Pada tulisan
sebelumnya, saya sempat menyebutkan mata kuliah berjudul Teori Kebudayan yang
saya ambil di semester pertama yang telah berlalu. Itu adalah mata kuliah
menarik dan cukup berjasa dalam 'mengantarkan' saya ke gerbang ilmu
linguistik sebagai salah satu cabang ilmu humaniora. Nah, pada semester kedua ini, kelas yang
pertama saya masuki adalah
Bahasa, Kognisi dan Budaya. Judul mata kuliah yang lebih menarik lagi bagi saya
(dan dosennya merupakan dosen
favorit yang dulu pernah mengajar saya di program matrikulasi)! Semoga saya
bisa memaksimalkan kegiatan belajar saya dan ilmu yang saya peroleh dari mata
kuliah ini.
Bahasa, Kognisi, dan Budaya. Berdasarkan
rancangan silabus, kami akan membahas tentang konsep teori kebudayaan pada
pertemuan-pertemuan awal di kelas ini. Hitung-hitung sebagai pemanasan
untuk saya sendiri, saya akan berbagi sekilas pendahuluan tentang definisi dari
kebudayaan itu sendiri. Pengetahuan ini saya peroleh dari kuliah Prof. Benny
Hoedoro Hoed, salah satu pengampu mata kuliah Teori Kebudayaan yang saya sebut
sebelumnya.
Dari berbagai definisi, kita dapat melihat
kebudayaan dalam sebuah continuum yang menonjolkan kebudayaan
sebagai pandangan antara idealistic view (gagasan) dan materialistic
view (entitas fisik). Ada berbagai teori yang dikenal dalam ruang
lingkup Ilmu Pengetahuan Budaya, seperti filsafat, susastra, kajian teks,
sejarah, psikolinguistik, linguistik kognitif, semiotik, pragmatik, sosiolinguistik,
antropologi linguistik, antropologi, arkeologi, dan teori adaptasi. Yang
lebih dulu disebutkan (filsafat, susastra, …) lebih dekat pada padangan
idealistik, sementara yang disebutkan belakangan lebih mendekati pandangan
materialistik (…., arkeologi, teori adaptasi).
Istilah kebudayaan sendiri
dapat dibedakan dari peradaban dan budaya.
Kata kebudayaan yang merupakan kata benda berpadanan
dengan culture dalam Bahasa Inggris. Kata budaya dapat
berstatus sebagai kata benda yang berpadanan dengan custom atau
kata sifat yang berpadanan dengan kata cultural. Baik custom maupun cultural merupakan
bagian dari culture, dan di dalamnya termasuk pula apa yang kita
kenal dengan habit (kebiasaan). Sementara itu,
istilah peradaban erat kaitannya dengan adab
(civilization) dan beradab (civilized). Peradaban biasanya
dihubungkan dengan pendidikan dan merupakan pandangan yang subjektif, bukan
objektif.
Kemarin di pertemuan
pertama kelas Bahasa, Kognisi dan Budaya, dosen saya, Dr. Felicia N. Utorodewo,
menyinggung kembali istilah budaya dan kebudayaan. "Segala sesuatu yang
dipelajari dan diberi arti itu kan budaya," katanya. Kemudian ia memberi
contoh kecil : sebuah kedipan mata.
Mengapa kita mengedipkan mata? Jawaban menurut ilmu biologi adalah agar mata kita basah sehingga tidak terasa perih. Subhanallah, yaa. Pernah membayangkan jika kita tidak bisa berkedip sekali pun? Lalu sudahkah kita mensyukuri hal sekecil ini?
Kedipan mata bisa terjadi kapan saja. Entah sudah berapa kali saya mengedipkan mata secara otomatis saat mengetik tulisan ini untuk tujuan yang telah disebutkan di atas. Namun, kedipan mata juga bisa terjadi pada kesempatan lain untuk tujuan yang sama sekali berbeda. Misalnya saat sepasang suami istri ingin meninggalkan suatu acara di tengah orang banyak. Kedipan mata yang diberikan sang suami atau istri pada pasangannya menjadi kode dengan makna tersendiri. Saat itulah, kedipan mata telah menjadi sebuah budaya. Saat ia menjadi kode. Saat ia diberi arti tertentu.
Jadi, segala sesuatu yang dipelajari dan diberi arti itu adalah budaya. Semoga ini dapat menjadi jawaban bagi siapa saja yang bertanya apakah dan mengapa bahasa merupakan bagian dari budaya.
Lain lagi dengan kebudayaan. Mari mengingat suara adzan. Apa yang dirasakan oleh kelompok muslim yang berkewajiban untuk shalat setelah mendengar suara itu? Ada perasaan terpanggil untuk shalat. Semakin lama, jika belum juga menunaikan kewajiban itu, semakin gelisah. Dengan demikian, mendengar adzan ini telah menjadi suatu kebudayaan bagi para muslim, bukan hanya budaya. Mengapa?
Menurut Kroeber
& Kluckhohn, kebudayaan terdiri dari pola-pola, baik eksplisit maupun
implisit yang dipelajari, diteruskan oleh tanda-tanda tertentu, membedakan
dengan kelompok manusia yang lain, termasuk perwujudan dalam
artefak-artefak. Inti penting dari kebudayaan terdiri dari ide-ide tradisional
dan khususnya nilai yang tertanam. Lebih lanjut, sistem kebudayaan dapat
dianggap sebagai produk tindakan dan juga sebagai elemen-elemen yang
mengkondisikan tindakan lebih lanjut.
Definisi kebudayaan
dapat dipandang dari sudut antropologi dan ilmu-ilmu sosial. Dari sudut
antropologi, kebudayaan berarti pengetahuan kompleks yang dipelajari,
kepercayaan, seni, moral, hukum, dan budaya. Sementara itu menurut ilmu-ilmu
sosial, kebudayaan merupakan segala yang ada di masyarakat yang lebih
diteruskan secara sosial ketimbang secara biologis.
Mendapat pelajaran
ini, saya pun mengerti ketika Prof Benny bercerita bahwa ia tidak dapat marah
saat ingin membeli sesuatu di sebuah warung tradisional dan tidak ada orang
yang mengantri. "Ya itu kan memang bukan kebudayaan mereka,"
tandasnya. Sebuah kebijaksanaan yang berasal dari pemahaman yang mendalam di
tengah-tengah masyarakat yang beraneka warna. Masyarakat yang sebagian kelompok
di antaranya masih bisa memelihara sikap jijik dan benci pada kelompok lainnya
yang tak sama nilai.
Terimakah kita
disebut "tidak berbudaya" saat makan nasi dan lalapan sambal dengan
tangan oleh kelompok masyarakat yang menganut aturan
makan-harus-dengan-sendok-garpu? Lalu adilkah jika kita mencibir pula
pada kelompok manusia lain yang menganut ide atau nilai yang berbeda
dengan kita?
Mari belajar
memahami.
- H e i D Y -
Tidak ada komentar:
Posting Komentar