Pelajaran dari TPA
Enam
belas tahun yang lalu, tepat pada tanggal ini, 21 Februari, terjadi bencana besar
di Cimahi, Jawa Barat, tepatnya di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Leuwigajah.
Tempat yang selama delapan belas tahun menjadi tujuan akhir pembuangan sampah warga
Cimahi dan Bandung itu meledak dan longsor. Ledakan dan longsoran gunung sampah
yang tingginya kira-kira sebanding dengan ketinggian gedung dua puluh lantai
itu pun menewaskan ratusan jiwa penduduk yang tinggal di sekitarnya.
Waktu
itu, saya masih berdomisili di Bandung. Saya ingat betul, berbulan-bulan
setelah musibah itu terjadi, tempat penampungan sementara (TPS) di banyak titik
masih sering penuh. Tumpukan sampah lama tidak terangkut dan berserakan hingga
ke jalan-jalan raya. Kota kembangku menjelma menjadi kota sampah.
Tidak
ada yang menikmati fenomena itu. Namun, hanya sedikit orang yang menyadari
bahwa semua itu akibat dari ulah kita sendiri. Kebanyakan dari kita mungkin
merasa telah cukup bertanggung jawab hanya dengan membuang sampah ke tong terdekat.
Bukankah nasihat yang sering kita dengar
hanya sebatas “Buanglah sampah pada tempatnya”?
Tidak
banyak orang yang tahu, masalah sebenarnya justru baru dimulai begitu petugas
kebersihan mengosongkan bak sampah kita. Berkat ‘input rutin’ dari hunian,
sekolah, kantor, atau beragam komunitas lainnya, tinggi tumpukan sampah di
TPA-TPA terus bertambah dengan sangat cepat. Karena itulah, misi pengelolaan
sampah di sana nyaris mustahil terwujud. Tidak hanya itu, berbagai masalah juga
timbul akibat kondisi sampah yang biasanya bercampur antara ‘sampah kering’ dan
‘sampah basah’ saat memasuki TPA.
Bau
busuk yang menyengat hanya satu efek kecil yang dapat langsung kita temukan di
sana. Dampak yang lebih besar adalah musibah seperti yang terjadi di TPA
Leuwigajah. Kebakaran atau bahkan ledakan di TPA dapat dengan mudah terjadi
akibat terkumpulnya gas metana (CH4) hasil pembusukan sampah di
sana.
“Ah,
TPA-nya jauh dari rumahku,” tutur siapa saja yang hanya memikirkan dirinya
sendiri dan tidak mampu berempati pada orang lain. Apakah mungkin sebenarnya
mereka semacam alien, bukan penduduk asli bumi? Kalau begitu, wajarlah jika
tidak ada rasa peduli akan keselamatan anak cucunya di masa depan maupun
terhadap keberlangsungan planet ini.
Kalau
betul manusia sejati, seharusnya rasa khawatir itu ada. Bukankah kini gejala
kerusakan bumi sudah jelas terasa? Kemarin panas gerah dan terik menyengat,
hari ini hujan badai dan dingin menusuk. Satu tempat kekeringan parah, sementara
tetangganya banjir besar. Cuaca menjadi ekstrem, tidak terprediksi. Temperatur
bumi terus bertambah hingga lempengan es di kutub mulai mencair. Permukaan laut
di seluruh dunia pun naik dan mulai menenggelamkan beberapa pulau di dunia.
Ternyata
bukan hanya peternakan serta asap kendaraan pabrik yang mendalangi perubahan
iklim bumi. Menurut penelitian Zhang, Xu, Feng, dan Chen (dalam Hartono, dkk.,
2020), setengah dari total emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global
berasal dari gas metana di TPA. Dengan kata lain, meskipun seandainya kita
tidak makan daging sapi, tidak naik kendaraan bermotor maupun berbelanja (wow),
kita tetap memiliki andil dalam perubahan iklim selama masih belum mengelola
sampah secara bertanggung jawab.
Karena dahsyatnya musibah TPA Leuwigajah, tanggal 21 Februari akhirnya ditetapkan menjadi Hari Peduli Sampah Nasional. Harapannya mungkin agar momen pahit itu menyadarkan kita semua. Dapatkah kita lebih bertanggung jawab terhadap sampah yang kita timbulkan?
Hal
pertama yang perlu kita lakukan adalah mengubah pola pikir. Dulu, mungkin kita
baru berpikir tentang mengolah dan mengurangi sampah setelah tempat-tempat
penampungan sampah penuh. Sekarang, mari laksanakan sebaliknya. Ingat prinsip
3R: reduce (kurangi sampahnya) dulu, baru reuse (gunakan
ulang sampahnya), dan terakhir recycle (daur ulang sampahnya).
Reduce atau kurangi sampah harus menjadi langkah pertama yang diprioritaskan. Marilah sekuat tenaga menghindari produksi sampah dari berbagai kegiatan kita sehari-hari. Dalam hal makan, misalnya. Ambil makanan secukupnya, habiskan, cegah timbulnya sampah sisa makanan semaksimal mungkin. Dalam misi mengurangi sampah ini, kita dapat menerapkan ‘beberapa R’ lainnya: refuse (tolak), replace (ganti), dan repair (perbaiki). Tolak tawaran kantong plastik saat berbelanja demi mencegah timbulnya sampah keresek. Ganti opsi penggunaan wadah styrofoam saat jajan dengan kotak kosong yang kita bawa sendiri. Perbaiki lubang pada pakaian lama, jangan buru-buru membuangnya dan membeli pakaian baru.
Ada kalanya, kita telanjur menghasilkan ‘calon sampah kemasan’. Botol-botol vitamin dan obat, kotak sepatu, atau sikat gigi, misalnya. Jangan langsung membuangnya. Lakukan langkah kedua dalam 3R: reuse atau guna ulang. Tanpa mengubah bentuknya, kita dapat menggunakan kembali kemasan-kemasan tersebut. Botol plastik dapat dijadikan wadah cairan pembersih, sikat gigi bekas dapat dipakai untuk menyikat wastafel, dan sebagainya.
Langkah daur ulang atau recycle ibarat benteng pertahanan terakhir dalam ‘perang melawan sampah’ ini. Ini adalah langkah yang terpaksa kita lakukan setelah dua langkah sebelumnya gagal terlaksana mengingat ada sampah yang memang tidak dapat kita kurangi atau pakai ulang. Kulit buah, misalnya. Karena penting bagi kesehatan, makan buah tidak boleh kita kurangi. Kulitnya pun sulit digunakan kembali (dalam bentuk aslinya). Maka, upaya terakhir kita adalah mengubahnya menjadi produk baru (mendaur ulang).
Kulit buah sebagai sampah yang mudah terurai dapat kita daur ulang menjadi eco enzyme, sebuah produk fermentasi yang memiliki berbagai kegunaan, mulai dari membersihkan kompor hingga merawat luka. Jenis sampah mudah terurai lainnya seperti sisa sayur, rambut, dan ranting dapat didaur ulang menjadi kompos. Ada beragam metode yang dapat ditempuh untuk melakukan pengomposan, seperti biopori, drum komposter, atau komposter gerabah.
Daur ulang juga dapat kita lakukan terhadap sampah sulit terurai. Contoh paling sederhana dalam skala kecil atau rumah tangga adalah membuat prakarya dari sampah. Tidak sanggup melakukan semuanya sendiri? Tenang, Anda tidak sendiri!
Sekali lagi, selamat Hari Peduli
Sampah Nasional. Mari mulai langkah terkecil dan berfokus pada peran setiap individu: bertanggung jawab atas sampah masing-masing. Sampah kita, tanggung jawab kita.
21 Februari 2021
Heidyanne R. Kaeni
(Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Menulis Blog
Waste4Change Sebarkan Semangat Bijak Kelola Sampah 2021)
Referensi:
Hartono, Djoko, dkk. 2020. Sampahku, Tanggung Jawabku: Buku Pengayaan Pembelajaran tentang Pengelolaan Sampah untuk Guru Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan & Kementrian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar