Senin, 13 Oktober 2008

sebuah rumah di Babakan Jeruk

a tribute to my mom&dad’s house in Bandung, which was my home for almost 8 years



Rumah yang saya maksud di sini adalah sebuah rumah milik orang tua saya yang dibangun di jalan Babakan Jeruk, daerah Pasteur, kota Bandung, di atas tanah yang mereka miliki sejak tahun 80-an awal.

Karena selama berbelas tahun berikutnya mereka harus berpindah-pindah di luar pulau Jawa demi mencari sesuap nasi (dan setumpuk emas, mungkin), sang rumah pun dibangun dengan amat sangat perlahan sekali. Para tetangga pun seakan mengomel, “Ini orang butuh rumah nggak sih?”.

Omelan tersebut baru terjawab oleh saya pada tahun 2000, bgitu saya diterima menjadi mahasiswa baru di sebuah perguruan tinggi di Bandung.
“Iya Om, Tante, Mama Papa saya butuh kok…tapi nanti, kalo mereka udah pensiun.
Kalo saya, butuhnya sekarang, jadi sementara saya dulu aja yang jadi tetangga yaa,”

Kemudian selama 3 tahun pertama, most of time saya menjadi penghuni tetap (yang nyata..hahaha) satu-satunya di rumah Babakan Jeruk itu, mengingat :
- jarang ada pembantu yang betah lama tinggal sendiri di rumah segede gitu (dan banyak yg mengaku diganggu oleh para penghuni tak nyata..heran, kok mereka damai-damai aja tuh sama saya)
- dari beberapa teman yang ditawari untuk tinggal bersama, semua menolak karna jaraknya yang terlalu jauh dari kampus (iyyalaah, dimana-mana orang ngekos nggak pengen jauh-jauh dari kampus/kantor kaan)
- nggak ada tanda-tanda kepentingan/kebutuhan/kesempatan satu pun anggota keluarga gw lainnya untuk pindah ke Bandung

Dan akhirnya, tahun 2003.
Adik kandung perempuan yang paling saya cintai di dunia ini (in fact, she’s my only sister..hehe) pun hijrah untuk kuliah di Bandung. Sungguh saya betul-betul bersyukur, dia pindah dan menemani saya tinggal di rumah Babakan Jeruk itu.
Salah satu peran terbesar adik tercinta saya yang perlu digarisbawahi dan akan saya ingat seumur hidup adalah : dia telah meminimalisir pengaruh kampus saya -yang didominasi cowo itu-terhadap kesadaran gender saya. Semua pengalaman saya sebagai seorang perempuan pada umumnya bermunculan sejak serumah dengannya : jatuh cinta, dandan, jalan ke mall, beli tas & sepatu, atau sekadar memanjakan diri dengan merendam kaki dalam air garam sambil ngobrol.

Tahun 2005,
Anggota tetap rumah Babakan Jeruk kami bertambah lagi. Kali ini sahabat saya di kampus, yang setelah kelulusannya memutuskan untuk sementara menetap di Bandung dulu.
Selama sahabat saya tersayang ini ada di rumah, itu tak mungkin sepi karna siapa pun dalam radius 0.5 km terdekat bisa mendengar tawa atau suara semangatnya saat bercerita.

Tahun 2006,
Saya jatuh sakit setelah libur lebaran. Rumah yang tak terurus, membuat orangtua akhirnya mendesak untuk meng-hire seorang pembantu rumah tangga, sehingga anggota rumah di Babakan Jeruk kini menjadi 4 orang gadis.
Rumah kami jadi semakin cantik, walaupun orangtua saya sering protes karna tanaman di halaman banyak yang mati…yah, sayangnya memang tidak satu pun di antara kami yang senang berkebun.

Tapi hey, saya di sini ingin menuliskan kesan berdasarkan pengalaman sendiri, bukan penilaian orang lain. Jadi maaf ya Ma, Pa, atau siapapun yang melihat kesan lain dari rumah itu...bagi saya waktu itu, rumah itu benar-benar ’home sweet home’ bagi kami yang sempat menjadi peghuni tetap di dalamnya.

Rumah di Babakan Jeruk itu pun semakin sempurna menyandang statusnya sebagai Rumah Cewek. Rumah cewek, yang mana definisinya menurut kami : rumah dimana semua penghuninya adalah cewek dan rumah tersebut senantiasa menyaksikan kegiatan-kegiatan khas cewek dan penuh akan ciri khas seperti:
- Rumah yang menyaksikan entah berapa banyak tawa, tangis, curhat, canda, rumpi, diskusi, sampai..pertengkaran
- Seberantakan apapun rumah itu, tak kan mungkin ditemukan sehelai kain pun terserak di lantai (oke, kami juga bisa berantakan...tapi tenang, semuanya terlokalisasi dengan baik!)
- Dan lebih tak mungkin lagi, ditemukan sisa-sisa makanan yang bergeletakan begitu saja di dalam rumah (selain ya, kami tidak sejorok itu, terimakasih, ini karna...sebagian besar dari kami anti pada cicak-cicak yang berkeliaran)
- Dan seberantakan atau sejorok apapun, bisa dipastikan rumah kami selalu WANGI setiap hari...bisa wangi shampoo, wangi parfum, sampe wangi wax cream yang datang dari berbagai penjuru ruangan. Selain itu sepertinya ini juga berkat peraturan ayahanda sang pemilik rumah ini : buanglah sampah organik ke dalam lubang tanah di kebun belakang yang sudah disediakan!
- Sampai saat ini Allah SWT menurunkan perlindungannya yang penuh bagi rumah dan anggotanya yang perempuan semua itu, alhamdulillah... tak sekalipun kami dalam keadaan tak terjaga olehNya

And time flies...

November 2007.
Ternyata, rumah tercinta di Babakan Jeruk itu adalah satu-satunya tempat yang diinginkan ayah saya sebagai tempat pelepasan puteri sulungnya untuk berganti status dari ‘anak gadis’ menjadi seorang ‘istri’.
Ya, rumah yang sangat saya sayangi itu...menjadi tempat berpijaknya ayah dan suami saya ketika mereka melakukan ijab kabul atas dinikahkan/diterimanya nikah saya, sekaligus menjadi sang saksi bisu.
Sebuah kebahagiaan baru telah datang dalam kehidupan keluarga saya, walaupun harus menghapuskan sebuah status sang ‘rumah cewek’ yang telah begitu lama menyimpan keindahan.

Dan dengan kekuasaan Tuhan yang Maha Besar, masuknya saya ke dalam kehidupan pernikahan bersamaan dengan berangkatnya sahabat saya untuk magang kerja di luar negeri, yang kemudian disambung kepindahannya ke Jakarta. Sebuah kehilangan yang tidak kecil tuk kami yang ‘ditinggalkan’, juga untuk sang rumah.

Juni 2008.
Demi merintis cita-cita untuk benar-benar bersama sang suami dan menciptakan kedekatan yang lebih pada kedua keluarga kami, saya melakukan hal yang sebetulnya tidak saya sukai, dan selalu hindari sejak dulu : hijrah ke Jakarta sang ibukota (ya, tolong doakan saja kami tak berlama-lama ikut memadati kota ini)
Dan di antara sedihnya saya meninggalkan Bandung yang telah 8 tahun saya akrabi itu, yang paling besar adalah kesedihan meninggalkan rumah di Babakan Jeruk itu. Semua rutinitas yang saya lakukan sebelumnya di sana, semua sejarah yang tercatat di dalamnya...semua yang kini berubah wujud menjadi sebuah kenangan indah yang menyita satu ruang khusus di hati ini.


Lalu, Oktober 2008
Pada suatu hari, saya menginjakkan kaki kembali di rumah Babakan Jeruk itu, setelah berbulan-bulan lamanya aktifitas kantor membuat saya tak berkesempatan sama sekali melakukannya.
Dan seolah tak ingat saya pernah meninggalkannya, ia begitu ramah menyambut. Hawa yang sejuk begitu damai menentramkan panas tubuh yang sebelumnya diterpa terik matahari di luar sana. Lantainya yang selalu dingin begitu tulus membelai telapak kaki yang kelelahan. Wangi melati bahkan hampir masih bisa tercium dari kamar yang menjadi kamar pengantin saya dulu. Ahh...rumah ini....


Sebutan “home” dari saya kini telah menuju pada sebuah bangunan di tempat lain. Tapi sepertinya, dan semoga, sampai kapan pun saya masih boleh menyebut rumah di Babakan Jeruk itu, home sweet home”....

1 komentar:

Ratie mengatakan...

Nice writing,dy... Ga salah lah lo milih pinsil waktu acara adat jawa lo dulu ituh... Hahaha...