Beberapa hari yang lalu saya
tersentak ketika menemukan kata-kata belasungkawa di sebuah media sosial untuk
seorang teman lama. Saya pun turut menyampaikan ucapan dukacita, tidak melalui
media sosial, tetapi melalui SMS. Ini karena meskipun sudah menebak-nebak,
tetap saja saya belum yakin betul, siapa yang meninggal dunia. Jadi, melalui
SMS itu saya sekalian bertanya walaupun tak berharap si pesan singkat akan
terbalas dengan cepat. Ternyata teman saya yang sedang berduka tersebut dapat
segera membalas pesan saya dan membenarkan dugaan saya dalam hati: yang
meninggal dunia adalah suaminya.
Meskipun tidak dekat dengannya
(kami teman sekampus, tetapi berbeda jurusan dan saya hanya mengenalnya dari 2
mata kuliah yang kebetulan kami ikuti bersama-sama), saya benar-benar merasa
ikut sedih sekali dan prihatin. Saya ingat bahwa tahun lalu, ketika kami masih
mengikuti mata kuliah yang sama, suaminya pun sudah beberapa kali mengalami
serangan jantung. Keprihatinan saya sebagai sesama perempuan yang telah
bersuami terhadap hal itu pun pernah saya tuangkan di sini.
Tahun lalu, saat teman saya itu
beberapa kali tidak dapat mengikuti kuliah dan mengumpulkan tugas-tugasnya,
sang dosen pengampu memberikan nasihatnya bagi kami yang hadir. Nasihat itu
masih saya ingat sampai sekarang, dan seolah suara dosen favorit saya itu
terngiang kembali dalam kepala saya. Kurang lebih beginilah bunyinya:
“Prioritaskan keluarga. Keluarga itu nomor satu. Untuk apa mengejar kepentingan
lain seperti kuliah atau pekerjaan jika keluarga terlantar? Jumlah kehadiran
kurang, tidak mengumpulkan tugas, atau tidak presentasi hanya akan berakibat ke
nilai. Sementara itu bagaimana akibatnya meninggalkan keluarga yang sakit?
Kalau sampai terjadi apa-apa, penyesalannya seumur hidup, tidak tergantikan.”
Tentu saja setelah nasihat di
atas pertama kali diperdengarkan tahun lalu, kami semua (termasuk sang dosen)
juga mendoakan agar suami teman saya itu dapat segera sembuh. Banyak di antara
kami yang terkesan sekali oleh nasihat tersebut dan berharap dapat mengingat
serta mengamalkannya seumur hidup. Saya pun demikian. Kini, setelah mendengar
bahwa suami teman saya itu telah berpulang, ‘alarm pengingat’ saya seolah
berbunyi. Tidak ada yang tahu persis kapan seorang anak manusia akan berpulang,
meskipun ia adalah anggota keluarga terdekat atau bahkan ‘belahan jiwa’ kita.
Namun, semoga kita dapat mencegah penyesalan di akhir masa kebersamaan itu
dengan memaksimalkan upaya-upaya dalam menyampaikan kasih sayang kita pada mereka. Semoga teman saya yang telah setia dan sabar mendampingi serta mencurahkan perhatian pada suaminya itu kini tidak punya penyesalan dan dapat benar-benar mengikhlaskan kepergian almarhum.
Saya teringat pengalaman
beberapa belas tahun yang lalu, ketika Eyang Mama, sebutan saya untuk ibu dari
papa saya, meninggal dunia. Eyang saya itu meninggal setelah beberapa tahun
lamanya menderita beberapa penyakit. Salah satunya adalah demensia yang
berkenaan dengan ingatannya. Setelah jatuh sakit, eyang saya hanya mengingat
dan membicarakan peristiwa-peristiwa yang telah berpuluh-puluh tahun berlalu
dan hampir tidak dapat mengingat apapun yang termasuk ke dalam golongan ‘memori
jangka pendek’.
Terkait hal tersebut, ada suatu
peristiwa yang saya kenang hingga sekarang. Pada suatu hari, saya, Papa, Mama,
dan kedua adik saya mengunjungi Eyang Mama. Saat akan pulang, seperti biasa,
kami berpamitan dengan mencium tangan dan kedua pipinya dan Papa saya selalu
mendapat giliran terakhir untuk itu. Setelah selesai berpamitan dan sudah
mendekati pagar, Papa dipanggil kembali oleh Eyang, “Wan (panggilan beliau
untuk papa saya)... sun (cium)!” Kami yang mendengarnya pun geli. Kan, baru
saja dicium? Namun, Papa saya hanya tersenyum lalu kembali mendatangi dan
mencium Eyang. Tidak selesai di situ, beberapa kali kemudian eyang saya
masih saja lupa bahwa beliau telah dipamiti dan dicium. Tanpa pernah
menggerutu, papa saya pun terus menuruti permintaan Eyang.
Kejadian di atas pun diingat
betul oleh mama saya di hari kepergian Eyang. Tentu saja Papa menjadi salah
satu orang yang paling merasa kehilangan pada hari itu. Namun, saya melihat kerelaan
dan keikhlasan yang nyata pada sikapnya. Mama mengaitkannya dengan upaya Papa
yang telah maksimal dalam mewujudkan kasih sayangnya pada Eyang, terutama di
hari-hari terakhirnya. “Seribu kali pun harus bolak-balik dari pagar untuk
mencium Eyang waktu itu, pasti papa kalian akan lakukan. Tidak ada penyesalan
sekarang. Contohlah yang seperti itu,” kata Mama penuh haru.
Inna lillahi wa inna ilaihi rojiuun. Sesungguhnya kita semua adalah kepunyaan Allah dan kepadaNya jugalah kita
akan kembali. Hari kembali itu memang tidak dapat diketahui sebelumnya secara
tepat, tapi pasti datang. Entah diri sendiri yang terlebih dahulu berpulang atau
orang-orang terkasih yang duluan pergi meninggalkan kita. Dari jalan mana
pun, perpisahan itu akan terjadi. Maka, dalam kesempatan yang masih diberikan
untuk bersama-sama, sikap seperti apa yang sebaiknya kita wujudkan, hingga
tiada penyesalan kelak di akhir masa?
Salam,
-H e i D Y-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar