu sibuk di kampus atau tugasnya sedang tidak terlalu banyak, beliau akan berusaha pulang ke rumahnya sendiri di sore hari, naik bus antarkota. Pada hari-hari sibuknya, beliau memilih tinggal bersamaku, yang biasanya tinggal sendirian di rumah milik Papa di kota itu.
Sejak menjadi seorang ibu juga, aku baru sadar betapa beratnya keseharian Tante E yang menjalani tugas kuliah di luar kota sembari tetap mengurus anak-anaknya. Namun, waktu itu aku tidak begitu paham. Dulu, pada hari-hari saat mungkin sepupu-sepupuku sedang susah atau sedih ditinggal ibu mereka ke luar kota, aku malah bahagia. Ada rasa hangat dan letupan kegembiraan kecil setiap aku pulang dari kampus dan melihat lampu rumah sudah dinyalakan menjelang malam hari. Hari ini ada Tante E! Hampir melompat-lompat rasanya aku di pekarangan rumah, saking senangnya.
Kenapa aku tersenyum lebar sekali setiap Tante E tidak pulang ke rumahnya sendiri? Ini bukan soal obat kesepian atau kesendirian. Toh sebagai mahasiswa yang sangat mencintai kehidupan kampus (di luar kelas perkuliahan), rumah nyaris hanya menjadi tempatku tidur dan mandi. Tinggal sendirian di rumah Papa sudah lama tidak menjadi masalah bagiku. Namun, aku lebih dari sekadar senang ketika ada Tante E bersamaku. Mungkin karena aku tidak hanya butuh teman sebaya.
Sosok orang tua ternyata masih begitu penting di usia akhir belasan dan awal dua puluhanku. Dibandingkan dengan teman-teman lain yang merantau lebih jauh dan hanya bertemu orang tua setahun sekali atau bahkan lebih jarang lagi, aku merasa jauh lebih beruntung. Karena jarak antarkota yang tidak terlalu jauh, kurang dari sebulan sekali biasanya aku masih bertemu Mama dan Papa, entah aku yang pulang atau mereka yang datang. Saling bertelepon juga kami lakukan hampir setiap hari. Sepertinya tidak ada perhatian yang kurang dari orang tuaku.
Meskipun demikian, entah bagaimana aku merasa Tante E juga mengisi peran orang tua tersebut ... atau mungkin lebih tepatnya: orang tua rasa teman. Waktu yang diberikan Tante E tidak terlalu banyak, sebetulnya. Kami hanya mengobrol sebentar di sela-sela kesibukannya menyelesaikan tugas (karena ternyata PR ibu dua anak calon master jauh lebih banyak daripada PR gadis sibuk berorganisasi calon sarjana) atau saat makan bersama. Mungkin kesamaan status kami sebagai mahasiswalah yang mempererat kami.
Biasanya aku mengeluh tentang segala tetek bengek perkuliahan: materi kuliah dan ujian yang sulit, nilai-nilai yang menyedihkan, dosen atau asistennnya yang menyusahkan, hingga uring-uringan berujung kegalauan yang mencapai level: sepertinya-aku-salah-jurusan-apa-sebaiknya-aku-pindah-saja-ya. Aku tidak ingat apakah Tante E memberikan nasihat bijak layaknya orang tua pada saat itu. Yang kuingat justru curhatan balik Tante E padaku: ilmu baru yang jauh terasa berbeda dari S1 padahal masih sama-sama jurusan teknik dan berhubungan dengan pekerjaannya, sulitnya ilmu ekonomi di kepala lulusan teknik sipil, serta bagaimana bergaul dengan teman seangkatan yang belasan tahun lebih muda darinya.
Pada tahun-tahun berikutnya, setelah sama-sama sudah bukan mahasiswa lagi, aku masih merasa bersemangat dan gembira setiap bertemu dan mengobrol dengan Tante E. Kami sudah tidak pusing soal kuliah, tetapi kami selalu menemukan topik yang sama-sama kami minati. Beberapa kali kami membahas judul-judul buku yang baru terbit dan dipajang di toko buku atau kios-kios yang menjual buku dengan harga miring. Di lain kesempatan, kami saling menceritakan dunia kerja masing-masing. Bahkan, saat aku curhat panjang lebar tentang infertilitas dan program hamilku, Tante E balik curhat tentang pemilihan jurusan kuliah putri sulungnya.
Karena sejajar dengan Mama, Tante E kuhormati selayaknya orang tua. Namun, saat berusaha menggali ingatanku tentangnya, aku merasa agak bersalah. Apakah sebagai orang tua, beliau banyak menasihatiku? Kalau ya, apakah aku bukan keponakan yang baik karena hampir tidak ada yang kuingat selain curhatan-curhatan kami?
Perasaan aneh yang tak nyaman menghinggapiku bertahun-tahun kemudian, ketika kondisi Tante E sudah semakin lemah akibat penyakit yang dideritanya. Ada rasa tak terima, aku tak lagi dapat mendengar cerita-ceritanya. Sambil meyakinkan diri seolah-olah mampu membaca curahan hati melalui isyarat mata beliau, aku berusaha tetap membagikan kisahku sendiri padanya.
Kupamerkan bentuk permukaan perutku yang berubah-ubah karena janinku yang mulai aktif bergerak. Kuimajinasikan di depanku terlihat sikap Tante E yang tetap seperti dulu, antusias merespon ceritaku. Kupahami, itu menjadi ceritaku yang terakhir padanya.
Ada ceritaku yang bebas dan jujur. Ada cerita beliau yang sarat makna dan inspiratif. Dari setiap sesi curhat kami, ternyata tak sedikit yang kuperoleh. Yang ia berikan dari perannya sebagai orang tua mungkin tak kuingat sebagai nasihat, tetapi jelas meninggalkan ajaran. Ucapan terima kasih takkan pernah cukup. Satu-satunya yang kuharapkan kini, setiap doa tersampaikan dan bermanfaat untuknya.
Tenang, damai, tentram, bahagia ... hingga semoga kelak kita berkumpul lagi, ya, Tante E. Maafkan aku yang tak dapat menahan keinginan untuk mengenang sosokmu sebagai idola dan panutan banyak orang, hingga kuselipkan sebagian namamu pada nama anakku. Terima kasih, Tante.
Al Faatihah.
Peluk cium dari jauh,
Dy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar