Selasa, 02 Juli 2013

Pertolongan Pertama bagi Orang Sakit

Kemarin, saya menemani adik berobat jalan di sebuah rumah sakit swasta. Ada beberapa orang yang sempat berbicara dengan kami dalam rangka menunaikan tugas mereka masing-masing sebagai karyawan di rumah sakit tersebut, yaitu petugas pendaftaran, staf laboratorium, staf farmasi, suster poliklinik, dokter, satpam, kasir, dan petugas parkir. Di antara orang-orang tersebut, hanya dua orang yang sosoknya cukup membekas dalam ingatan kami karena keramahannya: sang dokter dan staf laboratorium.

Sebenarnya, dokter dan petugas lab yang melayani adik saya tidak melakukan hal yang  luar biasa. Sang petugas lab hanya tertawa dan mencandai adik saya yang sejak orok sampai usianya sudah berkepala dua sekarang masih saja takut diambil darahnya. Sang dokter hanya tersenyum, bertanya, mendengarkan, memberi saran, dan mempersilakan adik saya untuk berkonsultasi lebih lanjut via SMS jika masih ada keluhan. Jadi, kedua orang itu hanya melakukan tugasnya dengan baik, tidak benar-benar melakukan sesuatu yang sangat hebat. Namun, apa yang mereka lakukan menjadi istimewa karena ternyata tidak semua orang melakukan pekerjaannya setulus itu.

Tidak perlu jauh-jauh, perbandingannya sudah kentara sekali dengan petugas pendaftaran, staf farmasi, dan suster poliklinik. Tentu saja, mereka juga tidak sampai melakukan hal yang mengerikan. Ketidaknyamanan yang kami rasakan hanya berasal dari satu hal sederhana saja: mereka TIDAK TERSENYUM SAMA SEKALI. Sedikit pun tarikan sudut bibir ke atas tidak ada, apalagi sinar mata yang ramah. Apakah mereka tidak tahu bahwa terutama dengan profesi mereka di bidang kesehatan, itu merupakan hal yang penting sekali dan jika diabaikan dapat mengakibatkan masalah yang besar?

Ketika saya ingin mendaftarkan adik saya, wajah tanpa senyum dan nada yang ketus menyambut saya. Saat menyebutkan nama dokter yang menurut papan informasi dijadwalkan berpraktik sore itu, misalnya, petugas pendaftaran menjawab dengan setengah menghardik, "Dokter X tidak praktik hari ini!"
Saya tertegun, setengah kaget karena dibentak. "Oh, saya tadi lihat di papan itu..."
Sang petugas menjawab lagi, "Itu jadwalnya sudah berubah!"
Baiklah. Mari gunakan logika dulu. Kalau perubahan itu tidak dicantumkan dalam papan jadwal sehingga saya tidak tahu menahu soal tersebut, apakah itu salah saya?? Kenapa saya yang dimarahi??

Pengalaman dengan suster poliklinik pun setali tiga uang. Setelah memberikan bukti pendaftaran, kami sempat pergi salat Ashar dulu. Begitu kembali ke poliklinik, saya menanyakan apakah nama adik saya sudah dipanggil. Pertanyaan saya itu dijawab si suster dengan kegusaran tingkat tinggi, "Nggak pakai nomer! Nanti juga dipanggil!" Astaga, betapa ramahnya.

Untung bukan saya yang sakit, dan penyakit adik saya pun syukurnya bukan sesuatu yang parah. Saya bilang untung karena seandainya yang berhadapan dengan bentakan-bentakan petugas pendaftaran itu adalah seorang pasien dengan penyakit yang berat, sungguh saya tidak berani membayangkan efeknya pada mental dan kemudian fisik si pasien. Bukankah tekanan psikologis dapat berpengaruh besar terhadap kondisi tubuh?

Saya pernah menemukan salah satu buktinya pada ibu mertua saya yang menderita diabetes. Pada suatu hari, Ibu (panggilan saya ke beliau) bercerita bahwa ada penggantian dokter dan suster yang bertugas di puskesmas langganannya. Ibu senang sekali dengan perubahan tersebut. "Dokter dan susternya baik banget, pas awal ketemu langsung senyum terus nyapa. Ibu yang tadinya tegang dan takut karena dari kemarin-kemarin tensinya tinggi dan gula darahnya nggak bagus, rasanya langsung adeem..gitu disapa sama mereka. Jadi santai, bawaannya seneng. Eeh...ternyata pas diperiksa, hasilnya bagus!!" cerita Ibu pada saya.

Cerita Ibu itu berbeda sekali dengan cerita-cerita beliau yang sebelumnya. Seingat saya, itulah pertama kalinya Ibu dengan bahagia menceritakan hasil pemeriksaan kesehatannya. Dan yang menciptakan perbedaan itu bukan obat atau tindakan-tindakan yang serba canggih, melainkan 'hanya' sikap yang ramah.

Saya yakin, Ibu bukan satu-satunya yang mengalami hal seperti itu. Saya juga teringat salah seorang teman yang bercerita ketika ia hamil untuk pertama kalinya setelah tiga tahun berusaha. Saat itu ia baru menemukan seorang dokter yang baginya saat menyenangkan untuk berkonsultasi. Itulah pertama kalinya ia merasa keluhan-keluhannya benar-benar didengarkan oleh dokter. Lalu, sebelum sempat minum obat pemberian sang dokter, ia sudah hamil (meskipun tentu saja di luar hal tersebut, ini juga memang sudah merupakan ketetapan Yang Maha Kuasa).

Jadi, saya penasaran. Apakah semua orang yang  bekerja di bidang kesehatan benar-benar tahu (dan selalu ingat) bahwa hal pertama yang dibutuhkan untuk menyehatkan pasiennya adalah ketulusan hati? Pemerintah mungkin tidak perlu menghabiskan triliunan rupiah untuk mendanai kesehatan rakyatnya jika sebagian besar pasien dapat sehat kembali hanya karena mendapatkan perhatian yang tulus. Saya sungguh yakin bahwa senyum Andalah, wahai dokter, suster, apoteker, laboran, dst, yang menjadi pertolongan pertama bagi orang sakit.


- H e i D Y -






Tidak ada komentar: