Sabtu, 25 Januari 2014

Peran Bahasa Terkait Kognisi dan Budaya

Ini sebetulnya hutang saya (pada diri sendiri) sejak mempublikasikan tulisan mengenai budaya dan kebudayaan. Kala itu, saya akan mengikuti mata kuliah berjudul Bahasa, Kognisi, dan Budaya. Seiring waktu, saya bersyukur karena banyak sekali ilmu yang saya peroleh dari mata kuliah tersebut dan berjanji akan segera meneruskannya. Namun, berbagai kesibukan membuat saya baru teringat lagi hari ini, dan menyadari bahwa sudah lewat setahun sejak itu. Nah, untuk mencegah 'penguapan' ilmu yang telah saya peroleh, dan demi memaksimalkan manfaatnya, lebih baik hutang itu segera saya bayar. Di bawah ini saya membuat sintesis berdasarkan pemikiran beberapa pakar mengenai peran bahasa terkait kognisi dan budaya.

Bahasa adalah salah satu aspek kebudayaan. Jika dibandingkan dengan aspek kebudayaan lainnya, bahasa adalah yang termudah untuk dipelajari dan deskripsinya merupakan yang termudah untuk dirumuskan. Karena itu, menurut Burling (dalam Spradley, 1972, hlm. 84-99), suatu kebudayaan dapat diteliti dengan menggunakan pendekatan teori bahasa. Burling berpendapat bahwa deskripsi etnografi secara umum sejalan dengan deskripsi gramatikal. Jadi, teknik linguistik sebenarnya dapat digunakan dalam penelitian-penelitian etnografi, hanya saja selama ini belum banyak digunakan.


Sebagaimana halnya kebudayaan, bahasa dipandang sebagai suatu hal dalam sebuah kelompok sosial yang dilestarikan sekaligus terus menerus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Baik bahasa maupun kebudayaan dianggap memiliki struktur tertentu.  Salah satu contoh yang diberikan oleh Burling adalah deskripsi etnografi yang dapat dijelaskan oleh deskripsi tata bahasa. Dalam penelitiannya terhadap komposisi rumahtangga Garo di Assam, India, ia menunjukkan bahwa variasi komposisi rumah tangga pada masyarakat tersebut memiliki kemiripan dengan aturan-aturan gramatikal. Dengan menggunakan teknik linguistik, dapat diperoleh deskripsi etnografi yang lebih jelas.


Kita dapat memahami perilaku seseorang melalui bahasa. Goodenough (1981, hlm. 5) mengatakan bahwa untuk memahami suatu bahasa, kita harus mempelajari standar-standar tertentu di dalamnya yang diatur dalam sistem fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan simbolik. Semua sistem tersebut merupakan konsep yang secara universal ada dalam setiap bahasa. Konten bahasa ini penting karena merupakan dasar termudah untuk melakukan analisis budaya dalam penelitian yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat tertentu. Dalam upaya menjelaskan suatu budaya, Goodenough juga menyebutkan bahwa menggunakan pendekatan emik sangat penting. Berbeda dengan pendekatan pendekatan etik, yaitu deskripsi perilaku yang masih dipengaruhi oleh keyakinan sang peneliti, pendekatan emik adalah deskripsi perilaku atau keyakinan yang bermakna bagi pelaku budaya itu sendiri.


Bahasa dapat dilihat sebagai kata-kata serta cara memadukan dan mengungkapkannya untuk mengkomunikasikan ide-ide (Stross, dalam Casson, 1981, hlm. 11). Kata-kata dalam bahasa manusia merupakan simbol-simbol yang memiliki hubungan arbitrer dengan referennya. Baik dalam bahasa maupun kebudayaan, simbol-simbol atau tanda digunakan setiap individu untuk mengkomunikasikan gagasannya kepada yang lain.  


Kompetensi budaya, termasuk di dalamnya kompetensi linguistik, tidak menggambarkan sistem kognitif seseorang secara keseluruhan. Sistem kognitif setiap orang meliputi proses dan struktur kognitif istimewa yang merupakan elemen dasar dari kepribadian uniknya. Wallace (dalam Casson, 1981, hlm. 20-21) menggambarkan kehadiran skemata sebagai abstraksi-abstraksi konseptual dalam otak yang menghubungkan stimuli yang diterima oleh indera dan respon perilaku. 


Skemata merupakan dasar untuk mengatur informasi yang diterima seseorang. Skemata dapat dibedakan berdasarkan distribusinya dalam populasi: skemata universal, skemata individu, dan skemata budaya. Dalam sistem skemata budaya, terdapat skemata bahasa sebagai salah satu subsistemnya. Beberapa skemata budaya dapat direpresentasikan melalui skemata bahasa. Contohnya adalah klasifikasi tumbuhan, penyakit, dan kekerabatan yang secara umum dikodekan dalam kata-kata. Pada umumnya, skemata budaya dan skemata bahasa tidak diajarkan. Dalam kehidupan nyata, kita dapat melihat hal ini dari seorang ibu yang tidak menjelaskan aturan sintaksis atau klasifikasi organisasi kepada anaknya tentang . Dalam proses belajarnya, seorang anak cukup memperhatikan bagaimana sang ibu berbahasa dan berperilaku.


Jadi, fenomena lingustik perlu dilihat sebagai suatu bagian kebudayaan meskipun sebagian besar lainnya dari kebudayaan merupakan bentuk non-linguistik (Bloch, dalam Borofsky, 1994, hlm. 276-283). Menurut Bloch, kebudayaan memang bukan linguistik dan tidak menyerupai bahasa, tetapi bukan berarti bahasa tidak penting bagi kebudayaan. Alih-alih memanfaatkan bahasa begitu saja, kita perlu memandang kehadiran bahasa sebagai penjelasan yang dibutuhkan dalam kaitannya dengan kognisi dan budaya.
 
Referensi


Borofsky, Robert. 1994. Assessing Cultural Anthropology. New York: McGraw Hill.
Casson, Ronald W., ed. 1981. Language, Culture, and Cognition. London: Macmillan Publishing Co., Inc.
Goodenough, Ward H., ed. 1981. Culture, Language, and Society. California: The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc.
Spradley, James P., ed. 1971. Culture and Cognition:Rules, Maps, and Plans. San Fransisco: Chandler Publ. Co.

 

Tidak ada komentar: