Sabtu, 22 September 2012

Demi Satu Suara

Pada putaran pertama Pemilihan Gubernur DKI tahun ini, saya dapat memberikan suara dengan mudah meski tidak mendapat kartu pemilih dan surat undangan. Hanya dengan berbekal KTP, petugas tempat pengambilan suara (TPS) di RT saya secara ramah mempersilakan saya duduk menunggu mereka mencari nama saya di Daftar Pemilih Sementara (DPS). Ketika beberapa menit kemudian nama saya ditemukan, saya pun diperbolehkan mencoblos. 

Alhamdulillah, kekhawatiran saya beberapa hari sebelumnya karena tidak mendapat kartu pemilih dan surat undangan ternyata tidak beralasan. Asal punya kemauan datang ke TPS di RT tempat kita terdaftar sebagai warga, ternyata apa yang sudah menjadi hak kita ya tidak lari kemana-mana.

Namun, ternyata keyakinan saya itu diuji kembali pada putaran kedua. Lagi-lagi saya tidak mendapat kartu pemilih dan surat undangan. Sempat saya dan suami beberapa kali mendatangi rumah pak RT tetapi tidak berhasil menemuinya karena beliau sedang tidak di rumah (sibuk betul!). Pada beberapa warga sekitar yang kebetulan sedang duduk-duduk di dekat rumah pak RT itu, saya bercerita bahwa saya ingin menanyakan perihal kartu pemilih dan surat undangan yang belum saya terima. 

Alangkah leganya saya ketika beberapa warga lain di RT saya itu menyatakan hal yang sama: "Saya juga nggak dapet kok, Mbak! Emang banyak yang nggak dapet!" Wah, ternyata memang 'kacau beliau' pembagian kartu dan surat itu di RT saya. Ya sudah, berarti memang saya ditakdirkan hanya berbekal KTP lagi saat datang ke TPS pada putaran kedua.

Oya, saya juga sempat terancam tidak dapat menggunakan hak suara saya karena kuliah yang saya ikuti setiap hari Kamis ternyata tidak libur meski kampus sudah menyatakan bahwa itu hari libur. Padahal, dosen saya juga semangat mau mencoblos. Namun, semangatnya mengadakan kuliah juga tidak kalah. Setelah sempat mencari alternatif hari pengganti tetapi tidak berhasil, akhirnya ditetapkanlah kami tetap kuliah di hari putaran kedua Pilkada DKI. Kebijakan yang tersisa adalah memundurkan jam kuliah: yang seharusnya mulai pukul 9 menjadi mulai pukul 10 pagi.

Hari pesta demokrasi yang ditunggu-tunggu tiba. Sampai di TPS, saya langsung mengatakan hal yang sama persis dengan apa yang saya katakan saat ingin memilih di putaran pertama dulu: saya hanya berbekal KTP, tidak dapat kartu pemilih dan surat undangan. 

"Wah, ya tidak bisa, Mbak. Harus ada dua itu kalau mau nyoblos," kata salah satu petugas (Petugas 1) dengan entengnya. 

"Waktu putaran pertama saya juga nggak dapet, tapi tetap bisa nyoblos hanya dengan bawa KTP ini," protes saya. "Waktu itu nama saya tidak ada di DPT (Daftar Pemilih Tetap) tapi ada di DPS,"

"Ya itu kan putaran pertama mbak, sekarang sudah tidak boleh lagi," Petugas 2 menimpali.

"Sekarang sudah tidak ada DPS, mbak. Karena sudah putaran kedua, yang jadi pemilih dianggap sudah fix yang di DPT ini," Petugas 3 menambahi pula. 

Saya mulai kesal. Rasanya seperti dikeroyok ramai-ramai! 

"Lho tapi kan saya datang dan memilih waktu putaran pertama! Memangnya tidak dicatat bahwa saya termasuk pemilih? Kenapa dong nama saya tidak dipindah ke DPT lalu saya diberi undangan??" protes saya bertubi-tubi.

"Nah ... itulah mbak, sepertinya nggak direkap lagi oleh KPUnya," kata entah petugas yang mana.

Saya merasakan pipi, kepala, dada memanas berjamaah. Astaghfirullah .. saya tidak boleh meledak di sini ... tidak boleh! 

"Terus ... jadi saya harus gimana, dong?" Susah payah saya menahan ratusan kata lain yang sebetulnya sudah ada dalam pikiran saya.  

"Yaa nggak bisa milih mbak, kami juga nggak bisa apa-apa di sini. Itu bukan kewenangan kami!" 

"Pokoknya nggak berani ngapa-ngapain deh Mbak, kami ini disumpah!" 

Saya memperhatikan jawaban-jawaban dan raut-raut wajah tak peduli itu. Mereka semua duduk, saya berdiri (dengan culun: memanggul tas ransel, satu tangan menenteng botol minuman dan tangan lain mengewer-ewer KTP). Saya memandang mata mereka, mata mereka semua sibuk terpaku pada berkas-berkas yang ada di meja. Sebuah sopan santun yang luar biasa mengagumkan, bukan?

"Ya kalau emang mau nyoblos coba aja Mbak cari orang KPU di kelurahan, tanya ke mereka," salah satu mengusulkan. Tetap tanpa memandang saya.

"Tapi belum tentu akhirnya bisa juga, sih. Tapi kalau emang kepingin banget milih, ya coba aja deh." sambar yang lainnya. Sungguh kalimat yang menguatkan dan menentramkan hati, ya? 

"Ya pokoknya terserah Mbak, kalau mau coba ke kelurahan ya sekarang. Jam satu siang kami sudah harus tutup dan menghitung suara,"

Saya melirik jam tangan saya. Masih ada waktu kira-kira satu setengah jam sebelum kuliah dimulai. Perjalanan saya naik angkot ke kampus paling cepat memakan waktu sekitar satu setengah jam juga. Yang saya maksud paling cepat adalah dalam kondisi si angkot tidak lama ngetem dan jalan yang dilalui tidak macet. Sementara itu, kelurahan berjarak sekitar dua kilometer dari TPS. Jika saya naik angkot, mungkin sampai kampus tepat ketika dosen membubarkan kelas. Akhirnya saya memutuskan untuk naik ojek. Tidak hanya untuk pergi ke kelurahan, tapi untuk kemudian kembali ke TPS (jika ternyata memang dapat memilih) dan/atau untuk mencapai terminal Kampung Rambutan agar saya bisa langsung menaiki angkot ke kampus saya di Depok.

Sesungguhnya, para petugas TPS itu sudah berhasil menanamkan rasa pesimis pada saya. Saya mendatangi kantor kelurahan sama sekali tidak dengan semangat membara. Memang masih berharap, tetapi tidak berharap besar. Saya berpikir mungkin saja pada akhirnya saya tetap tidak bisa memilih, tapi setidaknya saya berniat dan berusaha. Kalau saya memang tidak bisa meminta hak saya, setidaknya saya melaporkannya ke petugas KPU. 

Sampai di kantor kelurahan, seorang petugas KPU menyapa saya dengan sangat ramah dan tergopoh-gopoh mencari meja dan kursi untuk melayani saya. Setelah mendapat perlakuan yang tidak enak di TPS, tentu saja saya sama sekali tak menyangka mendapatkan pelayanan seperti itu dan merasa senang sekali. Hati saya langsung terhibur. Saya pun mengutarakan apa yang saya alami. Dan..kembali tidak disangka-sangka pula, sang petugas langsung marah!

Sang petugas KPU bukan marah kepada saya. Begitu saya selesai bercerita, ia langsung mencari nomor telepon ketua RT saya. Ekspresinya tampak penuh napsu marah saat berusaha menelepon si Pak RT...hihihi, lucu sekali. Eh, maaf, harusnya saya tidak senang saat orang dipenuhi amarah, ya? Namun apa boleh buat, saat itu setelah apa yang saya alami, spontan saya merasa terhibur sekali, sih!

Menurut sang petugas KPU, sudah jelas seharusnya saya bisa memilih. Nama saya memang tidak ada di DPT, tetapi bukankah ada di DPS? Apalagi saya sudah memilih saat putaran pertama. Nama-nama pemilih di DPS tidak berubah dan di putaran kedua DPS tetap digunakan, bukan hanya DPT seperti kata petugas TPS tadi. 

Ketua RT saya ternyata susah sekali dihubungi. Akhirnya, sang petugas KPU membuatkan saya surat yang menyatakan bahwa saya diperbolehkan menggunakan hak pilih saya hanya dengan berbekal KTP jika nama saya ada di DPS dan menambahkan dengan tegas bahwa DPS itu ada di salah satu dokumen yang pada hari sebelumnya telah ia berikan pada para petugas di TPS.  

"Saya sudah berikan pada mereka! Di lembar A-5! Harusnya ADA! Haduh, gimana sih...nggak denger atau apa waktu saya kasih pengarahan??" kata sang petugas KPU geram sendiri ketika saya ceritakan bahwa para petugas di TPS menyatakan saat ini sudah tidak ada DPS.

Saya meninggalkan kantor kelurahan diantar dengan ucapan sang petugas KPU yang melegakan: "Pokoknya bisa, Mbak, kalau nama ada di DPS," 

Saya pun minta tukang ojek kembali mengantar saya ke TPS. Setiba di TPS (dengan melewati segerombol warga yang senyum-senyum menyapa dan tertawa melihat saya yang diantar ojek kembali lagi), saya langsung menyerahkan surat pernyataan dari petugas KPU kepada petugas di TPS. Mau tahu bagaimana reaksi mereka?

"Nah, kalau ada surat gini kan enak," komentar salah satu petugas pendek, seraya langsung menyuruh petugas lainnya mengambil lembar A-5 yang disebut-sebut dalam surat. 

Saya terbengong-bengong. Sudah, begitu saja? Katanya tadi DPS tidak ada? Jadi itu bohong? Tadi itu maksudnya saya sedang diplonco atau apa?? Tapi seingin apapun saya mengutuk mengomeli mereka, tentu saja saya tidak mengungkapkan jeritan hati itu. Saya datang untuk mencoblos, titik. Bukan untuk cari musuh. 

Lagipula, saya masih harus menunggu mereka menelusuri kembali nama saya di DPS. Meskipun seharusnya nama saya pasti ada di DPS yang tidak berubah sejak putaran pertama itu, sampai detik saya mengenggam surat suara yang menjadi hak saya, apapun bisa terjadi. Apapun yang membuat saya tetap tidak dapat memberikan suara. Ya sudah, daripada menyalurkan napsu marah-marah, saya putuskan untuk berdoa saja dalam hati agar saya dapat menggunakan hak suara saya. Agar usaha saya ke kantor kelurahan dan bantuan petugas KPU tadi tidak sia-sia. Agar keterlambatan saya pergi kuliah tak terbuang percuma. 

Kira-kira setelah setengah jam yang terasa seperti setengah bulan itu, akhirnya salah satu petugas memberikan surat suara kosong kepada saya. Alhamdulillaah! Saya melangkah masuk ke bilik suara dengan perasaan antara tak percaya, senang dan terharu penuh syukur, juga geli! Geli karena membayangkan siapa tahu ada orang-orang yang membicarakan saya yang semangat sekali ingin mencoblos selembar kertas, sementara beberapa ratus warga DKI lainnya dengan santai memilih untuk tidak menggunakan hak suaranya.

Di akhir hari itu, sepulang kuliah (Oya. Saya tidak terlambat mengikuti kuliah. Dosen saya yang bule tetapi sudah berKTP DKI dan juga menggunakan hak suaranya itu menunggu saya selama 1,5 jam sebelum memulai kuliahnya! Subhanallah yaa??), saya mendengar kabar yang menggembirakan. Hasil perhitungan cepat menunjukkan bahwa DKI Jakarta akan segera dipimpin gubernur baru. Selain itu, ada pula kabar dari TPS tempat saya memilih: selisih perolehan suara antara kedua calon SANGAT TIPIS. Nah, hayo siapa tadi yang menertawakan saya? Coba, siapa yang bersemboyan "apalah arti sebuah suara"?

Satu suara itu berarti. Dan syukurlah, saya membuat diri saya sendiri berarti.


Semangat Jakarta Baru!
- H e i D Y -

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Walaupun bukan penganut demokrasi. Ikut senang dengan senangnya perasaan Heidy :)

Cheers,
-r/K-

Heidy Kaeni mengatakan...

Hehehe...thanks RK!