Kamis, 23 Januari 2014

Di Balik Kelulusan




Baiklah. Ini kelanjutan dari cerita yang saya publikasikan sebelumnya: Di Balik Tesis. Di akhir tulisan itu, saya sempat minta didoakan karena akan menghadapi ujian akhir tesis yang sekaligus menjadi syarat terakhir untuk lulus dari program magister yang saya ikuti. Rasanya kok ya tidak sopan kalau setelah itu, saya tidak ‘lapor’.  

Segala puji dan syukur bagi Allah SWT. Minggu lalu, tepatnya pada hari Rabu, 15 Januari 2014, saya dinyatakan lulus setelah berhasil mempertahankan tesis saya dalam ujian tesis tersebut. Kenapa ada kata ‘mempertahankan’, komentar iseng seorang teman. Ya karena memang itulah yang terjadi saat sidang. Keputusan meluluskan atau tidak meluluskan seorang mahasiswa dari sidang itu didasarkan pada kemampuannya mempertanggungjawabkan apapun yang ditulisnya dalam tesis. Apa maksudnya kalimat A dan tabel B, lalu mengapa menggunakan metode C dan bukan D, dan seterusnya, harus dapat dijelaskan dengan baik. Setelah argumen-argumen yang diajukan tidak terbantahkan, saat itulah dapat dikatakan bahwa tesis tersebut berhasil dipertahankan.

Hingga sebelum ujian dimulai, sesungguhnya ada satu kekhawatiran saya yang sangat sulit disingkirkan terkait tesis yang saya ajukan. Penelitian saya adalah kajian wacana kritis, sebuah studi yang bersifat interdisipliner. Meskipun berangkat dari ilmu linguistik yang saya tekuni, dalam perjalanan saya harus ‘menyebrang’ ke ilmu filsafat dan psikologi. Jadi, apa yang saya hasilkan bukan sesuatu yang telah ada ‘pedoman standar’nya dalam  bidang ilmu tertentu, melainkan hasil menyarikan beberapa ‘resep’, menyesuaikan dengan bahan-bahan yang saya punya, dan meramu semuanya hingga menjadi jenis hidangan baru ala saya. Melihat penelitian beberapa teman lain yang sejak awal sudah jelas ‘rumus’nya, juga mengingat kembali riset saya sendiri di bidang ilmu eksakta pada tahap sarjana dulu, saya sempat tidak percaya diri dengan tesis yang saya ajukan.

Saat ujian telah berlangsung, pemahaman atas hal itu baru saya temukan, bersamaan dengan meluncurnya penjelasan-penjelasan yang saya berikan pada dewan penguji terkait riset yang saya lakukan. Tidak adanya pertanyaan penguji yang tidak bisa saya jawab mengingatkan saya pada pesan seorang sahabat (yang sudah lebih dulu mengalami apa yang namanya sidang tesis) beberapa hari sebelumnya, “Inget yang paling tahu tentang tesis lo cuma lo, jadi ga usah grogi ya”. Ternyata terbukti, memang tidak ada alasan untuk grogi menghadapi sidang tesis jika kita memang mengerjakan sendiri tesis tersebut. Karena kita sendiri yang mengerjakan, tentu kita tahu paham betul apa isi tesis itu dan mengapa dilakukan sedemikian rupa. Dengan kata lain, otomatis kita dapat mempertanggungjawabkannya.

Kelegaan saya semakin bertambah ketika penguji terakhir berkata, “A hanya punya teori umum tentang B dan tidak merujuk khusus tentang C, tetapi Anda dapat dengan kreatif membuat jembatan dari teori A ke teori-teori lainnya hingga berhasil merumuskan mengenai C,” Alhamdulillah, ternyata usaha saya mendapat apresiasi, bukan caci maki.

Meskipun studi yang saya tempuh kali ini benar-benar tidak mengecewakan minat saya, melaluinya sama sekali tidak mudah. Lebih-lebih pada saat mengerjakan tesis. Bukannya tidak pernah, saya disetani nafsu ingin menyerah dan bersantai-santai dulu. Namun, alhamdulillah, nafsu tersebut akhirnya dapat dikalahkan oleh motivasi yang kuat (baca: salah satunya yaitu membayangkan isi rekening yang akan terkuras terus jika tidak segera lulus ... hahaha). Ketika kesusahan yang dialami tidak juga berkurang, saya segera menguatkan sang hati dengan berkata padanya, “Kalau nggak susah seperti ini, apa artinya sekolah, nggak sekolah pun bisa. Kesusahan inilah yang menjadikan kelulusan nanti terasa indah. Makin pahit usahanya, makin manis hasilnya.” Lalu saya pun kembali pada nasihat lama, “....bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”, dan selama beberapa waktu menunda segala kesenangan untuk satu tujuan: segera lulus.

Benarlah. Ketika ketua dewan penguji mengumumkan kelulusan saya dengan nilai yang tak disangka-sangka, saya hampir tidak bisa berkata-kata. Mungkin karena melihat reaksi saya, dosen saya itu langsung menambahkan sambil tersenyum, “Di sinilah terlihat bagaimana sebuah kerja keras terbayar manis, ya,” Huaaa ... makin manis, makin mau nangis.

Sesungguhnya ada satu hal yang sempat saya sesali, yaitu saya tidak lulus ramai-ramai dengan semua teman seangkatan yang telah berjuang bersama selama 2 tahun. Meskipun dalam bentuk yang berbeda-beda, mereka semua mengalami berbagai cobaan yang tidak ringan dalam mengerjakan tesis masing-masing. Namun saya kembali teringat pada penghiburan yang saya berikan pada hati sendiri di atas. Semakin pahit perjuangannya, semakin manis kesuksesannya. Saya yakin, teman-teman saya yang sekarang masih berjuang sekuat tenaga mengerjakan tesis mereka kelak akan mendapatkan hadiahnya masing-masing, dengan keindahan tersendiri, hingga dapat lebih dalam memaknai kelulusannya.

Jadi, ada apa di balik kelulusan? Tentu saja, perjuangan.
Tanpa perjuangan, apakah sebuah kelulusan ada artinya?


Ditulis dengan segenap doa dan cinta untuk teman-temanku yang terus berjuang, semoga kalian dilimpahi semangat selalu. Semangat lulus!
-          H e i D Y - 

2 komentar:

D. Nariswari mengatakan...

Aamiin.. Terima kasih untuk tulisan yang mengandung doa sekaligus motivasi untuk kami-kami sang pejuang yang tersisa *halah pilihan katanya* :))

Heidy Kaeni mengatakan...

Alhamdulillah kalau berhasil memotivasi... SEMANGAT TEMPUR!
*berusaha menyaingi pilihan kata* :D