Minggu, 14 Juli 2013

Antara Bakat, Usaha, dan Tanggung Jawab

            Pertama kali saya berpikir tentang persoalan bakat dan usaha ini adalah saat duduk di bangku kelas satu SMA. Waktu itu setelah memerhatikan seorang teman yang prestasinya amat baik, saya mendiskusikannya dengan teman saya yang lain (selanjutnya saya sebut X) dan menyatakan kekaguman saya.
            “Si A itu pinter banget, ya,” ungkap saya.
            Namun, ternyata X tidak setuju. Ia menggeleng sambil menanggapi, “Nggak, dia rajin.”
            Komentar yang sederhana itu dengan sukses mengantarkan saya pada kebingungan yang –awalnya tidak saya sadari– berlarut-larut. Bagaimana tidak, sebelum itu, saya pikir kata pintar selalu dilabelkan pada orang-orang (atau tepatnya anak-anak, karena dulu saya hanya memerhatikan yang sebaya dengan saya) yang berprestasi. Dan seperti yang telah ditanamkan oleh orang tua, anak-anak itu berprestasi baik di sekolah karena rajin belajar. Dengan kata lain, setahu saya anak yang pintar adalah anak yang rajin belajar. Bukankah katanya rajin pangkal pandai? Jadi, tidak pernah terpikir oleh saya untuk membedakan keduanya. Sampai ketika saya berdiskusi dengan X.
            Tanpa sengaja, diskusi saya dengan si X itu ternyata memengaruhi kepekaan saya dalam memerhatikan teman-teman belajar saya di tahun-tahun berikutnya, bahkan hingga di bangku kuliah (S1). Masih di bawah pengaruh pemahaman saya setelah berdiskusi dengan si X dulu itu, berikut adalah hasil temuan saya.
1.      Umumnya, teman-teman saya yang berprestasi baik secara akademis adalah mereka yang rajin belajar.
2.      Namun, di antara orang-orang yang berprestasi itu, sepertinya memang ada yang pintar ‘dari sononya’ tanpa repot-repot rajin belajar.
3.      Namun, yang lebih mengherankan, di antara mereka yang berprestasi baik karena ketekunannya dalam belajar, banyak yang berlomba-lomba untuk tidak mengakuinya. Jika ditanya bagaimana cara mereka belajar hingga dapat berprestasi sebaik itu, mereka akan bersikeras mengatakan bahwa mereka tidak belajar.
Nah. Hasil temuan di ataslah yang ternyata berperan serta dalam memperkuat keyakinan saya pada saat itu: pintar itu dapat dibanggakan, sedangkan rajin belajar tidak. Selanjutnya, dengan mudah keyakinan itu mengembangkan rasa tidak percaya diri saya. Dengan menggunakan pengertian si X, saya tahu bahwa saya tidak dapat dilabeli pintar dan itu dapat dibuktikan dengan mudah dari prestasi akademis saya memang selalu biasa-biasa saja.
            Tidak perlu disembunyikan, saya lulus dan menjadi sarjana dengan usaha yang sering saya istilahkan dengan ‘setengah hidup’ (atau setengah mati, sama saja kan). Beberapa kali saya harus mengulang mata kuliah hanya untuk kemudian lulus dengan nilai D (di tempat saya berkuliah dulu, “D” dinyatakan lulus dan untuk mendapatkannya tidak cukup hanya dengan selalu mengikuti kuliah dan mengerjakan tugas). Ini berbeda dengan beberapa teman yang dapat berprestasi tanpa repot-repot berusaha, atau dengan usaha yang minim, atau dengan usaha keras dan berhasil dengan gemilang. Saya jelas berusaha, membuahkan hasil yang cukup (tidak cemerlang), dan karena itu saya menjadi sarjana tanpa tahu apa yang dapat saya banggakan dari diri sendiri.

            Pencerahan saya peroleh begitu saya melakoni profesi yang sudah saya rencanakan sejak sebelum lulus kuliah. Atas dasar rasa senang saat melakukannya, saya memilih sebuah pekerjaan yang agak ‘melenceng’ dari jurusan studi saya: mengajar matematika. Ternyata bagi saya, mengajar matematika itu lebih mudah daripada mengajar bahasa. Saya dapat dengan lancar melayani segala pertanyaan yang diajukan dalam rangka mencari jalan untuk memecahkan sebuah soal matematika. Namun, saya tidak merasakan hal yang sama saat mengajar bahasa Inggris. Dalam kelas bahasa, ketika ditanya “Kenapa bukan itu yang betul? Gimana caranya, kok tahu kalau yang benar seperti itu?”, saya memerlukan lebih banyak waktu untuk diam, berpikir, dan kemudian bingung sendiri. Kenapa ya? Ya pokoknya saya tahu kalimat yang ini tepat, yang itu aneh. Itu kata-kata saya dalam hati. Tentu saja saya tidak mungkin benar-benar berkata seperti itu di depan kelas, tetapi penjelasan saya menjadi berbelit-belit. Pengalaman itu memberi saya satu pencerahan: saya dapat jauh lebih baik mengajarkan hal yang pernah terasa sulit bagi saya daripada hal yang sejak awal selalu terasa gampang.
            Pencerahan itu kemudian semakin ‘terang’ pula ketika saya memerhatikan sikap para murid terhadap saya dan guru lainnya. Dibandingkan dengan para guru senior yang bahkan turut serta menyusun soal ujian nasional, saya sadar bahwa saya kalah canggih dalam memecahkan soal-soal sulit. Saya tidak pernah menyembunyikan hal ini, tetapi anehnya, murid-murid saya sama sekali tidak keberatan. Awalnya saya tidak mengerti mengapa mereka lebih senang mendatangi saya untuk berkonsultasi. Seiring dengan berjalannya waktu, saya memperoleh jawabannya: yang mereka butuhkan bukan orang ‘pintar’, melainkan orang yang dapat memahami kesulitan mereka dan mendampingi mereka untuk menemukan jalan keluar. Itulah salah satu alasan mengapa akhirnya saya jatuh cinta pada profesi guru. Dengan mengajar, saya lebih menghargai diri saya sendiri. Saya mungkin sudah tahu dari dulu bahwa saya tidak pintar menurut pengertian teman saya si X itu, tetapi sekarang saya dapat berkata: syukurlah demikian! Karena saya tidak pintar ‘dari sononya’, karena saya tahu betul bagaimana rasanya ‘setengah mati’ belajar, saya jadi bisa mengajar dan berbagi dengan yang kini mengalaminya.

            Setelah belajar menghargai dan lebih bangga pada ‘usaha’ ketimbang ‘bakat’ diri, saya merenungi kedua hal itu lebih dalam lagi. Mengapa lebih banyak teman-teman saya yang tampak malu jika ketahuan ‘bekerja keras? Mengapa banyak orang yang lebih ingin dianggap ‘berbakat’ daripada ‘berusaha’? Yang mengherankan bagi saya, entah sejak kapan hal ini tampaknya sudah menjadi bagian dari budaya bangsa kita tercinta. Berdasarkan pengamatan sekilas (mohon koreksi jika saya salah), saya justru menemukan hal yang berbeda di Jepang. Bagi orang Jepang, bekerja keras adalah hal yang membanggakan. Sebaliknya, mendapatkan ‘keuntungan’ tanpa kerja keras adalah sesuatu yang memalukan.
            Wah. Kalau memang benar keyakinan itu sudah menjadi bagian dari kebudayaan masing-masing, dengan terpaksa saya memilih untuk ‘murtad’. Saya setuju pada keyakinan bangsa Jepang itu: usaha lebih patut dibanggakan daripada bakat. Apa itu bakat? Bukankah itu adalah sebuah anugerah yang diberikan Tuhan? Apa itu usaha? Bukankah itu adalah apa yang kita lakukan? Lalu manakah yang lebih wajar, berbangga atas apa yang diberikan pada kita atau berbangga atas apa yang kita lakukan sendiri?

Sebagai seorang muslim, saya meyakini bahwa sesungguhnya segala yang dianugerahkan Tuhan kepada setiap manusia itu adalah titipan. Lalu, apapun yang pernah dititipkan pada kita harus dipertanggungjawabkan. Seseorang yang dianugerahi bakat berlebih kelak akan ditanyai, apa saja yang sudah ia lakukan dengan titipan tersebut. Apakah ia sudah memanfaatkannya sebaik mungkin? Apakah modal yang diberikan padanya telah digunakan 100% untuk menebar manfaat sebanyak-banyaknya? Ataukah yang ia manfaatkan tidak sampai setengahnya karena dengan itu pun ia sudah cukup puas dengan kehidupannya sendiri? Pertanyaan yang sama akan lebih mudah dijawab oleh orang dengan bakat yang ‘seadanya’ tetapi selalu bekerja keras sepanjang hidupnya. Hasil yang ia berikan mungkin saja masih kalah dari apa yang dicapai oleh orang-orang berbakat lebih, tetapi dengan bangga ia dapat melapor bahwa ia sudah memaksimalkan ‘bekal’nya mungkin hingga 200%!
Sebuah pencapaian bagi orang yang hanya mengandalkan kerja keras jelas tidak dapat disamakan dengan yang dititipi bakat berlebih. Jika pencapaian mereka sama, berarti sementara si pekerja keras telah mempertanggungjawabkan seluruh titipan-Nya, si orang berbakat mungkin belum memanfaatkan setengah dari potensinya. Tidak ada yang dapat dibanggakan dari sebuah bakat, kecuali dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Berbakat berarti mempunyai tanggung jawab yang tidak ringan. Tuhan memang Maha Adil.
Segala puji bagi Tuhan yang Memberi Petunjuk karena akhirnya saya terlepas dari keyakinan saya sejak SMA, bahwa memiliki bakat itu lebih membanggakan daripada berusaha dengan keras. Syukurlah saya diperkenalkan dengan profesi guru dan kemudian mendapatkan ‘kesadaran baru’ sebelum kembali melanjutkan sekolah. Saya tidak lagi peduli pada anggapan ‘pintar vs rajin’ dan kembali ke ajaran bijak para orang tua yang ternyata memang benar adanya: rajin pangkal pandai! Sekarang, di balik prestasi akademis yang sangat baik, saya tidak perlu merasa ragu atau aneh ketika mengakui bahwa saya memang bekerja keras (dan atas ijin Allah SWT). Rasa malu saya pun kini bergeser: bukan karena saya tidak mempunyai bakat tertentu, melainkan karena merasa belum mempertanggungjawabkan potensi saya semaksimal mungkin.
            Mari bekerja keras. Apapun bakat yang dititipkanNya, semoga kita dapat mempertanggungjawabkannya sebaik-baiknya.


Ditulis dengan penuh doa dan harapan untuk anak-anak sekolah, mahasiswa dan mahasiswi, serta kalangan pendidik di tanah air. Semoga bangsa ini berjalan menuju arah yang lebih baik.
-          H e i D Y -

Tidak ada komentar: