Selasa, 28 Januari 2014

Di Balik Keribetan yang Terus Berlanjut

Apakah keribetan terkait tesis berakhir bersamaan dengan lulusnya saya di ujian tesis lalu? Tentu tidak. Sesaat setelah dinyatakan lulus, saya gagal langsung mendapatkan tanda tangan para penguji di lembar pengesahan karena nama dekan yang saya tuliskan tidak tepat. Karena bukan orang yang menyepelekan ketepatan penulisan nama seseorang, sebenarnya saya cukup malu dengan kesalahan itu. Beberapa penyesalan sempat terlintas. Namun, akhirnya saya cukup 'terhibur' setelah ingat bahwa kesalahan itu dapat dimaklumi karena sang dekan baru diganti dan penulisan gelarnya di situs universitas belum diperbarui sehingga memang tidak ada contoh tepat penulisan nama lengkap dan gelar beliau (baca: bukan salah guee!).

Salah satu faktor penting yang membuat saya luar biasa repot adalah terlalu mepetnya jarak antara ujian tesis dengan batas akhir penetapan kelulusan dari universitas. Sudah ditetapkan lulus oleh ketua program studi jelas sudah sangat melegakan, tetapi perjuangan belum berakhir karena belum tentu ketetapan tersebut disetujui oleh pihak universitas. Masih ada beberapa syarat yang harus diurus untuk memperoleh persetujuan tersebut: pengunggahan fail tesis, penyerahan tesis cetaknya, pengurusan bukti bebas pinjam pustaka, pendaftaran wisuda, dan seterusnya.

Ah. Penyebutan syarat-syarat di atas sungguh terasa gampang dan 'biasa', sekarang, setelah sebagian besar di antaranya dibereskan. Coba kalau ditanya kemarin-kemarin, kemungkinan besar saya akan menjawabnya dengan penuh drama karena memang hampir tidak ada yang dilalui tanpa cerita. Dimulai dengan kegagalan mendapat tanda tangan para penguji 'yang sudah terkumpul manis' pada hari yang sama dengan ujian tesis, usaha keesokan harinya harus diwarnai dengan drama terjebak banjir, ponsel tertinggal, dan mengejar dosen yang sedang lokakarya di luar kampus. Ketika sudah sempat bernapas lega karena mendapat kabar bahwa tanda tangan dekan dapat diperoleh tanpa menunjukkan tesis cetak yang telah terjilid dengan hardcover, tiba-tiba 3 jam sebelum jam administrasi kampus berakhir saya dikabari hal yang sebaliknya. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana dalam waktu sesempit itu akhirnya saya bisa selamat menyelesaikan revisi, membereskan semua berkas, menyetir Bekasi-Depok, mengurus pencetakan lebih dari 200 halaman isi tesis dan penjilidan dengan hardcover, dan menyerahkannya pada si sekretaris dekan yang plin-plan itu. Segala puji dan syukur saya panjatkan pada Allah SWT dan tentu saja saat itu saya tidak menemukan alasan untuk berterima kasih pada, apalagi memuji, sekretaris tersebut.

Untuk menyetujui kelulusan mahasiswa, pihak universitas tempat saya berkuliah perlu memeriksa apakah mahasiswa yang bersangkutan sudah menyerahkan tesis ke perpustakaan, baik dalam bentuk fail pdf maupun cetaknya. Karena keduanya tak mungkin dilakukan tanpa tanda tangan dekan di lembar pengesahan, mendadak saya menyaksikan fenomena baru: para mahasiswa yang mencari-cari, menanyai, dan membicarakan dekannya. Dan saya termasuk di antaranya.

Yang membuat jantung seolah berlari adalah kesimpangsiuran soal batas waktu penyerahan tesis ke perpustakaan. Kalender akademik pun tiba-tiba tidak dapat dipercaya. Setelah beberapa kali dikecewakan oleh kesibukan dekan dan kejutekan sekretarisnya, pihak-pihak lain pun diberondongi pertanyaan serupa oleh jutaan mahasiswa (ini majas hiperbola, untuk mendapatkan fakta: kurangi beberapa nol-nya hingga terasa wajar), "Kapan sih, Pak/Bu, tanggal terakhir penyerahan tesis dan penetapan kelulusan?" Jangan heran jika jawaban yang didapat pun bervariasi dari "tidak tahu" sampai "kapan saja boleh" (yang mungkin sekali diucapkan sembari dalam hati ia berkata, 10 tahun lagi juga boleh, tapi kelulusan mahasiswa lain saat itu, bukan Anda yang jadi mahasiswa sekarang!).

Setelah tanda tangan dekan berhasil diperoleh, langkah berikutnya yang perlu ditempuh adalah memindai lembar bertandatangan tersebut dan menggabungkannya dengan isi tesis lainnya untuk diunggah ke situs perpustakaan. Ini saya lakukan di tanggal yang sama persis tertera di kalender akademik sebagai 'batas akhir pengunggahan tesis'. Luar biasa seru jantungannya. Apalagi ketika langkah pengunggahan tidak sesederhana yang disangka, dan setelah memahami dan menyelesaikan semuanya, si akun kadaluarsa, semua yang dikerjakan lenyap, dan saya harus mengulang dari awal. SEDAP.

Masih banyak keribetan lainnya yang kalau saya ceritakan detailnya satu per satu mungkin bisa jadi satu novel lagi. Namun tentulah saya tahu diri. Untuk apa membuat novel khusus soal ini? Siapa yang mau beli? Apa manfaatnya? 

Dari pertanyaan terakhir di atas (Apa manfaatnya?), saya mendapat pencerahan. Segala keribetan yang saya lalui, termasuk yang diakibatkan oleh kesalahan-kesalahan bodoh saya sendiri dan sempat membuat frustasi sesungguhnya dapat menjadi manfaat. Maklum, pada dasarnya saya ini orang yang nggak mau rugi. Segala sesuatu itu harus bermanfaat. Jadi, yang kelihatannya merugikan pun harus dicongkel-congkel semaksimal mungkin hingga ada manfaatnya. PASTI ADA! *keukeuh*

Memang, saya tidak akan menulis novel bertemakan 'keribetan terkait tesis demi ditetapkan lulus oleh universitas' yang saya yakin tak akan dilirik penerbit mana pun, apalagi calon pembeli. Namun, saya tetap berusaha menulis 'cerita bersambung' mengenai pengalaman-pengalaman saya secara terperinci dan akan saya bagi-bagikan secara gratis pada teman-teman yang mengejar kelulusan di semester berikutnya. Dengan demikian, saya berharap ada yang belajar dari pengalaman saya sehingga semua keribetan itu tidak percuma dan saya tidak terus-menerus menyesali berbagai kesalahan bodoh yang terlanjur dilakukan.

Nah. Bagaimana denganmu? Pernah mengalami kerepotan atas suatu hal? Pernah melakukan kesalahan-kesalahan bodoh? Geram dan menyesalinya kalau teringat lagi? Jangan! Ceritakanlah, terutama pada mereka yang berkemungkinan besar mengalaminya juga. Cegahlah agar mereka tidak mengulang kesalahan yang sama. Melalui upaya ikhlas yang seperti ini, mudah-mudahan beban penyesalan kita sedikit terangkat atau bahkan perlahan-lahan terlupakan.

Di balik segala jenis keribetan, pasti ada sebuah (atau bahkan banyak) pelajaran. Dan tugas kita yang mengalaminya adalah meneruskannya hingga dapat bermanfaat bagi orang lain. Semoga.
 

"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain."
(HR. Ahmad, Thabrani, Daruqtuni, disahihkan Al Albani dalam As-Silsilah As-Shahihah)


Salam, 
-H e i D Y-

Tidak ada komentar: