Rabu, 05 April 2006

kecelakaan mobil pertama

Halo!
Saat memutuskan menulis ini, gue sedang tepakur mengheningkan cipta, mengenang sesuatu sejenak. Demi sesuatu yang sangat bersejarah bagi gue.

Tepat seminggu yang lalu, hari selasa tanggal 28 Maret 2006 pukul sembilan pagi, gue mendapatkan pengalaman kecelakaan pertama sejak bisa menyetir mobil lima tahun yang lalu.

Bukan berarti selama ini gue adalah supir yang sempurna, loh!
Gue cuma kebetulan punya punya hoki yang lumayan keren.
Seburuk-buruknya gue nyetir, segala sesuatunya selalu serba nyaris.

Yah, tanggal 28 maret kemaren itulah pertamakalinya kata ‘nyaris’ meninggalkan gue.

Ceritanya begini.
Gue keluar rumah di pagi hari tanpa mandi dengan tujuan mengambil laundry bersama ade gue dan kemudian sekalian nganter dia kuliah.
Tiba di tempat laundry, ade gue turun. Gue tetap berada di dalam mobil taruna silver yang sedang gue kendalikan.
Gue memikirkan rute jalan yg akan gue lalui menuju kampus ade gue, dan akhirnya memutuskan : gue harus puter balik.

Jalan ngga begitu lebar, jadi pertama-tama gue perlu semepet mungkin dengan sisi kiri jalan, baru berputar ke kanan.
Target gue, bisa muter hanya dengan sekali maju-mundur.

Maka gue mundur kiri, berusaha semepet mungkin sebelum bertemu got.
Hohoho...selokan yang nyaris tak tampak...gue takkan tertipu, pikir gue bangga.
Hohoho....maaf ya selokan, gue super hati-hati nih, pikir gue pede sambil berkonsentrasi memundurkan dan meng-kiri-kan mobil dengan memperhatikan kaca spion kiri.

Yak...pelan-pelan...mungkin kira-kira udah mundur setengah meter...semeter...dua me...

GEDEBUGH.

He?
Bunyi apa itu?

Sepertinya dari sumber bunyi yang tidak jauh.
Dan kenapa gue tadi sampe terlonjak?
Dan rasanya bukan cuma gue.
Rasanya mobil gue juga ikutan terlonj..

OH MAI GOD.

Gue noleh ke belakang.
Terlihat sebuah tiang listrik berdiri dengan anggunnya.

ITU TIANG LISTRIK TIBA-TIBA MUNCUL DARI MANA?!?!?!
NGGA SOPAN!!!

Gue baru menabrakkan mobil bokap gue ke sebuah tiang listrik...?
Hahahaha. Ada-ada aja. Bercanda, kan.
Bukan nabrak, paling tadi cuman...

Cuman...
Yah, apapun itu, pasti mobilnya gak kenapa-kenapa.

Kenapa?
Karna gue, nggak pernah nabrak.

Ngga apa-apa. Gue yakin, everthing’s ok.
Ngga percaya? Sok lihat. Ayo turun dari mobil dan liat.
Eh, ngapain. Kan pasti nggak apa-apa. Ngga usah diliat segala.
Eh, kalo yakin ngga papa kenapa ngga dilihat?

Aduh kepala gue jadi bising. Ssshusssh, gue turun deh.

Dan gue melihat...
pintu belakang mobil bokap gue...
huh, tuh kan...nggak apa-ap...eh...
PENYOK.

Gue sama sekali belum berpengalaman dalam tabrak-menabrak dan merusak mobil.
Begitu juga ade gue, satu-satunya orang ynag bersama gue pagi itu.
Jangankan untuk mengerti apa yang perlu dilakukan,
mengerti apa yang rusak pun tidak.

Dalam perjalanan gue nganter ade gue ke kampus, gue seperti setengah sadar.
Marah, takut, stres, rasanya semmua perasaan itu ada, tapi masih di sebelah gue.
Seolah-olah menunggu waktu yang tepat untuk benar-benar bersatu dengan gue.

Sepanjang jalan, gue malah tertawa-tawa, ditemani ade gue.
Menertawakan kebodohan sendiri.
Rasanya menyenangkan.
Dan setiap kali ada kendaraan yang menyalip dengan berbahaya, atau meluncur sembarangan..
“WHOI! GA LIAT GUE ABIS NABRAK?! MAU GUE TABRAK JUGA YA?!”
Asyik juga rasanya bisa teriak-teriak begitu.

Tapi ada yang kurang. Entah apa, waktu itu gue ngga tau.
Sepulang dari kampus ade gue, gue berjalan dengan kecepatan rata-rata 20 km/jam. Mau diklakson atau diteriakin, gue tetep lempeng. Malah gue pelototin atau kadang gue teriakin balik.
Gue nemu tempat ketok magic, dengan satu niat: BERTANYA.
For God sake, i just need someone to tell me what i’ve really done.

And I got it.
Walau sekilas nyaris ngga keliatan, ternyata gue sudah membuat bodi mobil bokap gue penyok sampai ada cat yang pecah.
Means, ga hanya perlu diketok utk balikin bodi, tapi juga perlu sampe cat ulang.
Biayanya mungkin hampir sejuta.

Gue lemes.
Di rumah, perasaan-perasaan di samping gue tadi pelan-pelan mulai datang menghampiri.
Kesal, marah, takut, stres....campur aduk jadi satu.

Bukan karena besar duit yang mungkin perlu gue keluarin.
Mungkin karna gue baru tau, mata gue baru terbuka, gue baru sadar, sebesar apa kerusakan yang telah gue timbulkan.
Kerusakan yang gue kira, gue pikir, dengan pengetahuan gue yang sangat terbatas, sangat kecil.
Ternyata....ternyata!!

Gue stres, bolak-balik nangis selama dua hari.

Mobil bokap gue itu masi diasuransi dan gue cukup nebus klaim sebesar seratus rebu.
So, everythin’s under control, gue tau betul.
Harusnya ga ada lagi yang perlu gue khawatirkan, perlu gue risaukan, atau perlu gue pusingin.
Tapi entah kenapa gue ngga bisa berenti nangis waktu itu.
Mata gue sampe bengkak dan kepala gue pusing luar biasa.

Mungkin karna itu kecelakaan pertama gue.
Mungkin karna itu pertama kalinya gue merusak mobil.
Dan mobil itu mobil bokap gue.
Dan itu mobil baru, kalo ga salah belom setahun umurnya.
Dan biasanya mobil itu ada di Jakarta, bukan di Bandung untuk bisa bebas gue pakai.
Mungkin gue ngga rela track record gue tercemar, seolah-seolah gue jadi punya catatan kriminal.
Bukankah seorang dengan catatan kriminal, tidak akan gampang mendapatkan kembali sebuah kepercayaan?

Yeah, itu dia.
Gue stres karna merasa sudah mengkhianati sebuah kepercayaan. Dan gue membayangkan akan kehilangan kepercayaan itu. Dan rasanya gue nggak sanggup menerimanya.

Gue berenti menangis di hari ketiga, walaupun perasaan masih nggak tenang.
Well, sebenernya sih sampe sekarang juga masih belon tenang.
Sekarang mobil uda keluar dari bengkel, sekali-kali masih gue pake.
Gue masih ketakutan, deg-degan, agak gemeteran kalo nyetir.

Tapi justru itulah yg sekarang menjadi motivasi gue menyetir.
Gue sebenernya nggak suka berkendara dengan mobil, tapi gue harus bisa menyetir dengan baik.
Dengan pengalaman kecelakaan gue itu, gue percaya gue akan menjadi supir yang lebih baik.
Liat aja.


Special thanks to
> Gitong, yg membantu gue menyadari perasaan gue sendiri, dan juga mengingatkan gue untuk bngkit. Terimakasih atas kata-kata kerasnya, “Aku nggak peduli sama ayah kamu dan mobilnya. Aku cuma nggak mau kamu hancur gara-gara ini,” Gilaaaa. Mas, entah kenapa saya malah jadi nangis lagi waktu itu. Tapi, itu tangisan terakhir (ohya fyi jangan salah paham, bokap gue orangnya baek kok, cuman guenya aja..).
> Andik, terimakasih udah ada saat gue butuh, nemenin gue nangis dan bantuin ngurusin segalanya. Thanks a bunch, Mas!
> Anjar, orang pertama yang memerikan gue ucapan selamat yang tulus karena akhirnya gue punya pengalaman nabrak. Makasih atas ke-positifannya! You said you’ll guarantee that I’m going to be a much stronger woman, didnt ya. Nah, awas kalo ternyata ga gitu. Entar gue protes ke elo yah. Hehehe bercanda Mbak..

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Satu buah sifat kecerdasan emosional adalah melihat segala sesuatu pada sisi baiknya.
Hanya orang-orang dengan kecerdesan emosional yang sangat tinggi yang bisa mentertawai dirinya disaat dia sedang mengalami musibah atau kemalangan. Banyak sekali orang, seperti saya, justru stres kalau tertimpa musibah.
Hahahahahahahahhahahahahhahahahahaha....

Anonim mengatakan...

This site is one of the best I have ever seen, wish I had one like this.
»

Anonim mengatakan...

Your are Excellent. And so is your site! Keep up the good work. Bookmarked.
»