Rabu, 29 Januari 2014

Hingga Tiada Penyesalan


Beberapa hari yang lalu saya tersentak ketika menemukan kata-kata belasungkawa di sebuah media sosial untuk seorang teman lama. Saya pun turut menyampaikan ucapan dukacita, tidak melalui media sosial, tetapi melalui SMS. Ini karena meskipun sudah menebak-nebak, tetap saja saya belum yakin betul, siapa yang meninggal dunia. Jadi, melalui SMS itu saya sekalian bertanya walaupun tak berharap si pesan singkat akan terbalas dengan cepat. Ternyata teman saya yang sedang berduka tersebut dapat segera membalas pesan saya dan membenarkan dugaan saya dalam hati: yang meninggal dunia adalah suaminya.

Meskipun tidak dekat dengannya (kami teman sekampus, tetapi berbeda jurusan dan saya hanya mengenalnya dari 2 mata kuliah yang kebetulan kami ikuti bersama-sama), saya benar-benar merasa ikut sedih sekali dan prihatin. Saya ingat bahwa tahun lalu, ketika kami masih mengikuti mata kuliah yang sama, suaminya pun sudah beberapa kali mengalami serangan jantung. Keprihatinan saya sebagai sesama perempuan yang telah bersuami terhadap hal itu pun pernah saya tuangkan di sini.

Tahun lalu, saat teman saya itu beberapa kali tidak dapat mengikuti kuliah dan mengumpulkan tugas-tugasnya, sang dosen pengampu memberikan nasihatnya bagi kami yang hadir. Nasihat itu masih saya ingat sampai sekarang, dan seolah suara dosen favorit saya itu terngiang kembali dalam kepala saya. Kurang lebih beginilah bunyinya: “Prioritaskan keluarga. Keluarga itu nomor satu. Untuk apa mengejar kepentingan lain seperti kuliah atau pekerjaan jika keluarga terlantar? Jumlah kehadiran kurang, tidak mengumpulkan tugas, atau tidak presentasi hanya akan berakibat ke nilai. Sementara itu bagaimana akibatnya meninggalkan keluarga yang sakit? Kalau sampai terjadi apa-apa, penyesalannya seumur hidup, tidak tergantikan.”

Tentu saja setelah nasihat di atas pertama kali diperdengarkan tahun lalu, kami semua (termasuk sang dosen) juga mendoakan agar suami teman saya itu dapat segera sembuh. Banyak di antara kami yang terkesan sekali oleh nasihat tersebut dan berharap dapat mengingat serta mengamalkannya seumur hidup. Saya pun demikian. Kini, setelah mendengar bahwa suami teman saya itu telah berpulang, ‘alarm pengingat’ saya seolah berbunyi. Tidak ada yang tahu persis kapan seorang anak manusia akan berpulang, meskipun ia adalah anggota keluarga terdekat atau bahkan ‘belahan jiwa’ kita. Namun, semoga kita dapat mencegah penyesalan di akhir masa kebersamaan itu dengan memaksimalkan upaya-upaya dalam menyampaikan kasih sayang kita pada mereka. Semoga teman saya yang telah setia dan sabar mendampingi serta mencurahkan perhatian pada suaminya itu kini tidak punya penyesalan dan dapat benar-benar mengikhlaskan kepergian almarhum.


Saya teringat pengalaman beberapa belas tahun yang lalu, ketika Eyang Mama, sebutan saya untuk ibu dari papa saya, meninggal dunia. Eyang saya itu meninggal setelah beberapa tahun lamanya menderita beberapa penyakit. Salah satunya adalah demensia yang berkenaan dengan ingatannya. Setelah jatuh sakit, eyang saya hanya mengingat dan membicarakan peristiwa-peristiwa yang telah berpuluh-puluh tahun berlalu dan hampir tidak dapat mengingat apapun yang termasuk ke dalam golongan ‘memori jangka pendek’.

Terkait hal tersebut, ada suatu peristiwa yang saya kenang hingga sekarang. Pada suatu hari, saya, Papa, Mama, dan kedua adik saya mengunjungi Eyang Mama. Saat akan pulang, seperti biasa, kami berpamitan dengan mencium tangan dan kedua pipinya dan Papa saya selalu mendapat giliran terakhir untuk itu. Setelah selesai berpamitan dan sudah mendekati pagar, Papa dipanggil kembali oleh Eyang, “Wan (panggilan beliau untuk papa saya)... sun (cium)!” Kami yang mendengarnya pun geli. Kan, baru saja dicium? Namun, Papa saya hanya tersenyum lalu kembali mendatangi dan mencium Eyang. Tidak selesai di situ, beberapa kali kemudian eyang saya masih saja lupa bahwa beliau telah dipamiti dan dicium. Tanpa pernah menggerutu, papa saya pun terus menuruti permintaan Eyang.

Kejadian di atas pun diingat betul oleh mama saya di hari kepergian Eyang. Tentu saja Papa menjadi salah satu orang yang paling merasa kehilangan pada hari itu. Namun, saya melihat kerelaan dan keikhlasan yang nyata pada sikapnya. Mama mengaitkannya dengan upaya Papa yang telah maksimal dalam mewujudkan kasih sayangnya pada Eyang, terutama di hari-hari terakhirnya. “Seribu kali pun harus bolak-balik dari pagar untuk mencium Eyang waktu itu, pasti papa kalian akan lakukan. Tidak ada penyesalan sekarang. Contohlah yang seperti itu,” kata Mama penuh haru.

Inna lillahi wa inna ilaihi rojiuun. Sesungguhnya kita semua adalah kepunyaan Allah dan kepadaNya jugalah kita akan kembali. Hari kembali itu memang tidak dapat diketahui sebelumnya secara tepat, tapi pasti datang. Entah diri sendiri yang terlebih dahulu berpulang atau orang-orang terkasih yang duluan pergi meninggalkan kita. Dari jalan mana pun, perpisahan itu akan terjadi. Maka, dalam kesempatan yang masih diberikan untuk bersama-sama, sikap seperti apa yang sebaiknya kita wujudkan, hingga tiada penyesalan kelak di akhir masa?

Salam,
-H e i D Y-

Tidak ada komentar: