Saya lupa bagaimana awal tercetusnya ide tantangan ini dalam diskusi salah satu grup whatsapp
yang saya ikuti. Gagasannya adalah menghasilkan 30 buah tulisan di blog dalam
kurun waktu sebulan, yaitu pada Januari 2014. Bagi beberapa orang, tujuannya adalah
belajar membiasakan diri untuk menulis. Bagi yang sudah terbiasa menulis, hmm...mungkin
berarti belajar meningkatkan apa pun yang bisa ditingkatkan dari kebiasaan itu,
ya? Nah, rasanya saya langsung tahu tujuan mana yang lebih sesuai untuk saya
sendiri.
Saya harus banyak-banyak bersyukur salah satunya untuk hal
‘terbiasa menulis’. Sejak bisa merangkai huruf, hal itu tidak pernah menjadi
masalah bagi saya. Saya suka menulis dan saya selalu menulis. Tidak harus di
blog. Di buku jurnal pribadi, di fail-fail komputer yang ‘digembok’ dengan kata
kunci, di kertas-kertas bekas, hingga di lembaran tisu makan. Pokoknya, di mana
saja yang paling sesuai dengan kebutuhan saya saat itu. Kebutuhan? Ya, kebutuhan.
Saya menulis karena butuh. Hampir setiap saat saya butuh menulis. Saat
imajinasi menyesakkan kepala, saat kemarahan atau kesedihan memenuhi hati, atau
saat tanggapan atas suatu hal belum/tidak dapat disampaikan secara lisan atau
terbuka.
Namun, saya bukannya tidak punya masalah perihal menulis.
Salah satunya terbukti dari ketidakrutinan saya mempublikasikan tulisan-tulisan
yang saya ciptakan. Apa masalahnya? Banyak! Pertama, dengan kebiasaan saya menulis
hampir setiap saat, sebagian besar tulisan saya tidak selesai. Ingat, saya
menulis karena butuh. Kalau kebutuhan itu sudah terpenuhi, ya saya berhenti. Saat
menulis di jurnal karena ingin menumpahkan kemarahan dan kesedihan, misalnya. Ketika
seluruh emosi sudah ditumpahkan, ya sudah, sampai mana pun, saya akhiri dengan tanda
tangan. Begitu pula saat ingin ‘menaruh’ imajinasi yang mendesak-desak ruang
dalam otak. Saya cenderung berhenti ketika merasa ‘ruang’ itu sudah terasa
leluasa. Lalu kapan meneruskan teks imajinatif itu? Kapan-kapan!
Masalah kedua adalah saya cenderung lupa waktu kalau sudah
menulis dan tiba-tiba bisa saja saya sudah menulis belasan halaman. Orang macam
apa yang saya harapkan mau membaca tulisan yang seperti itu untuk iseng-iseng? Kecuali
berhadiah, mungkin.
Beberapa teman pernah menyatakan kekagumannya karena saya
bisa membuat tulisan-tulisan panjang. Bagi saya, penilaian itu kurang tepat. Saya
sendiri merasa menulis panjang itu tidak membutuhkan keahlian khusus. Apa yang
saya lakukan untuk menghasilkan tulisan yang panjang? Hanya duduk dan
memindahkan semua isi kepala (atau hati) tanpa banyak pertimbangan. Ini bisa
diibaratkan dengan menyetir mobil. Duduk, injak pedal gas, tanpa mengerem atau mengganti-ganti
gigi persneling. Surga! Nah, bukankah itu hanya mungkin terjadi di jalan bebas
hambatan (dan rasa-rasanya bukan di Jakarta)? Semakin minim hambatan, semakin
kurang dibutuhkannya keahlian khusus. Bukankah
sopir paling canggih adalah yang mampu menaklukkan jalan yang penuh rintangan
seperti dihalangi angkot yang mengetem, diserobot motor-motor ‘hantu’ (disebut
demikian karena tiba-tiba saja muncul dari ketiadaan di depan moncong mobil), atau
‘ditemani’ mobil-mobil lain dari semua sisi dalam jarak kurang dari lima puluh sentimeter?
Hanya orang yang telah mahir memainkan kombinasi kemudi, gas, dan kopling yang
dapat selamat di ‘jalan kaya hambatan’ itu.
Nah, ... lho, kok jadi ngomongin mobil??? Duh. Lihat, kan, saya langsung bisa membuktikan bagaimana saya bisa mempunyai masalah nomor dua ini. Baik, saya akan
berhenti di sini dan kembali ke si masalah tulisan panjang.
Jadi, bagi saya, menghasilkan tulisan panjang itu mudah
karena tidak perlu sering mengerem dan berstrategi dalam merangkum dan
menyimpulkan isi otak (hiiy..) agar terwujud tulisan ringkas yang sarat makna
tetapi mudah dan menarik bagi orang lain. Karena itulah, saya justru kagum pada
siapa pun yang dapat menuangkan pemikirannya yang ‘kaya’ dalam tulisan
pendek. Dalam prosesnya tentu ia sudah canggih sekali bermain rem, gas, dan
kopling! Eh, balik maning ke nyetir... maaaap!
:D
Setelah masalah kedua, sebetulnya masih ada masalah-masalah
lainnya di balik mengapa-tulisan-saya-tidak-terlalu-sering-dipamerkan. Namun,
sebagian besar di antaranya hanya berkaitan dengan perasaan. Karena saya sedang
tidak ingin ‘menye-menye’ (baca: lain kali boleh dong, yaa), kali ini saya
cukupkan saja dengan mengungkapkan dua masalah di atas.
Dengan demikian, tantangan #30tulisan yang berarti tantangan
menulis-bukan-untuk-disimpan-sendiri menjadi
gagasan yang sangat menarik bagi saya. Bukan karena ingin memperoleh kebiasaan
menulis, melainkan karena saya ingin lebih banyak menghasilkan tulisan yang ‘selesai’
dan ingin lebih canggih dalam bermain kop....eh, maksud saya, dalam menyusun
tulisan yang ringkas. Terima kasih untuk para penggagas ide ini! Mudah-mudahan
saya selamat dalam perjalanan ini, aamiin. Mari belajar!
Oh, ya. Apakah tulisan ini sudah cukup ringkas dan mudah
dibaca?
Salam,
Heidy
Catatan:
Berikut blog-blog yang terdaftar
dalam tantangan #30tulisan ini.
Mari berkunjung!
Gambar diambil dari sini. Terima kasih!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar