Ini sebetulnya hutang saya (pada diri sendiri) sejak mempublikasikan tulisan mengenai budaya dan kebudayaan. Kala itu, saya akan mengikuti mata kuliah berjudul Bahasa, Kognisi, dan Budaya. Seiring waktu, saya bersyukur karena banyak sekali ilmu yang saya peroleh dari mata kuliah tersebut dan berjanji akan segera meneruskannya. Namun, berbagai kesibukan membuat saya baru teringat lagi hari ini, dan menyadari bahwa sudah lewat setahun sejak itu. Nah, untuk mencegah 'penguapan' ilmu yang telah saya peroleh, dan demi memaksimalkan manfaatnya, lebih baik hutang itu segera saya bayar. Di bawah ini saya membuat sintesis berdasarkan pemikiran beberapa pakar mengenai peran bahasa terkait kognisi dan budaya.
Bahasa adalah salah satu aspek kebudayaan. Jika
dibandingkan dengan aspek kebudayaan lainnya, bahasa adalah yang termudah untuk
dipelajari dan deskripsinya merupakan yang termudah untuk dirumuskan. Karena
itu, menurut Burling (dalam Spradley, 1972, hlm. 84-99), suatu kebudayaan dapat diteliti
dengan menggunakan pendekatan teori bahasa. Burling berpendapat bahwa deskripsi
etnografi secara umum sejalan dengan deskripsi gramatikal. Jadi, teknik linguistik
sebenarnya dapat digunakan dalam penelitian-penelitian etnografi, hanya saja selama
ini belum banyak digunakan.
Sebagaimana halnya kebudayaan, bahasa dipandang
sebagai suatu hal dalam sebuah kelompok sosial yang dilestarikan sekaligus
terus menerus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Baik bahasa maupun
kebudayaan dianggap memiliki struktur tertentu.
Salah satu contoh yang diberikan oleh Burling adalah deskripsi etnografi
yang dapat dijelaskan oleh deskripsi tata bahasa. Dalam penelitiannya terhadap
komposisi rumahtangga Garo di Assam, India, ia menunjukkan bahwa variasi
komposisi rumah tangga pada masyarakat tersebut memiliki kemiripan dengan
aturan-aturan gramatikal. Dengan menggunakan teknik linguistik, dapat diperoleh deskripsi etnografi yang lebih
jelas.
Kita dapat memahami perilaku seseorang melalui
bahasa. Goodenough (1981, hlm. 5) mengatakan bahwa untuk memahami suatu bahasa, kita harus
mempelajari standar-standar tertentu di dalamnya yang diatur dalam sistem
fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan simbolik. Semua sistem tersebut merupakan
konsep yang secara universal ada dalam setiap bahasa. Konten bahasa ini penting
karena merupakan dasar termudah untuk melakukan analisis budaya dalam
penelitian yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat tertentu. Dalam upaya
menjelaskan suatu budaya, Goodenough juga menyebutkan bahwa menggunakan
pendekatan emik sangat penting. Berbeda dengan pendekatan pendekatan etik,
yaitu deskripsi perilaku yang masih dipengaruhi oleh keyakinan sang peneliti,
pendekatan emik adalah deskripsi perilaku atau keyakinan yang bermakna bagi
pelaku budaya itu sendiri.
Bahasa dapat dilihat sebagai kata-kata serta
cara memadukan dan mengungkapkannya untuk mengkomunikasikan ide-ide (Stross,
dalam Casson, 1981, hlm. 11). Kata-kata dalam bahasa manusia merupakan simbol-simbol
yang memiliki hubungan arbitrer dengan referennya. Baik dalam bahasa maupun
kebudayaan, simbol-simbol atau tanda digunakan setiap individu untuk
mengkomunikasikan gagasannya kepada yang lain.
Kompetensi budaya, termasuk di dalamnya
kompetensi linguistik, tidak menggambarkan sistem kognitif seseorang secara
keseluruhan. Sistem kognitif setiap orang meliputi proses dan struktur kognitif
istimewa yang merupakan elemen dasar dari kepribadian uniknya. Wallace (dalam
Casson, 1981, hlm. 20-21) menggambarkan kehadiran skemata sebagai abstraksi-abstraksi
konseptual dalam otak yang menghubungkan stimuli yang diterima oleh indera dan
respon perilaku.
Skemata merupakan dasar untuk mengatur informasi
yang diterima seseorang. Skemata dapat dibedakan berdasarkan distribusinya
dalam populasi: skemata universal, skemata individu, dan skemata budaya. Dalam
sistem skemata budaya, terdapat skemata bahasa sebagai salah satu subsistemnya.
Beberapa skemata budaya dapat direpresentasikan melalui skemata bahasa.
Contohnya adalah klasifikasi tumbuhan, penyakit, dan kekerabatan yang secara
umum dikodekan dalam kata-kata. Pada umumnya, skemata budaya dan skemata bahasa tidak
diajarkan. Dalam kehidupan nyata, kita dapat melihat hal ini dari seorang ibu yang tidak menjelaskan aturan sintaksis atau klasifikasi
organisasi kepada anaknya tentang . Dalam proses belajarnya, seorang anak cukup memperhatikan
bagaimana sang ibu berbahasa dan berperilaku.
Jadi, fenomena lingustik perlu dilihat sebagai suatu bagian kebudayaan meskipun sebagian besar
lainnya dari kebudayaan merupakan bentuk non-linguistik (Bloch, dalam Borofsky, 1994, hlm. 276-283). Menurut Bloch, kebudayaan
memang bukan linguistik dan tidak menyerupai bahasa, tetapi bukan berarti
bahasa tidak penting bagi kebudayaan. Alih-alih memanfaatkan bahasa begitu
saja, kita perlu memandang kehadiran bahasa sebagai penjelasan yang dibutuhkan
dalam kaitannya dengan kognisi dan budaya.
Referensi
Borofsky, Robert. 1994. Assessing Cultural Anthropology. New
York: McGraw Hill.
Casson, Ronald W., ed. 1981. Language, Culture, and Cognition. London: Macmillan Publishing Co., Inc.
Casson, Ronald W., ed. 1981. Language, Culture, and Cognition. London: Macmillan Publishing Co., Inc.
Goodenough, Ward H., ed. 1981. Culture, Language, and Society. California: The Benjamin/Cummings Publishing
Company, Inc.
Spradley, James P., ed. 1971. Culture and
Cognition:Rules, Maps, and Plans. San Fransisco:
Chandler Publ. Co.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar