Salah satu tugas seorang linguis adalah menyelamatkan atau setidaknya menjaga rekam jejak bagi bahasa-bahasa yang terancam punah. Caranya adalah dengan membuatkan ejaan bagi bahasa tersebut. Dengan dibuatkan ejaan, peninggalan kekayaan budaya dalam bahasa tersebut dapat diabadikan (misalnya lagu-lagu atau cerita rakyat yang dapat dituliskan dan dibukukan). Agar ejaan bahasa tersebut dapat disusun, ada beberapa faktor yang harus diperhatikan, termasuk bukti-bukti linguistik yang perlu dicari di lapangan.
Ejaan
merupakan penggambaran bunyi bahasa dengan kaidah tulis-menulis yang
distandardisasikan yang lazimnya mempunyai 3 aspek, yakni aspek fonologis,
morfologis, dan sintaksis (Kridalaksana, 2009, hlm. 54). Aspek fonologis menyangkut
penggambaran fonem dengan huruf dan penyusunan abjad. Dalam aspek fonologis,
ejaan memberikan arahan bagaimana huruf-huruf yang terdapat dalam abjad dipakai
sebagai lambang fonem tertentu dan bagaimana pula penulisannya dalam konteks
kebahasaan (Muslich, 2011, hlm. 136). Aspek kedua adalah aspek morfologis yang
berkenaan dengan penggambaran satuan-satuan morfemis. Dalam hal ini, ejaan
mengarahkan bagaimana penulisan berbagai tipe kata dalam konteks kebahasaan. Ini
berarti penulisan kata dan unsur serapan termasuk di dalamnya. Yang terakhir
adalah aspek sintaksis yang berkaitan dengan penanda ujaran berupa tanda baca. Dalam
aspek ini, ejaan mengarahkan cara pemakaian tanda-tanda batas ujaran dalam
kalimat, termasuk huruf kapital, huruf miring, dan tanda-tanda baca.
Karena
ejaan merupakan kaidah tulis menulis baku yang didasarkan pada penggambaran
bunyi, yang diperlukan untuk menyusun ejaan suatu bahasa yang belum
memiliki tulisan adalah pengetahuan atas sistem fonologi bahasa tersebut. Dalam
fonologi, dikenal satuan bunyi fungsional terkecil yang disebut fonem. Pembuktian
bahwa dua bunyi tertentu merupakan dua fonem yang berbeda dapat dilakukan
dengan cara memperbandingkan contoh-contoh ujaran dengan perbedaan minimal
dalam bunyi atau yang dikenal dengan
istilah pasangan minimal, seperti yang telah saya jelaskan dalam tulisan sebelumnya.
Ada
dua unsur bunyi ujar dalam fonologi, yaitu unsur segmental dan unsur
suprasegmental. Ejaan pun harus menggambarkan atau melambangkan kedua unsur
bunyi ini. Perlambangan unsur segmental bunyi ujar tidak hanya bagaimana
melambangkan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk tulisan atau huruf, tetapi juga
bagaimana menuliskan bunyi-bunyi ujar dalam bentuk kata, frase, klausa, dan
kalimat; bagaimana memenggal suku kata; serta bagaimana menuliskan singkatan,
nama orang, lambang-lambang teknis keilmuan, dan sebagainya. Sementara itu,
perlambangan unsur suprasegmental bunyi ujar yang dikenal dengan istilah tanda baca menyangkut bagaimana
melambangkan tekanan, nada, durasi, jeda, dan intonasi (Muslich, 2011, hlm. 5). Contoh unsur-unsur suprasegmental ini dapat dengan mudah kita temukan pada Bahasa Mandarin.
Dengan
demikian, pertama-tama seorang peneliti harus memperoleh sejumlah kosakata
standar dalam bahasa yang akan ditelitinya melalui wawancara terhadap salah
seorang anggota masyarakat pemakai bahasa sebagai informan. Hal ini dapat
dilakukan dengan menggunakan daftar kosakata Swadesh, yaitu kosakata standar
yang diperkirakan ada dalam semua bahasa di dunia, di antaranya mencakup bagian-bagian tubuh manusia (semua orang di bumi ini mengenal yang namanya mata, hidung, tangan, dll), kata kerja dasar seperti makan, minum, dan tidur (semua orang pasti butuh melakukannya), dan sebagainya. Kosakata yang didapatkan kemudian langsung ditranskripsikan secara fonetis (dengan menggunakan simbol-simbol International Phonetic Alphabet).
Dari sejumlah kosakata yang telah diperoleh, peneliti dapat
menemukan jenis-jenis bunyi vokal dan konsonan. Jenis-jenis bunyi vokal dan konsonan yang ditemukan dapat dianalisis berdasarkan distribusi atau posisinya dalam suku kata.
Contohnya adalah bunyi [h] dalam bahasa Bugis yang dapat ditemukan di awal suku
kata seperti [po-hon] dan di akhir
suku kata [pu-teh]. Analisis ini digunakan untuk menemukan
pola-pola suku kata yang mungkin terdapat dalam bahasa tersebut, misalnya V,
VK, KV, KVK, dan seterusnya. Kemudian, peneliti perlu mendaftar semua bunyi
pada data penelitian berdasarkan pola-pola suku katanya sehingga analisis terhadap
sistem fonotaktik (bunyi-bunyi yang dapat berurutan dalam merangkai sebuah suku
kata) dapat dilakukan. Hasil analisis inilah yang dapat dijadikan acuan untuk
membuat aturan pemenggalan suku kata dan penulisan bunyi ujar dalam bentuk
kata, frase, serta satuan-satuan yang lebih besar lagi.
Referensi
Kridalaksana,
Harimurti. 2011. Kamus Linguistik. Jakarta:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Kushartanti, dkk.
2009. Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami
Linguistik. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Muslich, Masnur. 2011.
Fonologi Bahasa Indonesia tinjauan
deskriptif sistem bunyi bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2011. EYD plus Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
yang Disempurnakan dan Pedoman Umum
Pembentukan Istilah. Jakarta: Victory Inti Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar