Minggu, 21 Februari 2021

SAMPAH KITA, TANGGUNG JAWAB KITA

Pelajaran dari TPA

Enam belas tahun yang lalu, tepat pada tanggal ini, 21 Februari, terjadi bencana besar di Cimahi, Jawa Barat, tepatnya di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Leuwigajah. Tempat yang selama delapan belas tahun menjadi tujuan akhir pembuangan sampah warga Cimahi dan Bandung itu meledak dan longsor. Ledakan dan longsoran gunung sampah yang tingginya kira-kira sebanding dengan ketinggian gedung dua puluh lantai itu pun menewaskan ratusan jiwa penduduk yang tinggal di sekitarnya.

Waktu itu, saya masih berdomisili di Bandung. Saya ingat betul, berbulan-bulan setelah musibah itu terjadi, tempat penampungan sementara (TPS) di banyak titik masih sering penuh. Tumpukan sampah lama tidak terangkut dan berserakan hingga ke jalan-jalan raya. Kota kembangku menjelma menjadi kota sampah.

Tidak ada yang menikmati fenomena itu. Namun, hanya sedikit orang yang menyadari bahwa semua itu akibat dari ulah kita sendiri. Kebanyakan dari kita mungkin merasa telah cukup bertanggung jawab hanya dengan membuang sampah ke tong terdekat. Bukankah nasihat yang sering kita dengar  hanya sebatas “Buanglah sampah pada tempatnya”?

Tidak banyak orang yang tahu, masalah sebenarnya justru baru dimulai begitu petugas kebersihan mengosongkan bak sampah kita. Berkat ‘input rutin’ dari hunian, sekolah, kantor, atau beragam komunitas lainnya, tinggi tumpukan sampah di TPA-TPA terus bertambah dengan sangat cepat. Karena itulah, misi pengelolaan sampah di sana nyaris mustahil terwujud. Tidak hanya itu, berbagai masalah juga timbul akibat kondisi sampah yang biasanya bercampur antara ‘sampah kering’ dan ‘sampah basah’ saat memasuki TPA.

Bau busuk yang menyengat hanya satu efek kecil yang dapat langsung kita temukan di sana. Dampak yang lebih besar adalah musibah seperti yang terjadi di TPA Leuwigajah. Kebakaran atau bahkan ledakan di TPA dapat dengan mudah terjadi akibat terkumpulnya gas metana (CH4) hasil pembusukan sampah di sana.

“Ah, TPA-nya jauh dari rumahku,” tutur siapa saja yang hanya memikirkan dirinya sendiri dan tidak mampu berempati pada orang lain. Apakah mungkin sebenarnya mereka semacam alien, bukan penduduk asli bumi? Kalau begitu, wajarlah jika tidak ada rasa peduli akan keselamatan anak cucunya di masa depan maupun terhadap keberlangsungan planet ini.

Kalau betul manusia sejati, seharusnya rasa khawatir itu ada. Bukankah kini gejala kerusakan bumi sudah jelas terasa? Kemarin panas gerah dan terik menyengat, hari ini hujan badai dan dingin menusuk. Satu tempat kekeringan parah, sementara tetangganya banjir besar. Cuaca menjadi ekstrem, tidak terprediksi. Temperatur bumi terus bertambah hingga lempengan es di kutub mulai mencair. Permukaan laut di seluruh dunia pun naik dan mulai menenggelamkan beberapa pulau di dunia.

Ternyata bukan hanya peternakan serta asap kendaraan pabrik yang mendalangi perubahan iklim bumi. Menurut penelitian Zhang, Xu, Feng, dan Chen (dalam Hartono, dkk., 2020), setengah dari total emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global berasal dari gas metana di TPA. Dengan kata lain, meskipun seandainya kita tidak makan daging sapi, tidak naik kendaraan bermotor maupun berbelanja (wow), kita tetap memiliki andil dalam perubahan iklim selama masih belum mengelola sampah secara bertanggung jawab.

 

Peran Kita

Karena dahsyatnya musibah TPA Leuwigajah, tanggal 21 Februari akhirnya ditetapkan menjadi Hari Peduli Sampah Nasional. Harapannya mungkin agar momen pahit itu menyadarkan kita semua. Dapatkah kita lebih bertanggung jawab terhadap sampah yang kita timbulkan?

Hal pertama yang perlu kita lakukan adalah mengubah pola pikir. Dulu, mungkin kita baru berpikir tentang mengolah dan mengurangi sampah setelah tempat-tempat penampungan sampah penuh. Sekarang, mari laksanakan sebaliknya. Ingat prinsip 3R: reduce (kurangi sampahnya) dulu, baru reuse (gunakan ulang sampahnya), dan terakhir recycle (daur ulang sampahnya). 

Reduce atau kurangi sampah harus menjadi langkah pertama yang diprioritaskan. Marilah sekuat tenaga menghindari produksi sampah dari berbagai kegiatan kita sehari-hari. Dalam hal makan, misalnya. Ambil makanan secukupnya, habiskan, cegah timbulnya sampah sisa makanan semaksimal mungkin. Dalam misi mengurangi sampah ini, kita dapat menerapkan ‘beberapa R’ lainnya: refuse (tolak), replace (ganti), dan repair (perbaiki). Tolak tawaran kantong plastik saat berbelanja demi mencegah timbulnya sampah keresek. Ganti opsi penggunaan wadah styrofoam saat jajan dengan kotak kosong yang kita bawa sendiri. Perbaiki lubang pada pakaian lama, jangan buru-buru membuangnya dan membeli pakaian baru.

membawa kantong sendiri untuk berbelanja

Ada kalanya, kita telanjur menghasilkan ‘calon sampah kemasan’. Botol-botol vitamin dan obat, kotak sepatu, atau sikat gigi, misalnya. Jangan langsung membuangnya. Lakukan langkah kedua dalam 3R: reuse atau guna ulang. Tanpa mengubah bentuknya, kita dapat menggunakan kembali kemasan-kemasan tersebut. Botol plastik dapat dijadikan wadah cairan pembersih, sikat gigi bekas dapat dipakai untuk menyikat wastafel, dan sebagainya.

botol bekas yang digunakan kembali

Langkah daur ulang atau recycle ibarat benteng pertahanan terakhir dalam ‘perang melawan sampah’ ini. Ini adalah langkah yang terpaksa kita lakukan setelah dua langkah sebelumnya gagal terlaksana mengingat ada sampah yang memang tidak dapat kita kurangi atau pakai ulang. Kulit buah, misalnya. Karena penting bagi kesehatan, makan buah tidak boleh kita kurangi. Kulitnya pun sulit digunakan kembali (dalam bentuk aslinya). Maka, upaya terakhir kita adalah mengubahnya menjadi produk baru (mendaur ulang).

              

Eco Enzyme

Kulit buah sebagai sampah yang mudah terurai dapat kita daur ulang menjadi eco enzyme, sebuah produk fermentasi yang memiliki berbagai kegunaan, mulai dari membersihkan kompor hingga merawat luka. Jenis sampah mudah terurai lainnya seperti sisa sayur, rambut, dan ranting dapat didaur ulang menjadi kompos. Ada beragam metode yang dapat ditempuh untuk melakukan pengomposan, seperti biopori, drum komposter, atau komposter gerabah.    

sampah sisa makanan dimasukkan ke lubang biopori

Daur ulang juga dapat kita lakukan terhadap sampah sulit terurai. Contoh paling sederhana dalam skala kecil atau rumah tangga adalah membuat prakarya dari sampah. Tidak sanggup melakukan semuanya sendiri? Tenang, Anda tidak sendiri!


Kita juga dapat memanfaatkan jasa pihak ketiga. Salah satunya adalah Waste4Change, sebuah perusahaan yang menyediakan solusi pengelolaan sampah yang bertanggung jawab. Tidak hanya membantu manajemen sampah di perusahaan-perusahaan besar, Waste4Change juga melayani pengangkutan sampah sulit terurai di tingkat rumah tangga.  Kita hanya perlu memilah sampah dan duduk manis menunggu sampah kita dijemput. Mudah, kan?

Sekali lagi, selamat Hari Peduli Sampah Nasional. Mari mulai langkah terkecil dan berfokus pada peran setiap individu: bertanggung jawab atas sampah masing-masing. Sampah kita, tanggung jawab kita.

 

21 Februari 2021

Heidyanne R. Kaeni

(Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Blog Waste4Change Sebarkan Semangat Bijak Kelola Sampah 2021)

 

 

Referensi:

Hartono, Djoko, dkk. 2020. Sampahku, Tanggung Jawabku: Buku Pengayaan Pembelajaran tentang Pengelolaan Sampah untuk Guru Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan & Kementrian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.

Tidak ada komentar: