“Si A itu pinter banget, ya,” ungkap
saya.
Namun, ternyata X tidak setuju. Ia
menggeleng sambil menanggapi, “Nggak, dia rajin.”
Komentar yang sederhana itu dengan
sukses mengantarkan saya pada kebingungan yang –awalnya tidak saya sadari–
berlarut-larut. Bagaimana tidak, sebelum itu, saya pikir kata pintar selalu dilabelkan pada orang-orang
(atau tepatnya anak-anak, karena dulu saya hanya memerhatikan
yang sebaya dengan saya) yang berprestasi. Dan seperti yang
telah ditanamkan oleh orang tua, anak-anak itu berprestasi baik di sekolah karena
rajin belajar. Dengan kata lain, setahu saya anak yang pintar adalah
anak yang rajin belajar. Bukankah katanya rajin pangkal pandai? Jadi, tidak
pernah terpikir oleh saya untuk membedakan keduanya. Sampai ketika saya berdiskusi
dengan X.
Tanpa sengaja, diskusi saya dengan
si X itu ternyata memengaruhi kepekaan saya dalam memerhatikan teman-teman
belajar saya di tahun-tahun berikutnya, bahkan hingga di bangku kuliah (S1). Masih
di bawah pengaruh pemahaman saya setelah berdiskusi dengan si X dulu itu, berikut
adalah hasil temuan saya.
1.
Umumnya,
teman-teman saya yang berprestasi baik secara akademis adalah mereka yang rajin
belajar.
2.
Namun,
di antara orang-orang yang berprestasi itu, sepertinya memang ada yang pintar ‘dari
sononya’ tanpa repot-repot rajin belajar.
3.
Namun,
yang lebih mengherankan, di antara mereka yang berprestasi baik karena
ketekunannya dalam belajar, banyak yang berlomba-lomba untuk tidak mengakuinya.
Jika ditanya bagaimana cara mereka belajar hingga dapat berprestasi sebaik itu,
mereka akan bersikeras mengatakan bahwa mereka tidak belajar.
Nah.
Hasil temuan di ataslah yang ternyata berperan serta dalam memperkuat keyakinan
saya pada saat itu: pintar itu dapat dibanggakan, sedangkan rajin belajar
tidak. Selanjutnya, dengan mudah keyakinan itu mengembangkan rasa tidak percaya
diri saya. Dengan menggunakan pengertian si X, saya tahu bahwa saya tidak dapat dilabeli
pintar dan itu dapat dibuktikan dengan mudah dari prestasi akademis
saya memang selalu biasa-biasa saja.
Tidak perlu disembunyikan, saya
lulus dan menjadi sarjana dengan usaha yang sering saya istilahkan dengan ‘setengah
hidup’ (atau setengah mati, sama saja kan). Beberapa kali saya harus mengulang
mata kuliah hanya untuk kemudian lulus dengan nilai D (di tempat saya berkuliah
dulu, “D” dinyatakan lulus dan untuk mendapatkannya tidak cukup hanya dengan
selalu mengikuti kuliah dan mengerjakan tugas). Ini berbeda dengan beberapa
teman yang dapat berprestasi tanpa repot-repot berusaha, atau dengan usaha yang
minim, atau dengan usaha keras dan berhasil dengan gemilang. Saya jelas berusaha,
membuahkan hasil yang cukup (tidak cemerlang), dan karena itu saya menjadi
sarjana tanpa tahu apa yang dapat saya banggakan dari diri sendiri.
Pencerahan saya peroleh begitu saya
melakoni profesi yang sudah saya rencanakan sejak sebelum lulus kuliah. Atas
dasar rasa senang saat melakukannya, saya memilih sebuah pekerjaan yang agak ‘melenceng’
dari jurusan studi saya: mengajar matematika. Ternyata bagi saya, mengajar
matematika itu lebih mudah daripada mengajar bahasa. Saya dapat dengan
lancar melayani segala pertanyaan yang diajukan dalam rangka mencari jalan
untuk memecahkan sebuah soal matematika. Namun, saya tidak merasakan hal yang
sama saat mengajar bahasa Inggris. Dalam kelas bahasa, ketika ditanya “Kenapa bukan itu yang betul?
Gimana caranya, kok tahu kalau yang benar seperti itu?”, saya memerlukan lebih
banyak waktu untuk diam, berpikir, dan kemudian bingung sendiri. Kenapa ya? Ya
pokoknya saya tahu kalimat yang ini tepat, yang itu aneh. Itu kata-kata saya
dalam hati. Tentu saja saya tidak mungkin benar-benar berkata seperti itu di
depan kelas, tetapi penjelasan saya menjadi
berbelit-belit. Pengalaman itu
memberi saya satu pencerahan: saya dapat jauh lebih baik mengajarkan hal yang
pernah terasa sulit bagi saya daripada hal yang sejak awal selalu terasa gampang.
Pencerahan itu kemudian semakin ‘terang’
pula ketika saya memerhatikan sikap para murid terhadap saya dan guru lainnya. Dibandingkan
dengan para guru senior yang bahkan turut serta menyusun soal ujian nasional, saya
sadar bahwa saya kalah canggih dalam memecahkan soal-soal sulit. Saya tidak
pernah menyembunyikan hal ini, tetapi anehnya, murid-murid saya sama sekali
tidak keberatan. Awalnya saya tidak mengerti mengapa mereka lebih senang
mendatangi saya untuk berkonsultasi. Seiring dengan berjalannya waktu, saya
memperoleh jawabannya: yang mereka butuhkan bukan orang ‘pintar’, melainkan
orang yang dapat memahami kesulitan mereka dan mendampingi mereka untuk
menemukan jalan keluar. Itulah salah satu alasan mengapa akhirnya saya jatuh
cinta pada profesi guru. Dengan mengajar, saya lebih menghargai diri saya sendiri. Saya
mungkin sudah tahu dari dulu bahwa saya tidak pintar menurut pengertian teman
saya si X itu, tetapi sekarang saya dapat berkata: syukurlah demikian! Karena
saya tidak pintar ‘dari sononya’, karena saya tahu betul bagaimana rasanya ‘setengah
mati’ belajar, saya jadi bisa mengajar dan berbagi dengan yang kini
mengalaminya.
Setelah belajar menghargai dan lebih
bangga pada ‘usaha’ ketimbang ‘bakat’ diri, saya merenungi kedua hal itu lebih
dalam lagi. Mengapa lebih banyak teman-teman saya yang tampak malu jika
ketahuan ‘bekerja keras? Mengapa banyak orang yang lebih ingin dianggap ‘berbakat’
daripada ‘berusaha’? Yang mengherankan bagi saya, entah sejak kapan hal ini
tampaknya sudah menjadi bagian dari budaya bangsa kita tercinta. Berdasarkan
pengamatan sekilas (mohon koreksi jika saya salah), saya justru menemukan hal
yang berbeda di Jepang. Bagi orang Jepang, bekerja keras adalah hal yang
membanggakan. Sebaliknya, mendapatkan ‘keuntungan’ tanpa kerja keras adalah
sesuatu yang memalukan.
Wah. Kalau memang benar keyakinan
itu sudah menjadi bagian dari kebudayaan masing-masing, dengan terpaksa saya
memilih untuk ‘murtad’. Saya setuju pada keyakinan bangsa Jepang itu: usaha lebih patut dibanggakan daripada bakat. Apa itu bakat? Bukankah itu adalah sebuah anugerah yang
diberikan Tuhan? Apa itu usaha? Bukankah itu adalah apa yang kita lakukan? Lalu
manakah yang lebih wajar, berbangga atas apa yang diberikan pada kita atau berbangga
atas apa yang kita lakukan sendiri?
Sebagai seorang muslim, saya meyakini bahwa sesungguhnya
segala yang dianugerahkan Tuhan kepada setiap manusia itu adalah titipan.
Lalu, apapun yang pernah
dititipkan pada kita harus dipertanggungjawabkan. Seseorang yang dianugerahi bakat berlebih kelak akan ditanyai, apa
saja yang sudah ia lakukan dengan titipan tersebut. Apakah ia sudah
memanfaatkannya sebaik mungkin? Apakah modal yang diberikan padanya telah
digunakan 100% untuk menebar manfaat sebanyak-banyaknya? Ataukah yang ia
manfaatkan tidak sampai setengahnya karena dengan itu pun ia sudah cukup puas
dengan kehidupannya sendiri? Pertanyaan yang sama akan lebih mudah dijawab oleh
orang dengan bakat yang ‘seadanya’ tetapi selalu bekerja keras sepanjang
hidupnya. Hasil yang ia berikan mungkin saja masih kalah dari apa yang dicapai oleh
orang-orang berbakat lebih, tetapi dengan bangga ia dapat melapor bahwa ia
sudah memaksimalkan ‘bekal’nya mungkin hingga 200%!
Sebuah pencapaian bagi orang yang hanya mengandalkan kerja
keras jelas tidak dapat disamakan dengan yang dititipi bakat berlebih. Jika
pencapaian mereka sama, berarti sementara si pekerja keras telah
mempertanggungjawabkan seluruh titipan-Nya, si orang berbakat mungkin belum
memanfaatkan setengah dari potensinya. Tidak ada yang dapat dibanggakan dari sebuah
bakat, kecuali dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Berbakat berarti mempunyai
tanggung jawab yang tidak ringan. Tuhan memang Maha Adil.
Segala puji bagi Tuhan yang Memberi Petunjuk karena akhirnya
saya terlepas dari keyakinan saya sejak SMA, bahwa memiliki bakat itu lebih membanggakan
daripada berusaha dengan keras. Syukurlah saya diperkenalkan dengan profesi
guru dan kemudian mendapatkan ‘kesadaran baru’ sebelum kembali melanjutkan
sekolah. Saya tidak lagi peduli pada anggapan ‘pintar vs rajin’ dan kembali ke
ajaran bijak para orang tua yang ternyata memang benar adanya: rajin pangkal
pandai! Sekarang, di balik prestasi akademis yang sangat baik, saya tidak perlu merasa
ragu atau aneh ketika mengakui bahwa saya memang bekerja keras (dan atas ijin
Allah SWT). Rasa malu saya pun kini bergeser: bukan karena saya tidak mempunyai
bakat tertentu, melainkan karena merasa belum mempertanggungjawabkan potensi
saya semaksimal mungkin.
Mari bekerja keras. Apapun bakat yang
dititipkanNya, semoga kita dapat mempertanggungjawabkannya sebaik-baiknya.
Ditulis
dengan penuh doa dan harapan untuk anak-anak sekolah, mahasiswa dan mahasiswi, serta kalangan pendidik di tanah air.
Semoga bangsa ini berjalan menuju arah yang lebih baik.
-
H
e i D Y -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar