Senin, 13 Januari 2014

Di Balik Tesis



Seperti yang saya ceritakan pada tulisan sebelumnya, tantangan #30tulisan selama sebulan sesungguhnya sudah dimulai sejak 1 Januari 2014. Namun, saya baru mencoba ikut kemarin. Ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, ada target lain yang jauh lebih mendesak untuk saya penuhi: penyelesaian tesis! Dan di balik tesis ada .... banyak kisah :D



Urusan pertesisan saya sebenarnya sudah dimulai sejak semester kuliah pertama di tahun 2012, yaitu dengan memikirkan topik penelitian. Namun, ternyata memilih topik tesis itu tidak semudah memilih baju dari lemari pakaian (karena membalikkan telapak tangan terlalu mainstream :p)! Berangkat dari minat dan perhatian saya pada dunia anak dan pendidikan, sebenarnya saya sudah punya banyak ‘koleksi’ topik riset yang dapat menghubungkan bidang-bidang tersebut dengan linguistik. Sayangnya, tidak perlu waktu lama untuk menemukan banyaknya kendala untuk mengembangkan topik-topik itu. Riset mengenai UN yang sempat saya minati, misalnya, terbentur masalah kerahasiaan data. Ada pula topik pemerolehan bahasa pada anak yang masih ‘seksi’ bagi saya hingga kini, tetapi menuntut waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit untuk menelitinya. Akhirnya, setelah mencapai semester ketiga, tepatnya pada bulan Maret 2013, barulah saya berjodoh dengan sebuah topik: kajian wacana kritis terhadap cerita rakyat Betawi dalam buku teks Pendidikan Lingkungan Budaya Jakarta untuk siswa SD.



Sebetulnya topik yang akhirnya saya pilih tersebut berawal dari celetukan iseng suami saya beberapa bulan sebelumnya ketika media massa heboh memberitakan muatan buku ajar untuk anak SD itu, “Coba Dy, teliti ini dari linguistiknya!” Saat itu saya hanya tertawa menanggapinya. Siapa sangka, berbulan-bulan kemudian ternyata saya benar-benar berjodoh menjadikannya sebagai topik tesis! Tentu tepatlah jika setelah Allah SWT, terima kasih yang pertama saya tujukan pada suami. Topik itu cocok sekali dengan minat dan kemampuan saya: berhubungan dengan pendidikan, anak-anak, dan kajian kritis atas wacana, serta tidak membutuhkan biaya yang besar untuk menelitinya. Alhamdulillah.



Setelah mantap dengan topik, langkah selanjutnya adalah menyusun rencana penelitian yang membuat saya kelimpungan setengah hidup. Ternyata memang bagian perencanaan sebuah penelitian merupakan setengah nyawa dari seluruh penelitian tersebut. Bersama teman-teman sejurusan, saya menghabiskan satu semester sendiri untuk menyusun proposal tesis. Itu pun ternyata masih jauh dari sempurna. Akibatnya, setelah seminar proposal, selama 2-3 bulan saya masih harus berkutat dengan alur pemikiran mengenai bagaimana riset saya dapat dilakukan. 

Masalah berikutnya adalah memikirkan bagaimana saya dapat menyajikan hasil riset dengan apik, atau dengan kata lain membuat orang yang membaca mudah memahami tesis saya. Setelah sempat ‘bongkar-pasang’ belasan kali, barulah saya menemukan cara yang tepat di awal Desember lalu. Padahal, draf lengkap pertama harus sudah diserahkan dua minggu kemudian. Saya merasa seperti ditugaskan dalam proyek pembangunan seribu candi Rara Jonggrang.




 

Syukurlah, saya tidak bernasib sama dengan Pangeran Bandung Bondowoso karena secara ajaib dapat memenuhi tenggat waktu yang ditetapkan (tapi sungguh, saya tidak dibantu dedemit, lho). Namun, sembari menunggu sidang praakhir tesis (seminar hasil), saya tidak berhasil membayar hutang pada tubuh saya yang telah bekerja keras tanpa cukup istirahat. Satu-dua hal meminta sang tubuh untuk menunda istirahat yang diperlukan. Akibatnya tidak sulit ditebak. Saya jatuh sakit tepat seminggu sebelum sidang.



Awalnya saya berharap hanya mengalami gejala awal sakit dan dengan beberapa strategi dapat mencegahnya berkembang menjadi sakit ‘betulan’. Sayang, sepertinya tubuh sudah tidak dapat memaafkan keegoisan saya. Saya benar-benar sakit: sulit menelan dan bernapas, batuk, menggigil, lalu panas tinggi hingga melebihi 39C. Ini jauh di luar toleransi saya mengingat di hari-hari biasa, suhu tubuh normal saya selalu di bawah suhu normal orang pada umumnya. Mungkin karena itulah, kondisi tersebut sudah cukup untuk membuat saya sulit bangun dan mulai berhalusinasi (Hiiy!). Tiga hari sebelum sidang, alhamdulillah panas tubuh mulai stabil kembali. Namun, gejala lainnya belum hilang hingga saya masih tidak mungkin melakukan persiapan untuk sidang. Saya baru bisa menyusun tayangan presentasi sehari sebelum sidang dan nyaris tidak belajar apa-apa lagi. Hingga tiba di hari sidang, saya masih belum mampu bicara lebih dari enam kata tanpa batuk heboh dan mengeluarkan air mata. 




Selain masalah sakit, hal berikutnya yang ‘mengolahragakan jantung’ saya adalah absennya dosen pembimbing di masa-masa saya paling membutuhkannya. Setelah sidang praakhir, segunung perbaikan harus diselesaikan dalam waktu seminggu. Entah mengapa pembimbing saya malah memilih waktu tersebut untuk cuti ke luar kota. Ini mirip sekali dengan pengalaman 8 tahun yang lalu saat akan menyelesaikan skripsi: dosen pembimbing skripsi saya tiba-tiba pergi umrah!! Nasib kok ya nggak jauh-jauh.



Saya masih ingat dulu, saking semangatnya mengerjakan skripsi, saya mendeklarasikan target lulus saya dengan pede selangit: “Saya PASTI wisuda OKTOBER ini!” Beberapa sahabat yang mendengarnya segera menegur. “InsyaAllah,” koreksi mereka. Sayang, waktu itu kesadaran saya masih tersesat entah di alam mana. Dalam hati, saya memandang remeh koreksi para sahabat. Saya masih meyakini bahwa persoalan saya dalam hidup ini hanya soal kemauan. Kalau saya sudah bertekad, apa sih yang bisa menghalangi, pikir saya sinis. Lalu, DJEGAR ... dosen saya pergi, penyelesaian skripsi terundur, dan saya baru lulus sidang sarjana di bulan November. Tuhan tidak menunggu lama-lama untuk memberi saya pelajaran.



Itu benar-benar pelajaran yang sangat berharga dan mudah-mudahan akan terus saya ingat sampai tua. Berbekal pelajaran itu pula, kali ini saya tidak berani mengulangi kesalahan yang sama. Ya, saya memang punya target untuk lulus dari program S2 tepat waktu, yaitu bulan Januari ini. Namun, saya tidak berani mengatakan bahwa pasti saya berhasil mencapainya. Oleh berbagai kondisi yang tidak menguntungkan (jatuh sakit, dosen cuti, dll), saya dibantu agar siap jika kenyataan tidak sesuai dengan harapan. Ajaibnya, keihlasan itu justru menuntun pada beragam kemudahan.



Dalam sidang praakhir tesis, presentasi saya tidak selesai. Setelah lebih banyak batuk daripada berkata-kata, saya diminta hanya mempresentasikan bagian simpulan. Kemudian saat sesi tanya-jawab, rasanya seperti sedang les privat dengan tiga dosen penguji karena mereka hanya menyampaikan berbagai saran dengan lemah lembut. Sama sekali tidak terasa seperti sidang!



Berikutnya, perihal bimbingan terakhir. Karena tidak dapat bertatap muka langsung, saya dibimbing melalui fasilitas chat dan email, yang ternyata jauh lebih lancar dan memuaskan daripada sesi-sesi bimbingan dengan bertatap muka. Bayangkan saja, chat bimbingan itu bisa terus berbalas selama berjam-jam sejak Subuh hingga larut malam (Semoga kebaikan dosen saya itu  mendapat balasan berkali lipat, aamiin).



Lalu ada pula hal-hal kecil tapi tak kalah penting seperti gardu PLN yang ‘memilih’ untuk meledak sesaat setelah saya selesai mengerjakan perbaikan draf akhir tesis. Lebih ajaib lagi, listrik yang mati sekompleks perumahan ‘menunggu’ saya pulang ke rumah, sampai di kamar, baru kemudian menyala lagi. Allahuakbar.  



Perjuangan saya terkait tesis sebenarnya belum selesai. Masih ada satu tahap lagi yang harus saya hadapi, yaitu ujian akhir tesis yang akan berlangsung lusa. Namun, mudah-mudahan saya sudah lebih tenang. Banyak sekali pelajaran yang telah menunjukkan bahwa kewajiban saya hanya sampai memaksimalkan usaha. Perkara hasil, itu sudah berada di luar kuasa saya dan tidak ada gunanya saya melakukan apapun selain berserah diri. Bagaimana pun hasilnya lusa, saya yakin itulah ketetapan yang terbaik dan semoga saya dapat segera memahami segala hikmahnya. Jika berkenan, mohon doakan, ya. Terima kasih banyak! :)





Salam,

- H e i D Y -

Gambar-gambar di atas bukan koleksi pribadi. Saya mengambilnya dari sini dan sini. Terima kasih!

4 komentar:

Mesiyarti Munir mengatakan...

Heidy...legaaa yah rasanya udah lulus..ingin rasa itu...

D. Nariswari mengatakan...

Akhirnya baru sempat membaca tulisan ini dan senang sekali bisa mengetahui kisah di balik tesis mbak Heidy (mengingat kesempatan bertemu kita yang saat ini sulit sekali). Semoga setelah 'badai'ku berlalu, kita bisa bertemu dan bertukar cerita :D Sukses selalu untukmu, mbak! :)

petty mengatakan...

asiknya lulus S2 dy, pasti seneng banget :D

Heidy Kaeni mengatakan...

Waah maap baru liat ada komentar...

Meysi: alhamdulillah ada kelegaan, digantikan dengan ketegangan baru..hehehe. In sya Allah Mey bisa segera lulus juga, ya. Aamiin. Semangatt!

Citta: Sukses selalu juga, Cit!! Semoga badainya segera berlaluu...kangen sekali padamuu...

Petty: alhamdulillah, makasih Pet, iya senang, sekaligus tegang juga sih karena tanggungjawabnya nambah...hahhahaa