Jumat, 24 Januari 2014

Di Balik Gelar


"Selamat yaaa udah luluuus!!"
"Alhamdulillah, makasiih!"
"Lega dan seneng banget yaa pastii udah luluus, apalagi nilainya baguuus,"
"Alhamdulillah... iya seneng dan lega, lalu berganti dengan ketegangan dan kekhawatiran lainnya.."

Itulah yang saya rasakan. Saya tidak membantah jika kelulusan saya dari sekolah terakhir menimbulkan rasa senang dan lega. Namun, di saat yang sama, muncul ketegangan dan kekhawatiran lainnya berkaitan dengan pemberian gelar itu sendiri. Ini serupa halnya dengan pengalaman saya sembilan tahun yang lalu. Dalam ijazah S1, saya melihat tulisan berikut di bawah pernyataan pemberian gelar kepada saya:
beserta segala hak dan kewajiban yang melekat pada gelar tersebut.

Seperti halnya pada suatu jabatan, posisi, dan sebagainya, ada kewajiban tertentu yang melekat pada gelar akademik seseorang. Makin tinggi pendidikannya, makin besar pula porsi kewajiban yang dituntut darinya untuk dapat berguna bagi dunia. Dengan kata lain, tanggung jawabnya semakin berat.

Hal yang sama berlaku pula di bidang akademik. Beberapa waktu yang lalu, seorang teman sempat mencurahkan perasaanya tentang nilai kurang memuaskan yang diperolehnya. Wah, itu sih "keahlian" saya terkait pengalaman lulus pas-pasan di jaman S1 dulu ... hahaha. Saya bilang, itu sebenarnya sebuah nikmat juga yang harus disyukuri. Mahasiswa yang dapat nilai A dan yang dapat nilai C, misalnya, bebannya tentu berbeda. Yang nilainya C, kalau bilang banyak lupa tentang ilmunya, harap maklum. Nah, apa jadinya kalau ‘si A’ yang bilang begitu?

Itulah mengapa saya tidak dapat sepenuhnya merasa lega begitu dinyatakan dapat menyandang satu lagi gelar akademik. Saya tidak akan tenang hingga saya dapat mengamalkan ilmu yang saya peroleh, hingga dapat bermanfaat bagi lingkungan. Begitu pula dengan perasaan senang yang berlebihan, apalagi ketika orang lain mengaitkannya dengan nilai yang sangat tinggi di transkrip. 

Bohong kalau saya mengaku tidak senang. Tentu saja saya senang dan bangga karena pencapaian itu diperoleh dengan perjuangan. Akan tetapi, saya juga memiliki perasaan tegang dan khawatir. Dapatkah saya mempertanggungjawabkannya? Dari sebuah nilai mata kuliah yang baik, saya melihat adanya pengakuan dosen pengampu terhadap penguasaan saya atas mata kuliah tersebut. Dengan demikian, diharapkan pula kemudian saya mampu menebar manfaat yang besar dari perolehan ilmu tersebut.

Seperti yang saya katakan sebelumnya, pandangan tentang gelar akademik tak ubahnya cara pandang tentang kenaikan jabatan atau posisi tertentu dalam pekerjaan. Orang tua saya selalu mengajarkan untuk melihat hal tersebut bukan sebagai nikmat, melainkan sebagai ujian. Yah, melihatnya memang harus dengan mata hati, bukan mata duitan. Hanya dengan demikian, orang dengan kekuasaan yang dipercayakan padanya paham betul bahwa itu berarti ia dipercaya pula untuk memikul tanggung jawab yang lebih besar. Hanya dengan demikian pula, orang tersebut tahu, daripada kenaikan jabatan itu sendiri, yang lebih layak menjadi cita-citanya adalah berhasil mempertanggungjawabkannya dan mengamalkannya untuk kepentingan orang banyak.

Alhamdulillah, perjuangan berkuliah di jenjang S2 telah menuntun pada kelulusan dan berbuah gelar magister yang berhak saya sandang. Namun, seperti halnya kenaikan jabatan, rasanya sungguh berdosa jika saya mematok perolehan gelar akademik tersebut sebagai mimpi atau cita-cita saya. Di balik gelar itu, ada kewajiban pada masyarakat dan yang menjadi cita-cita saya adalah berhasil menunaikannya, atas ridho Allah Swt. Mohon doanya, ya!

Oh, mari doakan pula para penyandang "gelar kekuasaan" di negeri kita ini. Semoga mereka menyadari betul tanggung jawab yang dipercayakan pada mereka dan dapat menunaikan kewajiban tersebut dengan baik. Aamiin.


Salam,

-          H e i D Y -

2 komentar:

D. Nariswari mengatakan...

Glek, iya nih, merasa tidak pantas untuk mempertanggungjawabkan gelar S-1 terdahulu, makanya aku pilih untuk menempuh pendidikan lain yang aku rasa mampu untuk mempertanggungjawabkannya. Aamiin.. Agak curang sih, tapi ya nggak apa-apa lah :D

Heidy Kaeni mengatakan...

Cit, itu tesismu kan sudah menjadi bukti pertanggungjawabanmu pada dua bidang ilmu sekaligus! Keren gitu, bikin ngiler, kenapa ya aku nggak bikin yang serupa :p
Udah kelamaan kali ya murtadnya..jadi hampir nggak kepikiran..hhahaha